258-Article Text-494-1-10-20160618 PDF
258-Article Text-494-1-10-20160618 PDF
258-Article Text-494-1-10-20160618 PDF
Iwan Hermawan
Departemen Administrasi Bisnis Terapan, Politeknik Negeri Semarang
iwanpolines@gmail.com
VS Tripriyo PS
Program Doktor Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro
vs_tripriyo_ps@yahoo.com
ABSTRACT
One of national creative industry roadmap key aspect is the character capability of
businessmen. This research aims to empirically define the factors forming the
entrepreneurial capabilities of creative industries and its impact on business
performance. Art and creative technology industries in three cities in Indonesia,
including Denpasar, Jogjakarta and Surakarta are used as samples. The factor
analysis is employed to define the presence of three factors-which forming
capabilities of national entrepreneurial creative industries, including: (1) internal
management-risk management, (2) independence and anti-plagiarism design, and (3)
the unique design and renewable idea. The statistic test finds the significant influence
of entrepreneurial capabilities of creative industries on business performance. While
internal management-risk management is the dominant factor contributing the
business performance. Some other findings are national entrepreneurs have
understood that the concept, idea, and knowledge were the main capital to
accelerate the national creative economy. The entrepreneurs also understand the
importance of self-reliance and anti-plagiarism design. But on the other hand, the
majority of them have dominant of the external locus of control.
Keywords: entrepreneurship capabilities, creative industries, business performance,
factor analysis
PENDAHULUAN
Kemunculan zaman ekonomi kreatif sebelumnya telah diramalkan Alvin
Toffler dalam Future Shock (1970) yang menyatakan bahwa gelombang peradaban
manusia itu dibagi tiga gelombang, meliputi fase abad pertanian, gelombang kedua
abad industri dan gelombang ketiga abad informasi. Sementara pandangan Toffler
berhenti disini, teori-teori terus berkembang dimana peradaban dengan kompetisi
global yang ketat, pada akhirnya mendorong munculnya era peradaban baru
gelombang keempat. Era baru peradaban ekonomi ini disebut knowledge-based
economy (ekonomi berorientasi pada kreativitas).
Lahirnya knowledge-based economy (ekonomi kreatif) yang bermula dari
paradigma industri kreatif muncul ke permukaan diawali dari pesatnya
perkembangan Internet, ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga hal ini mendorong
berubahnya dinamika pemetaan arah industri secara global membentuk ekonomi
kreatif. Konsep ekonomi kreatif adalah kegiatan ekonomi dengan input dan output
berupa adalah gagasan, yang mana peran pembentuk ekonomi kreatif dikendalikan
oleh hukum kekayaan intelektual (paten, hak cipta, merek, royalti dan desain).
Ekonomi kreatif terdiri dari kelompok profesional. Mereka yang berada di dalam
industri kreatif memberikan kontribusi terhadap garis depan inovasi, sehingga
ekonomi kreatif dapat dikatakan sebagai sistem transaksi penawaran dan permintaan
yang bersumber pada kegiatan ekonomi dari industri kreatif. Industri kreatif berfokus
terhadap penciptaan nilai melalui daya kreativitas. Gagasan dan ide merupakan kunci
utama dalam industri kreatif, sehingga gagasan ini menjadi aset kunci. Industri
kreatif adalah industri yang merujuk pada berbagai aktivitas ekonomi yang
melakukan eksploitasi pada aspek pengatahuan dan informasi. Dalam beberapa
variasi definisi, industri kreatif juga dianggap sebagai industri budaya
(Hesmondhalgh 2002). Eksistensi industri kreatif menjadi menjadi semakin penting
untuk membentuk kesejahteraan ekonomi, dimana kreativitas manusia adalah sumber
daya ekonomi utama (Florida 2002). Industri juga akan semakin bergantung pada
pengetahuan melalui munculnya kreativitas dan inovasi (Landry dan Bianchini
1995). Pada sisi lain, nilai keekonomian dari suatu produk atau jasa di era ekonomi
kreatif tidak lagi ditentukan oleh bahan baku atau sistem produksi seperti pada era
industri, tetapi pada pemanfaatan kreativitas dan inovasi.
Industri kreatif nasional sebagai pembentuk iklim ekonomi kreatif
menunjukkan perkembangan kontribusi PDB yang cukup signifikan (4,75 persen)
dengan serapan tenaga kerja sebesar 3.702.447 orang pada kurun 2002-2006.
