Dampak Perkawinan Anak Terhadap Tingginya Angka Perceraian Di Pengadilan Agama Sekarisidenan Surakarta Di Masa Covid-19

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 12

International Conference On Syariah & Law2021(ICONSYAL 2021)-Online Conference

6th April 2021

DAMPAK PERKAWINAN ANAK TERHADAP TINGGINYA ANGKA


PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SEKARISIDENAN
SURAKARTA DI MASA COVID-19

SITI KASIYATI, ABDULLAH TRI WAHYUDI, MUHAMMAD JULIJANTO,


MUHAMAD TAUFIK KUSTIAWAN, AHMAD ZIA KHAKIM, NUR SHOLIKIN,
TRY YOGI PRASTIYO

kasiyati_siti@yahoo.com, advosolo@gmail.com, mjulijanto@gmail.com,


awankusti09@gmail.com, ziaibrahem@gmail.com, nur9sholikin@gmail.com,
prastiyoyogi45@gmail.com

Institut Agama Islam Negeri Surakarta

ABSTRACT

This paper explains that since the Covid-19 Pandemic broke out in Indonesia, it has also had an impact on the
increase in cases of marriage dispensation in the Surakarta secretarial Religious Court. In 2020, the Central Java
Aisyiyah Regional Leadership Council (PWA Jateng) has provided services at the Legal Aid Post (Posbakum)
in several Religious Courts in Sukoharjo, Klaten, Sragen, Boyolali. Legal aid services are dominated by divorce
cases and also marriage dispensation. This research is a field research and the data of this research are
observation, obtained through interviews and documen, by combining the juridical literature review and the
findings of previous research. This research method uses analysis-descriptive method, so that it can clearly
explain the implementation of legal aid provided in handling cases of marriage dispensation that increased
during the Covid-19 Pandemic. The indicator of increasing cases of marriage dispensation is generally due to
pregnancy outside of marriage. However, there are also other factors such as changes in the age limit for
marriage in Law Number 16 of 2019 concerning amendments to Law Number 1 of 1974 concerning Marriage.
However, these efforts are actually to minimize the occurrence of early divorce in marriages which are often
dominated by young couples. The findings in the field show that married young couples actually do not have a
strong psychological or economic readiness, so the impact tends to be unstable. In addition, child marriage often
has the potential for divorce. This is based on previous cases which contributed to the number of divorce cases
in the Religious Courts.

Keywords: child marriage, legal aid, marriage dispensation, covid-19

ABSTRAK

Tulisan ini menjelaskan sejak Pandemi Covid-19 merebak di Indonesia, turut berdampak
terhadap meningkatnya kasus dispensasi nikah di Pengadilan Agama sekarisidenan Surakarta.
Pada tahun 2020, Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Tengah (PWA
Jateng) telah memberikan pelayanan di Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di beberapa
Pengadilan Agama diantaranya; Sukoharjo, Klaten, Sragen, dan Purbalingga. Pelayanan
bantuan hukum banyak didominasi kasus perceraian dan juga dispensasi nikah. Penelitian ini
merupakan penelitian lapangan dan data-data penelitian ini didapat melalui obeservasi,

36
International Conference On Syariah & Law2021(ICONSYAL 2021)-Online Conference
6th April 2021

wawancara dan dokumentasi dengan menggabungkan kajian literatur yuridis maupun hasil
temuan penelitian terdahulu. Metode penelitian ini menggunakan metode analisis-deskriptif,
sehingga dapat menjelaskan secara gamblang implementasi bantuan hukum yang diberikan
dalam menangani kasus dispensasi nikah yang meningkat di masa Pandemi Covid-19.
Indikator meningkatnya kasus dispensasi nikah pada umumnya disebabkan hamil di luar
pernikahan. Namun juga ada faktor lain seperti perubahan batas umur pernikahan di dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Pernikahan. Tetapi, upaya tersebut sebenarnya untuk meminimalisir
terjadinya perceraian dini dalam pernikahan yang sering kali di dominasi pasangan muda.
Hasil temuan di lapangan, para pasangan muda yang sudah menikah sebenarnya belum
memiliki kesiapan yang kuat secara psikologis maupun ekonomi, sehingga dampaknya
cenderung mudah bersikap labil. Selain itu, perkawinan anak sering kali berpotensi terjadinya
perceraian. Hal ini berdasarkan pada kasus-kasus sebelumnya yang menyumbang banyaknya
kasus perceraian di Pengadilan Agama.

