Pergeseran Peranan Militer Masa Transisi

Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 13

1

TRENDS OF MILITARY ROLE OF THE INDONESIAN


GOVERNMENT TRANSITION (1997-2000)

Eggi Makhasuci* Drs. H. Kamaruddin, M.Si **. Drs. Tugiman, MS***


Email:eggimsc25@gmail.com, kamaruddin@gmail.com, tugiman_unri@yahoo.com
Cp: 085271303132

Education Department of Social Sciences


History Education FKIP-Riau University
Jl. Bina Widya Km 12,5 Pekanbaru

Abstract: The existence of ABRI in line with its role in Indonesia after the 1980s
until the 1990s has gained the spotlight and criticism from various segments of society
such as scientists, political experts, intellectuals, public figures and even ABRI's own
retired officers. This situation provoked the reaction of the Indonesian people to the
role of ABRI so intense and criticized that its role in all life arrangements in Indonesia
must be reviewed so as not to suffer the people and the destruction of the Indonesian
nation. The purpose of this research is to know the history of the birth of the TNI, to
know the role of military transition period of government in politics, to know the role of
military transition period of government in economy, to know role of military transition
government in social-culture field. And To know the role of Military during the
transition of Government in the field of Defense. The method used in this research is
historical and qualitative method. Data is collected through literature and
decumentation techniques. The data is obtained from books, magazines, and articles in
its own analysis. Then dianalis using qualitative descriptive. The result of this research
is that there has been a shift in the role of the military during the transition of
Indonesian government where in the era of President Soeharto the role of the military
still feels strong but after the end of the Soeharto government the role of the military
was restored to its original function as a tool of state power in charge of maintaining
the sovereignty, Republic of Indonesia.

Keywords: Shifting, Military, Government of Indonesia


2

PERGESERAN PERANAN MILITER MASA TRANSISI


PEMERINTAHAN INDONESIA (1997-2000)

Eggi Makhasuci* Drs. H. Kamaruddin, M.Si **. Drs. Tugiman, MS***


Email:eggimsc25@gmail.com, kamaruddin@gmail.com, tugiman_unri@yahoo.com
Cp: 085271303132

Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial


Pendidikan Sejarah FKIP-Univerisitas Riau
Jl. Bina Widya Km 12,5 Pekanbaru

Abstrak: Keberadaan ABRI sejalan dengan peranannya di Indonesia setelah


tahun 1980 sampai dengan tahun 1990-an telah mendapatkan sorotan dan kritikan dari
berbagai lapisan masyarakat seperti para ilmuwan, pakar politik, cendekiawan, tokoh-
tokoh masyarakat dan bahkan dari kalangan purnawirawan ABRI itu sendiri. Keadaan
ini menimbulkan reaksi masyarakat Indonesia terhadap peran dari ABRI begitu gencar
dan mendapatkan kritik sehingga peranannya dalam segala tatanan kehidupan di
Indonesia harus ditinjau kembali agar tidak menyengsarakan rakyat dan kehancuran
bangsa Indonesia. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui sejarah
lahirnya TNI, Untuk mengetahui peranan Militer masa transisi Pemerintahan dibidang
Politik, Untuk mengetahui peranan Militer masa transisi Pemerintahan dibidang
Ekonomi, Untuk mengetahui peranan Militer masa transisi Pemerintahan dibidang
Sosial-budaya. Dan Untuk mengetahui peranan Militer masa transisi Pemerintahan
dibidang Hankam. Metode yang di gunakan dalam penelitian ini ialah metode sejarah
dan kualitatif. Data dikumpulkan melalui teknik kepustakaan dan dekumentasi. Data
diperoleh dari buku-buku, majalah-majalah, dan artikel-artikel di analisa sendiri.
Kemudian dianalis menggunakan deskriftif kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah
telah terjadi pergeseran peranan Militer masa Transisi pemerintahan Indonesia dimana
pada era Presiden Soeharto peranan Militer masih terasa kuat namun setelah
berakhirnya pemerintahan Soeharto peranan Militer dikembalikan ke fungsi awalnya
yakni sebagai alat kekuasaan Negara yang bertugas menjaga kedaulatan, ketahanan dan
keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kata Kunci: Pergeseran, Militer, Pemerintah Indonesia


