1039-Article Text-1528-1-10-20190601

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 18

Jurnal Kajian Veteriner Desember 2015 Vol.33No.

Vol. No.22::147-163
147-163
ISSN : 2356-4113

TINGKAT CEMARAN Staphylococcus aureus PADA IKAN ASIN DI PASAR


TRADISIONAL KOTA KUPANG

(The Contaminant Level Of Staphylococcus aureus Within The Salted Fish In The
Traditional Markets In The Kupang City)

Marlin Cindy Claudya Malelak1, Diana Agustiani Wuri2, Elisabet Tangkonda3


1
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. Email:
Cincinmarlin@gmail.com
2
Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Nusa Cendana, Kupang. Email: nana_bale@yahoo.co.id
3
Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Nusa Cendana, Kupang. Email: elisabet_tangkonda@yahoo.co.id

ABSTRACT

Fish has become one of the favorite foodstuffs for Indonesian society. Like the
other food commodities of animal origin, fish also has a perishable nature so it takes a
good handling and processing, such as salting and drying which the result is known as
salted fish. The processing of salted fish requires attention because there is a high risk of
food poisoning hazard for food which the growth of normal flora are inhibited due to the
enterotoxin of Staphylococcus aureus. This study aims to determine the contamination
level of Staphylococcus aureus within the salted fish in the traditional markets in the city
of Kupang. There were 18 samples of salted fishes used which consisted of 8 samples from
Oesapa traditional market, 5 samples from Oeba traditional market and 5 samples from the
Inpres Naikoten traditional market. The sample inspection using the Plate Count method in
order to spread. The results showed that the contamination level of all the salted fish
samples have passed the maximum contamination limit of S. aureus based on the SNI No.
7388 : 2009 (1 x 103 CFU/g) with the value of the contamination level ranged from 3.4 x
103 CFU/g in the salted fish derived from Oeba traditional market to 1.4 x 106 CFU/g in
the salted fish derived from the Inpres Naikoten market. The high value of the
contamination level is related to several factors such as environment, storage time,
sanitation and personal hygiene. Therefore, salted fish traded in traditional markets require
attention to be safe and suitable for consumption.

Keywords : Staphylococcus aureus, salted fish, traditional markets, enterotoxin.

PENDAHULUAN

Makanan merupakan salah satu kandungan gizi yang lengkap dan aman
kebutuhan primer manusia, tanpa merupakan syarat mutlak yang harus
makanan manusia tidak dapat bertahan dipenuhi oleh bahan pangan, karena
hidup. Makanan yang sehat dengan pembangunan manusia yang sehat dan

147
Malelak et al Jurnal Kajian Veteriner

cerdas tidak terlepas dari bahan makanan pengeringan, hasilnya biasa dikenal
yang dikonsumsi. Bahan makanan dengan nama ikan asin (Ira, 2008). Proses
dikatakan aman apabila tidak pengolahan ikan di atas perlu mendapat
mengandung komponen fisik, kimia dan perhatian karena salah satu faktor penting
mikrobiologi yang berbahaya (Salosa, yang mendukung terciptanya keamanan
2013). pangan adalah kondisi sanitasi dan
Dewasa ini ikan merupakan salah higiene pengolahan pangan (Hatta et al.,
satu bahan makanan favorit bagi 2014). Hal ini dikarenakan, pangan yang
masyarakat Indonesia. Sekitar 70% flora normal di dalamnya telah
wilayah Indonesia terdiri dari perairan, mengalami kerusakan akibat proses
baik laut maupun air tawar (Direktorat pengolahan (misalnya daging yang telah
Jenderal Pengolahan dan Pemasaran dimasak) atau dihambat pertumbuhannya
Hasil Perikanan, 2011). Dengan kondisi (misalnya ikan asin dengan konsentrasi
tersebut maka potensi perikanan di garam yang tinggi) sehingga memiliki
Indonesia cukup tinggi dan mampu resiko tinggi terhadap bahaya keracunan
memberikan kontribusi yang sangat makanan akibat enterotoksin dari
berarti dalam usaha memenuhi gizi Staphylococcus aureus (S. aureus).
masyarakat. Hal ini tercermin dalam data Pada penelitian sebelumnya oleh
yang menunjukkan bahwa saat ini sekitar Sanjeev dan Surendran (1993), telah
60% pangan hewani penduduk berasal meneliti pengaruh penyimpanan terhadap
dari ikan (Hardinsyah et al., 2001). keberadaan S. aureus, bakteri yang
Fakta diatas berhubungan erat menghasilkan toksin pada ikan olahan.
dengan masyarakat NTT yang gemar Hasilnya, S. aureus ditemukan pada ikan
mengkonsumsi ikan. Letak provinsi NTT olahan yang diproses dengan kondisi
yang dikelilingi oleh banyak pulau dan tidak hygienis. Penelitian ini
laut yang luas cukup memudahkan para menunjukkan bahwa bakteri tersebut
nelayan untuk memenuhi permintaan bertahan hidup pada ikan yang diolah
ikan di pasaran. Berdasarkan data Badan selama kurang dari 13 hari dengan
Pusat Statistik tahun 2013, produksi jumlah bakteri ini adalah 2,7 x 105
perikanan laut di provinsi NTT mencapai CFU/gram.
127.156,28 ton. Seperti komoditas Berdasarkan hasil observasi di
pangan hewani lainnya, ikan juga salah satu pasar tradisional, tidak semua
mempunyai sifat yang mudah busuk ikan asin dikemas dengan plastik,
(Perishable food). Produk ikan rentan sebagian ada yang dibiarkan terbuka
terhadap kontaminasi dan penurunan begitu saja sedangkan lingkungan di
mutu, sehingga dibutuhkan penanganan sekitar pedagang ikan asin umumnya
dan pengolahan dengan perhatian ekstra kurang bersih, berdebu dan berbau karena
yang melebihi komoditas pangan hewani dekat dengan jalan raya dan saluran
yang lain (Soeparno, 1992). pembuangan air kotor. Kontaminasi di
Salah satu metode pengawetan lingkungan pengolahan ikan asin serta
ikan yang sering dilakukan adalah tempat penjualan sangat mungkin terjadi,
penggaraman yang diikuti dengan karena proses pengolahan ikan asin yang

