Biaya Dan Pendapatan Usahatani Tebu Sistem Kontrak
Biaya Dan Pendapatan Usahatani Tebu Sistem Kontrak
Biaya Dan Pendapatan Usahatani Tebu Sistem Kontrak
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme
ABSTRACT
Indonesian land are potentially to be planted with sugarcane, especially in Java Island. It
had proven that in 1928 three-fourth of total export in Java comes from sugar industry. Today,
Java Island still potential to plant with sugarcane. It can be see that land of sugarcane is tend to
increase till 277.630 ha in 2010. PT IGN Cepiring in Kendal District is a sugar mill that re-
operate to reach “Swasembada Gula” program in Central Java. PT IGN Cepiring can receive
sugarcane till 1.800 ton each day. PT IGN Cepiring interlaces relationship with sugarcane farmers
around. The relationship is implemented in credit contract and mill contract.
This research has purpose to describe costs, revenue, and returns of sugarcane farmer
based on contract status at PT IGN Cepiring. Then, to analise are there any significant different
between return of credit contract’s farmer and mill contract’s farner. Data that used is primary
data which collected by interview with sugarcane farmer who has relationship with PT IGN
Cepiring.
The result shows that credit contract’s farmer has less total cost, and more revenue that
mill contract’s farmer. Based on result of t-test that return of credit contract’s farmer has
significant different with mill contract’s farmer (P-value 0,000 < 0,05).
PENDAHULUAN
Pertanian menjadi salah satu sektor primer yang menyokong perekonomian Indonesia,
terutama untuk komoditi tebu. Pada tahun 1928 tebu telah menjadikan Indonesia menjadi eksportir
gula terbesar kedua setelah Kuba. Besarnya produktivitas tebu yang dihasilkan pada masa itu
mencapai 3 juta ton gula, di mana hampir separuhnya dieskpor (sekitar 2,4 juta ton). Produksi gula
tersebut dihasilkan dari perkebunan tebu di Jawa dengan luas areal tebu kurang lebih 200.000
hektar, dan rendemen mencapai 13,8 persen (Mubyarto, 1984 dan Sabrina, 2011).
Sistem pola tanam tebu di Indonesia mengalami empat kali pergantian. Pertama, pada saat
pemerintahan Hindia Belanda sistem pola tanam yang berlaku adalah glebagan atau perguliran
komoditas yang ditanam. Kedua, pada saat pemerintahan Presiden Soeharto berlaku sistem Tebu
Rakyat Intensif (TRI) dengan Inpres No. 9 Tahun 1975 (Asnur, 1999 dan Mardianto dkk, 2005).
Ketiga, berlakunya Inpres No. 5 Tahun 1998 petani bebas menentukan jenis komoditas yang akan
ditanamnya, yang memberikan keuntungan bagi petani (Pakpahan, 2003). Keempat, sistem pola
tanam yang berlaku sampai saat ini adalah pola tanam tetap (Nuryanti, 2007).
Daerah yang menghasilkan tebu di Indonesia dibagi menjadi Jawa, dan luar Jawa. Tabel 1
menunjukkan produksi tebu dari perkebunan rakyat berdasarkan provinsi di Indonesia pada tahun
2006-2010. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa lebih dari separuh produksi tebu dihasilkan oleh
petani-petani yang berada di Jawa. Hal ini membuktikan bahwa lahan di Pulau Jawa sangat
1
Penulis Penanggung Jawab
DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 1-12
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme
potensial untuk ditanam tebu. Provinsi yang menyumbang produksi terbanyak selama tahun 2006
sampai tahun 2010 adalah Provinsi Jawa Timur. Jawa Tengah menjadi provinsi kedua yang
memberikan produksi tebu terbanyak. Kemudian berikutnya Provinsi Lampung menempati posisi
ketiga yang menghasilkan tebu terbanyak.
Tabel 1
Produksi Tebu Perkebunan Rakyat Berdasarkan Provinsi di Indonesia
Tahun 2006-2010
Salah satu daerah yang berpotensi dalam menghasilkan tebu adalah Kabupaten Kendal.
Kabupaten Kendal terdapat Pabrik Gula (PG) Cepiring yang telah beroperasi sejak tahun 1835.