Kendatipun pada krisis ekonomi global 2009 industri kreatif Indonesia tetap tumbuh
1,5 persen. Nilai ekspor industri kreatif dalam kurun waktu tersebut mencapai
Rp81,4 Triliun (9,13 persen) dari total ekspor nasional. Pertumbuhan ekspor terbesar
dari industri fashion dan kerajinan, dengan kontribusi net trade 2002-2010 mencapai
65,26 persen. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2013 adalah sebesar
9.109.129,4 Miliar Rupiah, yang meningkat dari tahun sebelumnya 2012 sebesar
8.241.864,3 Miliar Rupiah. Kedua PDB tersebut mengindikasikan pertumbuhan
sebesar sebesar 10,52 persen. Sementara ini, sektor ekonomi kreatif memberikan
kontribusi sebesar 641.815,4 Miliar Rupiah atau 7,04 persen dari total PDB.
Kontribusi ini menempatkan sektor ekonomi kreatif di peringkat ketujuh dari sepuluh
sektor ekonomi. Sektor ekonomi kreatif sendiri mengalami peningkatan pertumbuhan
10,9 persen (Indonesia kreatif 2013). Industri kreatif di Indonesia sudah direspon
pemerintah dengan membentuk peta jalan industri kreatif nasional, namun relatif
tertinggal apabila dibandingkan dengan negara-negara maju di Asia, Amerika dan
Eropa yang telah mengekspor produk kreatif mereka dibidang perfilman, musik,
game, seni maupun inovasi teknologi. Dari fakta dan deskripsi data tersebut di atas,
hal yang bersifat esensial dalam model pengembangan peta jalan industri kreatif
Indonesia adalah terciptanya akselerasi yang mendorong laju pertumbuhan industri
yang berdaya saing. Hal ini menjadi penting dalam rangka mengejar ketertinggalan
Indonesia terhadap eksistensi produk-produk industri kreatif yang berasal dari
negara-negara lain.
Dalam sudut pandang industri kreatif, saat ini industri tidak dapat lagi
bersaing di pasar global dengan hanya mengandalkan harga atau mutu produk saja,
tetapi bersaing berbasiskan inovasi, kreativitas dan imajinasi (Simatupang 2008).
Demikian pula pada lingkup mikro kewirausahaan yang merupakan unit pembentuk
industri. Konsep kreatif dan bisnis kewirausahaan akan memberikan domain prioritas
yang harus didefinisikan dalam perencanaan bisnis, dimana dalam kewirausahaan,
seringkali memunculkan polemik tarik-menarik kepentingan atas produk, antara
pelaku wirausaha dengan pekerja yang menciptakan produk seni. Pekerja seni
mendesain langsung produk mereka dengan cita rasa dan imajinasi seni mereka. Ide
kreatif yang tertuang didominasi atas nilai seni produk yang bersifat tidak terikat dan
bebas dalam ekspresinya, lebih dominan daripada nilai ekonomi berupa uang.
Namun dari sudut pandang manajemen wirausaha, aspek komersial produk lebih
dikedepankan daripada hanya sekedar membuat produk seni, atau jika
memungkinkan kedua nilai manfaat dari aspek seni dan komersial (HKU 2010).
Sebenarnya polemik yang sering muncul dalam lingkup mikro kewirausahaan seperti
ini dapat dijembatani dengan merumuskan karakter dan kapabilitas seorang
wirausaha industri kreatif. Karakter dan kapabilitas tersebut menekankan pada
konsep munculnya ide produk baru dan selalu terbarukan sebagai discovery dan
inovasi produk, wirausaha yang bersikap proaktif serta wirausaha yang berani
mengambil risiko dalam konteks bisnis kewirausahaan industri kreatif.
Bisnis kewirausahaan memberikan kecenderungan organisasi untuk
berinovasi dengan menyesuaikan kondisi pasar yang diminati, mengambil risiko
untuk mencoba produk industri kreatif yang baru, layanan yang maksimal dan
memperluas pasar yang lebih proaktif dibandingkan pesaing sehingga menciptakan
peluang pasar baru. Para peneliti telah sepakat bahwa orientasi kewirausahaan
merupakan kombinasi dari tiga dimensi yaitu: inovasi, proaktif dan berani
mengambil risiko (Wiklund dan Shepherd 2005). Inovasi mencerminkan
kecenderungan munculnya ide-ide baru, kebaruan proses dan produk kreatif. Proaktif
mengacu pada postur melakukan antisipasi dan bekerja bagi pemenuhan kebutuhan
pasar kedepan. Proaktif akan membuat wirausaha industri kreatif menggunakan
pengetahuan mereka untuk melihat dan memahami kebutuhan masa depan pasar.
