21458-Article Text-58068-62863-10-20220130

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 8

Jurnal Ilmiah Farmasi (Scientific Journal of Pharmacy) Special Edition 2022, 128-135

ISSN: 1693-8666
available at http://journal.uii.ac.id/index.php/JIF

The study of drug interaction on pneumonia patients at RSUP Dr. M. Djamil


Padang

Studi interaksi obat pada pasien balita dengan pneumonia di RSUP Dr. M. Djamil
Padang

Lola Azyenela1*, Mimi Aria1, Lana Aristya1

1ProdiS1 Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Perintis Indonesia, Padang, Indonesia


*Corresponding author: lolaazyenela2@gmail.com

Abstract

Background: Pneumonia is one of the diseases that cause high rates of toddler deaths in the world. In
Indonesia, pneumonia is the second cause of death of infants and toddlers after diarrheal diseases. Most
pneumonia patients are treated with other diseases so many pneumonia patients receive more than two
types of drugs in one prescription, this has the potential for drug interactions with drugs.
Objective: The aim of this study was to look at potential occurrences of drug interactions in toddler patients
at Dr.M. Djamil Padang Hospital hospitalized in 2019.
Methods: This research was nonexperimental research design with cross-sectional descriptive methods of
analysis and the data retrieved retrospectively. The patient's medical records were analyzed using the
Drugs.com software and Medscape.
Results: There were 62 patients who met the inclusion criteria. Among them, there were 5 pneumonia
patients (8.1%) who experienced drug interactions with drugs, with the pharmacokinetic category as many
as 3 cases (42.9%) affecting metabolism and drug interactions in the pharmacodynamic category by 4 cases
(57.1%). Based on the severity of drug interactions, this study found 1 minor case (14.3%), 5 moderate
cases (71.4%), and 1 major case (14.3%).
Conclusion: From the results of the study it can be concluded that there was a potential for drug
interactions in pneumonia toddler patients at Dr.M. Djamil Padang Hospital in the period 2019.
Keywords: Bronchopneumonia, drug Interactions, toddler

Intisari
Latar belakang: Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan penyebab kematian utama
pada balita di seluruh dunia. Di Indonesia, pneumonia menduduki peringkat kedua penyebab kematian
bayi dan balita setelah diare. Pneumonia dapat disebabkan karena bakteri yang menyerang saluran
pernapasan. Tatalaksana terapi pada pneumonia umumnya kombinasi beberapa obat. Hal ini berpotensi
menimbulkan masalah pengobatan khususnya interaksi obat.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat kejadian interaksi obat pada pasien balita di instalasi rawat
inap anak RSUP Dr. M. Djamil tahun 2019.
Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional deskriptif dengan pengambilan data
secara retrospektif melalui rekam medis pasien. Setiap jenis obat yang tertulis rekam medis dianalisis
dengan menggunakan bank data dari software Drug.com dan Medscape.
Hasil: Data diambil dari 62 pasien, berdasarkan jumlah tersebut dapat diidentifikasi 5 pasien mengalami
interaksi obat (8,1%), terdiri dari 71,4% moderat, 14,3% minor dan 14,3% mayor.
Kesimpulan: Interaksi obat yang sering terjadi pada pasien balita dengan pneumonia adalah penggunaan
kaptopril dengan furosemid.
Kata kunci: Balita, interaksi obat, pneumonia

1. Pendahuluan
Pneumonia merupakan penyebab utama kematian balita di dunia. Setiap tahun
diperkirakan lebih dari 2 juta balita meninggal karena pneumonia. Data WHO melaporkan bahwa
terdapat 156 juta kasus baru pneumonia anak diseluruh dunia, 61 juta kasus yang terjadi di

128
129 | Azyenela, L., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi (Scientific Journal of Pharmacy) Special Edition 2022, 128-
135

wilayah Asia Tenggara (WHO, 2013). Di Indonesia, dari tahun 2015-2018 penemuan kasus
pneumonia pada balita mengalami peningkatan sekitar 3% dari 94,12% menjadi 97,30%
(Kemenkes RI, 2018).
Tingginya morbiditas dan mortalitas pneumonia diberbagai negara berdampak pada
penentuan strategi terapi bagi pasien. Penggunaan terapi yang tepat pada pasien akan
menentukan keberhasilan terapi pneumonia. Terapi utama pada penanganan pneumonia adalah
antibiotik yang ditujukan untuk mengeradikasi bakteri penyebab pneumonia. Selain penggunaan
antibiotik, penderita pneumonia juga akan diberikan beberapa obat lainnya sebagai terapi
pendukung guna mencapai keberhasilan terapi (Suharjono et al., 2009). Banyaknya penggunaan
obat yang diberikan dapat menimbulkan permasalahan terapi pengobatan salah satunya adalah
risiko interaksi obat. Interaksi obat adalah keadaan dimana, efek suatu obat diubah akibat adanya
obat lain, semisal obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam suatu
lingkungan (Baxter, 2008).

