Penggunaan High Damping Rubber Bearing System Pada Struktur Bangunan Gedung Dengan Analisis Time History

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

Penggunaan High Damping Rubber Bearing System pada Struktur

Bangunan Gedung Dengan Analisis Time History

Hendra1, Reni Suryanita2, Ridwan3


1)
Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Riau
Email : hendra.h@student.unri.ac.id
2)
Dosen Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Riau
Email : reni.suryanita@eng.unri.ac.id
3)
Dosen Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Riau
Email : ridwan@eng.unri.ac.id

ABSTRACT
Indonesia is prone to seismic hazard load due to its location situated on a meeting point of four
tectonic plates. Therefore design of the building is necessary to include the earthquake load in
order to minimize the damage of the buildings and also to avoid casualties resulted from collapsed
structures. Several methods had been developed to eliminate the risk affected by the earthquake
load to the buildings. One of them is the use of seismic isolator. This research aimed to identify
the responses of the building structure with and without base isolator. Responses of the structure
were gained from time history analysis using finite element software conducted on the 13-storey
reinforced concrete building. The selected building was located in Pekanbaru and constructed on
layer of soil with moderate condition. At one of the building analyzed in this research was provided
with high damping rubber bearing (HDRB) base isolator. This base isolator was modeled as a joint
link on the restraints. Then the building was loaded with the Cape Mendocino earthquake loads
that were modified and adjusted to comply with SNI 03-1726-2012 building code. The results
showed that the displacement on horizontal direction of the building with HDRB base isolator
reduced 45,48% and 45,35% respectively and for acceleration 46,45 % and 47,29 % respectively
compared to that of without HDRB base isolator. Thus the study is expected useful for designers
of high rise buildings in planning a stable structure in receiving earthquake loading.

Keywords: base isolator, earthquake load, high damping rubber bearing, structure responses, time
history analysis.

ABSTRAK
Indonesia merupakan wilayah yang memiliki resiko gempa yang cukup tinggi karena terletak pada
pertemuan empat lempeng tektonik. Oleh karena itu, mendesain bangunan tahan gempa harus
diperhitungkan secara matang agar dapat meminimalisir kerusakan pada struktur bangunan
gedung dan menghindari korban jiwa. Dewasa ini telah dikembangkan metode desain alternatif
dengan tujuan untuk mengurangi resiko kerusakan bangunan akibat beban gempa. Metoda ini
dikenal dengan nama sistem isolasi gempa (seismic isolation). Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi respons struktur bangunan dengan base isolator dan tanpa base isolator.
Respons struktur bangunan diperoleh dari hasil analisis riwayat waktu (time history analysis)
menggunakan perangkat lunak berbasis elemen hingga. Objek bangunan yang dianalisis adalah
struktur beton bertulang 13 lantai yang berlokasi di Kota Pekanbaru dengan kondisi tanah sedang.
Pada bangunan ini dipasang base isolator jenis High Damping Rubber Bearing (HDRB) dan
dalam analisis dimodelkan sebagai joint link pada perletakan struktur. Beban gempa yang
digunakan adalah beban gempa Cape Mendicino yang dimodifikasi dan disesuaikan dengan SNI
03-1726-2012 untuk Kota Pekanbaru. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan base
isolator dapat mereduksi respons perpindahan struktur dalam arah horizontal sebesar 45,48% dan
45,35% begitu juga halnya dengan kecepatan yang direduksi sebesar 46,45 % dan 47,29 %

Hendar, H, Suryanita, R, and Ridwan, A. R. (2017) Penggunaan High Damping Rubber Bearing System pada
Struktur Bangunan Gedung Dengan Analisis Time History. In: Hidayat, B and Purnawan, P (Eds.) Prosiding 4th
Andalas Civil Engineering (ACE) Conference 2017, 9 November 2017, Universitas Andalas, Padang. Jurusan
Teknik Sipil Unand, 627-636
dibandingkan dengan perpindahan struktur yang tidak menggunakan base isolator. Dengan
demikian diharapkan kajian ini bermanfaat untuk perancang bangunan gedung bertingkat dalam
merencanakan struktur bangunan yang stabil dalam menerima pembebanan gempa.