Berani mengambil risiko dikaitkan dengan kemauan untuk melakukan pengelolaan
sejumlah besar sumber daya yang diinvestasikan pada proyek kewirausahaan dengan
risiko munculnya biaya kegagalan menjadi minimal. Keberanian pengambilan risiko
akan mendorong organisasi untuk bereksperimen dengan suatu pengetahuan baru
(Singh dan McKeen 2006). Faktor kunci utama dalam pengembangan industri kreatif
adalah membangun karakter pelaku wirausaha nasional untuk berbagi pengetahuan
dan munculnya komitmen nasionalisme dengan memasukkan konten budaya yang
melibatkan kearifan lokal di lingkungan sekitarnya pada atribut produk kreatif yang
dibuatnya (Hermawan et al., 2014).
Aspek strategis kajian penelitian ini adalah untuk mendefinisikan kondisi
saat ini dari karakter pelaku wirusaha industri kreatif di Indonesia, dalam dimensi
aspek pengetahuan, teknologi, pola pikir, integritas nasionalisme serta gaya hidup
mereka menjadi suatu rumusan empiris. Manfaat dari penelitian yang dilakukan
adalah memberikan bukti ilmiah mengenai kontribusi dari kapabilitas wirusaha
nasional serta dampaknya pada kinerja usaha mereka. Definisi empiris ini
selanjutnya dapat dijadikan dasar rujukan dan rambu-rambu pada pembuatan
kerangka kerja peta jalan industri kreatif nasional.
Faktor kunci pembentuk daya saing industri kreatif nasional adalah
pentingnya regulasi yang secara teknis membentuk karakter perilaku bisnis
pengusaha nasional. Industri kreatif Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan
negara-negara maju, sehingga dalam implementasinya dibutuhkan adanya akselerasi
percepatan industri kreatif nasional. Akselerasi diperoleh pada manajemen
pengetahuan, berupa komitmen untuk berbagi pengetahuan. Namun pada sisi lain
ternyata rendahnya kemauan dan keinginan berbagi dari pelaku industri kreatif di
Indonesia, menjadi faktor penghambat akselerasi (Hermawan et al., 2014). Berangkat
dari fakta tersebut, selanjutnya dikembangkan tujuan penelitian berikut.
a) Mengkaji secara empiris mengenai faktor-faktor pembentuk kapabilitas
kewirausahaan dari pelaku industri kreatif pada kota-kota yang ditetapkan
pemerintah sebagai kota kreatif, yaitu Denpasar, Yogjakarta dan Surakarta,
dengan definisi karakter yang diturunkan kembali dari karakter inovasi,
proaktif dan berani mengambil risiko (Wiklund dan Shepherd 2005), serta
karakter lainnya yang digali dari penelitian sebelumnya.
b) Merumuskan model empiris dari pengaruh faktor-faktor kapabilitas yang
terbentuk terhadap kinerja usaha industri kreatif nasional.
c) Mendeskripsikan kondisi existing dari gaya hidup pelaku industri keatif, baik
dalam hal komitmen mengadopsi desain bernuansa lokal, tingkat kecemasan
menggunakan teknologi, karakter kebangsaan maupun konsep dari prinsip-
prinsip kemandirian ide (anti-plagiasi).
Perumusan aspek empiris dalam penelitian ini akan dapat menjadi dasar
empiris mengenai kontribusi dari kapabilitas wirausaha nasional serta dampaknya
pada kinerja usaha mereka. Kapabilitas dan karakter wirausaha industri kreatif akan
hal ini masih merupakan aspek tersulit, karena istilah “budaya” dan “kreatif” akan
dibangun dengan melintasi wacana budaya–kearifan lokal dan tantangan ekonomi
yang berkembang (HKU 2010).
Dalam kewirausahaan industri kreatif, munculnya profit yang signifikan
adalah penting, akan tetapi bukan menjadi penggerak utama dalam organisasi
kewirausahaan. Kreativitaslah yang menjadi faktor penggerak utama karena dengan
munculnya kreativitas memungkinkan organisasi wirausaha untuk membangun
kebaruan pada produk yang dilempar di pasar, melakukan pemenuhan diri karakter
individu wirausaha atau bahkan mampu mengejar pemenuhan atribut produk yang
inovatif dan kreatif. Konsep dan karakter individu terikat erat dengan locus of
control. Locus of control akan mengacu pada sejauh mana individu dapat mengontrol
peristiwa yang memengaruhi mereka yang bermula dikembangkan oleh Rotter
(1954) dan selanjutnya menjadi aspek studi kepribadian. Locus seseorang
dikonseptualisasikan dalam bentuk internal, artinya bahwa individu percaya mereka
dapat mengontrol hidup mereka atau bentuk eksternal, artinya individu percaya
keputusan dan kehidupan dikendalikan oleh faktor lingkungan yang mereka tidak
bisa mereka pengaruhi, atau secara kebetulan atau nasib. Individu dengan internal
locus of control yang kuat percaya bahwa peristiwa dalam kehidupan mereka
terutama berasal dari tindakan mereka sendiri misalnya, seorang wirausaha yang
menerima profit kinerja usahanya akan merasa berbanding lurus dengan jerih payah
dan usaha yang dilakukan sebelumnya. Individu dengan locus of control internal
cenderung memuji atau menyalahkan diri sendiri atas kemampuan mereka pada hasil
akhir yang didapatkannya, sebaliknya individu dengan locus of control eksternal
yang kuat cenderung memuji atau menyalahkan faktor eksternal pada individu lain,
relasi maupun nasib (Carlson et al., 2007). Penelitian Sofyan et al. (2011)
menegaskan kembali pentingnya aspek locus of control dalam merancang program
pengembangan industri kreatif.