3

PENDAHULUAN

Keberadaan Aangkatan Bersenjata Repblik Indonesia (ABRI) sejalan dengan


peranannya di Indonesia setelah tahun 1980 sampai dengan tahun 1990-an telah
mendapatkan sorotan dan kritikan dari berbagai lapisan masyarakat seperti para
ilmuwan, pakar politik, cendekiawan, tokoh-tokoh masyarakat dan bahkan dari
kalangan purnawirawan ABRI itu sendiri. Persepsi dan kritik itu timbul karena
keberadaan ABRI dalam praktek yang ditemukan dilapangan terdapat beberapa
penyimpangan, karena dalam konsep Dwi Fungsi ABRI memang mengarah pada
kekuasaan Militer, Pemerintahan diktator dan Pemerintahan Militerisme.
Sehingga reaksi masyarakat Indonesia terhadap peran dari ABRI begitu gencar
dan mendapatkan kritik sehingga peranannya dalam segala tatanan kehidupan di
Indonesia harus ditinjau kembali agar tidak menyengsarakan rakyat dan kehancuran
bangsa Indonesia. Reformasi di Militer yang terjadi pasca tahun 1998 atau dikatakan
pasca Orde Baru tersebut terjadi karena adanya tuntutan masyarakat maupun tuntutan
dalam internal Militer itu sendiri. Hal ini bertujuan agar Militer bisa bekerja sesuai
dengan profesionalitasnya sebagai penjaga keamanan dan kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Dalam Negara yang demokratis, peran Militer hanyalah sebagai alat pertahanan
yang tunduk pada supremasi sipil. Militer dituntut profesional dalam menjalankan
perannya sebagai satu kesatuan tugas yang menjaga pertahanan dan kedaulatan NKRI,
dan tidak ikut campur di ranah sosial, ekonomi, maupun politik atau biasa disebut
wilayah non-pertahanan.
            Maka itu berangkat dari permasalahan diatas muncul suatau gagasan baru, yakni
melakukan pembenahan ditubuh Militer. Untuk membenahi Militer ada sebuah upaya
untuk memisahkan kedudukan antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan
Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Sebagai bagian penting untuk membangun
kembali Militer yang lebih terkonsentrasi pada masalah-masalah kriminal, keamanan,
ketertiban, pelayanan masyarakat, dan pertahanan serta kedaulatan Negara.
  Tuntutan Reformasi di internal TNI, juga sejalan dengan adanya tuntutan
terhadap kedudukan Koter. Koter dianggap tidak diperlukan dan kalau perlu
dihapuskan, guna memaksimalkan kebebasan berdemokrasi bagi rakyat, karena
keberadaan Koter serta pengalaman di masa lalu yang menyebabkan Koter justru
dianggap sebagai penghambat proses demokratisasi. Setidaknya ada beberapa alasan
mengenai penghapusan Koter, seperti pendapat dari Marijan Kacung “Pertama,
penghapusan itu merupakan keniscayaan sejarah sebagai perwujudan dari kemauan TNI
untuk merespons perkembangan yang ada didalam masyarakat. Kedua, penghapusan
Koter dapat mendorong percepatan demokrasi. Ketiga, penghapusan Koter sejalan
dengan kebijakan mengenai Otonomi Daerah. Terakhir, keberadaan Koter di beberapa
daerah selama ini justru dianggap sebagai “parasit”.1
Sementara itu, menurut TNI penghapusan Dwi Fungsi ABRI tidak semerta-
merta juga menghapus adanya Koter. Dalam pandangan TNI, yang terpenting bukan
pada dibubar atau tidaknya Koter, melainkan perlunya refungsionalisasi lembaga itu.2
Menurut TNI masih ada fungsi teritorial yang harus dilaksanakan oleh Koter
yang berkaitan dengan masalah-masalah pertahanan. Paling tidak, ada empat fungsi
1
Ibid., hlm. 257
2
Markas Besar TNI, Implementasi Paradigma Baru TNI dalam keadaan mutakhir (Jakarta: Mabes TNI,
2001), hlm.15
4

yang bisa dilakukan oleh Koter saat ini satu mengelola satuan-satuan di bawah
komandonya, dua melatih rakyat sebagai komponen pertahanan, tiga menyiapkan dan
melaksanakan kampanye Militer untuk mempertahankan daerah dalam menghadapi
ancaman dari luar, dan empat membantu Pemerintah daerah atas permintaan, khususnya
yang berkaitan dengan masalah pertahanan3.

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini penulis mengunakan metode history/sejarah, karena dengan


mengunakan metode sejarah gambaran masa lampau itu akan dapat diuraikan secara
sistematis dan objektif serta dapat menginterpretasikan bahan-bahan yang akan
diperoleh sehingga kebenaran suatu penelitian dapat dipertanggung jawabkan.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif . Adapun teknik yang
digunakan dalam proses pengumpulan data yaitu Teknik dokumentasi. Gambar yang
digunakan adalah gambar dari pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dokumentasi
pada gambar tersebut diperoleh dari internet dan dari buku. Teknik kepustakaan,
Adapun beberapa judul buku yang bersangkutan yaitu buku TNI di Era Perubahan, buku
kedua bejudul Reformasi TNI, buku ketiga dengan judul Gus Dur Versus Militer, buku
keempat berjudul Gus Dur Militer dan Politik, buku kelima berjudul Hubungan Sipil-
Militer di Indonesia Pasca Orde Baru. Sumber-sumber tersebut diperoleh dari
perpustakaan Universitas Riau dan Perpustakaan Wilayah Provinsi Riau. Dalam
penelitian ini, juga mencari data-data yang didapat dapat dari buku-buku yang masih
berkaitan dengan judul kemudian dianalisis dalam bentuk penelitian serta ditambahkan
keterangan yang sifatnya mendukung dalam menjelaskan hasil penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejarah Terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI)