Permasalahan mengenai interaksi obat pada pasien rawat inap harus mendapatkan
perhatian serius karena dapat meningkatkan toksisitas atau mengurangi efektivitas dari obat.
Hasil penelitian Astiti (2017) menemukan ada 58,3% pasien rawat inap yang mendapatkan efek
samping merugikan yang disebabkan oleh interaksi obat (Saula, 2019). Informasi mengenai
interaksi obat akan membantu tenaga kesehatan untuk mengidentifikasi dan mencegah reaksi
yang tidak dikehendaki dari penggunaan obat serta meningkatkan patient safety. Penelitian
mengenai interaksi obat sudah banyak dilakukan namun sebagian besar dilakukan untuk pasien
dewasa, sedangkan penelitian pada anak-anak masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk
melihat kejadian interaksi obat pada pasien balita dengan pneumonia di Instalasi Rawat Inap
Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang.

2. Metode
2.1. Jenis dan desain penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental, dengan menggunakan rancangan
cross-sectional deskriptif dan pengambilan data secara retrospektif dari bulan Januari hingga
Desember 2019. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan kelaikan etik (ethical clearance)
dari Komite Etik Penelitian Kesehatan RSUP Dr. M. Djamil Padang, dengan Nomor
223/KEPK/2020 dan izin penelitian dari Direktur Utama RSUP Dr. M. Djamil Padang.
2.2. Populasi dan sampel penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien anak yang dirawat inap, dan
didiagnosa pneumonia di RSUP. Dr. M. Djamil Padang. Sampel pada penelitian ini adalah semua
pasien anak yang dirawat inap dan didiagnosa pneumonia di RSUP.Dr. M. Djamil Padang pada

Seminar Nasional Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) III-Tantangan Pandemik (covid-19) dalam
pembelajaran dan penelitian kefarmasian 16-20 Agustus 2021 (Virtual Conference
130 | Azyenela, L., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi (Scientific Journal of Pharmacy) Special Edition 2022, 128-
135

tahun 2019 yang memenuhi kriteria inklusi yaitu pasien usia balita (0-5 tahun) dan pasien yang
mendapatkan minimal 2 jenis item obat dan menjalani rawat inap di RSUP Dr. M. Djamil Padang
pada tahun 2019, dengan teknik sampling adalah total sampling.
2.3. Analisa Data
Data dianalisa dengan menggunakan software Drugs.com yang terdapat pada website
https://www.drugs.com/drug_interactions.html dan Medscape.com di
https://reference.medscape.com/drug-interactionchecker, untuk melihat interaksi obat yang
terjadi. Data interaksi obat di analisa secara deskriptif, serta dilakukan pengelompokan jenis
interaksi obat yang terjadi beserta tingkat keparahannya.