Kata Kunci : base isolator, gempa, high damping rubber bearing, perilaku struktur, time history
analysis.

1. PENDAHULUAN

Sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan wilayah yang memiliki resiko gempa cukup
tinggi karena terletak pada empat lempeng tektonik yaitu Lempeng India-Australia, Lempeng
Euroasia, Lempeng Pasific, dan Lempeng Filipina. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai
daerah rawan terjadinya gempa bumi dan memiliki potensi aktivitas seismik cukup tinggi serta
rawan terhadap bahaya gempa.

Gempa bumi merupakan suatu peristiwa pelepasan energi gelombang seismic yang terjadi
secara tiba tiba akibat pecah atau slipnya massa batuan di lapisan kerak bumi (Hartuti, 2009).
Gerakan bumi yang berputar pada porosnya menimbulkan suatu tekanan. Apabila tekanan yang
terjadi pada lempeng tektonik sudah terlalu besar, maka berakibat terjadinya gempa bumi.
Proses pelepasan energi pada lempeng bumi berupa gelombang elastis, yaitu gelombang
seismik atau gempa yang sampai ke permukaan bumi dan menimbulkan getaran sehingga
menimbulkan kerusakan pada benda-benda atau bangunan di permukaan bumi.

Kerusakan bangunan akibat gempa dapat dicegah dengan memperkuat struktur bangunan
terhadap gaya gempa yang bekerja. Namun, hasil ini sering kali kurang efektif, karena
kerusakan elemen baik struktural maupun non-struktural umumnya disebabkan adanya
interstory drift (perbedaan simpangan antar tingkat). Untuk memperkecil interstory drift dapat
dilakukan dengan memperkaku bangunan dalam arah lateral (Teruna, 2014).

Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesat. Dalam
hal perencanaan struktur gempa, peneliti telah mengembangkan suatu pendekatan desain
alternatif yang mampu mengurangi resiko kerusakan bangunan dan tetap mempertahankan
integritas komponen struktural dan non struktural terhadap gempa kuat (Saloma, 2015).
Pendekatan desain ini tidak dilakukan dengan cara memperkuat struktur bangunan akan tetapi
dengan mereduksi gaya gempa yang bekerja pada bangunan. Teknologi ini dikenal dengan
nama sistem isolasi gempa (seismic isolation). Sistem ini biasanya diterapkan pada bangunan
bertingkat dan jembatan yang rentan terhadap beban gempa, dengan menambahkan base
isolator pada bagian bawah struktur bangunan seperti yang terlihat pada Gambar 1. Base
isolation merupakan suatu sistem yang berguna sebagai pasif kontrol yang akan bekerja
sewaktu-waktu saat terjadi gempa. Salah satu dari jenis base isolator adalah High Damping
Rubber Bearing (HDRB).

628
Gambar 1: Base Isolation (Kelly, 2001)

Studi ini mengkaji permasalahan sejauh mana pengaruh penggunaan High Damping Rubber
Bearing terhadap respons dinamik struktur bangunan dengan dan tanpa base isolator apabila
terjadi gempa. Respons dinamik yang ditinjau meliputi perpindahan (displacement), kecepatan
(velocity), percepatan (acceleration) dan level kinerja bangunan gedung dengan analisis
Riwayat Waktu (Time History). Diharapkan studi ini dapat memberikan manfaat bagi
perencana bangunan dengan memberikan gambaran kinerja base isolator dalam meredam gaya
gempa serta memperkaya literatur untuk pengembangan struktur tahan gempa dan pemanfaatan
Base isolator System.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Seismic Isolation

Prinsip dari base isolation pertama sekali dikemukakan oleh Johannes Avetican Calantarients
tahun 1909, seperti yang tertulis dalam buku Naeim dan Kelly tahun 1999. Calantarients
adalah seorang dokter medic dari sebelah utara Inggris. Calantarients berpendapat bahwa beban
gempa yang mengenai bangunan dapat direduksi dengan memasang free joint di antara struktur
atas dan bawah sehingga bangunan dapat begerak horizontal pada free joint tersebut. Pada saat
itu, Calantarients menyarankan bahan yang digunakan bisa berupa pasir halus, mika atau
sejenisnya (Anas Ismail, 2012).