Kata Kunci: perkawinan anak, bantuan hukum, dispensasi nikah, covid-19

1. Pendahuluan

Diskusi ihwal perkawinan anak sebenarnya bukan hal yang baru di kalangan para akademisi
ataupun para pejabat pemerintah. Masalah ini sebenarnya sudah sering diangkat sebagai topik
utama diberbagai diskusi yang berkaitan dengan wilayah domestik, baik masyarakat urban
maupun masyarakat perdesaan. Seiring berkembangnya peradaban, perkawinan anak atau
juga bisa disebut pernikahan dini justru semakin berkembang di masyarakat (Rifiani, 2011).
Arus modernitas dan globalisasi membawa dampak terhadap paradigma berpikir masyarakat
secara luas. Pernikahan pada usia yang sangat belia bagi sejumlah orang dianggap sebagai
suatu hal yang tabu, karena membawa dampak negatif terhadap perempuan. Sekalipun
demikian fenomena pernikahan anak masih banyak dijumpai di berbagai daerah yang
mayoritas tingkat kesadaran pendidikannya masih tergolong rendah.
Berdasarkan Survai Data Kependudukan Indonesia (SDKI) 2007, di beberapa daerah
memperjalas bahwa sepertiga dari jumlah pernikahan yang tercatat yang dilakukan oleh
pasangan usia di bawah usia 16 tahun. Jumlah kasus pernikahan dini di Indonesia mencapai
50 juta dengan rata-rata usia perkawinan di bawah 19 tahun. Di Provinsi Jawa Timur,
Kalimantan Selatan, Jambi, Jawa Barat, menunjukkan angka pernikahan anak berturut-turut
meningkat, 39,4%, 35,5%, 30,6%, dan 36%. Bahkan, di sejumlah perdesaan, pernikahan
sering kali dilakukan setelah anak perempuannya telah hamil terlebih dahulu atau sering kali
anak perempuan yang baru mendapatkan haid pertama (Eddy Fadlyana, 2009).
Pada umumnya, menikah diusia kurang dari 18 tahun merupakan sebuah realita yang
sedang dihadapi sebagian anak di seluruh dunia, terutama negara berkembang. Meskipun
Deklarasi Hak Asasi Manusia di tahun 1945 secara eksplisit menentang pernikahan anak,
namun ironisnya, praktek pernikahan usia anak masih terjadi di Indonesia dan hal ini
merefleksikan perlindungan hak asasi kelompok usia muda yang terabaikan. Implementasi
undang-undang pun sering kali tidak efektif dan terpatahkan oleh adat istiadat serta tradisi
yang mengatur norma sosial suatu kelompok masyarakat. Dari data studi literasi UNICEF
menemukan, bahwa interaksi berbagai faktor menyebabkan anak berisiko menghadapi
pernikahan diusia dini. Pada umumnya, pernikahan anak akan berkaitan dengan tradisi dan
budaya, sehingga sulit untuk mengubahnya. Alasan ekonomi harapan mencapai keselamatan
sosial dan finansial setelah menikah menyebabkan banyak orangtua mendorong anaknya
untuk menikah diusia muda (Fadlyana, 2009).

37
International Conference On Syariah & Law2021(ICONSYAL 2021)-Online Conference
6th April 2021

Ada persepsi yang kuat dari orangtua mengenai suatu konsep pernikahan di bawah
umur oleh anak perempuan. Beberapa hasil penelitian dan survei Agege, dkk (2018) tentang
konsep pernikahan dini pun berbeda-beda, di mana pernikahan dini dianggap sebagai
pernikahan yang kurang dari usia 18 tahun: sangat setuju sebanyak 63% dan 30%, pernikahan
dini disebut pernikahan remaja sebesar 53% sangat setuju dan 37%, sebagai pelanggaran
pada anak perempuan disebutkan bahwa sangat setuju sebesar 46% dan setuju 33%. Jelaslah
bahwa ada lebih banyak ketidaksepakatan oleh responden mengenai persepsi tentang
penyebab pernikahan dini. Secara khusus, mayoritas sederhana dari 60% belum mengakui
diskriminasi gender dalam praktik dasar pernikahan dini. Namun, 77% mengakui bahwa
ketidaktahuan terhadap penyebabnya, sehingga dapat juga disimpulkan dari hal tersebut,
bahwa ketidaktahuan telah secara tidak sengaja menyebabkan anak-anak perempuan sehingga
tidak diberi perhatian yang seharusnya mereka dapatkan, sehingga mengarah ke gaya hidup
yang tidak berbudaya/bermoral, sehingga hal tersebut yang menyebabkan seorang anak
perempuan menjadi hamil sebelum terjadinya pernikahan (Emmanuel A. Agege, 2018).
Komunitas internasional menyadari pula bahwa masalah pernikahan anak merupakan
masalah yang sangat serius. Sebab kaum wanita dan anak akan menanggung risiko dalam
berbagai aspek, berkaitan dengan pernikahan yang tidak diinginkan, hubungan seksual yang
dipaksakan, kehamilan diusia yang sangat muda, selain itu juga meningkatnya risiko
penularan infeksi HIV, penyakit menular seksual lainnya, dan kanker leher rahim.
Konsekuensi yang luas dalam berbagai aspek kehidupan tentunya merupakan hambatan
dalam mencapai Millennium Developmental Goals. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdes) pada
2013, yang dilakukan Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan bahwa di antara
perempuan 10-54 tahun, 2,6% menikah pertama kali pada umur kurang lebih dari 15 tahun,
dan 23,9% perempuan di bawah umut telah menikah sebelum fungsi-fungsi organ
reproduksinya berkembang dengan optimal. Dalam konteks regional ASEAN, angka
perkawinan anak di Indonesia adalah tertinggi kedua setelah Kamboja (Djamilah, 2014).
Dalam konteks ke Indonesiaan khususya di Karisidenan Surakarta atau di kenal dengan
istilah Solo Raya perkawainan anak juga sangat tingg isedemikian pula perceraian dalam usia
muda juga sangat tinggi. Hal ini mendorong penulis untuk meneliti tentang tentang relasi
perkawinan anak dengan tingginya kasus perceraraian. Disisi lain juga melihat dampat
naiknya usia perkawinan dalam Undang-undang dengan adanya naiknya permohonan
dispensasi nikah.

2. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini jenis penelitan adalah lapangan menggunakan dua jenis metode, yaitu
pengumpulan data dan metode pengolahan atau analisis data. Sehingga untuk mendapatkan
data dalam penelitian ini menggabungkan metode penelitian kepustakaan dan observasi di
lapangan dengan melakukan wawancara secara mendalam dengan teknik partisipatoris
langsung. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penelitian ini fokus kepada wawancara
terutama paralegal dan pengacara Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Aisyiyah
Jawa Tengah, hakim Pengadilan Agama, serta klein di Posbakum di Pengadilan Agama.
Wawancara secara mendalam dilakukan untuk menggali informasi terkait dengan norma
budaya terkait dengan norma budaya, persoalan kesehatan reproduksi, seksualitas remaja, dan
penyebab maraknya perkawinan anak.
Perkawinan anak ini perlu mendapat perhatian serius karena mengakibatkan
hilangnya hak-hak anak perempuan, seperti pendidikan, bermain, perlindungan, keamanan,
dan lainnya termasuk dampak atas kesehatan reproduksinya. Secara hukum perkawinan anak
dilegitimasi oleh Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan. Undang-undang tersebut memperbolehkan anak perempuan berusia 16 tahun

38
International Conference On Syariah & Law2021(ICONSYAL 2021)-Online Conference
6th April 2021

untuk menikah, sedangkan laki-laki 19 tahun. Namun, karena banyaknya kasus pernikahan
anak sehingga Undang-undang tersebut direvisi oleh pemerintah. Undang-undang Nomor 16
tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 memuat tentang
usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan menjadi sama yaitu 19 tahun. Padahal di
dalam pasal 26 Undang-undang Republik Indonesia tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
menyatakan bahwa orangtua diwajibkan melindungi anak dari pernikahan dini.
Namun pasal ini, sebagaimana UU Perkawinan, tanpa disertakan dengan adanya
ketentuan sanksi pidana, sehingga ketentuan tersebut nyaris tak ada artinya dalam melindungi
anak-anak dari ancaman pernikahan dini. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di
Indonesia, memberikan celah bagi siapapun, termasuk orangtua, aparat pemerintah,
kelompok dan komunitas tertentu untuk memalsukan dokumen kependudukan, khususnya
menyangkut usia, agar pernikahan dapat diberlangsungkan. Sehingga tidak mengherankan
jika sering dijumpai banyak anak perempuan dinikahkan pada usia di bawah 18 tahun. Dari
hasil penelitian Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Jawa Tengah pada tahun 2020
menunjukkan terjadi peningkatan perkara dispensasi nikah di Pengadilan Agama
sekarisidenan Surakarta.
Pada tahun 2020, Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa
Tengah turut memberikan pelayanan bantuan hukum di Pos Bantuan Hukum secara non
litigasi di Pengadilan Agama Sukoharjo, Klaten, Sragen, Boyolali. Dari data 1 tahun terakhir
menunjukan bahwa kasus dispensasi nikah di Pengadilan Agama terjadi peningkatan secara
signifikan. Sejak Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) merebak di Indonesia,
menambah massifnya kasus dispensasi nikah. Data di Pengadilan Agama Klaten menunjukan
pada bulan Januari sampai November, kasus dispensasi nikah mencapai 226 perkara,
Pengadilan Agama Sragen pada bulan Januari sampai Desember mencapai 349 perkara,
Pengadilan Agama Boyolali terdapat 465 kasus, dan di Pengadilan Agama Sukoharjo terdapat
432 kasus dispensasi nikah.(Website Pengadilan Agama 2020). Adapun Alasan-alasanya
pengajuan kasus dispensasi nikah cukup beragam, namun kebanyakan alasan pengajuan
didominasi hamil di luar pernikahan dan naiknya batas usia nikah yakni 19 tahun.
Tidak hanya itu, alasan-alasan pengajuan dispensasi nikah sering kali mengatakan
hubungan kedua belah pihak sudah erat dan dikhawatirkan jika tidak segera dinikahkan akan
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sesuai syariat Islam. Namun, perlu disadari bahwa
persoalan yang senantiasa dikabulkan oleh majelis hakim, konsekuensinya juga akan terjadi
peningkatan kasus, meskipun umur sudah dinaikkan sesuai Undang-undang, tetapi perkara
dispensasi pada akhirnya jika seseorang (orangtua) mengajukan permohonan hasilnya pun
tetap dikabulkan. Padahal dampak dari dikabulkannya dispensasi nikan kebanyakan orang
pada umumnya belum memiliki kesiapan, baik secara material dan psikologis. Pasangan
muda yang masih berusia dini (anak) rentang mengalami konflik dan akhirnya menambah
kasus perceraian di Pengadilan Agama juga semakin meningkat.
Rina Yulianti mengatakan batas usia dalam melangsungkan pernikahan begitu
penting. Hal ini disebabkan karena di dalam pernikahan menghendaki kematangan
psikologis. Usia perkawinan yang terlalu muda dapat mengakibatkan meningkatnya kasus
perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggungjawab dalam membina kehidupan
rumah tangga bagi suami istri. Pernikahan yang berhasil ditandai dengan kesiapan memikul
tanggungjawab. Ketika sudah memutuskan menikah, mereka siap menanggung segala beban
yang timbul akibat adanya pernikahan, baik yang menyangkut pemberian nafkah, pendidikan
anak, maupun berkaitan dengan perlindungan, pendidikan, dan pergaulan yang baik (Yulianti,
2010).