3. Hasil dan pembahasan


Pada bulan Januari sampai Desember 2019, terdapat 88 pasien balita yang terdiagnosa
pneumonia di RSUP Dr. Djamil Padang, namun 19 data pasien diekslusi karena ada informasi
didalam rekam medis tidak terbaca dan terisi dengan lengkap sehingga diperoleh 69 data pasien
yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Berdasarkan data karakteristik pada Tabel 1
menunjukkan bahwa pasien laki-laki lebih banyak yaitu 66,67 % dibandingkan perempuan.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa persentase pasien laki-laki yang didiagnosa pneumonia
lebih banyak dari pada pasien perempuan, seperti penelitian Kaunang CT (2016) di RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado periode 2013-2015 yang melaporkan dari 158 kasus anak, sebanyak
(55,7%) adalah pasien laki-laki. Begitu juga halnya dengan penelitian lain melaporkan bahwa dari
83 kasus pneumonia pada anak, 67,5% diantaranya adalah pasien laki-laki (Balakrishnan, 2014).
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor resiko penyakit pneumonia, menurut
Sunyataningkamto anak laki-laki lebih beresiko menderita pneumonia, karena ukuran saluran
pernapasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan anak perempuan serta daya tahan tubuh anak
perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Hartati, 2012).
Sementara itu, berdasarkan usianya, didominasi pada usia 1 sampai 12 bulan (63,77%).
Usia kurang dari 1 tahun memiliki kekebalan tubuh yang belum sempurna, sehingga berpotensi
lebih besar untuk terpapar penyakit saluran pernafasan diantaranya pneumonia. Saluran
pernfasan yang belum sempurna menyebabkan meningkatnya jumlah bakteri patogen pada
saluran pernafasan. Hasil penelitian menyatakan bahwa sebanyak 48% usap tenggorokan pada
anak usia kurang dari 2 tahun terdapat bakteri Streptococcus pneumoniae, yang merupakan
bakteri utama penyebab pneumonia (Price et al., 2006 ; Soewignjo et al., 2001).
Tabel 1. Karakteristik umum pasien
Karakteristik Jumlah (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 46 (66,67)

Seminar Nasional Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) III-Tantangan Pandemik (covid-19) dalam
pembelajaran dan penelitian kefarmasian 16-20 Agustus 2021 (Virtual Conference
131 | Azyenela, L., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi (Scientific Journal of Pharmacy) Special Edition 2022, 128-
135

Karakteristik Jumlah (%)


Perempuan 23 (33,33)
Umur
1-12 bulan 44 (63,77)
13-24 bulan 18 (26,09)
25-36 bulan 4 (5,79)
37-48 bulan 3 (4,35)
Jumlah Obat per Pasien
2-5 48 (69,56)
6-8 20 (28,98)
>8 1 (1,44)
Lama Rawatan
<5 hari 8 (11,59)
5-10 hari 39 (56,52)
>10 hari 22 (31,88)
Jumlah Penyakit Penyerta
Tanpa penyakit penyerta 10 (14,49)
1-3 25 (36,23)
>3 34 (49,27)

Jumlah item obat dalam satu resep adalah salah satu faktor yang penyebab terjadinya
interaksi obat, pada penelitian ini sebagian besar jumlah obat yang diterima pasien berkisar
antara 2 sampai 5 item obat (69,56%) per pasien. Penggunaan obat yang lebih dari 3 jenis obat
perpasien akan meningkatkan risiko terjadinya interaksi obat. Hal ini menunjukkan terjadinya
polifarmasi dengan kategori minor. Polifarmasi kategori minor ditandai dengan adanya 2 sampai
4 obat dalam satu lembar resep (Herdaningsih S, 2016). Sebanyak 34 orang pasien (49,27%)
memiliki lebih dari 3 penyakit lain selain penyakit bronkopnemonia, diantaranya adalah penyakit
penyakit jantung bawaan sianotik, hipotiroid kongenital, syndrome down, hernia umbilikalis,
sindrom epilepsy, cerebral palsy dan penyakit lainnya.
Tabel 2. Pola penggunaan obat pada pasien balita dengan pneumonia di RSUP Dr. Djamil Padang pada
tahun 2019
No Terapi obat yang diterima pasien Jumlah Persentase (%)
selama rawatan (ƒ)
1. Ambroxol 8 3,11
2. Ampicillin 63 25,7
3. Azitromisin 5 1,94
4. Sefiksim 2 0,77
5. Sefotaksim 1 0,38
6. Seftazidim 1 0.38
7. Seftriakson 7 2,72
8. Deksametason 35 13,61
9. Gentamicin 50 19,45
10. Kloramfenikol 16 6,22
11. Meropenem 4 1,55
12. N- asetilsistein 2 0,77
13. Parasetamol 40 15,56
14. Vankomisin 1 0.38
15. Kaptopril 7 2,72
16. Furosemid 7 2,72

Seminar Nasional Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) III-Tantangan Pandemik (covid-19) dalam
pembelajaran dan penelitian kefarmasian 16-20 Agustus 2021 (Virtual Conference
132 | Azyenela, L., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi (Scientific Journal of Pharmacy) Special Edition 2022, 128-
135