Dinamika kewirausahaan industri kreatif dewasa ini membutuhkan berbagai
dukungan strategic, tergantung pada sifat lingkungan dan subsektor industri dimana
mereka beroperasi. Dari kajian teoretis tersebut di atas, selanjutnya aspek
kewirausahaan pada industri kreatif dalam penelitian ini merumuskan 15 aspek
kapabilitas karakter wirausaha, seperti berikut: a) kuatnya inovasi untuk menciptakan
daya beda, b) inovasi membuat desain yang belum pernah ada, c) komitmen
memenuhi akad kontrak kerja, d) komitmen pemenuhan waktu deadline, e) gagasan
atau ide yang melimpah dan terbarukan, f) kreativitas yang digali dari corak budaya
lokal, g) sikap kehati-hatian dalam/memutuskan urusan bisnis, h) locus of control
internal: usaha keras pribadi untuk berhasil; i) optimisme pada perbaikan iklim
industri dan pasar sasaran, j) pro-aktif mengikuti tren desain produk yang
berkembang di pasar, k) mengapresiasi keterampilan pekerja seni dengan reward
pantas, l) proaktif menggunakan media internet dan teknologi untuk belajar, m)
komitmen mandiri pada desain dan anti plagiasi, n) manajemen tim, mitra dan rekan
kerja serta o) mengelola risiko dan kegagalan.
Kinerja Usaha
Saat ini belum ada kesepakatan yang dapat diterima secara universal
mengenai praktek terbaik dalam mengukur kinerja usaha, karena kinerja harus
mencerminkan informasi nonkeuangan yang relevan berdasarkan faktor kunci
keberhasilan bisnis masing-masing (Clarke 1995 dan Gomes et al. 2004). Pada sisi
lain kinerja harus didasarkan pada tujuan organisasi, kekritisan faktor sukses
kebutuhan pelanggan, serta adanya monitoring terhadap aspek keuangan dan non
keuangan (Manoochehri 1999). Kinerja akan dapat diukur dan berubah dengan
strategi yang dinamis (Bhimani 1993). Demikian juga langkah-langkah keuangan
dan nonkeuangan harus selaras dan sesuai dalam kerangka kerja strategis (Drucker
1999; McNair dan Mosconi 1987). Kinerja nonkeuangan merupakan salah satu
ukuran kinerja yang banyak digunakan, disamping ukuran kinerja berdasarkan
anggaran. Kinerja non keuangan dapat diukur dengan nilai kepuasan pelanggan,
kualitas produk dan perputaran rekrutmen tenaga kerja. Ukuran kinerja nonkeuangan
seperti kepuasan pelanggan, kualitas produk atau pergantian karyawan sangat relevan
dalam kasus di mana ukuran kinerja berbasis pasar tidak tersedia. Sebelum tahun
1990 umumnya kinerja manajer hanya diukur berdasarkan perspektif keuangan.
Kinerja keuangan diukur berdasarkan informasi yang dihasilkan dari sistem
akuntansi berjangka pendek, sehingga pengukuran kinerja yang berbasis keuangan
lebih berfokus pada perwujudan jangka pendek dan mengabaikan perwujudan jangka
panjang.
Banyak aspek yang harus dipertimbangkan untuk membentuk kerangka
kajian kinerja wirausaha industri kreatif, karena platform organisasi yang tidak
seragam, dimana faktanya banyak peneliti berfokus untuk merancang dan
mengadopsi sistem pengukuran kinerja berdasarkan karakteristik organisasi secara
spesifik (Beamon 1999). Analisis faktor penentu keberhasilan akan membantu untuk
mengidentifikasi ukuran kinerja dan matriks (Wu 2009). Dalam penelitian ini ukuran
kinerja usaha akan dikembangkan atas kinerja nonkeuangan dan kinerja finansial.
Kinerja nonkeuangan seperti kepuasan pelanggan, nilai pasar, pangsa pasar dan
kinerja finasial diukur dari kemampuan pelaku wirusaha industri kreatif melakukan
investasi menengah dan jangka panjang.