Negara Indonesia pada awal berdirinya sama sekali tidak mempunyai kesatuan
tentara. Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk dalam sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 22 Agustus 1945 yang diumumkan oleh
Presiden Soekarno. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa para pemuda telah turun
tangan untuk mengisi kekosongan dengan jalan membentuk organisasi-organisasi
perjuangan yang dikenal dengan nama ”lasykar”, tetapi merka tidak punya senjata dan
tidak memiliki pemimpin yang berpengalaman dalam bidang keMiliteran. Oleh sebab
itu pemerintah harus menciptakan sebuah pasukan bersenjata yang dapat menegakkan
kekuasaan dalam negeri.
BKR yang berada di daerah maupun pusat, berada di bawah kewenangan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan tidak di bawah perintah Presiden sebagai
panglima tertinggi angkatan perang. BKR hanya disiapkan untuk memelihara keamanan
setempat. Kemudian melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Oktober 1945, BKR diubah
menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada tanggal 7 Januari 1946, Tentara
3
Muhammad Asfar, Terorisme, Sebab Perkembangan dan Kasus, Dalam Islam Lunak dan Islam
Radikal (Surabaya: JP Press, 2003), hlm. 45
5

Keamanan Rakyat berganti nama menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Kemudian pada
tanggal 24 Januari 1946, dirubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia. Karena pada
saat itu di Indonesia terdapat barisan-barisan bersenjata lainnya di samping Tentara
Republik Indonesia, maka pada tanggal 5 Mei 1947 Presiden Soekarno mengeluarkan
keputusan untuk mempersatukan Tentara Republik Indonesia dengan barisan-barisan
bersenjata tersebut menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Penyatuan itu terjadi dan
diresmikan pada tanggal 3 juni 1947, dan disahkan secara resmi berdirinya TNI

Peranan Militer dalam bidang Politik

Era Presiden Soeharto

Setelah Presiden Soeharto berkuasa, maka ia menempatkan Militer sebagai


bagian penting dari alat melanggengkan dan memperluas kekuasaannya. ABRI yang
dalam konteks ini adalah TNI, dijadikan instrumen penting dalam menjaga kebijakan
yang dijalakan oleh Orde Baru. Dengan dalih menjaga stabilitas, Presiden Soeharto
memberikan banyak peran istimewa yakni, menempatkan banyak perwira Militer
sebagai Menteri, Gubernur, Walikota, Bupati, Sekjen, Irjen di Badan Usaha Milik
Negara (BUMN).
Terdapat sekurang-kurangnya tiga bentuk birokratisasi era Orde Baru di bawah
kepemimpinan Presiden Soeharto, Melakukan pembesaran jumlah anggota birokrasi
secara kuantitatif. Memberikan kewenangan besar kepada birokrasi untuk menjadi
perpanjangan tangan negara untuk mengontrol masyarakat. Memasukkan kekuatan
Militer ke dalam birokrasi, baik tingkat pusat maupun daerah. Sebagai wakil rakyat,
fraksi ABRI serta fraksi-fraksi lainnya adalah melindungi kepentingan rakyat dan
menyalurkan aspirasi serta tuntutannya. Untuk dapat melaksanakan perannanya, setiap
anggota fraksi ABRI perlu mengenal benar keadaan masyarakat Indonesia yang
beraneka ragam dan sedang mengalami masa transisi. Sebagai usaha untuk mengenal
keadaan masyarakat, setiap anggota fraksi ABRI diberi penugasan wilayah, melalui
fraksi ABRI di DPRD-I dan DPRD-II serta para karyawan ABRI baik dipusat maupun
di daerah sampai kedesa-desa.4

Era Presiden B. J. Habibie

Secara umum, Militer di era Reformasi menyatakan dirinya tidak lagi terlibat
dalam politik praktis, dan menegaskan tidak akan mencampuri urusan politik. Melalui
pencanangan reformasi internal TNI, Militer juga ingin menunjukkan bahwa mereka
bersungguh-sungguh menarik diri dari politik. Peralihan kekuasaan dari Presiden
Soeharto kepada penggantinya, B. J. Habibie, menjadi pendorong perubahan kebijakan
yang sangat penting dalam tubuh Militer yang menyangkut peran serta kedudukan
Militer dalam negara.
Era reformasi dirasakan para perwira memberikan keleluasaan kepada Militer
untuk mengembangkan otonomi di lingkungan keMiliteran. Secara umum, Militer di era

4
Harold Crouch, Masalah Dwifungsi ABRI: Menelaah Kembali Format Politik
Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 151
6