No Terapi obat yang diterima pasien Jumlah Persentase (%)


selama rawatan (ƒ)
17. Fenobarbital 4 1,55
18. Spironolakton 4 1,55
Total 257 100
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa antibiotik yang paling banyak digunakan untuk pasien
balita dengan pneumonia adalah ampicillin sebanyak 40,94 %. Ampicillin merupakan antibiotik
lini pertama untuk bayi dengan umur lebih dari 2 bulan (Pedriatric, 2012). Menurut Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI), amoksisilin merupakan antibiotika pilihan pertama untuk anak
usia kurang dari 5 tahun karena efektif melawan sebagian besar patogen yang menyebabkan
pneumonia pada anak, ditoleransi dengan baik dan murah, selain itu penggunaan antibiotik
ampisillin juga dianjurkan untuk terapi empirik pada anak (IDAI, 2009).
Tabel 3. Distribusi kejadian interaksi obat pada pasien balita pnemonia berdasarkan jenis interaksi dan
tingkat keparahan
No Interaksi obat Jenis interaksi Tingkat Jumlah
keparahan
1. Kaptopril dan Farmakodinamik : Moderate 2
Furosemid Meningkatkan efek hipotensi
(drugs.com)
2. Kaptopril dan Farmakodinamik: Moderate 1
Asetozolamid Meningkatkan efek hipotensi
(drugs.com)
3. Kaptopril dan Farmakodinamik: Menggunakan Moderate 1
Spironolakton kaptopril dengan spironolakton
berpotensi meningkatkan jumlah
kalium darah (drugs.com)
4. Kaptopril dan Farmakokinetika: Fenobarbital Moderate 1
Fenobarbital dapat menurunkan kadar kaptopril
dengan meningkatkan metabolism
(drugs.com)
5. Paracetamol dan Farmakokinetika : Fenobarbital Moderate 1
Fenobarbital dapat menurunkan kadar
paracetamol dengan meningkatkan
metabolisme, sehingga akan
meningkatkan metabolit
hepatotoksik (Medscape.com)
6. Asam Folat dan Farmakokinetika : Minor 1
Fenobarbital Fenobarbital dapat menurunkan
kadar asam folat dengan
meningkatkan metabolisme
(Medscape.com)
Apabila dua atau lebih obat digunakan secara bersamaan, maka salah satu obat bisa
mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat lainnya, sehingga kadar
plasma obat kedua dapat meningkat atau menurun, hal ini disebut dengan interaksi obat
farmakokinetik. Dari hasil penelitian didapatkan frekuensi interaksi farmakokinetik
mempengaruhi metabolisme sebanyak 3 kasus dengan persentase 42,9%. Interaksi obat terjadi
pada paracetamol dengan fenobarbital yang dapat menyebabkan peningkatan toksisitas dari

Seminar Nasional Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) III-Tantangan Pandemik (covid-19) dalam
pembelajaran dan penelitian kefarmasian 16-20 Agustus 2021 (Virtual Conference
133 | Azyenela, L., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi (Scientific Journal of Pharmacy) Special Edition 2022, 128-
135

paracetamol. Fenobarbital dapat menurunkan kadar paracetamol dengan meningkatkan


metabolisme, sehingga akan meningkatkan metabolit hepatotoksik. Interaksi obat
farmakokinetika lain yang ditemukan adalah antara kaptoril dan fenobarbital. Fenobarbital dapat
menurunkan kadar kaptopril, kombinasi obat ini diterima oleh pasien usia 13 bulan yang
didiagnosa bronkopneumonia dengan gagal jantung kongestif, syndrome down, serta syndrome
epilepsy, yang mendapatkan terapi obat meropenem, sefiksim, parasetamol, fenobarbital,
furosemid, dan mikonazol, dimana pemberian obat kaptoril dan fenobarbital dalam waktu yang
bersamaan.
Berdasarkan interaksi obat farmakodinamik ditemukan 4 kasus dengan persentase
(57,1%) (Tabel 3). Salah satu interaksi obat farmakodinamik yang ditemukan dalam penelitian
ini adalah kaptopril berinteraksi dengan furosemid. Efek yang ditimbulkan dari kedua kombinasi
obat ini yaitu risiko hipotensi. Hal ini terjadi pada pasien dengan didiagnosa bronkopneumonia
disertai penyakit jantung bawaan asianotik, autism spectrum disorder, hipotiroid kongenital, IgM
selektif deficiency, infeksi IgG cytomegalovirus.
Demikian pula dengan interaksi obat farmakodinamik antara kaptopril, spironolakton dan
asetazolamide. Kombinasi obat ini diterima oleh pasien usia empat bulan, dengan diagnosa
bronkopneumonia disertai penyakit jantung bawaan asianotik, autism spectrum disorder,
hyponatremia. Penggunaan kaptopril, dan spironolakton dalam waktu bersamaan dapat
meningkatkan resiko hipotensi, sedangkan apabila kaptopril digunakan dalam waktu bersamaan
dengan spironolakton berpotensi meningkatkan kadar kalium dalam darah (drugs.com).