148
Jurnal Kajian Veteriner Desember 2015 Vol. 3 No. 2 : 147-163

masih dilakukan secara tradisional, Berdasarkan SNI No. 7388 : 2009


seperti proses penggaraman yang tentang batas maksimum cemaran
dilakukan tanpa mengetahui kadar garam mikroba dalam pangan, batas maksimum
yang pasti. Lokasi penjemuran ikan asin S. aureus pada ikan asin adalah 1 x 103
untuk proses pengeringan ada yang CFU/gram, namun melihat kenyataan
dilakukan pada lapangan serba guna yang kondisi di atas kemungkinan kontaminasi
letaknya sangat dekat dengan jalan raya, pada ikan asin dapat melebihi batas
saluran pembuangan air kotor dan juga maksimum yang telah ditetapkan.
kandang ayam. Ikan yang dijemur Penelitian ini bertujuan untuk
diletakkan di atas terpal ataupun pada mengetahui kontaminasi S. aureus pada
wadah dari anyaman bambu (waring) dan ikan asin serta tingkat cemaran S.aureus
dibiarkan terbuka selama beberapa hari. pada ikan asin, dan apakah masih dalam
Selain itu, peluang kontaminasi mungkin batas aman atau telah melebihi batas
terjadi karena produk ikan asin yang cemaran berdasarkan SNI No. 7388 :
dijual tidak memiliki tanggal 2009.
kadaluwarsa sehingga waktu
penyimpanan produk tersebut tidak pasti.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian teratur seperti buah anggur, tidak


deskriptif, yaitu menjelaskan dan membentuk spora, dan tidak bergerak
menggambarkan morfologi S. aureus (Jawetz et al., 1995). Pada uji koagulase,
yang diisolasi dari ikan asin serta S. aureus akan menunjukkan reaksi
memaparkan nilai tingkat cemaran S. koagulase positif dan sangat penting
aureus tersebut. Isolasi S. aureus untuk membedakan S. aureus dengan
dilakukan dengan menggunakan media spesies Staphylococcus yang lain
Manitol Salt Agar (MSA) dan (Bruckler et al., 1994). Begitu pula pada
diidentifikasi dengan pengamatan secra uji katalase, Staphylococcus sp akan
mikroskopis yaitu pewarnaan Gram dan menunjukkan reaksi positif yang ditandai
pengujian biokimia yaitu uji koagulase dengan terbentuknya gelembung gas
dan uji katalase. Pada media MSA koloni yang membedakannya dengan
S. aureus akan mengubah warna media Streptococcus sp.
dari warna merah menjadi warna kuning Penelitian ini dilakukan pada tiga
akibat proses fermentasi manitol (Todar, pasar tradisional di Kota Kupang yaitu
2002) dan pada pengamatan secara pasar Oesapa, pasar Oeba, dan pasar
mikroskopis yaitu pewarnaan Gram Inpres Naikoten. Pemeriksaan sampel
koloni S. aureus akan berbentuk bulat dilakukan pada Laboratorium Ilmu
berdiameter 0,7 sampai 1,2 μm, tersusun Penyakit Hewan dan Kesehatan
dalam kelompok-kelompok yang tidak Masyrakat Veteriner (IPHK) Fakultas

149
Malelak et al Jurnal Kajian Veteriner

Kedokteran Hewan Universitas Nusa ketelitian ± 0,1 gram, botol pengencer 20


Cendana. Tahapan penelitian meliputi, ml, mortal, alu, tabung reaksi, ose,
pengambilan sampel di tiga pasar needle, batang kaca pengaduk, pipet
tradisional dengan beberapa kriteria yang tetes, hand counter, kaca pembesar, spuit
ditentukan, isolasi koloni terduga S. 3 ml, tabung non-additive tutup merah,
aureus dengan media MSA, dan sentrifuge, gelas preparat, mikroskop,
identifikasi dengan pengamatan secara microtube, pisau, media Mannitol Salt
makroskopis dan mikroskopis. Jumlah Agar (MSA), media Nutrient Agar (NA),
sampel yang digunakan ialah 18 sampel Brain Heart Infusion Broth (BHIB),
yang terdiri atas 8 sampel dari pasar Coagulase plasma (kelinci), larutan
Oesapa, 5 sampel dari pasar Oeba, dan 5 Buffered Pepton Water (BPW), pereaksi
sampel dari pasar Inpres Naikoten. katalase (H2O2 konsentrasi 3%), kristal
Alat dan bahan yang digunakan violet, lugol, alkohol 95%, alkohol 70%,
ialah autoclave, bunsen, cawan petri, aquades, larutan NaCl dan safranin.
cover glass, incubator, mikroskop, object Hasil penelitian ini akan dianalisis secara
glass, plastik steril, kertas label, spidol, deskriptif dan disajikan dalam bentuk
sampel ikan asin, alat timbang dengan tabel dan gambar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini menggunakan ikan asin sebagai sampel penelitian merupakan