Pabrik ini telah dioperasikan kembali oleh PTPN IX yang bekerja sama dengan PT Multi Manis
Mandiri pada tahun 2008, yang kemudian diberi nama PT Industri Gula Nusantara (IGN).
Berdirinya PT IGN Cepiring ditujukan untuk membantu pemerintah dalam Program
Swasembada Gula di Jawa Tengah. PT IGN Cepiring diperkirakan mampu menyerap produksi
petani di sekitar lokasi kurang lebih 3.200 ha tanaman tebu dan tenaga kerja yang mampu diserap
sekitar 6.000 orang (Suprayoga, 2007). Kapasitas giling tebu sebesar 1.800 ton per hari.
Kenyataan yang ada di lapangan, kapasitas giling maupun penyerapan produksi tebu PT
IGN Cepiring belum terpenuhi oleh hasil panen tebu lokal. Berdasarkan data dari PT IGN Cepiring
(2012), PT IGN Cepiring hanya menyerap produksi tanaman tebu dari lahan seluas 2.471 ha pada
tahun 2011. Luas areal tersebut belum mampu memaksimalkan kinerja PT IGN Cepiring yang
kapasitas gilingnya sebesar 1.800 ton per hari.Keenganan petani untuk melakukan usahatani tebu
merupakan salah satu penyebab kapasitas giling PT IGN Cepiring belum terpenuhi.
Keengganan tersebut disebabkan oleh biaya dan pendapatan dari usahatani tebu. Hasil
usahatani tebu hanya bisa diperoleh sekali dalam setahun. Usahatani tebu membutuhkan lahan yang
luas untuk memperoleh hasil yang menguntungkan. Usahatani tebu membutuhkan biaya yang
relatif lebih banyak dibandingkan usahatani lainnya, seperti padi, kacang, dan tembakau.
Berdasarkan fenomena tersebut, penelitian ini akan menghitung mengenai biaya,
penerimaan, dan pendapatan petani. Pada lahan seluas berapakah yang nantinya akan memberikan
keuntungan atau pendapatan maksimum bagi petani tebu. Pendapatan tersebut dipeoleh
berdasarkan perhitungan antara penerimaan yang diperoleh petani dari hasil panen tebunya dengan
biaya-biaya yang dikeluarkan petani, baik dalam proses produksi maupun dalam proses
mendistribusikan hasil panennya kepada pembeli.
2
DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 1-12
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme
usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumber daya yang
ada secara efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu.
Usahatani memiliki empat unsur pokok (Hermanto, 1996). Unsur yang pertama adalah
lahan. Lahan berperan sebagai faktor produksi yang dipengaruhi oleh tingkat kesuburan, luas lahan,
lokasi, intensifikasi, dan fasilitas. Unsur kedua adalah tenaga kerja yang dapat berasal dari orang
lain atau dari anggota keluarga sendiri. Kedua unsur ini merupakan hal yang digunakan Snodgrass
dan Wallace (1982) dalam mendefinisikan usahatani, di mana usahatani secara mendasar terdiri
dari lahan untuk operasi kegiatan pertanian, dan tenaga kerja yang berasal dari diri sendiri, atau
dengan bantuan keluarga, atau dari orang lain. Unsur ketiga adalah modal yang digunakan untuk
meningkatkan produktivitas kerja dan kekayaan usahatani. Unsur keempat adalah pengelolaan
dalam menentukan, mengkoordinasi, dan mengorganisasikan faktor-faktor produksi pertanian
sebagaimana yang diharapkan.
Biaya Usahatani
Biaya merupakan jumlah nominal uang tertentu yang dikeluarkan oleh pelaku ekonomi
untuk memperoleh barang dan/atau yang diperlukan. Biaya dalam konteks penelitian ini dibedakan
menjadi biaya produksi, dan biaya transaksi. Biaya produksi adalah seluruh biaya-biaya yang
dikeluarkan dalam proses produksi dalam usahatani tebu. Biaya ini terdiri dari biaya sewa lahan
pertanian, sewa peralatan pertanian, bibit, pupuk, herbisida, tenaga kerja, pengairan, tebang, dan
angkut. Biaya transaksi merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani tebu diluar biaya
produksi. Biaya transaksi dalam usahatani tebu terdiri dari biaya pajak tanah, biaya keamanan,
biaya APTRI, biaya kemasan gula, biaya bongkar crane, asuransi gula, bunga kredit, dan
denda/pinalti.
