Pergeseran Peranan Militer Masa Transisi
Pergeseran Peranan Militer Masa Transisi
Pergeseran Peranan Militer Masa Transisi
Abstract: The existence of ABRI in line with its role in Indonesia after the 1980s
until the 1990s has gained the spotlight and criticism from various segments of society
such as scientists, political experts, intellectuals, public figures and even ABRI's own
retired officers. This situation provoked the reaction of the Indonesian people to the
role of ABRI so intense and criticized that its role in all life arrangements in Indonesia
must be reviewed so as not to suffer the people and the destruction of the Indonesian
nation. The purpose of this research is to know the history of the birth of the TNI, to
know the role of military transition period of government in politics, to know the role of
military transition period of government in economy, to know role of military transition
government in social-culture field. And To know the role of Military during the
transition of Government in the field of Defense. The method used in this research is
historical and qualitative method. Data is collected through literature and
decumentation techniques. The data is obtained from books, magazines, and articles in
its own analysis. Then dianalis using qualitative descriptive. The result of this research
is that there has been a shift in the role of the military during the transition of
Indonesian government where in the era of President Soeharto the role of the military
still feels strong but after the end of the Soeharto government the role of the military
was restored to its original function as a tool of state power in charge of maintaining
the sovereignty, Republic of Indonesia.
PENDAHULUAN
yang bisa dilakukan oleh Koter saat ini satu mengelola satuan-satuan di bawah
komandonya, dua melatih rakyat sebagai komponen pertahanan, tiga menyiapkan dan
melaksanakan kampanye Militer untuk mempertahankan daerah dalam menghadapi
ancaman dari luar, dan empat membantu Pemerintah daerah atas permintaan, khususnya
yang berkaitan dengan masalah pertahanan3.
METODE PENELITIAN
Negara Indonesia pada awal berdirinya sama sekali tidak mempunyai kesatuan
tentara. Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk dalam sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 22 Agustus 1945 yang diumumkan oleh
Presiden Soekarno. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa para pemuda telah turun
tangan untuk mengisi kekosongan dengan jalan membentuk organisasi-organisasi
perjuangan yang dikenal dengan nama ”lasykar”, tetapi merka tidak punya senjata dan
tidak memiliki pemimpin yang berpengalaman dalam bidang keMiliteran. Oleh sebab
itu pemerintah harus menciptakan sebuah pasukan bersenjata yang dapat menegakkan
kekuasaan dalam negeri.
BKR yang berada di daerah maupun pusat, berada di bawah kewenangan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan tidak di bawah perintah Presiden sebagai
panglima tertinggi angkatan perang. BKR hanya disiapkan untuk memelihara keamanan
setempat. Kemudian melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Oktober 1945, BKR diubah
menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada tanggal 7 Januari 1946, Tentara
3
Muhammad Asfar, Terorisme, Sebab Perkembangan dan Kasus, Dalam Islam Lunak dan Islam
Radikal (Surabaya: JP Press, 2003), hlm. 45
5
Keamanan Rakyat berganti nama menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Kemudian pada
tanggal 24 Januari 1946, dirubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia. Karena pada
saat itu di Indonesia terdapat barisan-barisan bersenjata lainnya di samping Tentara
Republik Indonesia, maka pada tanggal 5 Mei 1947 Presiden Soekarno mengeluarkan
keputusan untuk mempersatukan Tentara Republik Indonesia dengan barisan-barisan
bersenjata tersebut menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Penyatuan itu terjadi dan
diresmikan pada tanggal 3 juni 1947, dan disahkan secara resmi berdirinya TNI
Secara umum, Militer di era Reformasi menyatakan dirinya tidak lagi terlibat
dalam politik praktis, dan menegaskan tidak akan mencampuri urusan politik. Melalui
pencanangan reformasi internal TNI, Militer juga ingin menunjukkan bahwa mereka
bersungguh-sungguh menarik diri dari politik. Peralihan kekuasaan dari Presiden
Soeharto kepada penggantinya, B. J. Habibie, menjadi pendorong perubahan kebijakan
yang sangat penting dalam tubuh Militer yang menyangkut peran serta kedudukan
Militer dalam negara.