Hipotesis
Orientasi kewirausahaan dan kompetensi pengetahuan pasar merupakan efek
positif kapabilitas pemasaran dan kinerja pemasaran (Suryanita 2006), dimana
kapabilitas kewirausahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap profitabilitas
usaha. Profit margin yang lebih tinggi adalah hasil dari proses inovasi yang tepat,
adanya kemampuan untuk selalu proaktif merespon perubahan pada lingkungan dan
dimilikinya sikap wirausaha untuk berani mengambil risiko. Penelitian tersebut
H1
ENTa
H2
ENTb KU
ENT-ke (n) H3
Gambar 1
Model Penelitian
METODA PENELITIAN
Sampel dan Data Penelitian
Populasi industri kreatif nasional adalah industri yang berorientasi pada
penciptaan nilai kreatif. Berdasarkan data Statistik BPS pada tahun 2006 terdapat
industri kreatif sebanyak 1.520.759 perusahaan dengan laju pertumbuhan pertahun
7,70 persen, sehingga tahun 2013 jumlah populasi industri kreatif nasional adalah
sebesar 1.872.054 perusahaan. Sampel penelitian industri kreatif nasional diambil
dari tiga kota kreatif yang mewakili delapan dari empat belas subsektor industri
kreatif di Indonesia. Sampel adalah sebagian dari populasi yang karakteristiknya
hendak diselidiki, dan dianggap dapat mewakili keseluruhan populasi (Djarwanto
1996). Untuk memberikan hasil yang akurat, jumlah sampel yang diambil
menggunakan rumus Slovin (Umar 2002), dengan tingkat toleransi sebesar 10
persen. Berdasarkan rumus Slovin tersebut kelayakan sampel dalam penelitian
kewirausahaan industri kreatif ini adalah 100 responden, dengan teknik pengumpulan
sampel menggunakan metode purposive random sampling.
Tabel 1
Pemilihan Objek Kota dan Sektor Sampel
Sektor Industri Kreatif
Kota
Movie
Kreatif Piranti Total
Adv. Arsitektur Fashion dan Game Penerbitan Televisi Craft
Nasional Lunak
Photo
3
Surakarta 8 4 3 5 1 6 0 7 1
31%
33
Denpasar 3 4 4 6 0 7 8 1 0
29,2%
45
Yogyakarta 5 0 2 13 1 12 4 0 8
39,8%
16 8 9 24 2 25 12 8 9 113
Total
14,2% 7,1% 8% 21,2% 1,8% 22,1% 10,6% 7,1% 8% 100%
Alat Analisis
Secara sederhana tujuan analisis faktor adalah untuk menentukan beberapa
buah faktor (variabel) sedemikian rupa sehingga data multivariat dengan komponen
yang cukup banyak dapat dijelaskan atau dipelajari dengan memakai data
berdasarkan beberapa faktor (variabel) terpilih (Hair 1995).
Model analisis faktor:
Xik= λi1 f1k + λi2 f2k + ..... + λi2 f2k + eik …………………………….…….. (1)
Keterangan:
Xik = nilai dari variabel kewirausahaan ke-i untuk observasi ke-k.
f1k = nilai dari faktor kewirusahaa ke-j untuk observasi ke-k (disebut juga factor scores).
λi1 = hubungan dari variabel ke-i dengan faktor ke-j, dimana ada m faktor dan p variabel,
m<p.
Secara praktis dalam penelitian ini, analisis faktor digunakan untuk
mengekstraksi sekian banyak variabel yang dikembangkan menjadi hanya beberapa
variabel saja sehingga lebih mudah diamati secara lebih sederhana. Analisis faktor
juga akan menghasilkan urutan kepentingan dari seluruh variabel yang terbentuk.
Metoda ini membantu menemukan model, kelompok variabel dari pelaku
kewirausahaan yang harus diperhatikan lebih dulu bagi pengembangan
kewirausahaan industri kreatif dan dampaknya pada kinerja usaha.
Model regresi linier berganda dalam penelitian ini digunakan untuk mengkaji
variabel-variabel yang difaktorkan dalam analisis faktor, untuk diuji pengaruhnya
terhadap variabel dependen kinerja usaha, dalam model penelitian ditunjukkan oleh
persamaan berikut:
KU=α+β1ENTa+β2ENTb+β3ENT-n+ε .................................................................. (2)
Keterangan:
α = konstanta
ENTa = faktor 1 kapablitas kewirausaan.
ENTb = faktor 2 kapabilitas kewirausaan.
ENT-n = faktor ke-n kapabilitas kewirausaan.