Penelitian terdahulu oleh Chidoko dan Chimwai (2011) mengenai produktivitas tebu di
daerah Mkwasine, Zimbabwe yang mengalami penurunan. Penurunan produktivitas tebu
disebabkan kurangnya dana bagi petani untuk membiayai usahataninya. Hal ini terbukti dari petani
yang gagal membajak tanaman tebu yang sudah tua karena peralatan pertanian yang tidak
memadai. Petani memiliki keterbatasan dalam akses kredit untuk membiayai usahataninya. Hal
tersebut diperparah dengan tingginya biaya transportasi, dan biaya angkut.
Penerimaan Usahatani
Penerimaan usahatani adalah nilai produksi yang diperoleh dalam jangka waktu tertentu
dan merupakan hasil kali dari jumlah produksi total dengan harga satuan dari hasil produksi
tersebut (Hermanto, 1996). Penerimaan petani tebu yang memiliki kontrak kredit di PT IGN
Cepiring berbeda dengan penerimaan petani tebu yang memiliki kontrak penggilingan. Penerimaan
hasil usahatani tebu untuk petani yang memiliki kontrak kredit berupa bagi hasil white sugar, dan
bagi hasil tetes. Penerimaan yang diperoleh petani tebu yang memiliki kontrak penggilingan adalah
hasil penjualan hasil panen tebu petani yang berupa tebu gelondong.
Sutrisno (2009) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa penerimaan petani tebu di PG
Mojo, Sragen dipengaruhi oleh kultur teknik, varietas tebu, pupuk, rendemen, dan biaya yang
dikeluarkan untuk keperluan usahatani tebu. Variabel yang paling mempengaruhi penerimaan
petani adalah rendemen tebu.
Pendapatan Usahatani
Pendapatan merupakan hasil pengurangan total penerimaan usahatani tebu dan total biaya
yang dikeluarkan dalam usahatani tebu. Besarnya pendapatan yang diterima merupakan balas jasa
untuk tenaga kerja, dan modal yang digunakan dalam proses produksi usahatani
(Tjakrawiralaksana, 1985). Analisis usahatani menggambarkan keadaan sekarang dari suatu
usahatani sehingga dapat melakukan evaluasi dengan perencanaan dan tindakan pada masa akan
dating (Soeharjo dan Patong, 1973).
Penelitian terdahulu yang membandingkan pendapatan dari usahatani tebu yang ditanam di
tanah berpasir (sand soil) dan tanah yang diberi pupuk (muck soil) di daerah Southern Florida
dilakukan oleh Roka dkk (2010). Penelitian tersebut menyebutkan bahwa tebu yang ditanm di
3
DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 1-12
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme
tanah yang diberi pupuk lebih menguntungkan dibandingkan dengan tebu yang ditanam di tanah
berpasir. Laba bersih yang diperoleh petani tebu yang menanam tebunya di tanah yang diberi
pupuk lima kali lipat dari petani yang menanam tebunya di tanah berpasir.
Kontrak
Kontrak merupakan kesepakatan antara dua pihak atau lebih yang saling menguntungkan.
Kontrak muncul akibat keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh pelaku bisnis membutuhkan
faktor-faktor produksi lain yang tidak dapat dihasilkan oleh si pelaku bisnis tersebut. Pelaku bisnis,
dengan keterbatasannya akan mengarahkan penggunaan faktor produksi yang ia peroleh dari pihak
lain (Coase, 1937).
Penelitian ini membedakan kontrak yang dibuat petani tebu dengan PT IGN Cepiring.
Kontrak tersebut adalah kontrak kredit, dan kontrak penggilingan. Petani tebu yang memiliki
kontrak kredit mendapatkan fasilitas kredit berupa uang untuk membiayai usahataninya, maupun
berupa natura seperti bibit, dan pupuk. Hasil dari petani tebu yang memiliki kontrak kredit harus
mengirimkan hasil panennya ke PT IGN Cepiring. Petani yang memiliki kontrak penggilingan
hanya boleh mengirimkan hasil panen tebunya untuk digilingkan di PT IGN Cepiring tanpa
memperoleh fasilitas kredit.