3. Dilema Perkawinan Anak

39
International Conference On Syariah & Law2021(ICONSYAL 2021)-Online Conference
6th April 2021

Perkawinan merupakan sebuah kontrak sosial yang diakui oleh negara, otoritas keagamaan,
atau keduanya. Dapat dikatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan formal antara laki-laki
dan perempuan yang secara hukum diakui sebagai suami dan istri. Dalam konteks Indonesia,
perkawinan diatur oleh negara melalui Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974. Dalam
hal ini, perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seseorang lai-laki dan
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan tentram
(Djamilah, 2014).
Perkawinan Anak dapat didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan wanita sebagai suami-istri pada usia yang masih muda (anak). Pernikahan anak
adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan ataupun salah satu pasangannya masih
dikategorikan remaja yang berusia di bawah 19 tahun. Pernikahan usia muda merupakan
perkawinan remaja yang dapat dilihat dari segi umur masih belum cukup atau belum matang
di mana ternuat dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 namun terjadi perubahan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang umur pernikahan yaitu baik laki-laki maupun
perempuan harus berumur 19 tahun. Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan di
bawah usia 20 tahun. Padahal jika ditinjau dari segi kesehatan, pernikahan anak dalam arti di
bawah usia 20 tahun, berisiko terkena kanker rahim, selain itu pada usia remaja sel-sel leher
rahim belum matang, sehingga hal ini semestinya perlu disadari oleh orangtua sekaligus
seseorang yang hendak menikah (Yuspa Hanum, 2015).
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dampak ekonomi, sosial, dan kesehatan dari
perkawinan anak dilokasi penelitian dan memberikan rekomendasi kebijakan yang terkait
dengan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual bagi remaja. Teori yang digunakan
dalam penulisan penelitian ini menjelaskan bagaimana tanggungjawab pemerintah dan
masyarakat dalam masalah perkawinan anak. Meskipun Undang-undang perkawinan memuat
memberlakukan batasan usia pernikahan 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan,
namun dalam praktiknya pernikahan anak semakin meluas. Secara universal, 720 juta wanita
yang hidup dan menikah sebelum usia 18 tahun, yakni kisaran 15 tahun. Sehingga legal
formal ini masih meninggalkan pertanyaan tentang rentang usianya pernikahan yang disetujui
oleh masyarakat dan pemangku kebijakan.
Angka perkawinan anak di banyak negara terus mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Fenomena tersebut selalu berhubungan dengan berbagai upaya perlindungan hukum
terhadap anak. Pada tahun 2015, ada sekitar 142 juta anak perempuan yang melakukan
pernikahan sebelum waktunya. Angka tersebut terus meningkat di beberapa negera seperti
Afrika, Asia barat, India, Ethopia, dan Indonesia. Di negara Ethopia misalnya, merupakan
negara dengan jumlah pernikahan dini tertinggi di dunia. Tradisi yang kuat ekonomi, dan
agama merupakan penyebab paling dominan untuk praktik pernikahan di negara ini. Karena
membangun rumah tangga dari proses pernikahan dini tersebut benyak terjadi persoalan
seperti penurunan kondisi anak perempuan dari segi psikologis dan emosional, kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT), dan deklanasi layanan sosial, masalah migrasi, dan kesehatan
reproduksi. Kondisi yang hampir serupa juga terjadi di Indonesia. Di mana sertiap tahun, 1,5
juta anak perempuan telah menikah dini.

4. Faktor-Faktor Penyebab Perkawinan Anak

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pernikahan anak antara lain, pertama, faktor
pengetahuan. Faktor utama yang mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seks
pranikah adalah membaca buku porno, menonton film BF. Sehingga jika terjadi kehamilan
akibat hubungan seks pra nikah maka jalan yang diambil adalah menikah pada usia muda.
Tetapi ada beberapa remaja yang berpandangan bahwa mereka menikah muda agar terhindar
dari perbuatan dosa, seperti seks sebelum nikah. Hal ini tanpa didasari oleh pengetahuan