yang diambil pada beberapa pasar ikan asin kering yang umumnya berasal
tradisional di wilayah Kota Kupang yaitu dari daerah Nusa Tenggara Timur (NTT)
pasar tradisional Inpres Naikoten, pasar maupun diluar daerah NTT. Sampel ikan
Oeba dan pasar Oesapa. Pengambilan asin yang diambil sebagai sampel
sampel ikan asin dilakukan dengan teknik penelitian, pada umumnya dikemas
purposive sampling yaitu didasarkan dengan kemasan plastik. Dari 18 sampel
pada ciri atau karateristik tertentu yang penelitian ada 8 sampel yang tidak
ditetapkan oleh peneliti (Dantes, 2012). dikemas dan ada 10 sampel yang dikemas
Jumlah sampel ikan asin yang diambil dengan plastik, namun semua sampel
sebanyak 18 sampel yang terdiri dari sama-sama tidak mencantumkan tanggal
pasar Oesapa 8 sampel, pasar Inpres kadaluwarsa maupun kode produksi
Naikoten 5 sampel dan pasar Oeba 5 bahan pangan.
sampel. Ikan asin yang diguna-kan

150
Jurnal Kajian Veteriner Desember 2015 Vol. 3 No. 2 : 147-163

Tabel 1. Data sampel penelitian


Kode Tempat Pengambilan
NO Asal Sampel Kemasan Plastik
Sampel Sampel
1. OSP 01 Pasar Oesapa Sulawesi Ada
2. OSP 02 Pasar Oesapa Kupang Ada
3. OSP 03 Pasar Oesapa Kupang Tidak Ada
4. OSP 04 Pasar Oesapa Kupang Tidak ada
5. OSP 05 Pasar Oesapa Sulawesi Ada
6. OSP 06 Pasar Oesapa Kupang Ada
7. OSP 07 Pasar Oesapa Kupang Ada
8. OSP 08 Pasar Oesapa Kupang Tidak ada
9. OEB 01 Pasar Oeba Sulamu Ada
10. OEB 02 Pasar Oeba Rote Ndao Ada
11. OEB 03 Pasar Oeba Sulawesi Ada
12. OEB 04 Pasar Oeba Sulawesi Ada
13. OEB 05 Pasar Oeba Kupang Tidak ada
14. INP 01 Pasar Inpres Naikoten Kupang Tidak ada
15. INP 02 Pasar Inpres Naikoten Flores Tidak ada
16. INP 03 Pasar Inpres Naikoten Kupang Ada
17. INP 04 Pasar Inpres Naikoten Kupang Tidak ada
18. INP 05 Pasar Inpres Naikoten Kupang Tidak ada

Isolasi dan Identifikasi S. aureus Todar (2002), S. aureus yang


Isolasi dan identifikasi S. aureus ditumbuhkan pada media MSA akan
pada ikan asin di pasar tradisional Kota mengubah warna media dari warna
Kupang dilakukan dengan menggunakan merah menjadi warna kuning akibat
metode cawan hitung (Plate Count) agar proses fermentasi manitol. Berdasarkan
sebar. Media yang digunakan pada isolasi hasil identifikasi pada media MSA,
dan identifikasi S. aureus ialah MSA semua sampel menunjukkan perubahan
yang merupakan media selektif dan warna dari warna merah menjadi warna
differensial (Sharp, 2006). Menurut kuning seperti terlihat pada Gambar 1.

151
Malelak et al Jurnal Kajian Veteriner

Gambar 1. Pertumbuhan koloni S. aureus pada media MSA (berwarna kuning)

Pertumbuhan S. aureus akan tampak 2002). Hal ini sesuai dengan hasil
di sekitar zona kuning dengan koloni penelitian yang menunjukkan
berpigmen kuning yang membedakannya pertumbuhan koloni terduga S. aureus
dengan S. epidermidis yang yang berpigmen kuning (Gambar 2).
menghasilkan pigmen putih (Todar,

Gambar 2. Gambaran makroskopis koloni S. aureus pada media MSA

Koloni terduga S. aureus yang selanjutnya dapat digunakan pada


tumbuh pada media MSA digunakan pengujian biokimia yaitu uji koagulase
untuk pewarnaan Gram dan diisolasi dan uji katalase (Tabel 2).
kembali pada media NA untuk

152
Jurnal Kajian Veteriner Desember 2015 Vol. 3 No. 2 : 147-163

Tabel 2. Hasil isolasi dan identifikasi S. aureus pada ikan asin


Hasil Pengujian
NO Kode MSA Pewarnaan gram Koagulase Katalase
Sampel Gram Bentuk
1. OSP 01 + + Kokus + +
2. OSP 02 + + Kokus + +
3. OSP 03 + + Kokus + +
4. OSP 04 + + Kokus + +
5. OSP 05 + + Kokus + +
6. OSP 06 + + Kokus + +
7. OSP 07 + + Kokus + +
8. OSP 08 + + Kokus + +
9. OEB 01 + + Kokus + +
10. OEB 02 + + Kokus + +
11. OEB 03 + + Kokus + +
12. OEB 04 + + Kokus + +
13. OEB 05 + + Kokus + +
14. INP 01 + + Kokus + +
15. INP 02 + + Kokus + +
16. INP 03 + + Kokus + +
17. INP 04 + + Kokus + +
18. INP 05 + + Kokus + +
Keterangan : + : Positif