Pada saat terjadi gempa, masing-masing struktur bangunan akan bergetar akibat pergerakan
tanah yang mempengaruhi pondasi bangunan. Oleh karena pergerakan tanah yang terjadi
bersifat acak maka getaran yang memasuki struktur juga bersifat kaku dan mudah runtuh. Pada
bangunan yang menggunakan base isolator, getaran yang terjadi pada pondasi akan melewati
bantalan karet terlebih dahulu sebelum memasuki sistem struktur bangunan. Hal ini disebabkan
karet bersifat elastis maka arah getaran yang terjadi secara acak hanya akan mempengaruhi
base isolator, sedangkan struktur di atasnya akan bergerak sebagai satu kesatuan struktur.

Ada berbagai jenis base isolator, diantaranya adalah jenis High Damping Rubber Bearings
(HDRB). HDRB merupakan bahan anti seismik yang dikembangkan dari karet alam yang
mempunyai kekakuan horizontal yang relatif kecil dan dicampur dengan extra fine carbon
block, oil atau resin, serta bahan isian lain sehingga meningkatkan damping antara 10% sampai
20% pada shear strain 100% dengan shear modulus geser soft (G = 0,4 MPa), Normal (G=0,8
MPa) dan Hard (G = 1,4 MPa) . Untuk dapat menahan beban vertikal yang cukup besar, maka
karet diberi lempengan baja yang dilekatkan dengan sistem vulkanisir (Teruna, 2014).

629
Sistem HDRB memanfaatkan rekayasa kimia untuk menciptakan karateristik yang berbeda dari
Natural Rubber Bearing (NRB). Nilai modulus geser yang berubah – ubah terhadap regangan
geser yang terjadi membuat hysteretic loop yang gemuk sehingga menghasilkan nilai
equivalent damping ratio yang tinggi. Jenis seismic isolation ini umumnya tidak
membutuhkan damping device tambahan.

2.2. Analisis Respon Struktur

2.3.1. Level Kinerja Sruktur

Berdasarkan FEMA 356, tingkat kinerja struktur bangunan harus berada pada enam
tingkat kinerja sruktur, yaitu:

1. Fully Opertional (FO) adalah kondisi yang mana bangunan tetap dapat beroperasi
langsung setelah terjadi gempa (operational state). Hal ini terjadi karena elemen
struktur utama tidak mengalami kerusakan sama sekali dan elemen non struktural hanya
mengalami kerusakan sangat kecil sehingga tidak menjadi suatu masalah (damage
state).
2. Immediate Occupancy (IO) (S-1) adalah suatu kondisi yang mana struktur secara umum
masih aman untuk kegiatan operasional segera setelah gempa terjadi (damage state).
Ada kerusakan yang sifatnya minor, namun perbaikanya tidak menganggu pemakaian
bangunan. Oleh karena itu, bangunan pada level ini juga hampir langsung dapat dipakai
setelah kejadian gempa.
3. Damage Control (S-2), pada keadaan ini struktur berada pada level keselamatan pada
struktur.
4. Life Safety (LS) (S-3), pada keadaan ini terjadi kerusakan komponen struktur, kekakuan
berkurang tetapi belum mengalami keruntuhan. Struktur yang berada pada keadaan ini
masih dapat dipakai bila telah dilakukan perbaikan.
5. Limited Safety (S-4), keadaan ini didefinisikan struktur berada diantara keselamatan
penghuni (S-3) struktur dengan pencegahan keruntuhan (S-5). Dalam keadaan ini sudah
terjadi banyak kerusakan struktur, karena itu sudah tidak aman lagi untuk dihuni sebab
kekuatan struktur sudah terbatas.
6. Collapse Prevention (CP) (S-5), Didefinisikan sebagai keadaan kerusakan pasca
mengalami keruntuhan. Kerusakan terjadi pada komponen struktur maupun
nonstruktur.
7. Structural Performance not Considered (S-6), bangunan yang mengalami kerusakan
pada bagian non strukturalnya diklasifikasikan pada tingkat kinerja ini.