KU = kinerja usaha
ε = error
PEMBAHASAN
Analisis Statistik Deskriptif
Berdasarkan Tabel 2, variabel kapabilitas kewirausahaan (ENT) memiliki
nilai maksimal 145 persen, minimal 73 dan rerata 108,34. Data memiliki simpangan
baku sebesar 13,52. Sementara sebaran data kinerja usaha (KU) memiliki nilai
maksimum 75, nilai minimum 33, rerata 58,84 serta simpangan baku sebesar 9,18.
Kedua data berdistribusi normal.
Tabel 2
Statistik Deskriptif
dalam model dan semua variabel tersebut memiliki nilai diatas 0,5 dengan interval
0,604-0,870. Uji kecukupan sampel dilakukan melalui nilai Kaiser Meyer Olkin
Measure of Sampling Adequacy (KMO), Nilai KMO data adalah sebesar 0,783 lebih
besar dari 0,5. Hal ini berarti bahwa sampel yang diambil yaitu sebanyak 113
responden dari ketiga kota kreatif nasional dengan unit variabel sebanyak 15
variabel, cukup layak untuk dianalisis. Angka Bartlett’s Test of Sphericity= 469,517
dan Sig.= 0,000 menunjukkan bahwa matriks korelasi bukan merupakan matriks
identitas, sehingga layak untuk di analisis faktor.
Dari hasil analisis faktor yang didasarkan pada Eigen values yang lebih besar
atau sama dengan satu, diperoleh sebanyak tiga faktor. Nilai persentase kumulatif
untuk ketiga faktor tersebut sebesar 51,83 persen, yang berarti bahwa ketiga faktor
yang terbentuk mampu menerangkan data multivariat 15 variabel sebesar 51,83
persen. Variabel merupakan masing-masing faktor yang disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3
Rotated Component Matrix Kapabilitas Kewirausahaan
Komponen Faktor
Kapabilitas Kewirausahaan
1 2 3
inovasi menciptakan daya beda 0,469 0,044 0,680
inovasi membuat desain yang belum pernah ada 0,772 0,232 0,123
komitemen memenuhi desain kontrak kerja 0,689 0,123 0,120
komitmen pemenuhan waktu deadline 0,672 0,024 -0,287
gagasan, ide yang melimpah selalu terbarukan -0,374 0,343 0,513
kreatifitas yang digali dari corak budaya kuat sekitar 0,036 0,781 -0,230
sikap kehati-talian bertindak/memutukan urusan bisnis 0,470 -0,159 0,045
locus of control internal: usaha keras pribadi untuk berhasil 0,181 0,627 -0,021
otimisme pada industri dan pasar sasaran 0,748 0,087 0,248
proaktif mengikuti trend desain yang berkembang 0,558 0,017 -0,439
mengapresiasi keterampilan SDM dengan reward pantas 0,175 -0,634 -0,134
proaktif menggunakan media internet untuk belajar 0,713 -0,008 0,171
komitmen mandiri desain dan anti plagiasi -0,132 0,660 -0,097
manajemen tim dan bawahan dan mitra kerja 0,609 -0,372 0,003
mengelola manajemen risiko dan kegagalan 0,525 0,224 -0,332
Sumber: Data penelitian, 2014
sekitar (loading factor 0,781); b) locus of control internal (loading factor 0,627); c)
mengapresiasi keterampilan SDM dengan reward pantas (loading factor 0,634); d)
komitmen mandiri desain dan anti plagiasi (loading factor 0,660) dan faktor 3
meliputi: a) inovasi menciptakan daya beda (loading factor 0,680); b) gagasan, ide
yang melimpah selalu terbarukan (loading factor 0,513).
Untuk melakukan analisis pada langkah selanjutnya, maka variabel dari aspek
kapabilitas kewirausahaan yang terbentuk tersebut selanjutnya akan dikonversi
menjadi satu kelompok variabel yang berupa faktor utama. Kapabilitas
kewirausahaan industri kreatif nasional dalam penelitian ini secara empiris telah
terbentuk menjadi tiga faktor utama, yaitu pengelolaan internal dan manajemen
risiko (faktor 1); kemandirian desain dan anti plagiasi (faktor 2) serta daya beda unik
dan ide yang selalu terbarukan (faktor 3).
Analisis Regresi Kapabilitas Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha Industri
Kreatif
Pengujian atas hipotesis dilakukan dengan melakukan analisis regresi
berganda pada faktor-faktor yang dibentuk kapabilitas kewirausahaan (ENT)
terhadap kinerja usaha (KU). Definisi operasional merujuk pada model Gambar 1,
dimana dalam model terdapat tiga variabel independen dan satu variabel dependen.
Variabel independen pengelolaan internal dan manajemen risiko (ENTa),
kemandirian desain dan anti plagiasi (ENTb) serta daya beda unik dan ide yang selalu
terbarukan (ENTc). Sedangkan variabel dependen adalah kinerja usaha (KU).