Pewarnaan Gram berdiameter 0,7 sampai 1,2 μm, tersusun


Pewarnaan Gram bertujuan untuk dalam kelompok-kelompok yang tidak
mengamati morfologi sel S. aureus dan teratur seperti buah anggur, fakultatif
mengetahui kemurnian sel bakteri. anaerob, tidak membentuk spora, dan
Berdasarkan hasil pewarnaan Gram yang tidak bergerak. Warna ungu pada sel
dilakukan pada bakteri yang diduga S. bakteri Gram positif terjadi karena
aureus dapat dilihat bahwa bentuk dinding sel Gram positif mengandung
bakteri kokus, selnya berwarna ungu dan banyak peptidoglikan (Suriawiria, 1999)
tersusun berkelompok seperti buah sehingga mampu mengikat dengan kuat
anggur (Gambar 3). pewarna primer (kristal violet). Oleh
Hal ini sesuai dengan pendapat karena itu, dapat disimpulkan bahwa
Jawetz et al., (1995) yang menyatakan bakteri yang diamati merupakan bakteri
bahwa S. aureus merupakan bakteri Gram positif.
Gram positif berbentuk bulat

153
Malelak et al Jurnal Kajian Veteriner

Gambar 3. Gambaran mikroskopis S. aureus (perbesaran 1000 kali) dengan


pewarnaan Gram.

Uji koagulase menunjukkan bahwa semua sampel


Uji koagulase bertujuan untuk positif dapat mengkoagulasikan plasma
mengetahui kemampuan S. aureus darah (Gambar 4). Hal ini
menghasilkan enzim koagulase. mengindikasikankan bahwa bakteri
Berdasarkan hasil pengujian 18 isolat tersebut merupakan S. aureus.
yang memfermentasi mannitol,

Gambar 4. Hasil uji koagulase positif (+) dengan terbentuknya gumpalan.

Produksi koagulase adalah kriteria dengan spesies Staphylococcus yang lain


yang paling umum digunakan untuk (Bruckler et al., 1994).
identifikasi sementara S. aureus (Abrar,
2001). Reaksi koagulase positif sangat
penting untuk membeda-kan S. aureus

154
Jurnal Kajian Veteriner Desember 2015 Vol. 3 No. 2 : 147-163

Uji katalase terhadap 18 isolat menunjukkan bahwa


Fungsi uji katalase pada bakteri semua isolat bereaksi positif yang
berbentuk kokus adalah untuk ditunjukkan dengan terbentuknya
membedakan antara Staphylococcus sp gelembung gas (Gambar 5), sehingga
dan Streptococcus sp. Staphylococcus sp dapat disimpulkan bahwa isolat tersebut
bersifat katalase positif dan merupakan koloni Staphylococcus sp.
Streptococcus sp bersifat katalase negatif.
Berdasarkan hasil pengujian katalase

Gambar 5. Hasil uji katalase positif yang ditandai dengan terbentuknya


gelembung gas.

Katalase merupakan enzim yang lingkungan aerob pasti menguraikan


mengkatalisa penguraian hidrogen bahan tersebut (Lay, 1994).
peroksida menjadi H2O dan O2. Hidrogen
peroksida bersifat toksik terhadap sel Tingkat Cemaran Staphylococcus
karena bahan ini menginaktifkan enzim aureus pada Ikan Asin
dalam sel. Hidrogen peroksida terbentuk Tingkat cemaran S. aureus pada ikan
sewaktu metabolisme aerob, sehingga asin dari tiga pasar tradisional dapat
mikroorganisme yang tumbuh dalam dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Tingkat cemaran S. aureus pada ikan asin


No. Kode Sampel Jumlah Koloni Rata- rata
(CFU/g) (CFU/g)
3
1. OSP 01 3,8 x 10
2. OSP 02 3,5 x 103
3. OSP 03 1,1 x 105
4. OSP 04 4,5 x 103
5. OSP 05 1,9 x 104 4,2 x 103
6. OSP 06 5,8 x 103
7. OSP 07 5,5 x 103
8. OSP 08 7,6 x 103

155
Malelak et al Jurnal Kajian Veteriner

9. OEB 01 3,4 x 103


10. OEB 02 1,5 x 105
11. OEB 03 1,1 x 104
12. OEB 04 1,3 x 105 2,9 x 104
13. OEB 05 7,3 x 104
14. INP 01 6,6 x 104
15. INP 02 8,1 x 104
16. INP 03 8 x 104 5 x 105
17. INP 04 1,4 x 106
18. INP 05 1,1 x 106

