Lafadz Dan Maratib Jarh Wa Ta'dil

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 4

Lafadz dan Maratib Jarh wa Ta'dil

A.   Berikut adalah lafaz ta’dil ibnu yahya

‫ مل يذذکره الا‬،‫ ثقة ليس به يذ کره الا خبري‬،‫ ثقة ملس‬،‫ ثقة ليس به س‬،‫ ثقة مأمون‬،‫ثبت‬
‫ ليس‬،‫ لقوي ولکن يکتب‬،‫ ثقة ليس حبجة‬،‫ شيخ صدوق‬،‫ رجل صدق‬،‫ صدوق‬،‫خبري‬
‫ صا حل‬،‫ شيخ‬،‫ ليس حيتج حبديثه‬،‫ مل يقوأمر‬،‫ ليس حبجة‬،‫ ليس لقوي‬،‫صدوق ليس حبجة‬
‫ ليس هل‬،‫ ليس حديثه بذاك‬،‫ ثقة_حيدث مبناکر‬،‫ ىف حديثه ضعف‬،‫ شيخ ليس به س‬،‫احلديث‬
‫ ضعيف‬،‫فيه کبريرأي‬
Lafaz jarh

،‫ ضعيف يف احلديث جدا‬،‫ ضعيف ذاه‍ب احلديث عند أحصا بنا‬،‫ ذاه‍ب احلديث‬،‫ضعيف‬
‫ عن أنس بن ما‬،‫ هل أحاديث منا کري‬،‫ يروي منا کري‬،‫ منکراحلديث‬،‫کثريالغرائب واملنا کري‬
‫ ليس عند ه‍م‬،‫ ليس عند أه‍ل احلديث بذاك القوي‬،‫ ضعيف عند أه‍ل احلديث‬،‫كل وغريه‬
‫ ليس حلا فظ عند‬،‫ *القوي‬،‫ ليس عند أحصاب احلديث بذاك لقوي يف احلديث‬،‫بذاك القوي‬
،‫ يضعف بسوءاحلفظ‬،‫ يضعف يف احلديث‬،‫ *ليس ضعيف يف احلديث‬،‫أه‍ل احلديث‬
‫ ليس‬،‫ *بذا كل احلا فظ‬،‫ ليس عند أه‍ل احلديث *حلا_ فظ‬،‫ ليس عند ه‍م حلا فظ‬،‫بکرثةالغلط‬
‫ ليس مبعروف احلديث‬،‫ اليعرف‬،‫ النعر فه‬،‫جمه‍ول‬
Ilmu al-jarh wa ta‘dīl menyingkap sifat-sifat yang melekat pada para
perawi hadis sebagai pra-syarat menentukan diterima atau ditolaknya sebuah
hadis. Artinya spesifikasi ilmu ini mengkritisi para perawi hadis dengan
pendekatan karakteristik yang berhubungan dengan ke-adilan (ketaatan
bergamanya) dan ke-dhabitan (kekuatan hafalanya) seorang perawi hadis Nabi.
Ulama berbeda dalam metode menetapkan kualifikasi para perawi hadis, juga
berbeda dalam lafazh-lafazh setiap tingkatan al-jarh wa ta‘dīl. Ulama ini terbagi
kepada tiga golongan; golongan keras, moderat dan lunak mereka masing-masing
kelompok ini, berusaha menilai para perawi hadis dengan perhatian yang sangat
hati-hati tangungjawab karena Allah semata.
B.   MARATIB JARH WA TA’DIL
ulama hadith terhadap kesemua perawi yang meriwayatkan sesuatu hadith
yang memberi kesan besar dalam menghukumkan sesuatu hadith itu sama ada
sahih ataupun sebaliknya.
Berikut penjelasan maratib ta’dil di kalangan Ulama hadis:
a. Martabat-Martabat Ta’dil Menurut al-Razi
Para ulama telah banyak menulis tentang klasifikasi para rawi. Mereka
berupaya keras untuk membaginya dan menjelaskan status-statusnya. Tulisan
yang pertama kali sampai kepada kita (Nuruddin ‘Itr, hlm. 99), adalah karya
tokoh kritikus al-Imam bin al-Imam Abdurrahman bin Abi Hatim al-Razi (w.
327 H), dalam kitabnya yang besar al-Jarh wa ‘al-Ta’dil. Ia telahmenyusun
martabat al-Jarh wa al-Ta’dil masing-masing terdiri atas empat martabat, di
antaranya sebagai berikut:
b. Martabat-Martabat Ta’dil Menurut al-Suyuthi
Adapun mengenai martabat ta’dil Imam Suyuthi membaginya atas 6
tingkatan. Hal ini sebagaimana dalam al-Fiyahnya yang dikutip oleh
Muhammad Mahfuzh al-Tarmasi dalam kitabnya Manhaj Dzawin Nazhar.
Jika pendapat al-Suyuthi di atas diperinci dan kemudian digabungkan pula
dengan pendaat ulama lainnya dalam menilai martabat ta’dil, maka martabat
itu akan tersusun sebagai berikut:
1. Setiap lafal yang menunjukkan keadilan dan keteguhan rawi, di sini
muhadditsin menggunakan shighat af’al tafdhil atau dengan
mempergunakan shighat yang menunjukkan sifat terpuji yang tiada
bandingannya bagi rawi itu. Lafal ta’dil ini merupakan shighat yang paling
tinggi nilainya, kuat dan kokoh kedudukannya dan istimewa pula
martabatnya. Karena itu, rawi yang mendapat julukan ini adalah rawi yang
paling adil, sangat jujut, dan sangat teguh.
2. Setiap lafal yang menunjukkan kebenaran rawi, keteguhan, ketsiqatan,
kejujuran dan keadilannya; ini dengan mempergunakan lafal yang sama
dengan yang sebelumnya atau dengan mempergunakan kata lain yang
semaksud dan semakna dengan makna yang pertama. Dengan pengulangan
lafal yang makin sering dan makin banyak akan menunjukkan martabat
rawi itu lebih kuat dan lebih tinggi nilainya, bila dibandingkan dengan