Keempat variabel yang diteliti memiliki skala rasio dan berdistribusi normal,
sehingga model memiliki kelayakan empiris untuk diukur dengan kajian statistik
parametrik regresi berganda. Hasil pengujian hipotesis (ANOVA-Uji F) untuk
membuktikan pengaruh kapabilitas kewirausahaan secara simultan terhadap kinerja
usaha.
Dari analisis ANOVA (Tabel 6) diperoleh nilai Uji F sebesar 12,815 dan sig.
0,000; karena nilai sig. masih berada dibawah alfa (0,05), maka H0 ditolak dan H1
diterima. Hal ini berarti variabel independen yang merupakan manifestasi dari faktor-
faktor pembentuk kapabilitas kewirausahaan industri kreatif berupa variabel ENTa,
ENTb dan ENTc secara simultan memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja
usaha. Hal ini sejalan dengan beberapa peneliti sebelumnya seperti kajian yang
dilakukan oleh Suryanita 2006; Kumalaningrum 2012; Lukiastuti 2012; Lestari 2013
dan Pangeran 2013, bahwa kapabilitas maupun orientasi kewirausahaan berpengaruh
postif terhadap kinerja usaha.
Pada pengukuran analisis pengaruh secara parsial (uji t): untuk menguji
hipotesis pengaruh ENTa terhadap KU, diperoleh angka t-hitung 3,229 (Sig. 0,000).
Nilai ini H0 ditolak dan H1a diterima, yang berarti ada pengaruh signifikan anatara
kapabilitas pengelolaan internal manajemen risiko kewirausahaan terhadap kinerja
usaha industri kreatif. Demikian juga pada pengukuran pengaruh ENTc terhadap KU
yang memiliki angka t-hitung 5,669 (sig. 0,017) < 0,05, artinya H1 diterima dengan
interpretasi ada pengaruh signifikan antara kapabilitas daya beda produk dan gagasan
ide yang selalu terbarukan terhadap kinerja usaha. pada pengukuran pengaruh ENTb
terhadap KU yang memiliki angka uji t-hitung -0,33 (sig. 0,742) > 0,05, artinya H0
diterima dengan interpretasi tidak ada pengaruh signifikan antara kapabilitas
kemandirian anti plagiasi desain produk terhadap kinerja usaha.
Merujuk pada nilai standardized coefficients beta, diperoleh gambaran bahwa
terdapat dominasi dari ketiga variabel dependen yang mewakili faktor-faktor
pembentuk kapabilitas kewirausahaan industri kreatif nasional tersebut. Faktor
pengelolaan internal dan manajemen risiko (ENTa) merupakan faktor dominan,
disusul faktor daya beda produk dan gagasan ide yang selalu terbarukan (ENTc) serta
terakhir faktor kemandirian anti plagiasi desain produk (ENTb). Merujuk pada
formula persamaan (1), selanjutnya didapatkan rumusan model regresi linier
berganda KU= 0,405 ENTa -0,046 ENTb+ 0,558 ENTc +21,062. Pada fakta model
persamaan regresi yang dihasilkan serta pengujian hipotesis secara parsial uji-t,
variabel ENTa dan ENTc memiliki implikasi yang sama dengan sejumlah penelitian
sebelumnya yang mendukung premis hipotesis penelitian mengenai adanya pengaruh
signifikan positif dari kapabilitas kewirausahaan terhadap kinerja usaha. Namun pada
sisi lain, variabel ENTb yang merupakan manifestasi dari faktor kemandirian dan anti
plagiasi desain produk mengindikasikan adanya hubungan terbalik antara dan tidak
dijumpai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja usaha. Kendati wirausaha
industri kreatif nasional telah memahami semangat ekonomi kreatif dan nilai-nilai
faktor penggerak industri berupa gagasan, ide, pemikiran sebagai modal dalam
industri kreatif (59,3 persen), namun kapabilitas kewirausahaan dari sisi kemandirian
desain dan semangat anti plagiasi (ENTb) belum memberikan dampak secara nyata
pada kinerja. Meskipun demikian, sebagian besar responden berkomitmen untuk
berusaha tidak menjiplak ide dan produk orang lain (66,5 persen).
Gambar 2
Modal Utama Penggerak Industri
kewirausahaan memberikan dampak positif bagi kinerja usaha. Dari ketiga faktor
yang membentuk kapabilitas wirusaha di atas, faktor pengelolaan internal dan
manajemen risiko merupakan faktor dominan yang menentukan kinerja usaha
industri kreatif nasional.