Penelitian terdahulu yang pernah membahas mengenai hubungan kemitraan antara petani
tebu dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang adalah Sriati dkk (2006). Dalam penelitiannya,
Sriati dkk (2006) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi petani dalam mengambil
keputusan jenis kemitraan apa yang akan diambilnya, apakah petani akan mengambil kredit
ataukah menjadi petani bebas, adalah modal, akses ke lahan, dan pengalaman. Pendapatan petani
TRK (Tebu Rakyat Kredit) lebih besar dibandingkan dengan pendapatan petani TRB (Tebu Rakyat
Bebas).
Penelitian terdahulu mengenai petani tebu yang melakukan kontrak dan yang tidak
memiliki kontrak dengan PG adalah Yustika (2008). Yustika (2008) menyatakan bahwa biaya
transaksi tertinggi berada pada petani yang tidak memiliki kontrak dengan pihak pabrik gula.
METODE PENELITIAN
Variabel Penelitian
Variabel penelitian yang diuji secara statistik adalah variabel biaya, penerimaan, dan
pendapatan.variabel biaya dibedakan menjadi biaya produksi, dan biaya transaksi. Biaya produksi
antara lain biaya sewa lahan, sewa peralatan, bibit, pupuk, herbisida, tenaga kerja, tebang, dan
angkut. Biaya transaksi antara lain biaya pajak tanah, keamanan, APTRI (Asosiasi Petani Tebu
Rakyat Indonesia), biaya pengukuran atribut, bunga kredit, biaya pengambilan keputusan, biaya
kemasan gula, biaya bongkar crane, biaya asuransi gula, denda/pinalti. Biaya pengukuran atribut,
dan biaya pengambilan keputusan tidak beroperasi sebagaimana mestinya, sehingga kedua biaya
tersebut tidak muncul dalam analisis penelitian ini.
Penerimaan petani tebu yang memperoleh kontrak kredit berbeda dengan petani tebu yang
membuat kontrak penggilingan kepada PT IGN Cepiring. Petani yang memiliki kontrak kredit,
penerimaannya berupa bagi hasil white sugar (sebesar 66% bagian dari hablur sedangkan 33%
bagian dari hablur tebu merupakan bagian PG), dan penerimaan dari tetes tebu sebesar 3% dari
tebu. Penerimaan petani yang memiliki kontrak penggilingan berupa uang sejumlah hasil penjualan
tebu gelondong.
Penentuan pendapatan antara petani tebu yang memiliki kontrak kredit maupun kontrak
penggilingan adalah sama. Pendapatan diperoleh dari mengurangkan total penerimaan masing-
masing kelompok petani tebu dengan total biaya dari masing-masing kelompok petani tebu.
Penentuan Sampel
Populasi yang digunakan adalah penduduk yang memiliki mata pencaharian sebagai petani
tebu dan memiliki kemitraan dengan PT IGN Cepiring. Populasi tersebut berjumlah 54 orang
4
DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 1-12
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme
petani yang berasal dari berbagai daerah. Persebaran petani yang memiliki kemitraan dengan PT
IGN Cepiring dapat dilihat di tabel 2.
Tabel 2
Persebaran Petani Kemitraan PT IGN Cepiring
Seluruh jumlah dari populasi petani tebu kemitraan tersebut dijadikan objek penelitian.
Pengambilan keputusan tersebut dikarenakan jumlah populasi hanya sebanyak 54 petani saja. Pada
kenyataannya dari 54 orang petani tebu menurut data, terdapat 3 orang yang bukan merupakan
petani tebu. Dua di antaranya merupakan pedagang yang hanya membeli hasil panen petani-petani
tebu lainnya, atau dengan kata lain mereka adalah tengkulak. Satu orang lainnya adalah kepala desa
yang memiliki sawah bengkok. Sawah tersebut disewakan kepada PT IGN Cepiring, dan
pengelolaan dilakukan oleh PT IGN Cepiring.