40
International Conference On Syariah & Law2021(ICONSYAL 2021)-Online Conference
6th April 2021

mereka tentang akibat menikah pada usia muda juga berdampak besar terhadap
keberlangsungan kehidupan di masa depan (Yuspa Hanum, 2015).
Kedua, faktor pendidikan sangat mempengaruhi banyaknya masyarakat memilih
menikah dini. Tingkat pendidikan yang rendah atau tidak melanjutkan sekolah lagi bagi
seorang wanita dapat mendorong untuk cepat-cepat menikah. Permasalahan yang terjadi
karena mereka tidak mengetahui seluk-beluk pernikahan sehingga cenderung untuk cepat
memilih berkeluarga. Selain itu, tingkat pendidikan keluarga juga dapat mempengaruhi
terjadinya perkawinan anak. Tidak hanya dilingkungan keluarga, di lingkungan masyarakat
pun juga dapat mempengaruhi seseorang dalam memilih cepat untuk menikah, terutama
perempuan. Sehingga dalam suatu masyarakat tingkat pendidikannya rendah akan cenderung
mengawinkan anaknya dalam usia yang relatif masih muda.
Ketiga, faktor pergaulan bebas. Mayoritas laki-laki dan perempuan yang menikah di
bawah umur 20 tahun kebanyakan menyesali pernikahan mereka. Hal ini tidak bisa
dipungkiri, bahwa kebanyakan dari mereka yang menikah pada usia muda, dikarenakan hamil
di luar pernikahan. Sehingga, mau tidak mau mereka harus segera untuk menikah. Namun
kebanyakan, pernikahan yang diawali dengan hubungan seks di luar pernikahan, usia
pernikahannya juga tidak berlangsung lama. Hal ini karena dipengaruhi oleh ketidakkesiapan
hidup secara materiil dan psikologis. Peran orangtua di sini sangat dibutuhkan, sebab suasana
keluarga yang tenang dan mencerminkan penuh kasih sayang, akan menjadikan seseorang
yang menikah dini jauh lebih bisa tenang dalam menyikapi berbagai persoalan keluarga. Jika
kehidupan orangtuanya justru banyak menimbulkan konflik, kemungkinan hal itu pula yang
ditiru oleh anak-anaknya, karena tidak memiliki kenyamanan dilingkup domestik.
Keempat, faktor budaya. Perkawinan usia muda terjadi karena orangtuanya takut
anaknya dikatakan perawan tua. Sehingga kebanyakan orangtua pada umumnya menikahkan
anaknya pada usia yang terhitung masih anak-anak. Faktor adat dan budaya di beberapa
daerah di Indonesia, masih banyak adat perjodohan yang harus dilaksanakan. Di mana anak
gadis di masyarakat setempat, sejak kecil sudah dijodohkan orangtuanya. Tidak lama
kemudian, mereka dinikahkan setelah selesai menstruasi. Padahal pada umumnya, anak-anak
perempuan mulai mengalami menstruasi tersebut berusia 12 tahun, jauh di bawah batas usia
minimum sebuah pernikahan yang diamanatkan UU pernikahan.
Kelima, faktor ekonomi. Di mana orangtua sudah tidak mampu membiayai anak
untuk melanjutkan pendidikan. Sehingga mereka memutuskan untuk lekas menikahkan
anaknya dengan orang yang mereka anggap mampu mengubah kehidupannya menjadi lebih
baik. Hal ini yang menyebabkan pendidikan yang diperoleh perempuan masih terkungkung
budaya patriarki yang terjadi di suatu masyarakat tertentu (Ana Latifatul Muntamah, 2019).
Kemudian jika melihat lebih jauh, yang menjadi penyebab dari meningkatnya perkawinan
anak karena massifnya perkembangan media sosial. Banyaknya situs seks bebas di media
sosial mengakibatkan banyak remaja terjerumus dan melakukan seks bebas. Memang,
penyebab dari pernikahan dini yakni karena adanya media massa. Gencarnya ekspose seks di
media massa mengakibatkan remaja modern kian permisif terhadap seks. Ada banyak faktor
yang mengakibatkan suatu perkawinan dini menjadi marak, termasuk keterlibatan, keabsahan
orang tua, dan kekuatan sosial. Pernikahan dini rawan terjadi pada gadis-gadis miskin yang
tidak bisa mengenyam pendidikan maupun yang putus sekolah, dan kurangnya informasi
mengenai dampak suatu pernikahan dini dikarenakan tinggal di suatu pedesaan. Itulah faktor
yang sangat mempengaruhi suatu prakti pernikahan dini (Simin Montazeri, 2016). Sehingga
memang banyak sekali faktor-faktor yang melatarbelakangi meningkatnya perkawinan anak
di Indonesia.
Hal ini tentunya juga perlu adanya peran pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk
meminimalisir terjadinya perkawinan anak di Indonesia. Menurut Ana Latifatul Muntamah
dkk, pemerintah daerah harus mencegah pernikahan di bawah umur untuk mengatur

41
International Conference On Syariah & Law2021(ICONSYAL 2021)-Online Conference
6th April 2021

kehidupan masyarakat supaya lebih terarah dengan baik. Adapun langkah-langkah


pemerintah daerah bisa upayakan melalui tahap pendekatan personal. Tahap yang pertama ini
bisa dilakukan oleh pihak pemerintah untuk menangani maraknya perkawinan anak dengan
cara menasehati serta memberikan penjelasan terkait dengan konsekuensi menikah dini.
Kedua, tahap pendataan. Pada tahap ini, pendataan perlu dilaksanakan oleh kepala desa.
Namun kebanyakan kepala desa tidak terlalu memikirkan hal itu dengan serius, sehingga
tidak berpikir dampak dari terjadinya perkawinan anak.
Ketiga, tahap sosialisasi. Mengatasi pernikahan dini yakni dengan cara sosialisasi ke
masyarakat yakni melalui berbagai kegiatan yang menimbulkan dampak positif. Tentu, disaat
ini, peran kepala desa sebenarnya dapat memberikan beragam motivasi kepada para
warganya untuk bersemangat menempuh pendidikan yang tinggi supaya dapat menuntaskan
kemiskinan. Jika budaya pernikahan anak terus terjadi, hal ini sangat merugikan kaum
perempuan. Sebab lemahnya pemahaman tentang keluarga, menjadikan pasangan muda yang
menikah dini sering mengalami ketidakstabilan dalam mengambil kebijakan (Kasiyati, 2016).
Sehingga anak yang sudah melakukan pernikahan dini rentang memperoleh kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT), diskriminasi, subordinasi, eksploitasi dan lain-lain. Muhammad
Julijanto mengatakan banyaknya kasus dispensasi anak atau bisa disebut perkawinan anak
sangat rentang terjadinya perceraian. Bila dicermati kasus-kasus di Pengadilan Agama
sekarisidenan Surakarta, pasca hamil diluar pernikahan, terjadi peningkatan terhadap kasus
perceraian (Julijanto, 2015).
Persoalan ini banyak menimpa anak-anak yang terkadang masih duduk di bangku
sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA).
Tidak dipungkiri bahwa pelaku rata-rata adalah teman atau pacarnya sendiri. Muhammad
Julijanto menilai bahwa pasangan suami istri yang menikah dini rawan terancam masalah
ekonomi akibat putus sekolah. Kesiapan secara mareiil sekaligus keahlian dalam bidang
tertentu lantas pupus, sehingga bekal ketrampilan pasca menikah juga kurang berkembang.
Dapat dikatakan, kelemahan inilah yang kemudian berdampak terhadap massifnya kasus
perceraian dari perkawinan anak yang prakteknya masih banyak terjadi disejumlah daerah di
Indonesia, terutama sekarisedenan Surakarta. Djamilah, Reni Kartikawati membuat bagan
untuk memudahkan gambaran dari dampak perkawianan anak yang marak terjadi di
Indonesia. Bagan tersebut menunjukkan bahwa perkawinan anak sangat merugikan bagi
perempuan (Djamilah, 2014).