penilaian yang tidak diulang lafalnya. Contoh: ‫ َحا ِفظُ ِثقَّة‬,‫ ِثقَّ ُة‬,‫ِثقَّ ُة ِثقَّ ُة‬
3. Setiap lafal yang menunjukkan kekokohan, keteguhan, keadilan dan
kepercayaan rawi. Adakalanya pula mempergunakan kata-kata pejian yang
senilai dengan kekokohan di atas. Lafal tersebut ialah: Tsiqatun,
Muttaqinun, Imaamun, Tsaabitu al-Qalbi wa al-Lisaan wa al-Hujjati,
Haafizhun Dhaabitun.
4. Setiap lafal yang menunjukkan kepada derajat rawi dengan
mempergunakan satu lafal saja, baik lafal yang menunjukkan keadilan,
kekokohan dan kebenaran rawi. Akan tetapi diberi jaminan bahwa rawi
tersebut, kekokohan, keteguhan dan keadilannya itu sekokoh pada
tingkatan sebelumnya. Lafal tersebut ialah: Shaduuqun, Laa Ba’sa Bihi,
Khiyaar an-Naas Ma’muunun Laisa Bihi Ba’sun, Khiyaar al-Khalq.
5. Setiap lafal yang menunjukkan baik, benar dan jujurnyarawi. Dengan tidak
menunjukkan bahwa hafalan, kejujuran dan keadilannya itu dapat
dipastikan. Lafal-lafal tersebut ialah: Shalih al-Hadis, Wasath, Yuktabu
Hadiitsuhu, Jayyid al-Hadis, Syaikh, Muqaarab al-Hadis.
6. Setiap lafal yang menunjukkan derajat rawi, dengan mempergunakan
suatu lafal dengan lafal tersebut di atas kemudian diiringi kata-kta yang
tidak menunjukkan keteguhan lafal-lafal itu. Malahan hanya merupakan
pengharap saja dari kejujuran dan keteguhan rawi itu. Lafal tersebut ialah:
Shaduq Insya Allah, Laisa bi Ba’idin min al-Shawab, Shuwailah,Maqbul.
Imam al-Suyuthi tidak memasukkan martabat sahabat ke dalam
martabat ta’dil ini, akan tetapi memasukkan af’al tafdhil sebgai gantinya.
Kemungkinan besar alasan utama beliau tidak memasukkan sahabat
kepada martabat ta’dil karena sahabat tidak perlu diperbincangkan
kejujurannya.
c. Martabat-Martabat Ta’dil Menurut al-Dzahaby
Al-Dzahaby menjelaskan dalam pendahuluan kitab Mizan al-I’tidaal-nya:
1. Tingkatan rawi yangditerima hadisnya yang paling tinggi adalah mereka
yang mendapat julukan TsabtunHujjatun, Tsabatun Hafizhun, Tsiqatun,
Mutqinun, atau Tsiqatun tsiqat;
2. Kemudian yang diberi julukan Tsiqatun;
3. Kemuian yang diberi julukan Shaduq, Laa Ba’sa Bih, dan Laisa bihi
Basun;
4. Kemudian yang diberi julukan Mahalluhu ash-Shidq, Jayyid al-Hadis,
Shalih al-Hadis, Syaikh Wasath, Syaikh Hasan al-Hadis, Shaduq Insya
Allah, Shuwailih, dan sebagainya.
Dengan demikian, al-Dzhaby menambahkan satu tingkat lagi yang
lebih tinggi daripada tingkatan pertama menurut Ibnu Abi Hatim, dan ia
menjadikan tingkatan ketiga dan tingkatan keempat menjadi satu
tingkatan.
d. Martabat-Martabat Ta’dil Menurut Ibnu Hajar
Adapun tingkatan ta’dil menurut Ibnu Hajar, sebagai berikut:
1. Segala sesuatu yang menggunakan martabat keadilan yang lebih tinggi.
Hal ini biasanya dengan menggunakan af’al al-mubalaghah.
2. Memperkuat ke-tsiqat-an rawi dengan mengulang-ulang lafal yang sama
atau semakna dengannya. Seperti lafal Tsiqatun tsiqatun (orang yang tsiqat
(lagi) tsiqat).
3. Menunjuk keadilan dengan lafal yang mengandung arti kuat ingatan.
Seperti lafal tsabata (orang yang teguh hati dan lidahnya).
4. Menunjuk ke-tsiqat-an tetapi dengan lafal yang tidak mengandung arti
tsiqat. Contoh : Shaduqun (orang yang sangat jujur).
5. Menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak terpahamkan adanya ke-dhabit-
an. Contoh: Jayyid al-Hadis (orang yang baik hadisnya).
6. Menunjuk arti mendekati cacat, biasanya dengan menambahkan lafal
Insya Allah, atau dengan men-tashgir-kan, atau dengan mengaitkannya
pada suatu pengharapan.

You might also like