14.30% 14.30%

71.40%

Minor Moderat Mayor

Gambar 1. Diagram angka kejadian interaksi obat berdasarkan tingkat keparahan


Berdasarkan tingkat keparahannya, interaksi obat dapat dibagi menjadi 3, yaitu minor,
moderate dan major. Interaksi obat yang termasuk ke dalam tingkat keparahan minor, umumnya
menimbulkan efek ringan, dan tidak mempengaruhi hasil terapi. Pada penelitian ini terdapat 1
kasus interaksi obat dengan tingkat keparahan minor dengan persentase (14,3%). Obat-obat

Seminar Nasional Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) III-Tantangan Pandemik (covid-19) dalam
pembelajaran dan penelitian kefarmasian 16-20 Agustus 2021 (Virtual Conference
134 | Azyenela, L., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi (Scientific Journal of Pharmacy) Special Edition 2022, 128-
135

yang termasuk dalam kategori ini adalah asam folat dengan fenobarbital. Fenobarbital dapat
menurunkan kadar asam folat dengan meningkatkan metabolisme, karena fenobarbital
merupakan inducer enzim sehingga dia dapat menurunkan kadar obat lain dengan meningkatkan
metabolisme (Medscape.com). Interaksi obat dengan tingkat keparahan ringan ini tidak
memberikan dampak klinis serius pada pasien, akan tetapi pasien tetap harus dimonitoring.
Interaksi obat dengan tingkat keparahan moderat terjadi bila efek yang ditimbulkan bisa
mengakibatkan terjadinya penurunan outcome klinis pasien. Dari hasil yang didapat tingkat
keparahan moderate paling banyak terjadi diantara tingkat keparahan lainnya. Pada hasil
didapatkan kategori moderate adalah sebanyak 5 kasus dengan persentase (71,4%). Obat yang
berpotensi mengakibatkan keparahan moderate adalah kaptopril dan furosemid. Pemberian obat
kombinasi antara kaptopril dan furosemid sering digunakan secara bersamaan, namun efek yang
ditimbulkannya dapat menjadi aditif dalam menurunkan tekanan darah sehingga perlu
penyesuaian dosis atau tes khusus untuk penggunaan obat tersebut dalam jangka panjang
(Drugs.com). Penurunan efek loop diuretic akan terjadi ketika kaptopril dan furosemid
dikombinasikan. Mekanisme tersebut terjadi karena penghambatan angiotensin II dari ACE
inhibitor. Monitor status cairan dan berat badan pasien ketika pasien pertama kali diberikan
kombinasi kaptopril dan furosemid perlu dilakukan (Tatro, 2009).
Interakasi obat dengan tingkat keparahan moderate lainnya terjadi pada obat paracetamol
dengan fenobarbital. Kombinasi obat parasetamol dengan fenobarbital, dapat menurunkan kadar
paracetamol dengan meningkatkan proses metabolismenya, sehingga akan meningkatkan
metabolit hepatotoksik dan menyebabkan efek samping yang serius yang dapat mempengaruhi
hati (Medscape.com). Potensial hepatotoksik dari paracetamol dapat meningkat ketika
fenobarbital diberikan dalam dosis yang besar, dan efek terapi parasetamol juga berkurang
(Astiti, 2017). Tingkat keparahan moderate selanjutnya terjadi pada interaksi obat lain dengan
obat lain antara kaptopril dan asetazolamid. Pemberian kedua obat secara bersamaan dapat
meningkatkan risiko penuruanan tekanan darah secara cepat. Dengan demikian perlu dilakukan
penyesuaian dosis untuk penggunaan obat tersebut dalam jangka panjang (Drugs.com).
Tingkat keparahan major pada interaksi obat dapat berpotensi mengancam jiwa atau
dapat menyebabkan kerusakan permanen (Tatro, 2009). Pada tingkat keparahan kategori major
didapat sebanyak 1 kasus dengan persentase (14,3%). Kejadian interaksi obat dengan tingkat
keparahan major pada penelitian ini berpotensi terjadi pada interaksi obat antara kaptopril dan
spironolakton. Pemberian kaptopril bersamaan dengan spironolakton dapat meningkatkan kadar
kalium dalam darah (hiperkalemia). Hiperkalemia dapat menyebabkan gejala seperti kelemahan,
kebingungan, mati rasa atau kesemutan, dan denyut jantung yang tidak teratur (Drugs.com).