5. Meningkatnya Perceraian di Pengadilan Agama

42
International Conference On Syariah & Law2021(ICONSYAL 2021)-Online Conference
6th April 2021

Pada tahun 2020, Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Tengah
terlibat tugas di Pos bantuan hukum di Pengadilan Agama Sukoharjo, Klaten, Sragen,
Boyolali. Di Posbakum, Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Tengah
memberikan bantuan hukum secara gratis terhadap masyarakat kurang mampu dari wilayah
kerja di Pengadilan Agama tersebut. Bantuan hukum yang diberikan tidak hanya berupa
bantuan hukum secara non-litigasi, tetapi terkadang juga memberikan bantuan hukum secara
litigasi berupa pendampingan terhadap korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Adapun jumlah kasus di Pengadilan Agama sekarisidenan Surakarta, menunjukkan terjadi
peningkatan kasus perceraian yang cukup tinggi.
Data yang diambil dari Direktori Putusan di Mahkamah Agung Republik Indonesia
menunjukan, pada tahun 2020 Pengadilan Agama sekarisidenan Surakarta menunjukkan
peningkatan perkara yang cukup signifikan, Pengadilan Agama Sukoharjo misalnya,
berjumlah 2131 perkara, Pengadilan Agama Klaten; 1870 perkara, Pengadilan Agama
Sragen; 2709 perkara, Pengadilan Agama Boyolali; 2450 perkara. Sedangkan kasus yang
terjadi pada tahun 2019 menunjukan, Pengadilan Agama Sukoharjo berjumlah 1755 perkara,
Pengadilan Agama Klaten 2295 perkara, Pengadilan Agama Sragen 2694 perkara, dan
Pengadilan Agama Boyolali 2508 perkara. Kasus-kasus di Pengadilan Agama tersebut
didominasi kasus perceraian yang semakin mengalami peningkatan. Sejak Pandemi
Coronavirus Disease (Covid-19) merebak di Indonesia, banyak pihak perempuan yang
dirugikan serta mengajukan gugatan perceraian. Alasan-alasan dari kasus perceraian cukup
beragam, tetapi alasan yang paling dominan adalah alasan ekonomi, KDRT, dan
perselingkuhan. Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Tengah
Dari sekian ribu kasus setiap tahunnya di berbagai Pengadilan Agama di sekitar
karisidenan Surakarta, kasus dispensasi nikah juga meningkat. Data di Pengadilan Agama
Klaten menunjukan pada bulan Januari sampai November, kasus dispensasi nikah mencapai
226 perkara, Pengadilan Agama Sragen pada bulan Januari sampai Desember mencapai 349
perkara, Pengadilan Agama Boyolali terdapat 465 kasus, dan di Pengadilan Agama
Sukoharjo terdapat 432 kasus dispensasi nikah. Meningkatnya kasus dispensasi nikah
rupanya juga menyebabkan meningkatnya kasus perceraian di Pengadilan Agama. Seperti
yang disampaikan oleh paralegal paralegal Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah
‘Aisyiyah Jawa Tengah seperti Siti Zaenatul Mar’ah, dalam wawancara di Posbakum PA
SukoharjoIkfina Maradathika di posbakum PA Boyolali, Ahmad Anshori, Posbakum PA
Wonogiri, Anis Thoifah di posbakum PA Klaten, Muhammad Fakhri PA Sragen.1
Dari hasil wawancara Siti Zaenatul Mar’ah mengungkapkan banyaknya kasus
perceraian yang dialami perempuan, didominasi dari pernikahan dini yang dulunya
mengajukan dispensasi nikah. Seperti kasus X (nama samaran) perempuan korban
perjodohan orangtua yang berusia 19 tahun, pernikahannya hanya berlangsung 7 hari. Hal ini
disebabkan karena masih banyaknya faktor perjodohan di masyarakat sekitar. Sehingga klein
X belum sepenuhnya menerima keadaan suaminya. Al hasil, klein X tersebut lantas
mengajukan gugatan cerai karena merasa tidak ada kecocokan dari pernikahan tersebut.
Tidak hanya itu, Siti Zaenatul Mar’ah juga mengungkapkan bahwa alasan perceraian
yang dialami dari pernikahan anak sebenarnya tidak semuanya hasil perjodohan. Sebab klein
atas nama Y (nama samaran) yang masih berusia 16 tahun, memilih menikah diusia dini
lantaran sudah kenal lama. Tampaknya hal itu belum menjamin keberlangsungan rumah
tangga yang dialaminya. Pasalnya pernikahannya hanya berlangsung selama 1 tahun. Hal
tersebut diutarakan Y ketika dimintai penjelasan kronologi rumah tangga yang dialaminya.

1
Wawancara bersama Siti Zaenatul Mar’ah, dkk di Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Aisyyah
Jateng, pada 05--06 Februari 2021