Reformasi menyatakan dirinya tidak lagi terlibat dalam politik praktis, dan menegaskan
tidak akan mencampuri urusan politik. Melalui pencanangan reformasi internal TNI,
Militer juga ingin menunjukkan bahwa mereka bersungguh-sungguh menarik diri dari
politik.5 Peralihan kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada penggantinya, B. J.
Habibie, menjadi pendorong perubahan kebijakan yang sangat penting dalam tubuh
Militer yang menyangkut peran serta kedudukan Militer dalam negara.6

Era Presiden K. H Abdurrahman Wahid

Terpilihnya K. H Abdurrahman Wahid menjadi Presiden setelah mengungguli


Megawati Soekarnoputri pada 20 Oktober 1999, dengan perolehan suara 373
berbanding dengan 313. Dalam kemenangan tersebut Militer menilai sebagai pilihan
terbaik yang sudah melalui proses konstitusional yang benar. Kalangan Militer sendiri
telah memastikan, bahwa dalam proses pemilihan Presiden dengan wakilnya tidak ada
instruksi komando untuk memilih calon tertentu kepada anggota fraksi ABRI.7
Pemerintahan K.H. Abdurrahman Wahid melakukan banyak perubahan yang
signifikan yang berkaitan dengan fungsi Militer. Gus Dur secara perlahan mereduksi
eksistensi Militer dalam kehidupan sosial politik masyarakat. Berikut beberapa
kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid terhadap eksistensi Militer di Indonesia: 8
Pemisahan TNI-Polri dengan dikeluarkannya Keppres No 89 tahun 2000, yang
ditegaskan dengan ketetapan MPR/VI/2000 tentang pemisahan TNI-Polri. Penghapusan
Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakortanas) dan Penelitian
Khusus (Litsus), melalui dikeluarkannya Keppres No. 38 tahun 2000 Perubahan
Kementrian Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) menjadi Kementrian Pertahanan
(Menhan) dengan sipil sebagai menteri pertahanan. Melakukan rotasi kepemimpinan
tertinggi TNI (Panglima TNI) dari biasanya dipegang oleh Angkatan Darat kemudian
Angkatan Laut dan selanjutnya Angkatan Udara. Dicopotnya Jendral TNI Wiranto dari
jabatannya sebagai Menkopolkam, karena dianggap terlibat dalam pelanggaran HAM di
Timor-Timur pasca referendum. Dihapuskannya posisi wakil Pangab. Rotasi perwira
tinggi seperti dilakukannya pergantian posisi Panglima Komando Cadangan Strategi
Angkatan Darat (Pangkostrad).

Peranan Militer dalam bidang Ekonomi

Era Presiden Soeharto

5
Mabes TNI, Paradigma Baru Peran TNI (Jakarta: Mabes TNI, 1999), hlm. 24
6
Yuddy Chrisnandi, Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia (Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), hlm. 93
7
Yuddy Chrisnandi, op. Cit. hlm 103
8
Arif Yulianto, op. Cit. hlm 391-397
7

Peran ABRI semakin luas setelah dilegitimasinya Doktrin Dwifungsi ABRI pada
masa Orde Baru. Sejak saat itu ABRI menguasai posisi strategis dalam bidang
ekonomi, baik di perusahaan swasta maupun Pemerintah yaitu Badan Usaha Milik
Negara (BUMN).
Keterlibatan ABRI dalam ekonomi dalam menjalankan perannya, mengambil
keuntungan dari posisi dominan misalnya dalam mengambil kebijaksanaan
pembangunan, dalam birokrasi,sampai dalam hal pembuatan keputusan-keputusan
pemerintah sebagai legalisasi keterlibatan ABRI dalam bidang ekonomi.9
Sedangkan menurut Danang Widoyoko, dalam bukunya yang berjudul Bisnis
Militer Mencari Legitimasi, mengatakan: “Mengenai bisnis Militer, terutama dalam
bentuk yayasan, selama ini tidak dikelola dengan baik. Banyak bisnis Militer yang
justru lebih menguntungkan para mitra dan kantong pribadi para Jenderal ketimbang
kesejahteraan Prajurit secara umum. Apalagi banyak bisnis Militer yang menikmati
fasilitas khusus sehingga menyebabkan persaingan tidak sehat. Pada gilirannya, bisnis
Militer menyebabkan distorsi dalam ekonomi. Di sisi lain, keterlibatan Militer dalam
bisnis berakibat pada menurunnya profesionalisme Prajurit. 10