Era reformasi dirasakan para perwira memberikan keleluasaan kepada Militer
untuk mengembangkan otonomi di lingkungan keMiliteran. Secara umum, Militer di era
4
Harold Crouch, Masalah Dwifungsi ABRI: Menelaah Kembali Format Politik
Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 151
6
Reformasi menyatakan dirinya tidak lagi terlibat dalam politik praktis, dan menegaskan
tidak akan mencampuri urusan politik. Melalui pencanangan reformasi internal TNI,
Militer juga ingin menunjukkan bahwa mereka bersungguh-sungguh menarik diri dari
politik.5 Peralihan kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada penggantinya, B. J.
Habibie, menjadi pendorong perubahan kebijakan yang sangat penting dalam tubuh
Militer yang menyangkut peran serta kedudukan Militer dalam negara.6
5
Mabes TNI, Paradigma Baru Peran TNI (Jakarta: Mabes TNI, 1999), hlm. 24
6
Yuddy Chrisnandi, Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia (Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), hlm. 93
7
Yuddy Chrisnandi, op. Cit. hlm 103
8
Arif Yulianto, op. Cit. hlm 391-397
7
Peran ABRI semakin luas setelah dilegitimasinya Doktrin Dwifungsi ABRI pada
masa Orde Baru. Sejak saat itu ABRI menguasai posisi strategis dalam bidang
ekonomi, baik di perusahaan swasta maupun Pemerintah yaitu Badan Usaha Milik
Negara (BUMN).
Keterlibatan ABRI dalam ekonomi dalam menjalankan perannya, mengambil
keuntungan dari posisi dominan misalnya dalam mengambil kebijaksanaan
pembangunan, dalam birokrasi,sampai dalam hal pembuatan keputusan-keputusan
pemerintah sebagai legalisasi keterlibatan ABRI dalam bidang ekonomi.9
Sedangkan menurut Danang Widoyoko, dalam bukunya yang berjudul Bisnis
Militer Mencari Legitimasi, mengatakan: “Mengenai bisnis Militer, terutama dalam
bentuk yayasan, selama ini tidak dikelola dengan baik. Banyak bisnis Militer yang
justru lebih menguntungkan para mitra dan kantong pribadi para Jenderal ketimbang
kesejahteraan Prajurit secara umum. Apalagi banyak bisnis Militer yang menikmati
fasilitas khusus sehingga menyebabkan persaingan tidak sehat. Pada gilirannya, bisnis
Militer menyebabkan distorsi dalam ekonomi. Di sisi lain, keterlibatan Militer dalam
bisnis berakibat pada menurunnya profesionalisme Prajurit. 10
9
Iswandi, Bisnis Militer Orde Baru (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998), hlm. 1
10
Danang Widoyoko dkk, Bisnis Militer Mencari Legitimasi ( Jakarta: Indonesia corrporotion watch,
2003), hlm. 21
11
Dwi Pratomo Yulianto, Militer dan Kekuasaaan, Narasi (Yogyakarta: Lkis, 2005), hlm. 378
8
Beberapa kebijakan yang diambil oleh Presiden Gus Dur dalam bidang
Ekonomi, terhadap Militer antara lain Diberlakukannya otonomi daerah dan pembagian
keuangan daerah dengan pusat pada tahun 2001. Membentuk Dewan Ekonomi
Nasional. Memberi kebebasan seluas-luasnya kepada setiap suku terutama Tionghoa
yang notabenenya banyak berkecimpung di bidang ekonomi dengan seluas-luasnya. 13
Kebijakan pertama bersentuhan erat dengan Militer, karena dalam
pelaksanaannya dilapangan memerlukan Militer yang bertugas sebagai pengawas
terhadap daerah yang diberikan hak istimewa untuk melaksanakan otonominya.
Walaupun peran Militer di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid sudah tidak sekuat
ketika masa Orde Baru, namun bisnis Militer masih tetap lanjut. Kemudian untuk
menyelamatkan perekonomian Indonesia yang kala itu sedang terpuruk, maka Presiden
Abdurrahman Wahid tidak melibatkan Militer di dalam membentuk Dewan Ekonomi
Nasional (DEN). DEN diketuai oleh Prof. Dr. Emil Salim, wakilnya Subiyakto
Tjakrawerdaya, dan DR. Sri Mulyani Indraswari sebagai sekretaris. Kemudian Presiden
Abdurrahman Wahid memerintahkan kepada Militer, untuk memberikan pelayanan Hak
dan Kewajiban yang sama terhadap suku Tionghoa dalam setiap aspek kehidupan.