43
International Conference On Syariah & Law2021(ICONSYAL 2021)-Online Conference
6th April 2021

Alasan mengajukan perceraian dikarenakan pihak suami selalu besikap kasar dan jarang
memberikan nafkah lahir untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Di Posbakum Pengadilan Agama Sukoharjo, pendampingan bantuan hukum yang
masuk cukup tinggi kurang lebih pada tahun 2020 sekitar 756 perkara yang dibuatkan
drafting hukum, berupa gugatan dan permohonan berbagai kasus sebelum persidangan. Dari
sekian jumlahnya, menunjukan kasus perceraian yang didampingi Posbakum secara non-
litigasi menunjukan tingginya kasus perceraian pasca Covid-19. Hal ini juga terjadi di
Pengadilan Agama Boyolali. Pada tahun 2020, di Posbakum sudah menangani perkara
sejumlah 698. Sekian kasus yang dibuatkan drafting permohonan gugatan cerai juga lebih
mendominasi. Meskipun begitu, banyak juga perkara dispensasi nikah yang mengajukan di
Pengadilan Agama Boyolali. Total kasus dispensasi nikah di Pengadilan Agama Boyolali
mencapai 462 perkara.
Ikfina Maradhatika selaku paralegal Majelis Hukum dan HAM PWA Jateng yang
bertugas di Posbakum mengatakan bahwa kasus dispensasi nikah rentang terjadi perceraian.
Hasil wawancara bersama Ikfina Maradhatika mengungkapkan total dispensasi nikah tersebut
perempuan yang kurang umur sekitar 363 sedangkan pihak laki-laki yang kurang umur 99. Di
lingkup sosial budaya di daerah Boyolali tidak dipungkiri bahwa banyaknya kasus dispensasi
nikah disebabkan hamil diluar pernikahan. Hal ini yang diungkapkan klein A (nama samaran)
ketika datang di Posbakum. Ia menceritakan alasan perceraian karena setelah melahirkan
anak tersebut suaminya meninggalkannya tanpa pamit dan tidak diketahui sekarang tinggal
sampai sekarang.2
Sehingga, untuk melanjutkan perjalanan hidup A harus mengambil keputusan untuk
mengajukan perceraian supaya memiliki status yang jelas. Ia harus berjuang sendirian dalam
menghidupi anaknya karena ditinggal suami. Persoalan menghilangnya suami tanpa kabar
sering terjadi di dalam lingkup kultur sosial masyarakat di Sragen. Pada tahun 2020, terdapat
sekitar 2709 perkara di Pengadilan Agama Sragen. Kasus tersebut juga didominasi perceraian
yang diajukan oleh pihak perempuan. Di Pengadilan Agama Sragen, gugatan ghoib atau
gugatan yang salah satu pihaknya tidak diketahui keberadaannya malah melimpah. Adapun
kasus dispensasi nikah dan pada akhirnya bercerai juga cukup banyak. Seperti yang
diungkapkan oleh Muhammad Fahri selaku paralegal Majelis Hukum dan HAM PWA Jawa
Tengah yang setiap harinya bertugas di Posbakum di Pengadilan Agama Sragen.3
Total kasus dispensasi nikah pada tahun 2020 di Pengadilan Agama mencapai 357
perkara. Sekian kasus yang diajukan tampaknya cukup menambah kasus perceraian yang
terjadi di Pengadilan Agama Sragen. Sebut saja Z (nama samaran), seorang remaja yang
berumur 15 tahun saat usia menikah, pada usia 18 tahun ia sudah mengajukan gugatan cerai
terhadap suaminya. Sebab suaminya malas bekerja dan tidak pernah memberikan nafkah
lahir, justru suaminya sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Faktor ekonomi
serta pemahaman agama yang kurang sering menciptakan tindakan-tindakan irasional yang
dapat merugikan para pihak dalam menjalin bahtera rumah tangga. Hal tersebut memang
tidak dipungkiri bahwa kesiapan psikologis, kedewasaan, kematangan berpikir sebenarnya
sangat berpengaruh terhadap bentukan keluarga yang harmonis.
Di Pengadilan Agama Klaten pun juga demikian, banyaknya kasus dispensasi nikah
atau bisa disebut membolehkan perkawinan anak turut memperbanyak kasus perceraian.
Telah tercatat di Pengadilan Agama Klaten 2020, kasus dispensasi berjumlah 226 perkara.
Adapun kasus-kasus tersebut dilatarbelakangi akibat hamil diluar pernikahan, sudah
mengalami kedekatan secara mendalam, dan karena sudah melakukan hubungan layaknya

2
Wawancara bersama Ikfina Maradhatika di Posbakum Pengadilan Agama Boyolali pada 29 Januari 2021
3
Wawancara bersama Muhammad Fahri di Posbakum Pengadilan Agama Sragen pada 27 Februari 2021

44
International Conference On Syariah & Law2021(ICONSYAL 2021)-Online Conference
6th April 2021

suami-istri. Ahmad Zia Khakim selaku petugas Posbakum di Pengadilan Agama Klaten
menjelaskan maraknya dispensasi nikah akibat pergaulan bebas dan pengaruh media sosial di
masa pandemi Covid-19. Perubahan sosial yang telah terjadi, juga berpengaruh terhadap
interaksi lawan jenis bukanlah menjadi hal yang tabu. Hal ini yang diutarakan Ahmad Zia
Khakim ketika mendampingi korban pelecehan seksual yang masih dibawah umur.
Korban dan pelaku sama-sama masih duduk di Sekolah SMP yang sudah menjalin
hubungan lama. Akhirnya hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, sebut saja H (nama samaran)
hamil diluar pernikahan akibat pernah melakukan hubungan dengan pacarnya. Sampai pada
akhirnya, pihak orangtua pelaku tidak menghendaki untuk menikahkan anaknya. Lalu jalan
mediasi ditempuh melalui berbagai intansi pemerintah juga terlibat dalam menyelesaikan
kasus tersebut. Sehingga mencapai titik kesimpulan bahwa pelaku dan korban menikah
namun ada catatan-catatan khusus sebelum pra pernikahan dilaksanakan.4
Hal ini menunjukan bahwa kasus dispensasi nikah perlu ditinjau kembali supaya tidak
menjadi dasar hukum untuk melegalkan perkawinan anak. Memang perkawinan merupakan
hak individu yang juga diatur dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia dalam ayat (1) menegaskan bahwa “setiap orang berhak membentuk
suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” (Wahyudi, 2016)
Akan tetapi majelis hakim tentu memiliki ijtihad dalam mengambil keputusan dalam
menentukan berbagai kasus dispensasi nikah yang banyak dikabulkan. Muhammad Ikhsan
memberikan penjelasan dalam pengajuan perkara dispensasi nikah memang harus dilihat dari
madharat dan maslahatnya.5 Jika perkara tersebut banyak menimbulkan maslahat maka
majelis hakim tentu memutuskan mengabulkan perkara tersebut, apalagi calon pasangan yang
sudah hamil di luar pernikahan.
Beragam kasus dispensasi nikah di Pengadilan Agama sekarisedenan Surakarta
mengalami peningkatan akibat Pandemi Covid-19. Hal ini sangat berdampak terhadap
perubahan sosial yang terjadi terutama kontruksi keharmonisan rumah tangga di Indonesia.
Perkawinan anak sebisa mungkin semestinya harus dihindari, sebab dampak dari pernikahan
tersebut sering kali menimbulkan persoalan terutama meningkatnya kasus perceraian.