Era Presiden B. J. Habibie

Pemerintahan Presiden B.J Habibie juga disebut sebagai pemerintahan


transisional, karena tekad dari Presiden B.J Habibie yang ketika itu menjabat sebagai
Presiden pengganti, ingin membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi yang melanda
dunia khususnya di kawasan Association of Southeast Asian Nation (ASEAN).
Berbekal dari ilmu yang di dapatnya ketika masih bekerja di Munich, Germany,
Presiden B. J. Habibie ingin membawa Pesawat Terbang buatan Indonesia bisa
mengudara di langit Nusantara.
Setelah tergulingnya pemerintahan Orde Baru, peranan politik, sosial, maupun
ekonomi TNI lambat laun mulai dikurangi , sehingga Militer tidak lagi menjadi
kekuatan dominan sebagaimana yang terjadi ketika masa Orde Baru. Meski begitu,
surutnya peranan Militer dalam pemerintahan Presiden B. J. Habibie, tidak
mempengaruhi daya tawar Militer terhadap kebijakan pemerintahan sipil. Kekuatan sipil
mulai berada pada posisi yang seimbang dengan kekuatan Militer dalam menentukan
proses kebijakan politik. Secara formal, Militer tidak lagi dilibatkan langsung dalam
urusan politik, namun secara faktual pengaruh Militer diperlukan kekuatan politik sipil
untuk mendukung agendanya.11
Setidaknya Presiden Habibie pernah mengeluarkan kebijakan mengejutkan yang
cukup memukul dunia bisnis Militer. Saat itu Habibie memerintahkan menarik izin
HPH dari tangan PT Yamaker yang diketahui merupakan rekanan swasta di bawah
naungan yayasan Hankam. Kebijakan tersebut mengejutkan tidak saja karena konsesi
yang dikuasai perusahaan tergolong besar, tetapi juga karena saat itu hubungan
Presiden Habibie dan Militer sendiri berada dalam fluktuasi mendekat dan menjauh

9
Iswandi, Bisnis Militer Orde Baru (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998), hlm. 1
10
Danang Widoyoko dkk, Bisnis Militer Mencari Legitimasi ( Jakarta: Indonesia corrporotion watch,
2003), hlm. 21
11
Dwi Pratomo Yulianto, Militer dan Kekuasaaan, Narasi (Yogyakarta: Lkis, 2005), hlm. 378
8

secara sangat cepat. Setidaknya di Kalimantan Barat saja, PT Yamaker diketahui


menguasai HPH seluas 843.500 ha, dan di Kalimantan Timur luasnya 265.000 ha. 12

Era Presiden K. H. Abdurahman Wahid

Beberapa kebijakan yang diambil oleh Presiden Gus Dur dalam bidang
Ekonomi, terhadap Militer antara lain Diberlakukannya otonomi daerah dan pembagian
keuangan daerah dengan pusat pada tahun 2001. Membentuk Dewan Ekonomi
Nasional. Memberi kebebasan seluas-luasnya kepada setiap suku terutama Tionghoa
yang notabenenya banyak berkecimpung di bidang ekonomi dengan seluas-luasnya. 13
Kebijakan pertama bersentuhan erat dengan Militer, karena dalam
pelaksanaannya dilapangan memerlukan Militer yang bertugas sebagai pengawas
terhadap daerah yang diberikan hak istimewa untuk melaksanakan otonominya.
Walaupun peran Militer di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid sudah tidak sekuat
ketika masa Orde Baru, namun bisnis Militer masih tetap lanjut. Kemudian untuk
menyelamatkan perekonomian Indonesia yang kala itu sedang terpuruk, maka Presiden
Abdurrahman Wahid tidak melibatkan Militer di dalam membentuk Dewan Ekonomi
Nasional (DEN). DEN diketuai oleh Prof. Dr. Emil Salim, wakilnya Subiyakto
Tjakrawerdaya, dan DR. Sri Mulyani Indraswari sebagai sekretaris. Kemudian Presiden
Abdurrahman Wahid memerintahkan kepada Militer, untuk memberikan pelayanan Hak
dan Kewajiban yang sama terhadap suku Tionghoa dalam setiap aspek kehidupan.
Namun di sisi lain Militer masih memainkan perannya dalam praktik bisnis
Militer. Dari pihak Militer sendiri semasa awal-awal pemerintahan Gus Dur, Letjen TNI
Fachrul Razi pernah mengungkapkan, “ reformasi TNI dipastikan akan menyentuh
bisnis Militer. TNI akan memisahkan kegiatan yang bersifat untuk operasional
pertahanan dan kegiatan sosial yang di luar dari konteks pertahanan. Sekali lagi,
kegiatan bisnis Militer bukan untuk membiayai program kegiatan yang bersifat
operasional pertahanan tapi untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga prajurit. Tanpa
bisnis pun TNI akan tetap survive asalkan dukungan anggaran dari negara memadai. 14

Peranan Militer dalam bidang Sosial-Budaya

Era Presiden Soeharto

Pada masa Orde Baru peran ABRI dalam bidang sosial-budaya mendorong
masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam usaha melestarikan budaya daerah sebagai
unsur kebudayaan dan budaya nasional. Mencegah dan menetralisasi masuknya
pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan budaya
masyarakat setempat. Membantu menyadarkan masyarakat terhadap arti pentingnya
pendidikan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa agar setara dengan bangsa-
bangsa lain yang sudah lebih dulu maju. Membantu mencegah dan menanggulangi
penyalahgunaan obat-obat terlarang (narkotika dan sejenisnya) yang dapat merusak
moral dan mental masyarakat. Membantu menggalakan dan mensukseskan program
12
A. Malik.Haramain, Gusdur Militer dan Politik (Yogyakarta: Lkis, 2004), hlm.223
13
Ibid., hlm 43
14
Republika, 16 Januari 2000, hlm. 5
9

kependudukan sebagai upaya meningkatakan kesejahteraan keluarga/masyarakat.