Namun di sisi lain Militer masih memainkan perannya dalam praktik bisnis
Militer. Dari pihak Militer sendiri semasa awal-awal pemerintahan Gus Dur, Letjen TNI
Fachrul Razi pernah mengungkapkan, “ reformasi TNI dipastikan akan menyentuh
bisnis Militer. TNI akan memisahkan kegiatan yang bersifat untuk operasional
pertahanan dan kegiatan sosial yang di luar dari konteks pertahanan. Sekali lagi,
kegiatan bisnis Militer bukan untuk membiayai program kegiatan yang bersifat
operasional pertahanan tapi untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga prajurit. Tanpa
bisnis pun TNI akan tetap survive asalkan dukungan anggaran dari negara memadai. 14
Pada masa Orde Baru peran ABRI dalam bidang sosial-budaya mendorong
masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam usaha melestarikan budaya daerah sebagai
unsur kebudayaan dan budaya nasional. Mencegah dan menetralisasi masuknya
pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan budaya
masyarakat setempat. Membantu menyadarkan masyarakat terhadap arti pentingnya
pendidikan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa agar setara dengan bangsa-
bangsa lain yang sudah lebih dulu maju. Membantu mencegah dan menanggulangi
penyalahgunaan obat-obat terlarang (narkotika dan sejenisnya) yang dapat merusak
moral dan mental masyarakat. Membantu menggalakan dan mensukseskan program
12
A. Malik.Haramain, Gusdur Militer dan Politik (Yogyakarta: Lkis, 2004), hlm.223
13
Ibid., hlm 43
14
Republika, 16 Januari 2000, hlm. 5
9
15
Pusjarah dan Tradisi TNI, op. Cit. hlm 27
16
Arif Yulianto op. Cit. hlm 345
17
Ibid., hlm. 357
18
Ibid., hlm 453
10
Adapun kebijakan Presiden Gus Dur terhadap Militer dalam bidang Hankam
yaitu Pengangkatan Menteri Pertahanan dari Kalangan Sipil. Pemberhentian Kapuspen
Hankam Mayjen. TNI Sudrajat yang diganti dengan Marsekal Muda TNI Graito dari
TNI AU. Pemberhentian tersebut dilatarbelakangi oleh pernyataan Mayjen. Sudrajat
bahwa Presiden bukan Panglima Tinggi TNI. Pemberhentian Wiranto sebagai
Menkopolkam yang dilatarbelakangi hubungan yang tidak harmonis antara Wiranto dan
Presiden K.H Abdurrahman wahid. Ketidakharmonisan itu muncul ketika Presiden
mengizinkan dibentuknya Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM untuk
menyelidiki para jendral termasuk Wiranto dalam kasus pelanggaran HAM di Timor
Timur. Kemudian pada tanggal 13 Februari 2000 Presiden mengeluarkan perintah untuk
menonaktifkan Wiranto dari jabatan Menkopolkam. Gus Dur juga ingin mengadakan
referendum Aceh, untuk memilih merdeka atau bergabung dengan RI. Namun hal ini
dibantah oleh Pemerintah, karena bila diadakan jajak pendapat, maka kemungkinan
besar raykat Aceh akan memilih untuk merdeka. Lalu Gus Dur mengurungkan niatnya,
dan hal ini membuat rakyat Aceh merasa kecewa hingga Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) semakin meluas. Pada akhir 1999 Presiden menyetujui nama Papua sebagai
ganti Irian Jaya dan menyetujui pengibaran Bendera Bintang Kejora sebagai bendera
Papua. 20
19
Arif Yulianto, op. Cit. hlm 341
20
Choirie Effendy, PKB Politik Jalan Tengah NU (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2002), hlm. 45
11
Simpulan
Tanggal 5 Oktober 1945 diperingati sebagai hari kelahiran TNI. TNI tidak hanya
bertempur secara fisik saja, akan tetapi terlibat langsung dalam penyusunan strategi
pendirian Bangsa Indonesia. TNI terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
Angkatan Udara. TNI memiliki peran dan tugas yang telah diatur oleh UUD 1945 yang
mana tugas dan peran TNI telah tertulis dengan jelas. Sesuai UU TNI Pasal 7 ayat (1),
Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari
ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Di Era Presiden Soeharto peran ABRI sebagai kekuatan sosial politik,
menitikberatkan pada pemeliharaan dan pemantapan stabilitas politik dalam rangka
menjamin kesinambungan pembangunan nasional. Dan di era Presiden B.J Habibie
Secara umum, Militer menyatakan dirinya tidak lagi terlibat dalam politik praktis, dan
menegaskan tidak akan mencampuri urusan politik. Melalui pencanangan reformasi
internal TNI, Militer juga ingin menunjukkan bahwa mereka bersungguh-sungguh
menarik diri dari politik. Sedangkan di era Presiden Gus Dur saat menjadi Presiden
Militer menilai sebagai pilihan terbaik yang sudah melalui proses konstitusional yang
benar.