6. Kesimpulan

Sejak Pandemi Covid-19, turut meningkatnya kasus perkawinan anak memang terjadi di
Indonesia. Meskipun perubahan batasan usia menikah, banyak masyarakat tetap memilih
pernikahan dini terutama untuk mengawinkan anaknya sebagai langkah untuk melanjutkan
pernikahan dan perjuangan hidup. Data dari perkara dari Pengadilan Agama sekarisidenan
Surakarta dan dari dampingan Majelis Hukum dan HAM menunjukan bahwa perkawinan
anak turut menambah banyaknya perkara perceraian di Pengadilan Agama. Hal tersebut tidak
bisa dipungkiri, sebab masih banyak kelemahan anak-anak dalam memikirkan urusan
keluarga. Perlu adanya dorongan baik pemerintah maupun masyarakat untuk meminimalisir
perkawinan anak dimasyarakat. Sebab jika perkawinan anak digunakan sebagai budaya-sosial
untuk dasar hidup, tentunya akan menyudutkan dan merugikan bagi kalangan perempuan.

7. Daftar Pustaka

Agege, Emmanuel A. Ezekiel U. Nwose, dan Stella Odjimogho. “Parental perception of girl-
child early marriage amongst the Urhobos in Nigeria”, International Journal of
Community Medicine and Public Health,Vol. 5 No. 8, Agustus 2018.

4
Wawancara bersama Anis Thoifah di Posbakum Pengadilan Agama Klaten pada 20 Februari 2021
5
Wawancara bersama Muhammad Ikhsan Hakim Pengadilan Agama Sragen pada 01 Maret 2021

45
International Conference On Syariah & Law2021(ICONSYAL 2021)-Online Conference
6th April 2021

Djamilah, Reni Kartikawati, “Dampak Perkawinan Anak di Indonesia”, Jurnal Studi Pemuda,
Vol. 3 Nomor 3, Mei 2014.

Fadlyana, Eddy, Shinta Larasaty, “Pernikahan Usia Dini dan Permasalahnya”, Jurnal Sari
Pediatri, Vol. 11, Nomor 2, Agustus 2009.

Julijanto, Muhammad, “Dampak Perkawinan Dini dan Problematika hukumnya,” Dampak


Pernikahan dini dan Problematika Hukumnya”, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial Vol.
25 Nomor 1, Januari 2015.

Kasiyati, Siti, “Problematika Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum di Indonesia:


Studi Pendampingan Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa
Tengah,” Jurnal Al-Ahkam, Vol. 1 Nomor 1, Juni-Juni, 2016.

Muntamah, Ana Latifatul, Dian Latifiani, Ridwan Arifin, “ Pernikahan Dini Di Indonesia:
Faktor dan Peran Pemerintah (Perspektif Penegakan dan Perlindungan Hukum Bagi
Anak),” Jurnal Widya Yuridika Jurnal Hukum, Vol. 2 Nomor 1, Juni 2019.

Rifiani, Dwi “Pernikahan Dini dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Syariah dan Hukum,
Vol. 3 Nomor 2, Desember 2011.

Simin Montazeri, Maryam Gharacheh, Nooredin Mohammadi, Javad Alaghband Rad, and
Hassan Eftekhar Ardabili, “Determinants of Early Marriage from Married Girls’
Perspectives in Iranian Setting: A Qualitative Study,” Journal of Environmental and
Public Health, Vol. 2016, ID 8615929.

Wahyudi, Abdullah Tri, “Universalitas dan Partikularitas Hak Asasi Manusia dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Jurnal al-ahkam: Ilmu Syariah
dan Hukum, Vol.1 Nomor 1, Januari-Juni 2016.

Wawancara bersama Siti Zaenatul Mar’ah di Posbakum Pengadilan Agama Sukoharjo pada
05 Februari 2021

Wawancara bersama Ikfina Maradhatika di Posbakum Pengadilan Agama Boyolali pada 29


Januari 2021

Wawancara bersama Muhammad Fahri di Posbakum Pengadilan Agama Sragen pada 27


Februari 2021

Wawancara bersama Anis Thoifah di Posbakum Pengadilan Agama Klaten pada 20 Februari
2021

Wawancara bersama Muhammad Ikhsan Hakim Pengadilan Agama Sragen pada 01 Maret
2021

Yulianti, Rina, “Dampak yang Ditimbulkan Akibat Pernikahan Usia Dini”, Jurnal Pamator,
Vol. 3, Nomor 1, April 2010.

Yuspa Hanum, Tukiman, “Dampak Pernikahan Dini Terhadap Kesehatan Alat Reproduksi
Wanita,” Jurnal Keluarga Sehat Sejahtera, Vol. 13 Nomor 26, Desember 2015.

46
International Conference On Syariah & Law2021(ICONSYAL 2021)-Online Conference
6th April 2021

47

You might also like