Membantu mengadakan penyuluhan mengenai arti pentingnya kesehatan masyarakat
sebagai upaya mewujudkan masyarakat yang sehat. Mendorong terwujudnya kerukunan
hidup antar berbagai suku, agama, dan antar golongan (SARA) melalui kegiatan-
kegiatan terpadu, positif dan terwujudnya integrasi nasional di kalangan masyarakat.
Mendorong pembinaan generasi muda/mahasiswa agar berkembang menjadi kader-
kader penerus perjuangan bangsa yang handal, berwawasan kebangsaan secara luas dan
utuh serta berkepribadian Pancasila. 15

Era Presiden B. J. Habibie

Setelah terlepasnya Timor-Timur dari NKRI, maka Presiden B. J. Habibie


mengambil langkah cepat dengan menempatkan para prajurit Militer diperbatasan
Indonesia. Hal ini dikarenakan kekhawatiran Presiden dengan pengaruh-pengaruh
budaya dari luar yang bisa mengancam integritas Indonesia.
ABRI membentuk Satuan Keamanan Rakyat yang bertugas tidak hanya menjaga
kedaulatan NKRI, tetapi juga sebagai pengayom masyarakat khususnya di daerah
terluar, tertinggal, dan terisolir. Membantu memelihara kelestarian lingkungan hidup
sebagai sumber daya yang dapat diperbaharui. Mencegah dan menetralisasi masuknya
pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan budaya
masyarakat setempat.16
Disamping itu, perubahan nama ABRI menjadi TNI berdampak positif terhadap
elektabilitas TNI dimata masyarakat. Banyak kalangan menilai ABRI adalah produk
yang terlahir pada masa Orde Baru dan bersifat kaku dan otoriter. Sedangkan TNI bagi
kebanyakan masyarakat luas, adalah sebuah korps yang berperan menjaga pertahanan
dan keamanan serta kedaulatan NKRI, serta lebih bersifat terbuka dengan dunia luar.17

Presiden Abdurahman Wahid

Untuk mengatasi masalah disintegrasi antar umat beragama, maka Presiden


mengambil langkah kebijakan dengan memberikan kebebasan dalam kehidupan
bermasyarakat dan beragama. Hal itu dibuktikan dengan dikeluarkannya beberapa
keputusan. Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, mengenai pemulihan Hak Sipil
Penganut Agama Konghucu. Etnis Cina yang selama masa Orde Baru selalu dibatasi,
dengan dikeluarkannya keppres Nomor 6 Tahun 2000, maka masyarakat konghucu bisa
melaksanakan festival budaya mereka secara terbuka. Menetapkan Tahun Baru kalender
China (IMLEK) sebagai hari libur nasional. Mendorong masyarakat untuk ikut
berpartisipasi dalam usaha melestarikan budaya daerah sebagai unsur kebudayaan dan
budaya nasional. 18

Peranan Militer dalam bidang Hankam

15
Pusjarah dan Tradisi TNI, op. Cit. hlm 27
16
Arif Yulianto op. Cit. hlm 345
17
Ibid., hlm. 357
18
Ibid., hlm 453
10

Era Presiden Soeharto

Berdasarkan ideologi politik yang diperjuangkan ABRI sebagaimana tercantum


dalam Saptamarga, ABRI tidak akan membiarkan berdirinya Pemerintahan diktator atau
diktator Militer di Indonesia. Walaupun ABRI sudah berusaha sebaik-baiknya dalam
menyikapi doktrin-doktrin pada tiap-tiap angkatan, namun diakui bahwa perbedaan-
perbedaan yang diakibatkan oleh doktrin-doktrin angkatan belum dapat sepenuhnya
dihilangkan. Perbedaan itu menimbulkan aspek-aspek psikologis yang dapat
mengganggu pembinaan kerjasama yang berakibat ABRI belum mencapai integrasi
tugas dan fungsi sebagai alat Hankam.

Era Presiden B. J. Habibie

Dalam masa kepemimpinannya, Presiden B. J. Habibie memberikan kekuasaan


penuh terhadap Panglima TNI yang ketika itu dijabat oleh Jenderal TNI Wiranto, untuk
mengelola Militer secara menyeluruh. Presiden B. J. Habibie tidak pernah mencampuri
urusan internal ABRI, kecuali hanya melalui tangan Jenderal TNI Wiranto. 19 Kemudian
di tahun 1999 Presiden B.J. Habibie mengirimkan pasukan pengamanan ke Dilli
Provinsi Timor Timur. Dengan tujuan untuk mengamankan referendum bagi Provinsi
termuda Indonesia kala itu. Sejalan dengan itu Jenderal TNI Wiranto yang saat
menjabat sebagai Menhankam / Panglima ABRI mengirimkan pasukan TNI dengan
kekuatan penuh untuk mengamankan jalannya referendum.