2.3. Data Struktur

Adapun data perencanaan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Data Struktur Bangunan

No. Data Struktur No. Data Struktur


1 Jenis Bangunan : Beraturan 8 Tebal Pelat : 120 mm
2 Panjang Gedung : 30 m 9 Dimensi Kolom : Kolom K4 = 500x500;
K3 = 600x600; K2 = 700x700 dan K1 =
800x800 mm
3 Lebar Gedung : 24 m 10 Mutu Beton : fc’ = 24,9 MPa

630
No. Data Struktur No. Data Struktur
4 Jumlah Lantai : 13 Lantai 11 Tegangan leleh tulangan utama, fy𝑐 =
400 MPa
5 Tinggi Antar Lantai : 3.5 m dan 4 m 12 Tegangan leleh geser, fys = 240 MPa
di dasar bangunan
6 Jenis Tanah : Tanah Sedang 13 Fungsi Bangunan : Hotel.
7 Dimensi Balok : Balok Induk 14 Lokasi Bangunan : Kota Pekanbaru
600/400 mm dan Balok Anak
400/300 mm

Gambar 2: Tampak Gedung Rencana dan base isolator yang digunakan

Direncanakan Menggunakan Base Isolation tipe High Damping Rubber Bearing dengan
klasifikasi yang Digunakan tipe MVBR-0514 (X0.6R), Rubber code : X0.6R, Shear Modulus
(G): 0.62 N/mm2, Equivalent Damping Ratio: 0.24,Rubber Thickness (tr): 200 mm,TD = 3 x Tc
= 4.608 detik (sesuai dengan SNI 1726-2012 pasal 12.4.1). Perhitungan untuk mendesain
Diameter base isolation dengan tipe High Damping Rubber Bearing dilakukan dengan
menghitung berat bangunan pada masing-masing reaksi perletakan bangunan yang kemudian
di hitung berdasarkan rumus dari (Naeim & Kelly, 1999).

Fz = W = 6981.075 KN = 698.1075 ton (pada base joint 17)

Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan diameter HDRB sebesar 800 mm dengan tipe
HH080X6R.

2.4. Data Beban

Pembebanan diambil dari ketentuan yang tercantum dalam SNI 1727-2013, Peraturan
Pembebanan Indonesia untuk Gedung PPIUG-1983 dan Standar Nasional Indonesia SNI 1726-
2012 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung dan Non
Gedung.

Dalam penelitian ini akan dilihat pengaruh beban gempa terhadap perilaku struktur rencana,
sehingga data beban yang digunakan berupa beban mati, beban hidup dan beban gempa. Beban
gempa yang digunakan adalah berupa catatan respon riwayat waktu (time history) Gempa Cape
631
Mendicino (PGA = 0,154 g). Penyesuaian skala yang digunakan ditentukan berdasarkan
standar perencanaan ketahanan gempa Indonesia SNI 1726-2012 dengan kondisi tanah sedang.

Gambar 3. Grafik Rekaman Gempa Cape Mendicino

Berdasarkan SNI 1726-2012 nilai PGA Pekanbaru yang berada pada 0,2-0,25 g, sedangkan
menurut data Puskim.pu.go.id, data gempa untuk kota Pekanbaru jenis tanah sedang SD
memiliki nilai PGA sebsar 0,214 dan FPGA sebesar 1,.371. Sehingga selanjutnya dapat
dihitung skala gempa Cape Mendicino untuk kemudian diinput dalam program elemen hingga.