Berdasarkan hasil perhitungan ditetapkan yaitu 1 x 103 CFU/g (Standar


tingkat cemaran S. aureus pada ikan asin, Nasional Indonesia, 2009).
dapat dilihat bahwa terdapat keragaman
nilai tingkat cemaran. Nilai tingkat Sumber Cemaran Staphylococcus
cemaran di pasar Oesapa berkisar antara aureus
3,5 x 103 sampai 1,1 x 105 CFU/g dengan Sampel ikan asin yang memiliki nilai
nilai rata-rata tingkat cemaran yang tingkat cemaran tertinggi ialah sampel ke
paling rendah yakni 4,2 x 103 CFU/g, 17 yang berasal dari pasar Inpres
sedangkan kiasaran nilai tingkat cemaran Naikoten yaitu 1,4 x 106 CFU/g.
di pasar Oeba tidak berbeda jauh dengan Tingginya nilai tingkat cemaran pada
pasar Oesapa yaitu berkisar dari 3,4 x 103 sampel ikan asin ini erat kaitanya dengan
sampai 1,5 x 105 CFU/g namun memiliki beberapa faktor seperti, lingkungan luas,
nilai tingkat cemaran rata-rata yang lebih lingkungan pengolahan, proses
tinggi yaitu 2,9 x 104 CFU/g. Berbeda pengolahan, penyajian, dan lingkungan
dengan kedua pasar tradisional penyajian (Robinson et al., 2000). Waktu
sebelumnya, pasar Inpres Naikoten proses pengolahan ikan asin secara
merupakan pasar yang kisaran nilai tradisional menjadi salah satu faktor yang
tingkat cemaranya paling tinggi yaitu mempengaruhi tingkat cemaran S. aureus
berkisar dari 6,6 x 104 sampai 1,4 x 106 pada ikan asin, hal ini dikarenakan salah
CFU/g, begitu pula dengan nilai rata-rata satu tahap pengolahan ikan asin
tingkat cemaran yang mencapai 5 x 105 bergantung pada cuaca. Selain itu,
CFU/g dan merupakan nilai rata-rata kontaminasi dapat terjadi pula pada saat
tingkat cemaran tertinggi dibandingkan proses penjualan, terutama pada ikan asin
dengan kedua pasar tradisional yang tidak dikemas dan diletakkan pada
sebelumnya. Dari hasil perhitungan nilai nyiru dan kotak plastik yang tidak
tingkat cemaran diatas dapat dilihat higienis. Hal ini, sesuai dengan
bahwa semua sampel yang dihitung nilai pernyataan Loir et al., (2003) bahwa
tingkat cemaranya telah melewati batas sumber utama penyebab kontaminasi
cemaran maksimum yang telah makanan oleh S. aureus adalah individu
yang mengolah makanan, di samping itu

156
Jurnal Kajian Veteriner Desember 2015 Vol. 3 No. 2 : 147-163

dapat juga dari peralatan dan lingkungan pedagang ikan asin umumnya kurang
sekitar. bersih, berdebu dan ada yang berbau
Pada tahap observasi, tidak semua karena dekat dengan jalan raya (Gambar
ikan asin dikemas dengan plastik, ada 6) dan saluran pembuangan air kotor.
sebagian yang dibiarkan terbuka (Tabel Pelayanan pedagang pada saat konsumen
1), sedangkan lingkungan di sekitar membeli ikan asin

Gambar 6. Salah satu lokasi penjualan ikan asin yang dekat dengan jalan raya.

juga dilakukan tanpa memperhatikan masih dapat bertahan hidup pada


higiene personal seperti, tidak konsentrasi natrium klorida (NaCl) lebih
menggunakan sarung tangan pada saat dari 15% dan memiliki toleransi tinggi
memegang ikan asin yang tidak dikemas. terhadap komponen-komponen seperti
Selain itu, waktu penjualan ikan asin dari telurit, merkuri klorida, neomycin,
pedagang yang bervariasi, juga ikut polymixin dan sodium azida, yang
mempengaruhi nilai cemaran dari S. semuanya dapat digunakan sebagai media
aureus. Hal ini disebabkan karena, selektif S. aureus.
semakin lama waktu penjualan ikan asin, Berdasarkan hasil wawancara
maka semakin lama pula waktu kontak dengan para pedagang ikan asin di pasar
ikan asin dengan udara disekitar tradsional, umumnya ikan asin yang
lingkungan pasar tersebut. Waktu kontak dijual ada yang diolah sendiri dan ada
yang lama mengakibatkan peluang pula yang dikirim dari daerah lain di
kontaminasi S. aureus pada ikan asin dalam maupun di luar NTT. Proses
semakin besar, khususnya bagi ikan asin pengolahan yang kurang baik dan waktu
yang tidak dikemas dengan plastik. distribusi produk ikan asin yang berbeda,
Tingginya kontaminasi terhadap ikan akan mempengaruhi waktu penyimpanan
asin kemungkinan juga dapat disebabkan dari produk tersebut. Pada Tabel 4 dapat
karena kadar garam pada ikan asin yang dilihat waktu penyimpanan dari setiap
sedikit rendah seperti yang dinyatakan sampel ikan asin yang dijual, dengan
oleh Loir et al., (2003) bahwa bakteri ini kisaran waktu penyimpanan yang paling

157
Malelak et al Jurnal Kajian Veteriner

minimal ialah satu minggu dan maksimal sampai waktu ikan asin terjual ke
ialah satu bulan. Waktu penyimpanan konsumen.
ikan asin didasarkan pada waktu
penyimpanan setelah ikan diawetkan

Tabel 4. Tingkat cemaran S. aureus berdasarkan waktu penyimpanan


Kode Sampel Waktu Penyimpanan Jumlah Koloni Rata-rata
(CFU/g) (CFU/g)
3
OSP 01 3,8 x 10
OSP 04 4,5 x 103
OSP 05 1,9 x 104
OSP 08 1 minggu 7,6 x 103 2,5 x 104
OEB 01 3,4 x 103
OEB 05 7,3 x 104
INP 01 6,6 x 104
OSP 06 5,8 x 103
OSP 07 2 minggu 5,5 x 103 2,6 x 104
OEB 03 1,1 x 104
INP 02 8,1 x 104
OSP 02 3,5 x 103
OSP 03 1,1 x 105
OEB 02 1,5 x 105
OEB 04 1 bulan 1,3 x 105 4,2 x 105
INP 03 8 x 104
INP 04 1,4 x 106
INP 05 1,1 x 106