Era Presiden Abdurahman Wahid

Adapun kebijakan Presiden Gus Dur terhadap Militer dalam bidang Hankam
yaitu Pengangkatan Menteri Pertahanan dari Kalangan Sipil. Pemberhentian Kapuspen
Hankam Mayjen. TNI Sudrajat yang diganti dengan Marsekal Muda TNI Graito dari
TNI AU. Pemberhentian tersebut dilatarbelakangi oleh pernyataan Mayjen. Sudrajat
bahwa Presiden bukan Panglima Tinggi TNI. Pemberhentian Wiranto sebagai
Menkopolkam yang dilatarbelakangi hubungan yang tidak harmonis antara Wiranto dan
Presiden K.H Abdurrahman wahid. Ketidakharmonisan itu muncul ketika Presiden
mengizinkan dibentuknya Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM untuk
menyelidiki para jendral termasuk Wiranto dalam kasus pelanggaran HAM di Timor
Timur. Kemudian pada tanggal 13 Februari 2000 Presiden mengeluarkan perintah untuk
menonaktifkan Wiranto dari jabatan Menkopolkam. Gus Dur juga ingin mengadakan
referendum Aceh, untuk memilih merdeka atau bergabung dengan RI. Namun hal ini
dibantah oleh Pemerintah, karena bila diadakan jajak pendapat, maka kemungkinan
besar raykat Aceh akan memilih untuk merdeka. Lalu Gus Dur mengurungkan niatnya,
dan hal ini membuat rakyat Aceh merasa kecewa hingga Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) semakin meluas. Pada akhir 1999 Presiden menyetujui nama Papua sebagai
ganti Irian Jaya dan menyetujui pengibaran Bendera Bintang Kejora sebagai bendera
Papua. 20

19
Arif Yulianto, op. Cit. hlm 341
20
Choirie Effendy, PKB Politik Jalan Tengah NU (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2002), hlm. 45
11

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Simpulan

Tanggal 5 Oktober 1945 diperingati sebagai hari kelahiran TNI. TNI tidak hanya
bertempur secara fisik saja, akan tetapi terlibat langsung dalam penyusunan strategi
pendirian Bangsa Indonesia. TNI terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
Angkatan Udara. TNI memiliki peran dan tugas yang telah diatur oleh UUD 1945 yang
mana tugas dan peran TNI telah tertulis dengan jelas. Sesuai UU TNI Pasal 7 ayat (1),
Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari
ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Di Era Presiden Soeharto peran ABRI sebagai kekuatan sosial politik,
menitikberatkan pada pemeliharaan dan pemantapan stabilitas politik dalam rangka
menjamin kesinambungan pembangunan nasional. Dan di era Presiden B.J Habibie
Secara umum, Militer menyatakan dirinya tidak lagi terlibat dalam politik praktis, dan
menegaskan tidak akan mencampuri urusan politik. Melalui pencanangan reformasi
internal TNI, Militer juga ingin menunjukkan bahwa mereka bersungguh-sungguh
menarik diri dari politik. Sedangkan di era Presiden Gus Dur saat menjadi Presiden
Militer menilai sebagai pilihan terbaik yang sudah melalui proses konstitusional yang
benar.
Peran ABRI semakin luas setelah dilegitimasinya doktrin Dwifungsi ABRI pada
masa Orde Baru. Sejak saat itu ABRI menguasai posisi strategis dalam bidang
ekonomi, baik di perusahaan swasta maupun Pemerintah yaitu Badan Usaha Milik
Negara (BUMN). Keterlibatan ABRI dalam ekonomi dalam menjalankan perannya,
mengambil keuntungan dari posisi dominan misalnya dalam mengambil kebijaksanaan
pembangunan, dalam birokrasi,sampai dalam hal pembuatan keputusan-keputusan
Pemerintah sebagai legalisasi keterlibatan ABRI dalam bidang ekonomi. Dan TNI
dimasa Presiden B. J. Habibie masih melakukan peranan yang sama dengan peran yang
diemban para parjurit TNI ketika masa Orde Baru yakni, membantu dan mengamankan
penyaluran bahan pokok strategis kebutuhan masyarakat secara merata dalam jumlah
yang mencukupi dan dengan harga yang terjangkau oleh rakyat. Di era Presiden
Abdurrahman Wahid Militer dalam bidang ekonomi sudah mulai berkurang, namun
dalam pelaksanaannya dilapangan pemerintah masih memerlukan Militer untuk
bertugas sebagai pengawas terhadap daerah yang diberikan hak istimewa untuk
melaksanakan otonomi daerah.
Pada masa Presiden Soeharto peranan Milter dalam Sosial-Budaya sangat kuat,
Militer hampir terlibat langsung dalam setiap kegiatan Sosial-Budaya terutama di
daerah pedesaan. Mulai dari pembangunan sarana dan prasarana seperti Sekolah,
Jembatan, Bendungan, Jalan, Puskemas. Semuanya diawali oleh program besar Presiden
Soeharto terhadap Militer, yakni ABRI Masuk Desa. Di era Presiden B. J. Habibie
militer tidak lagi melakukan hal-hal yang bersifat tertutup kepada masyarakat, namun di
era B.J habibie melakukan perananya langsung ke perbatasan dan menangkal segala
kebuduyaan luar agar tidak masuk kedalam negara Indonesia yang mengakibatkan
12