Metode Analisis
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik deskriptif, dan uji-t.
Statistik deskriptif digunakan untuk membantu memecahkan masalah mengenai besaran biaya, dan
penerimaan dari usahatani petani tebu yang memiliki kontrak kredit, dan yang memiliki kontrak
penggilingan. Pendapatan kedua kelompok petani tebu tersebut akan diuji dengan menggunakan
uji-t untuk melihat apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya.
5
DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 1-12
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme
Tabel 3 menunjukkan pengelompokan petani tebu berdasarkan usia. Terlihat bahwa petani
tebu sebagian besar berusia tua. Petani tebu yang berusia muda sangat sedikit, dan mereka
merupakan anak dari petani tebu senior.
b. Tingkat Pendidikan
Tabel 4
Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Responden Persentase
Pendidikan (orang) (%)
SD/sederajat 7 13,76
SLTP/sederajat 8 15,69
SLTA/sederajat 18 35,29
D3 3 5,88
S1 12 23,53
S2 4 5,85
Total 51 100
Sumber: Data Primer 2012, diolah
Tabel 4 menunjukkan tingkat pendidikan petani tebu kemitraan PT IGN Cepiring. Petani
tebu berpendidikan SLTA/sederajat sebesar 35,69% atau 18 orang. Tingkat pendidikan terakir yang
paling sedikit ditempuh oleh petani tebu adalah sarjana muda (D3).
Tabel 6 menunjukkan jumlah petani tebu berdasarkan kepemilikan lahan yang dilihat dari
luasnya. Sebagian besar petani tebu memiliki lahan pertanian seluas 2-11 ha, yaitu sebesar 26 orang
atau 50,98%. Petani yang jumlahnya paling sedikit adlah petani yang memiliki lahan seluas kurang
dari 2 ha, dan petani yang memiliki lahan seluas 22-31 ha.
6
DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 1-12
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme
Tabel 7
Biaya Rata-Rata Per Ha Usahatani Tebu Menurut Luas Lahan dan Status Kontrak
di PT IGN Cepiring (dalam Rupiah)
Biaya total rata-rata per hektar untuk PTK memiliki pola yang sama dengan biaya produksi
rata-rata per hektarnya. Biaya total rata-rata per hektar untuk PTG memiliki nilai yang semakin
menurun seiring dengan semakin luasnya lahan yang dimiliki. Biaya total rata-rata per hektar untuk
PTG terbesar ada pada petani yang memiliki luas lahan kurang dari 2 ha, yaitu Rp 43.713.000,00,
dan biaya total rata-rata per hektar terkecil ada pada petani yang memiliki luas lahan lebih dari 31
ha, yaitu sebesar Rp 812.233,00.
Tabel 8 menunjukkan penerimaan rata-rata per hektar yang diperoleh petani tebu yang
memiliki kontrak kredit dan yang memiliki kontrak penggilingan. Terlihat pada tabel bahwa
penerimaan rata-rata per hektar PTK terjadi pada petani yang memiliki lahan seluas 12-21 ha.
7
DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 1-12
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme
Sedangkan penerimaan rata-rata per hektar PTG terjadi pada petani yang memiliki lahan seluas
kurang dari 2 ha. Penerimaan rata-rata per hektar terkecil untuk PTK maupun PTG terjadi pada
petani yang memiliki lahan seluas lebih dari 31 ha.
Tabel 8
Penerimaan Rata-Rata per Ha Usahatani Tebu Menurut Luas Lahan dan
Status Kontrk di PT IGN Cepiring (dalam Rupiah)
Hasil uji normalitas dari data pendapatan petani tebu yang memiliki kontrak kredit maupun
kontrak penggilingan ditunjukkan pada tabel 9. Data petani tebu yang berjumlah 51 tersebut
ternyata terdapat 2 data yang tidak normal, disebabkan adanya outliers. Jumlah objek penelitian
saat ini menjadi 49 orang petani tebu.