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa yang kurang baik menyebabkan S. aureus
waktu penyimpanan sangat berpengaruh mampu bertumbuh secara optimum.
terhadap pertumbuhan S. aureus. Rata- Selain itu, dapat dilihat juga bahwa dua
rata tingkat cemaran S. aureus pada ikan dari tujuh sampel (28,6%) dengan waktu
asin yang disimpan selama satu minggu penyimpanan selama satu bulan,
lebih rendah dibandingkan dengan rata- menunjukkan nilai tingkat cemaran S.
rata cemaran S. aureus yang disimpan aureus mencapai 1,1 x 106 dan 1,4 x 106
selama dua minggu maupun satu bulan. yang berarti bahwa kedua sampel ini
Hal ini dikarenakan, waktu penyimpanan telah berpotensi tercemar oleh
yang panjang akan mengakibatkan nilai enterotoksin yang dihasilkan oleh S.
tingkat cemaran semakin meningkat aureus. Hal ini sesuai dengan pendapat
karena produk ikan asin dengan kualitas Shapton dan Shapton (1993) yang

158
Jurnal Kajian Veteriner Desember 2015 Vol. 3 No. 2 : 147-163

menyatakan bahwa populasi S. aureus CFU/g, sehingga tidak aman untuk


yang diperlukan untuk menghasilkan dikonsumsi. Hal ini dikarenakan
toksin adalah 5 x 106 CFU/g, dan toksin enterotoksin yang dihasilkan dapat
tersebut bersifat tahan panas. Hasil menyebabkan keracunan makanan
penelitian yang dilakukan oleh Sanjeev (intoksikasi). Intoksikasi akan terjadi
dan Surendran (1993) juga menunjukkan ketika seseorang mengkonsumsi pangan
adanya pengaruh penyimpanan terhadap yang mengandung toksin, dan toksin
keberadaan S. aureus pada ikan olahan tersebut akan tahan terhadap reaksi
yang diproses dengan kondisi tidak enzim-enzim di dalam saluran
higienis. Penelitian ini menunjukkan pencernaan (Salasia et al., 2009). Gejala
bahwa S. aureus dapat bertahan hidup keracunan ditandai oleh rasa mual,
pada ikan yang diolah selama kurang dari muntah-muntah dan diare yang hebat
13 hari dengan jumlah bakteri adalah 2,7 tanpa disertai demam (Jawetz et al.,
x 105 CFU/g. 2008).
Tingginya kontaminasi S. aureus Pencegahan keracunan makanan
pada ikan asin pada umumnya belum (intoksikasi) pada pangan dapat
memenuhi standar jumlah sel yang dilakukan sejak proses pengolahan
dibutuhkan untuk menghasilkan hingga penyajian. Selain itu, perlu
enterotoksin. Hal ini sesuai dengan diperhatikan pula sanitasi dan higiene
pernyataan Buckle et al., (1987) dan Jay, dari alat pengolahan, lingkungan tempat
(2000) bahwa jumlah sel yang diperlukan pengolahan bahan pangan serta higiene
oleh S. aureus untuk menghasilkan racun personal dari pengolah bahan pangan
yang cukup sehingga bersifat meracuni maupun pedagang agar peluang
adalah 106 CFU/g, namun berdasarkan kontaminasi S. aureus dapat dikurangi.
hasil penelitian yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World
Harmayani et al., (1996), enterotoksin Health Organization) menganjurkan 5
belum dapat terdeteksi pada total kunci untuk menjaga keamanan pangan
populasi S. aureus mencapai >106 yaitu menjaga kebersihan, memisahkan
CFU/g. Shapton dan Shapton (1993) bahan mentah dengan makanan matang
menyatakan bahwa populasi S. aureus untuk mencegah kontaminasi silang,
yang diperlukan untuk menghasilkan memasak makanan sampai matang,
toksin adalah 5 x 106 CFU/g, dan toksin menjaga makanan pada suhu aman dan
yang dihasilkan bersifat tahan panas. menggunakan air bersih untuk mencuci
Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa ada bahan pangan (Syah, 2010).
dua sampel ikan asin yang tingkat Hasil penelitian ini menggambarkan
cemaran S. aureus nya hampir mendekati bahwa kurangnya perhatian dan
jumlah sel standar dan berpotensi untuk pemahaman dari masyarakat tentang
menghasilkan enterotoksin yaitu sampel pentingnya menjaga higiene suatu bahan
ke 17 dan ke 18 yang berasal dari pasar pangan, sehingga diharapkan dengan
Inpres Naikoten dengan nilai tingkat adanya penelitian ini masyarakat
cemaran 1,4 x 106 CFU/g dan 1,1 x 106 khususnya pengolah bahan pangan,

159
Malelak et al Jurnal Kajian Veteriner

pedagang maupun konsumen dapat lebih


memperhatikan sanitasi dan higiene
bahan pangan agar aman dan layak untuk
dikonsumsi.

160
Jurnal Kajian Veteriner Desember 2015 Vol. 3 No. 2 : 147-163

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka Inpres Naikoten dan yang terendah
dapat disimpulkan bahwa : ialah 3,4 x 103 CFU/g pada ikan asin
1. Delapan belas sampel ikan asin dari yang berasal dari pasar Oeba. Nilai
tiga pasar tradisional di Kota Kupang tingkat cemaran ini telah melewati
positif tercemar S. aureus. batas maksimum cemaran S. aureus
2. Nilai tingkat cemaran S. aureus yang ditentukan oleh SNI No. 7388 :
tertinggi ialah 1,4 x 106 CFU/g pada 2009 yaitu 1 x 103 CFU/g.
ikan asin yang berasal dari pasar