3. Temuan deskriptif penelitian menunjukkan pelaku wirausaha Indonesia telah
memahami konsep, bahwa: gagasan, ide dan pengetahuan merupakan modal
utama penggerak industri dalam paradigma fase ekonomi kreatif. Pelaku
kewirausahaan kreatif nasional juga sudah memahami pentingnya kemandirian
desain, anti plagiasi dan memberikan apresiasi atas kekayaan intelektual produk
lain. Namun pada sisi lain sebagian dari pelaku wirausaha memiliki locus of
control eksternal yang dominan, dimana sebagian besar sampel yang dikonfirmasi
melalui observasi memiliki pola alam berpikir: bahwa sehebat apapun seorang
wirausaha berusaha pada akhirnya akan tetap menyerah pada ada tidaknya nasib
baik. Kapabilitas wirausaha yang matang sekalipun dalam usaha dan perencanaan
masih akan bergantung pada keberuntungan yang dimilikinya. Dalam konteks
“berusaha” dan “wirausaha” hal tersebut memberikan makna konotasi negatif.
Keterbatasan dan Saran
Penelitian ini mencakup delapan sektor dari 15 sektor industri kreatif saat ini,
dengan objek hanya pada tiga kota kreatif yaitu Denpasar, Yogyakarta dan Surakarta,
sehingga dengan keterbatasan ini, saran yang dikemukakan adalah perlu adanya
kajian pembanding yang mengkomparasikan dan mengkonfirmasi temuan dengan
mereplikasi penelitian ini pada ruang lingkup sampel yang lebih luas untuk
mendapatkan deskripsi model secara utuh. Keterbatasan lainnya adalah pengukuran
penelitian sepenuhnya berdasarkan pada pengukuran subjektif persepsi para pemilik
dan pengambil keputusan kewirausahaan industri kreatif, meskipun dalam banyak
penelitian, pengukuran secara subjektif seperti ini masih dibenarkan dalam kaidah
metodologis, namun tetap menciptakan potensi bias. Pada sisi lain, munculnya
temuan locus of control eksternal yang dominan pada wirausaha industri kreatif
nasional diprediksi akan menjadi faktor penghambat dan berpotensi menimbulkan
dampak negatif pada kinerja industri. Selanjutnya ranah karakter psikologis ini
membutuhkan kajian empiris untuk mengungkap dampak locus of control eksternal
dari pelaku kewirausahaan industri kreatif nasional dalam suatu kajian studi lebih
lanjut.
Implikasi
Penelitian ini memiliki dua implikasi, yaitu bagi pelaku bisnis dan pembuat
regulasi. Implikasi bagi pelaku bisnis kewirusahaan industri kreatif untuk
mengembangkan ketiga faktor kunci, berupa pengelolaan internal dan manajemen
risiko; kemandirian desain anti plagiasi; serta kapabilitas untuk menciptakan daya
beda dan ide yang selalu terbarukan pada produk kreatif. Namun dari ketiga faktor
tersebut, faktor dominan adalah pengelolaan internal dan manajemen risiko, dimana
DAFTAR PUSTAKA
Beamon, B. M. 1999. Measuring supply chain performance. International Journal of
Operations & Production Management. Vol.19: 275-92.
Bhimani, A. 1993. Performance measures in UK manufacturing companies: The state
of play, in management accounting. Vol.71 No.11: 20-2.
BPS. 2009. Tabel Prosentase Kontribusi Indutri Kreatif terhadap PDB Nasional.
Diolah dari Statistik Indonesia & Statisik Industri BPS. Available at
www.indonesiakreatif.net.
Carlson, N. R., C. D. Heth, H. Miller, J. W. Donahoe, W. Buskist, dan G. N. Martia.
2007. Psychology: The Science of Behaviour. 6th Ed. Boston: Pearson. Allyn
and Bacon.
Clarke, P. 1995. Non-financial measures of performance in management.
Accountancy Ireland. Vol.27 No.2: 22-4.
______. 2009. Pengembangan Industri Kreatif menuju Visi Ekonomi Kreatif 2025:
Rencana Pengembangan 14 Subsektor Industri Kreatif, Kelompok Kerja
Indonesia Design Power. Departemen Perdagangan Republik Indonesia.
______. 2009. Rencana Kerja Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-
2015. Kelompok Departemen Perdagangan Republik Indonesia.
Djarwanto. 1996. Mengenal Beberapa Uji Statistik dalam Penelitian. Edisi Pertama.
Liberty: Yogyakarta.
Drucker, P. F. 1985. Innovation and Entrepreneurship: Practice and Principles. New
York, USA: Harper Business.
LAMPIRAN
Tabel 3
Uji KMO and Bartlett's Test
Tabel 4
Total Variance Explained Variabel Kapablitas Kewirausahaan
Tabel 6
Hasil Uji ANOVA
Tabel 7
Model Regresi Berganda
Tabel 8
Locus of Control Wirausaha Industri Kreatif