Tabel 9
Statistik Deskriptif
Laba
Mean Rp 101.179.369,12
Median Rp 14.919.203,67
Maximum Rp 318.478.052,54
Minimum Rp 119.950,00
Std. Deviasi 2.07865
Skewness -0.70588
Kurtosis -0.7874
Kolmogorov-Smirnov 0.097
Shapiro-Wilk 0.191
Sumber: Data Primer 2012, diolah
Tabel 10 menunjukkan hasil uji-t dari pendapatan yang diperoleh PTK dan PTG. Hasil
dari Levene’s test menunjukkan P yang bernilai 0,877. Hal ini berarti varians kedua kelompok
homogen atau tidak berbeda karena nilai P > 0,05 (taraf signifikansi). Nilai P untuk t-test
adalah sebesar 0,000. Nilai P ternyata tebih kecil dibandingkan taraf signifikansi (P < 0,05
= 5%). Hal ini berarti terdapat perbedaan dalam hal laba bersih antara petani yang
memiliki kontrak kredit dan petani yang memiliki kontrak penggilingan.
Tabel 10
Hasil Uji-t
Petani
Laba Bersih
Kredit Penggilingan
N 18 31
Mean Rp 212.740.529,80 Rp 36.401.920,97
Standar Deviasi Rp 189.102.693,17 Rp 34.053.409,94
Levene’s Test 0,877
P value of T-Test 0,000
Sumber: Data Primer 2012, diolah
8
DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 1-12
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme
REFERENSI
Arikunto, Suharsimi. 2010. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Chidoko, Clainos dan Ledwin Chimwai. 2011. “Economic Challenges of Sugarcane Production in
The Lowveld of Zimbabwe”. Journal Eco. Res., Vol. 2, No. 5, p. 1-13.
http://www.ijeronline.com/documents/volumes/Vol%202%20issue%205/ijer20110205
SO%281%29.pdf. Diakses tanggal 10 Juli 2012.
Coase, Ronald. 1937. “The Nature of The Firm.” Economica, New Series, Vol. 4, No. 16, pp. 386-
405, www.sonoma.edu/users/e/eyler/426/coase1.pdf. Diakses tanggal 17 November
2011.
-------------------. 1998. “The New Institutional Economics.” The American Economic Review, Vol.
88, No. 2, Papers and Proceedings of The Hundred and Tenth Annual Meeting of The
American Economic Assosiation, pp. 72-74,
http://flash.lakeheadu.ca/~kyu/Institutions/Coase1998.pdf. Diakses tanggal 20
November 2011.
Elly, Femi Hadidjah, dkk. 2009. “Pengaruh Biaya Transaksi Terhadap Perilaku Ekonomi Rumah
Tangga Petani Peternak Sapi Potong di Kabupaten Minahasa.” Forum Pascasarjana,
Vol. 32, No. 3, pp. 195-213.
Furubotn, Erick G dan Rudolf Richter. 2002. Economics, Cognition and Society: Institution and
Economic Theory. The Contribution of The New Institutional Economic. Michigan.
Jawa Tengah Dalam Angka, 2002-2010. Data Luas Areal dan Produksi Tebu 2002-2009, Badan
Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah.
9
DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 1-12
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme
Joesron, Tati Suhartati dan M. Fathorazzi. 2012. Teori Ekonomi Mikro. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Kuperan, K., Nick Mustapha, dan Raja Abdullah. 1998. “Measuring Transaction Cost of Fisheries
Co-Management.” http://content.imamu.edu.sa/scholars/it/net/kuperan.pdf. Diakses
tanggal 17 Desember 2011.
Kuncoro, Mudrajad. 2004. Metode Kuantitatif: Teori dan Aplikasi Untuk Bisnis dan Ekonomi.
Yogyakarta: AMP YKPN.
Mardianto, Sudi, Pantjar Simatupang, dkk. 2005. “Peta Jalan (Road Map) dan Kebijakan
Pengembangan Industri Gula Nasional.” Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 23,
No. 1, Juli: 19-37. pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/FAE23-1b.pdf. Diakses
tanggal 12 Mei 2012.
------------- dan Daryanti. 1991. Gula: Kajian Sosial-Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.
Nurgiyanto, Burhan dkk. 2004. Statistik Terapan Untuk Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Nuryanti, Sri. 2007. Usahatani Tebu Pada Lahan Sawah Dan Tegalan Di Yogyakarta Dan Jawa
Tengah. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Pemikiran Mubyarto. Juli: 2007.