DAFTAR PUSTAKA

Abrar, M. 2001, Isolasi Karakterisasi dan Aktivitas Biologi Hemaglutinin Staphylococcus


aureus dalam Proses Adhesi pada Permukaan Sel Epitel Ambing Sapi Perah, Program
Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Adam, MR, and Moss, M. O. 1995, Food Microbiology, The Royal Society of Chemistry,
New York.
Adawyah, R. 2007, Pengolahan dan Pengawetan Ikan, Bumi Aksara, Jakarta.
Afrianto, E., Liviawati, E. 1989, Pengawetan dan Pengolahan Ikan, Kanisius, Yogyakarta.
Alim, E. 2004, Mutu cita rasa rengginang Berbasis Beras Aromatik dengan Metode
Pengeringan berbeda, Skripsi, S.Pt, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Badan Pusat Statistik. 2013, Statistik Pertanian Nusa Tenggara Timur 2012 – 2013, Badan
Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang.
Badan Standar Nasional Indonesia. 2009, Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 7388 :
2009, Batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan, Badan Standarisasi
Nasional, Jakarta.
Buckle, K. A ; Edward, R.A ; Fleet G. H ; Wooton, M.1987, Ilmu Pangan, UI Press,
Jakarta.
Bruckler, J., Schwarz, S. dan Untermann, F. 1994, Staphylokokken-infektionenund-
enterotoxine, band. II/I, cit. Bloed, H. and Schlie Ber (Eds.), Handbuch der
bakteriellen Infektionen bei Tieren, 2. Auflage. Gustav Fischer Verl ag Jena,
Stuttgart.
Dantes, N. 2012, Metode Penelitian, ANDI, Yogyakarta.
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. 2011, P2HP Dalam
Angka 2010, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan
Kementrian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Direktorat Jendral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. 1996, Buku Petunjuk
Pengolahan Hasil Perikanan Tahun 1996, Jakarta.

161
Malelak et al Jurnal Kajian Veteriner

Esti, A. 2000, Ikan Asin Cara Kering, Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendaya Gunaan
dan Pemasaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Jakarta.
Fardiaz, S. 1993, Analisis Mikrobiologi Pangan, PT.Prasindo Persada, Jakarta.
Fardiaz, S. 1989, Mikrobiologi Pangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, PAU-Pangan dan Gizi, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Fitri, N. A. 1999, Analisis Sikap Konsumen Terhadap Atribut Pasar Swalayan dan Pasar
Tradisional, J. Bisnis dan Akuntansi, 3 (1) : 237 – 254.
Fischetti, A. V., R. P. Novick., J. J. Ferreti., D. A. Portnoy, and J. I. Rood. 2000, Gram
Positif, Washington DC : ASM Press. p 315.
Forsythe S. J. 2000, The Microbiology of Safe Food, Blackwell Science, London.
Hardinsyah, Yayuk FB, Martianto D., Handewi SR, Agus W., dan Subiyakto. 2001,
Pengembangan Konsumsi Pangan dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan, Pusat
Studi Kebijakan Pangan dan gizi IPB, Lembaga Penelitian IPB dan Pusat
Pengembangan Ketersediaan pangan Departemen Pertanian, Bogor.
Harmayani, E., Santoso, T. Utami dan S. Raharjo. 1996, Identifikasi Bahaya Kontaminasi
Staphylococcus aureus dan Titik Kendali Kritis pada Pengolahan Produk Daging
ayam dalam Usaha Jasa Boga, Agrotech, Majalah Ilmu dan Teknologi Pertanian 16
(3) : 7 – 15.
Hatta, W., Sudarwanto, M, B., Sudirman, I., Malaka, R. 2014, Praktek Sanitasi Higiene
pada Usaha Pengolahan Dangke Susu Sapi di Kabupaten Enrekang, Sulawesi
Selatan, J.Vet. 15: 147-155.
Hieronymus, B. S. 1998, Ikan Asin, Kanisius, Yogyakarta.
Ira. 2008, Kajian Pengaruh Berbagai Kadar Garam Terhadap Kandungan Asam Lemak
Esensial Omega-3 Ikan Kembung (Rastrelliger kanagurta) Asin Kering, Skripsi, S.P,
Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Jay JM. 2000, Modern Food Microbiology, 5th edition, Chapmand dan Hall, USA.
Jawetz, E, J.L. Melnick., E. A. Adelbery., G. F. Brooks., J. S. Butel, dan L. N. Ornston.
1995, Mikrobiologi Kedokteran, 20th edition, EGC, Jakarta. p 211, 213, 215.
Jawetz, E, J.L. Melnick., E. A. Adelbery. 2008, Mikrobiologi Kedokteran, Salemba
Medika, Jakarta.
Lay, B.W. 1994, Analisis Mikroba di Laboratorium, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Loir, L. Y., Baron, F., Gautier, M. 2003, Staphylococcus aureus and Food Poisoning.
Genetic and Molecular Researc, 2 (1) : 63 – 67.
Lund B, C. Edlund, L. Barkholt, C.E. Nord, M. Tvede, R.L. Poulsen. 2000, Impact on
human intestinal microflora of an Enterococcus faecium probiotic and vancomycin
Scand, J. Infect, Dis., 32 (2000), p 627–632.
Maturin, L. dan Peeler, J. T. 2001, Aerobic Plate Count, BAM (Bacteriological Analytical
Manual), Chapter 3, Food and Drug Administration.