Peran ABRI semakin luas setelah dilegitimasinya doktrin Dwifungsi ABRI pada
masa Orde Baru. Sejak saat itu ABRI menguasai posisi strategis dalam bidang
ekonomi, baik di perusahaan swasta maupun Pemerintah yaitu Badan Usaha Milik
Negara (BUMN). Keterlibatan ABRI dalam ekonomi dalam menjalankan perannya,
mengambil keuntungan dari posisi dominan misalnya dalam mengambil kebijaksanaan
pembangunan, dalam birokrasi,sampai dalam hal pembuatan keputusan-keputusan
Pemerintah sebagai legalisasi keterlibatan ABRI dalam bidang ekonomi. Dan TNI
dimasa Presiden B. J. Habibie masih melakukan peranan yang sama dengan peran yang
diemban para parjurit TNI ketika masa Orde Baru yakni, membantu dan mengamankan
penyaluran bahan pokok strategis kebutuhan masyarakat secara merata dalam jumlah
yang mencukupi dan dengan harga yang terjangkau oleh rakyat. Di era Presiden
Abdurrahman Wahid Militer dalam bidang ekonomi sudah mulai berkurang, namun
dalam pelaksanaannya dilapangan pemerintah masih memerlukan Militer untuk
bertugas sebagai pengawas terhadap daerah yang diberikan hak istimewa untuk
melaksanakan otonomi daerah.
Pada masa Presiden Soeharto peranan Milter dalam Sosial-Budaya sangat kuat,
Militer hampir terlibat langsung dalam setiap kegiatan Sosial-Budaya terutama di
daerah pedesaan. Mulai dari pembangunan sarana dan prasarana seperti Sekolah,
Jembatan, Bendungan, Jalan, Puskemas. Semuanya diawali oleh program besar Presiden
Soeharto terhadap Militer, yakni ABRI Masuk Desa. Di era Presiden B. J. Habibie
militer tidak lagi melakukan hal-hal yang bersifat tertutup kepada masyarakat, namun di
era B.J habibie melakukan perananya langsung ke perbatasan dan menangkal segala
kebuduyaan luar agar tidak masuk kedalam negara Indonesia yang mengakibatkan
12
Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
Arif Yulianto. 2002. Hubungan Sipil Militer Di Inonesia Pasca Orba Ditengah
Pusaran Demokrasi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Choirie Effendy. 2002. PKB Politik Jalan Tengah NU. Pustaka Ciganjur. Jakarta
Danang Widoyoko dkk. 2003. Bisnis Militer Mencari Legitimasi. Indonesia
corrporotion watch. Jakarta
Dwi Pratomo Yulianto. 2005. Militer dan Kekuasaaan, Narasi. Lkis. Yogyakarta
Harold Crouch. 1995. Masalah Dwifungsi ABRI: Menelaah Kembali Format Politik
Orde Baru. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
13
Kacung Marijan. 2012. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde
Baru. Kencana Prenada Media. Jakarta
Markas Besar TNI. 1999. Paradigma Baru Peran TNI. Mabes TNI. Jakarta
Muhammad Asfar. 2003. Terorisme, Sebab Perkembangan dan Kasus, Dalam Islam
Lunak dan Islam Radikal. JP Press. Surabaya
Pusjarah dan Tradisi TNI. 2000. Sejarah TNI Jilid I – V. Mabes TNI. Jakarta