PGAM = FPGA x PGA

PGAM = 1,371 x 0,214

PGAM = 0,293g

SNI-1726-2012 pada Pasal 11.1.4, mengenai parameter respon menetapkan setiap gerak tanah
dalam analisis harus dikalikan dengan I/R, sesuai konsep desain kapasitas untuk gempa
rencana. Sesuai dengan Tabel 10 dan Tabel 11 pada SNI, nilai faktor keutamaan gempa (I)
untuk kategori gedung perhotelan (Tabel 7 pada SNI) dan nilai koefisien modifikasi respon (R)
untuk struktur dengan dinding geser beton bertulang khusus adalah:

I =1

R =8

PGAM Pekanbaru yang diskalakan

PGAM = PGAM Pekanbaru x (I/R)

= 0,293 g x (1/8)

= 0,037 g
0,037
Faktor Skala = 0,154 x 9,81= 2,357 m/s2

632
3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Analisis Ragam

Analisis ragam dilakukan dengan tujuan memberikan sifat dinamis struktur seperti perioda
natural dan pola perubahan bentuk (mode shape). Persyaratan Jumlah ragam telah diatur pada
pasal 7.9.1 SNI 1726-2012, dimana jumlah ragam harus cukup untuk mendapatkan partisipasi
massa ragam terkombinasi sebesar paling sedikit 90% dari massa aktual dalam masing-masing
arah horizontal otogonal dari respon yang ditinjau oleh model.

Tabel 2. Partisipasi Massa Ragam struktur pada mode ke 6

Partisipasi Massa Ragam (%)


Syarat SNI 1726-2012 Keterangan
Arah X Arah Y
92.69 92.75 ≥ 90 Memenuhi

3.2. Periode Getaran Bebas Struktur

Berdasarkan SNI 1726-2012 perioda fundamental pendekatan dihitung dengan terlebih dahulu
menetukan nilai Ct , x dan Cu berdasarkan Tabel 14 dan 15 pada SNI 1726-2012 yang
merupakan nilai parameter pendekatan dan koefisien batas atas pada periode yang akan
dihitung, selanjutnya menentukan nilai Ta dihitung dengan Persamaan (26) Pasal 7.8.2.1 SNI
1726-2012, untuk rangka beton pemikul momen didapat nilai :

Cu = 1.4, Ct = 0.0466, X = 0.9 dan dengan Ketinggian struktur (hn) = 46 m

Nilai Ta = Ct hn x = 0,0466 𝑥 (46)0,9 = 1.46 s

Nilai Cu Ta = 1,4 𝑥 1.462= 2.046 s

Didapat dari pemodelan SAP2000 nilai

Tc = 1.537

Maka, Ta < Tc < Cu.Ta = 1.462 < 1.537 < 2.046

Nilai ini memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam SNI 1726-2012.

3.3. Analisis Riwayat Waktu Gempa

Analisis riwayat waktu menggunakan gempa Cape Mendocino yang diskalakan terhadap Kota
Pekanbaru. Hasil analisis respons struktur antara struktur dengan dan tanpa base isolator
menunjukkan hasil sebagai berikut :

3.4.1. Perpindahan

Besarnya perpindahan yang terjadi pada struktur dengan dan tanpa base isolator menghasilkan
perbedaan perpindahan yang dapat dilihat pada grafik pada Gambar 4. Perpindahan terbesar
terjadi pada struktur fixed base dengan perpindahan sebesar 33.216 mm sedangkan pada
struktur dengan base isolator perpindahan yang terjadi sebesar 17.353 mm. Berdasarkan nilai
perpindahan tersebut menunjukkan bahwa penggunaan base isolator dapat mereduksi
633
perpindahan yang terjadi dengan persentase rata-rata perpindahan sebesar 45.48% arah X dan
45,35% arah Y.