Seminar Nasional Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) III-Tantangan Pandemik (covid-19) dalam
pembelajaran dan penelitian kefarmasian 16-20 Agustus 2021 (Virtual Conference
135 | Azyenela, L., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi (Scientific Journal of Pharmacy) Special Edition 2022, 128-
135

4. Kesimpulan

Pada penelitian ini ditemukan bahwa interaksi obat yang sering terjadi pada pasien balita
pneumonia rawat inap yang disertai dengan gangguan jantung bawaan di RSUP Dr. Djamil Padang
adalah kombinasi kaptopril dengan furosemid.

Daftar Pustaka
Astiti PMA, Mukaddas A, Safaruddin. 2017. Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien
Pediatri Pneumonia Komunitas Di Instalasi Rawat Inap RSD Madani Provinsi Sulawesi
Tengah. Galenika Journal of Pharmacy; 3(1) : 57-63
Balakrishnan RK. 2014. Gambaran pneumonia pada anak di RSUP Haji Adam Malik Medan periode
Januari 2011-Desember 2013 [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Baxter K. 2008. Stockley ’s Drug Interactions. RPS Publishing is the publishing organisation of the
Royal Pharmaceutical Society of Great Britain. London.
Drugs.com, 2020. Prescription Drug Information, Interaction & Side Effects. Tersedia
https://www.drugs.com/drug_interactions.html (diakses Agustus 2020)
Hartati S, Nurhaeni N, Gayatri D. 2012. Faktor Risiko Terjadinya Pneumonia pada Anak Balita.
Jurnal Keperawatan Indonesia; 15:13-20.
Herdaningsih S, Ahmad M, Keri L, Nurul A. 2016. Potensi interaksi obat-obat pada resep
polifarmasi: studi retrospektif pada salah satu apotek di kota Bandung. Jurnal Farmasi
Klinik Indonesia; 5(4):288–292.
Kementrian Kesehatan Indonesia RI. 2018. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Balitbang kemenkes RI
Medscape, 2020, Drug Interaction Checker, (Online), (http://reference .medscape.com/drug-
interactionchecker).
Pediatric Formulary Committee. 2011. BNF for Children 2011–2012 (British National
Formulary for Children).London: British National Formulary Publications
Price, S.A., dan Wilson, L.M. 1994. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi IV.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Saula Ls, dan Indah LH. 2019. Potensi Interaksi Obat pada Resep Pasien Rawat Inap Pediatrik: Studi
Retrospektif di Rumah Sakit Ibu dan Anak. Universitas Singaperbangsa Karawang
Soewignjo S, Gessner BD, Sutanto A, Steinhoff M, Prijanto M, Nelson C, et al. 2001. Streptococcus
pneumonia Nasopharyngeal Carriage Prevalence, Serotype Distribution, and Resistance
Patterns among Children on Lombok Island, Indonesia.Clinical Infection Disease.; 32:1039-
43.
Tatro D.S. 2009. Drug Interaction Fact The Autority Drug Interactions, Fact And Comparison.
Wolter Kluwers, St Louis.
World Health Organization (WHO). 2013. Hospital care for children Second edition.USA: WHO.
World Health Organization. 2013. Pocket book of Hospital Care for Children: Guidlines for
Management Common Childhood Illness. 2nd ed. Geneva.
Suharjono, Yuniati, T., & Semedi, S. (2009). Studi Penggunaan Antibiotika pada Penderita Rawat
Inap Pnemonia. Majalah Ilmu Kefarmasian, 6(3), 142–155.

Seminar Nasional Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) III-Tantangan Pandemik (covid-19) dalam
pembelajaran dan penelitian kefarmasian 16-20 Agustus 2021 (Virtual Conference

You might also like