162
Jurnal Kajian Veteriner Desember 2015 Vol. 3 No. 2 : 147-163

Megawati, M. 2015, ‘Analisis Perbandingan Kadar Protein Pada Ikan Segar Dan Ikan Asin
Di Beberapa Pasar Di Kota Bandar Lampung Secara Spektrofotometri Uv-Visible’,
dikases tanggal 05 Januari 2015, <https;// www.scribd.com/doc/253249516/Analisis-
Perbandingan-Kadar-Protein-Pa- da-Ikan-Segar-Dan-Ikan-Asin-Di-Beberapa-Pasar-
Di-Kota-Bandar>.
Moch, Nazir. 2003, Metode Penelitian, Salemba Empat, Jakarta.
Moeljanto, R. 1982, Pengasapan dan Fermentasi Ikan, PT. Penebar Swadaya IKAPI,
Jakarta.
Monday, S. R. and R. W. Bennet. 2003, Staphylococcus aureus, cit. Miliotis M. D. Dan J.
W. Bier. International Handbook of Foodborne Pathogenes, Marcel Dekker, New
York.
Muhammad S. B. 2004, ‘Teknik Penggaraman dan Pengeringan’, diakses tanggal 15 Maret
2015, <https://www.scribd.com/Teknik-Penggaraman-Dan Pengeringan>.
Nawawi dan Martini, H. 1991, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Pandit, S. 2008, ‘Optimalkan Distribusi Hasil Perikanan’, diakses tanggal 18 Februari
2015, <http : // www. balipost. co.id>.
Purnamasari, A. D. 2014, Analisis Kerja Operasional Pasar Tradisional Kota Bekasi,
Skripsi, S.E, Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang.
Ray, B., dan Bhunia, A. K. 2008, Fundamental Food Microbiology, 4th edition, CRC Press
( Taylor and Prancis group ), Boca raton, FL. (Published in english, chinese, spanish
and korean).
Robinson, R. K., Batt, C. A., and Patel, P.D. 2000, Encyclopedia of Food Microbiology,
Academic Press, London.
Ryan, K. J., J. J. Champoux, S. Falkow, J. J. Plonde, W. L. Drew, F. C. Neidhardt, and C.
G. Roy. 1994, Medical Mikrobiology An Introduction to Infectious Diseases, 3rd
edition, Connecticut : A Pleton & Lange, p 254.
Salasia, S., Khusnan dan Sugiyono. 2009, Distribusi Gen Enterotoksin S.aureus dari Susu
Segar dan Pangan Asal Hewan, J. Vet. 10: 111-117.
Salosa, Y. 2013, Uji Kadar Formalin, Kadar Garam dan Total Bakteri Ikan Asin Tenggiri
Asal Kabupaten Sarmi Provinsi Papua, Skripsi, S.Si, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Papua, Papua.
Sanjeev, S. and Surendran, P.K.1993, Effect of storage on enterotoxigenic S.aureus in
cured fish, Fish.technol. 30 : (1). 79 – 80.
Scaechter, M., Medoff, G., Eisenstein, B. I. (Eds), 1993, Mechanisms of Microbial
Disease, 2nd edition, Williams & Wilkins, Balfimore, p 733.
Shapton, D. A. and N. F. Shapton. 1993, Principles and Practies for The Safe Processing
of Foods, Butterwoth – Heineman Ltd, Oxford Great Britain.

163
Malelak et al Jurnal Kajian Veteriner

Sharp, S. E. And Cidy, S. 2006, Comparison of Mannitol Salt Agar and Blood Agar Plates
for Identification and Susceptibility Tesing of S.aureus In Specimens From Cystic
Fibrosis Patients, J. Clin. Microbiol. 44 (12) : 4545 – 4546.
Suriawiria, U. 1999, Mikrobiologi Tanah, CV. Rajawali, Jakarta.
Soeparno. 1992, Ilmu dan Teknologi Daging, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Stewar, C. M., Cole, M. B., Legan, J. D., Slade, L., Vandeven, M. H. and Schaftner, D. W.
2002, Staphylococcus aureus Growth Boundaries : Moving Towards Mechanistic
Predictive Models Based on Solute Spesific effects, Applied and Enviromental
Microbiology 68, 1864 – 187.
Syah, P.S. 2010, ‘ Keracunan Pangan oleh Staphylococcus aureus pada Daging Ayam dan
Cara Pencegahanya’, diakses tanggal 24 Juli 2015, <https://
www.Scribd.com/S7/8/4/10/keracunan-pangan-oleh-staphylococcus-aureus-pada
Food Poisoning by Staphylococcus.aureus.in.chicken meat and the>.
Todar, K. 2008, ‘Staphylococcus aureus and Staphylococcal Disease’, USA : Wisconsin,
Madison, diakses tanggal 24 Maret 2015, <http:// textbookofbacteriology. net / staph.
Html>.
Todar, K. 2002, Todar’s Online Textbook of Bacteriology : Streptococcus pyogenes,
Departement of Bacteriology Universitas of Wisconsin, Madison.
United State Food and Drug Administration (UFDA). 1999, ‘Bad Bug Book, Foodborne
Pathogenic Microorganism and Natural Toxins Handbook, Factors Affecting the
Growth of Some Foodborne Pathogens : Centre of Food Safety and Applied
Nutrition (CFSAN)’, diakses tanggal 12 Januari 2015, <http : //
VW.cfsan.fda.gov/mow/ intro. html>.
United State Food and Drug Administration. 2001, Processing Parameters Needed to
Control Pathogens in Cold Smoked Fish, FDA Publications, U. S. Washington,
District of Columbia, USA. p 979.
Warsa, U. C. 1994, Kokus Positif Gram, dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi
Revisi, Binarupa Aksara, Jakarta.
Yuwono. 2009, ‘Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)’, Disertasi, Dr.,
Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran, Bandung.

164

You might also like