Gambar 4. Grafik Perbandingan Perpindahan Struktur Bangunan

3.4.2. Kecepatan

Dengan menggunakan base isolator besarnya kecepatan yang terjadi pada struktur fixed base
dapat direduksi dari 165.3 mm/sec menjadi 68.0 mm/sec seperti yang terlihat pada grafik pada
Gambar 5. Berdasarkan hasil tersebut jika di persentasekan besarnya reduksi kecepatan antara
struktur dengan dan tanpa base isolator menghasilkan rata-rata persentase sebesar 46,45 %
arah X dan 47,29 % arah Y.

Gambar 5. Grafik Perbandingan Kecepatan Struktur Bangunan

3.4.3. Percepatan

Hasil analisa percepatan yang terjadi pada struktur dengan dan tanpa base isolator
menunjukkan bahwa percepatan maksimum sebesar 860,64 mm/sec2 dan 585,36 mm/sec2
Berdasarkan hasil tersebut jika di persentasekan besarnya reduksi percepatan akibat base
isolator menghasilkan rata-rata persentase percepatan sebesar 19,91% arah X dan 19,22 %
arah Y.

634
Gambar 6. Grafik Perbandingan Percepatan Struktur Bangunan

3.4.4. Level Kinerja Struktur

Tabel 3. Tabel Level Kinerja Bangunan

NO Time History PGA (g) Damage Detection Time (sec)


Real Scaled B IO LS CP END
1 Fixed Based 0.154 2.357 10.3 N/A N/A N/A 44
tpuncak = 9.70 detik
2 HDRB 0.154 2.357 N/A N/A N/A N/A 44
tpuncak = 9.70 detik

4. KESIMPULAN

Dengan membandingkan level kinerja dan nilai respons struktur bangunan yang
menggunakan base isolator dengan struktur tanpa base isolator diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Pengunaan base isolator pada struktur bangunan mampu memperkecil nilai respons
struktur dan level kinerja terhadap beban gempa yang terjadi.
2. Penggunaan base isolator dapat mereduksi perpindahan yang terjadi dengan rata-rata
selisih perpindahan sebesar 45.48 % arah X dan 45,35% arah Y begitu juga halnya
dengan kecepatan dan percepatan yang direduksi masing-masing sebesar 46,45 % arah
X , 47,29 % arah Y dan sebesar 19,91% arah X, 19,22 % arah Y.

5. DAFTAR PUSTAKA

Anas Ismail, F. (2012). Pengaruh Penggunaan Seismic Base Isolation System Terhadap
Respons Struktur Gedung Hotel Ibis Padang, 8(1), 45–60.

Hartuti, E. R. (2009). Buku Pintar Gempa. (E. Syahriyanti, Ed.). Yogyakarta: DIVA Press.
https://doi.org/www.divapress-online.com

Kelly, T. E. (2001). BASE ISOLATION OF STRUCTURES, (July).

Naeim, F., & Kelly, J. M. (1999). Design of Seismic Isolated Structures: From Theory to

635
Practice. . California : University of California.

PPIUG-1983. (1983). Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung 1983.pdf. Bandung.

Puskim.pu.go.id. (2011). Nilai Spektral Percepatan Di Permukaan Dari Gempa Risk-Targeted


Maximum Consider Earthquake Dengan Probabilitas Keruntuhan Bangunan 1% dalam 50
Tahun Lokasi: Pekanbaru ( Lat: 0.5070677 , Long: 101.44777929999998 ).

Saloma. (2015). Analisis struktur rangka baja menggunakan base isolation dengan time history
analysis, 4(1), 20–26. Retrieved from http://cantilever.unsri.ac.id

SNI 1726-2012. (2012). Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan
gedung dan non gedung. Jakarta, Indonesia.

SNI 1727-2013. (2013). Beban minimum untuk perancangan bangunan gedung dan struktur
lain. Indonesia. Retrieved from www.bsn.go.id

Teruna, D. (2014). Analisis Respon Bangunan Dengan Base Isolator Akibat Gaya Gempa,
6(August), 0–6.

636

You might also like