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_23/artikel_7.htm. Diakses tanggal 22 Desember
2011.
Pakpahan, Agus. 2003. “Ada Apa Dengan Gula?” Agrimedia, Vol. 8, No. 8, April: 44-51.
www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/bai-journal/Agus_Pakpahan.pdf.
Diakses tanggal 12 Mei 2012.
Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian, 2010. Outlook Komoditas Pertanian
Perkebunan, Jakarta.
Rachbini, Didik J. 2006. Ekonomi Politik dan Teori Pilihan Publik. Bogor: Ghalia Indonesia.
Roka, Fritz M., dkk. 2010. “Comparing Costs and Returns for Sugarcane Production on Sand and
Muck Soils of Southern Florida, 2008-2009”. Journal American Society of Sugar
Cane Technologists, Vol 30, p. 50-66.
http://www.assct.org/journal/JASSCT%20PDF%20Files/Vol30/rpv2009_ASSCT_san
d_v_muck__Roka_final%204_.pdf. Diakses tanggal 10 Juli 2012.
Sabrina, Amalia Farra. 2011. Pentingnya Kelembagaan Pada Kinerja Agribisnis Tebu Di PG
Gempolkrep, Mojokerto, Jawa Timur.
10
DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 1-12
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme
ditjenbun.deptan.go.id/bbp2tpsur/images/stories/perbenihan/jurnal.pdf. Diakses
tanggal 12 Mei 2012.
Samuelson, Paul A. Dan William D. Nordhaus. 2003. Ilmu Mikroekonomi. Jakarta: PT Media
Global Edukasi.
Sevilla, Consuelo G., Jesus A. Ochave. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI-Press.
Shoumi, Aldila Nuris, dan Ahmad Erani Yustika. 2007. “Analisis Biaya Transaksi Kelompok Tani
Padi Kontrak dan Nonkontrak.” Journal of Indonesian Applied Economics. Vol. 2, No.
2, Juni: 200-211.
Snodgrass, Milton M. dan L.T Wallace. 1982. Agriculture, Economics, and Resource Management.
New Delhi: Prentice Hall of India Private Limited.
Soeharjo dan Patong. 1973. Sendi-Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi
Pertanian. Fakultas Institut Pertanian Bogor.
Soekarwati. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Sriati, dkk. 2006. Pola Kemitraan Antara Petani Tebu Dengan PTPN VII Unit Usaha
Bungamayang Dalam Usahatani Tebu: Kasus di Desa Karang Rejo Kecamatan
Sungai Selatan, Lampung Utara.
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/%282%29%20soca-sriati%20dkk-
pola%20kemitraan.pdf. Diakses tanggal 22 Juni 2012.
Suprayoga, Joko. 2007. “Menghidupkan Lagi Industri Gula” Suara Merdeka, 20 Februari 2007.
Available online at http://www.suaramerdeka.com/harian/0702/20/opi06.htm, Diakses
tanggal 2 November 2011.
Surono, Sulastri. 2006. Kebijakan Swasembada Gula di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan
Pembangunan Indonesia. Vol. VII, No. 01, Juli: 65-81.
Sutrisno, Bambang. 2009. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pendapatan Petani
Tebu Pabrik Gula Mojo Sragen”. DAYA SAING Jurnal Ekonomi Manajemen Sumber
Daya, Vol. 10, No. 2, h. 155-164.
http://eprints.ums.ac.id/1670/1/daya_saing_10_2_2009_5_bambang_sutrisna.pdf.
Diakses tanggal 10 Juli 2012.
Wahana Komputer. 2009. Seri Profesional Pengolahan Data Statistik dengan SPSS 16.0. Jakarta:
Salemba Infotek.
Yustika, Ahmad Erani. 2004. Transaction Cost and Corporate Governance of Sugar Mills in East
Java - Indonesia. Discussion Papers: University of Gottingen.
11
DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 1-12
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme
------------------. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori & Strategi. Malang: Bayumedia
Publishing.
------------------. 2008. The Transaction Cost of Sugarcane Farmers: An Explorative Study. Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol. 23, No. 3, 2008: 283-301.
12