terselenggaranya ketertiban dalam bidang sosial-budaya di Indonesia. Sejalan dengan


kebijakan Presiden Gus Dur tentang kebebasan dalam kehidupan bermasyarakat dan
beragama maka Presiden Gus Dur memerlukan bantuan Militer untuk dapat
merealisasikannya. Dengan memberikan intruksi kepada internal Militer untuk turut
serta dalam acara pesta rakyat seperti misalnya festival Barongsai, Bakar Tongkang,
dengan melibatkan unsur Militer sebagai keamanan dan juga sebagai satu kesatuan
dalam acara budaya tersebut.
Masa Orde Baru, peranan ABRI dalam bidang Hankam menjadi penting sebagai
alat negara yang mendapat legitimasi untuk menjaga pertahanan dan keamanan nasional
baik intern maupun ekstern. Pada masa Pemerintahan Habibie, orang bebas
mengemukakan pendapatnya di muka umum. Presiden Habibie memberikan ruang bagi
siapa saja yang ingin menyampaikan pendapat, baik dalam bentuk rapat-rapat umum
maupun unjuk rasa atau demonstrasi. Di era Presiden Gusdur peranan militer di bidang
pertahanan dan keamanan bahwa militer di gunakan untuk melawan gerakan-gerakan
separatis seperti yang terjadi di Aceh. Namun keikutcampuran Presiden Gus Dur dalam
militer terlihat jelas dengan mengganti pimpinan Militer sesuka hati namun hal ini tida
serta merta menggoyahkan peranan Militer di bidang pertahanan dan keamanan karena
pada hakekatnya militer wajib menjaga pertahanan dan keamanan.

Rekomendasi

Agar pembaca dapat menambah wawasan, informasi, dan pengetahuan


kepustakaan setelai selesai membaca hasil penelitian ini. Militer seharusnya dapat
memaksimalkan peran utama Militernya, yakni menjaga keutuhan NKRI dan kedaulatan
Negara. Keterlibatan Militer dalam politik praktis, seharusnya ditiadakan lagi sebab
dapat mempengaruhi peranan utama Miiliter. Setelah membaca hasil penelitian ini,
maka para pembaca harus cermat terhadap peranan yang telah dilakukan Militer dalam
kurun waktu mulai dari 1997-2000.

DAFTAR PUSTAKA

A. Malik. Haramain. 2004. Gusdur Militer dan Politik. Lkis.Yogyakarta

Arif Yulianto. 2002. Hubungan Sipil Militer Di Inonesia Pasca Orba Ditengah
Pusaran Demokrasi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta

Choirie Effendy. 2002. PKB Politik Jalan Tengah NU. Pustaka Ciganjur. Jakarta
Danang Widoyoko dkk. 2003. Bisnis Militer Mencari Legitimasi. Indonesia
corrporotion watch. Jakarta

Dwi Pratomo Yulianto. 2005. Militer dan Kekuasaaan, Narasi. Lkis. Yogyakarta

Harold Crouch. 1995. Masalah Dwifungsi ABRI: Menelaah Kembali Format Politik
Orde Baru. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
13

Iswandi. 1998. Bisnis Militer Orde Baru. PT Remaja Rosdakarya. Bandung

Kacung Marijan. 2012. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde
Baru. Kencana Prenada Media. Jakarta

Markas Besar TNI. 1999. Paradigma Baru Peran TNI. Mabes TNI. Jakarta

. 2001. Implementasi Paradigma Baru TNI dalam keadaan mutakhir.


Mabes TNI. Jakarta

Muhammad Asfar. 2003. Terorisme, Sebab Perkembangan dan Kasus, Dalam Islam
Lunak dan Islam Radikal. JP Press. Surabaya

Pusjarah dan Tradisi TNI. 2000. Sejarah TNI Jilid I – V. Mabes TNI. Jakarta

Yuddy Chrisnandi. 2005. Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di


Indonesia. Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta

KUTIPAN DARI KORAN

Republika. 2000. Bisnis Militer. Republika. Jakarta

You might also like