48118-Article Text-224328-1-10-20230622
48118-Article Text-224328-1-10-20230622
48118-Article Text-224328-1-10-20230622
ABSTRACT
Forest fire is one of the environmental problems that often occurs and is considered important so that it becomes a
local and global concern. Forest and land fires are an event that often occurs in Indonesian territory, especially on the
island of Kalimantan. Climate is one of the natural factors that can support the occurrence of forest fires, because climatic
conditions can affect the dryness of surface fuels. The purpose of this study was to analyze the relationship between
hotspots and rainfall on forest fires in Pulang Pisau, Central Kalimantan in the 2017-2021 period. The data used in this
study are hotspots using the Terra/Aqua-MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) satellite,
administrative area data, and rainfall data. The results showed that the highest rainfall was in March of 393 mm/month
and the lowest in September was 70 mm/month. High and low rainfall can indicate hotspots which are one of the factors
causing forest and land fires. The highest number of hotspots in Pulang Pisau during the 2017-2021 period occurred in
2019 with 3,424 points and the lowest in 2020 with 2 hotspots. This indicates an increase and decrease in rainfall related
to the large number of hotspots.
ABSTRAK
Kebakaran hutan merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang sering sekali terjadi dan dianggap penting
sehingga menjadi perhatian lokal maupun global. Kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu kejadian yang sering terjadi
di wilayah Indonesia, khususnya di Pulau Kalimantan. Iklim merupakan salah satu faktor alami yang dapat mendukung
terjadinya kebakaran hutan, karena kondisi iklim dapat mempengaruhi tingkat kekeringan bahan bakar permukaan. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara hotspot dengan curah hujan terhadap terjadinya kebakaran hutan
di Pulang Pisau Kalimantan Tengah pada periode 2017-2021. Data yang digunakan pada penelitian ini berupa hotspot
dengan menggunakan satelit Terra/Aqua-MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer), data wilayah
administrasi, serta data curah hujan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa curah hujan tertinggi pada bulan Maret sebesar
393 mm/bulan dan terendah pada bulan September yaitu 70 mm/bulan. Tinggi dan rendahnya curah hujan dapat
mengindikasikan adanya titik panas (hotspot) yang menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan dan
lahan. Jumlah titik panas (hotspot) di Pulang Pisau tertinggi selama periode 2017-2021 terjadi pada tahun 2019 sebanyak
3.424 titik dan terendah pada tahun 2020 dengan jumlah titik panas (hotspot) sebanyak 2 titik. Hal tersebut
mengindikasikan peningkatan dan penurunan curah hujan berkaitan dengan banyaknya jumlah titik panas (hotspot).
Kata kunci: curah hujan, titik panas (hotspot), kebakaran, Pulang pisau, Kalimantan Tengah
1
Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB University
Jl. Ulin Kampus IPB, Dramaga, Bogor, Jawa Barat, Indonesia 16680
* Penulis korespondensi:
e-mail: saharjobambangh@gmail.com
26 Bambang Hero Saharjo et al. Jurnal Silvikultur Tropika
Journal of Tropical Silviculture
hingga 2021 yang telah direkapitulasikan berdasarkan Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan jumlah hotspot
bulan pertahunnya menggunakan Microsoft Excel 2013. yang diperoleh di provinsi Pulang Pisau berbeda setiap
Analisis data jumlah dan luasan kebakaran hutan dan data tahunnya. Jumlah deteksi hotspot setiap tahunnya adalah 59
curah hujan yang telah direkapitulasikan berdasarkan bulan titik (2017), 1.091 titik (2018), 3.424 titik (2019), 2 titik
pertahunnya dianalisis menggunakan analisis deskriptif. (2020), dan 4 titik (2021). Titik panas (hotspot) dapat
Analisis tingkat kerawanan kebakaran hutan dilihat digunakan untuk identifikasi awal kejadian kebakaran
berdasarkan rata-rata curah hujan per tahun dalam 5 tahun hutan dan lahan, semakin banyak titik panas (hotspot) di
terakhir. Analisis data selanjutnya yaitu analisis uji korelasi suatu wilayah maka semakin banyak potensi kejadian
menggunakan software Microsoft Excel 2013. Analisis ini kebakaran hutan dan lahan tetapi tidak selalu semakin
dilakukan untuk mengetahui hubungan tingkat keparahan banyak dan berulangnya titik panas (hotspot) di suatu
kebakaran antar parameter curah hujan, kelembaban dan wilayah semakin banyak pula potensi kejadian kebakaran
hotspot, dilakukan menggunakan rata-rata bulanan. (Endrawati 2016). Titik panas (Hotspot) diidentikkan
dengan titik api, namun kenyataannya tidak semua hotspot
Analisis Data mengindikasikan adanya titik api. Istilah hotspot lebih tepat
bersinonim dengan titik panas atau peningkatan suhu di
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini permukaan pada kisaran 37 ºC – 42 ºC.
adalah analisis data deskriptif. Dimulai dengan
menganalisis data jumlah dan luasan kebakaran hutan dan Pengaruh Jumlah Curah Hujan Terhadap Jumlah
data curah hujan yang telah direkapitulasikan berdasarkan Hotspot
bulan pertahunnya. Analisis tingkat kerawanan kebakaran
hutan dilihat berdasarkan rata-rata curah hujan per tahun Perubahan jumlah titik panas dipengaruhi oleh jumlah
dalam 5 tahun terakhir. Analisis data selanjutnya yaitu curah hujan bulanan khususnya di provinsi Kalimantan
analisis uji korelasi menggunakan software Microsoft Tengah (Prayoga et al. 2017). Curah hujan merupakan
Excel 2013. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui salah satu faktor alam yang dapat mempengaruhi terjadinya
hubungan tingkat keparahan kebakaran antar parameter kebakaran hutan dan lahan di suatu wilayah. Curah hujan
curah hujan, kelembaban dan titik panas (hotspot), merupakan iklim yang memiliki korelasi tinggi dengan
dilakukan menggunakan rata-rata bulanan. kejadian kebakaran hutan dan merupakan faktor yang
paling tinggi dalam menentukan akumulasi bahan bakar
(Syaufina 2008).
HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan jumlah titik panas dipengaruhi oleh jumlah
curah hujan bulanan khususnya di Provinsi Kalimantan
Sebaran Titik Panas (Hotspot) Tengah (Prayoga et al. 2017). Curah hujan merupakan
salah satu faktor alam yang dapat mempengaruhi terjadinya
Kebakaran hutan dan lahan sering terjadi pada musim kebakaran hutan dan lahan di suatu wilayah. Curah hujan
kemarau panjang di berbagai wilayah seperti Pulau merupakan iklim yang memiliki korelasi tinggi dengan
Sumatera dan Kalimantan (Pinem et al. 2022). Sebagian kejadian kebakaran hutan dan merupakan faktor yang
besar kebakaran hutan dan lahan diakibatkan oleh aktivitas paling tinggi dalam menentukan akumulasi bahan bakar
manusia seperti pengelolaan lahan untuk pembukaan lahan (Syaufina 2008).
maupun faktor ketidaksengajaan. Kebakaran hutan dan Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah curah
lahan merupakan salah satu bencana yang sering terjadi di hujan bulanan berpengaruh terhadap jumlah titik panas
Indonesia terutama terjadi setiap kemarau, yaitu pada bulan bulanan (Gambar 1) pada tahun 2017 hingga 2021. Rata-
Agustus, September, dan Oktober, atau pada masa rata jumlah titik panas yang rendah terdapat pada bulan
peralihan (transisi) (Haris et al. 2017). Wilayah hutan dan
lahan di Indonesia yang berpotensi terjadi kebakaran Tabel 1 Jumlah titik panas (hotspot) di Pulang Pisau
adalah wilayah gambut seperti di Pulau Sumatera (Riau, tahun 2017-2021 (Sumber: hasil Pengolahan
Sumut, Jambi dan Sumsel) dan Pulau Kalimantan data)
(Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Tahun 2017 2018 2019 2020 2021 Rata-
Selatan) rata
Satelit yang digunakan saat ini untuk mendeteksi titik Jan 0 2 2 0 0 0,8
panas adalah satelit NOAA, Terra/Aqua MODIS yang bisa Feb 0 0 1 1 0 0,4
di download secara gratis. Secara kualitas memang benar, Mar 1 0 1 0 1 0,6
bahwa jumlah titik panas yang banyak dan bergerombol Mei 1 0 2 0 0 0,6
dapat menunjukkan adanya kejadian kebakaran hutan dan Jun 1 8 0 0 2 2,2
lahan di suatu wilayah. Data ini yang saat ini paling efektif Jul 0 22 138 1 0 32,2
dan masih digunakan dalam memantau kebakaran hutan Agst 1 224 321 0 1 109,4
Sep 29 589 2.236 0 0 570,8
dan lahan untuk wilayah yang luas dan cepat. Data titik Okt 25 234 232 0 0 98,2
panas memaparkan bagaimana informasi hotspot Nov 0 12 463 0 0 95
dihasilkan dari penerimaan data, pengolahan, hasil Des 1 0 28 0 0 5,8
informasi, dan arti selang kepercayaan dari informasi titik Jumlah 59 1.091 3.424 2 4 916
panas tersebut (Pinem et al. 2022). Rata-Rata 5,36 99,18 311,27 0,18 0,36
28 Bambang Hero Saharjo et al. Jurnal Silvikultur Tropika
Journal of Tropical Silviculture
Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, dan Desember, jumlah hotspot terendah terdapat pada tahun 2020
Bulan-bulan tersebut memiliki jumlah rata-rata curah hujan disebabkan karena jumlah curah hujan pada tahun tersebut
bulanan yang tinggi sedangkan Juli, Agustus, September, tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun yang lain. Curah
Oktober, dan November memiliki rata-rata jumlah curah hujan berpengaruh terhadap jumlah hotspot yang
hujan bulanan yang rendah dan rata-data jumlah titik panas mengindikasikan terjadinya kebakaran hutan. Semakin
yang tinggi. Rata-rata jumlah titik panas tertinggi bulanan besar jumlah intensitas curah hujan di suatu wilayah maka
terdapat pada bulan September dengan jumlah titik panas semakin berkurang potensi terjadinya kebakaran di wilayah
sebesar 2.854 titik dengan rata-rata jumlah curah hujan tersebut dikarenakan tingginya tingkat kadar air bahan
sebesar 70 mm. Hal tersebut selaras dengan penelitian bakar akibat dari besarnya tingkat curah hujan sehingga
Prayoga et al. (2017) bahwa puncaknya musim kemarau di bahan bakar di wilayah tersebut menjadi sulit untuk
Wilayah Pulau Sumatera dan Kalimantan pada bulan Juli, terbakar.
Agustus dan September. Rata-rata jumlah titik panas Indonesia termasuk negara yang memiliki iklim tropis
bulanan terendah terdapat pada bulan Februari dengan dan memiliki dua musim, yaitu musim hujan dan musim
jumlah titik panas sebesar 2 titik dengan rata-rata curah kemarau. Secara umum Kalimantan mempunyai dua
hujan sebesar 311 mm. puncak musim hujan yang terjadi pada bulan April hingga
Jumlah hotspot tertinggi terdapat pada tahun 2019 Mei dan Desember hingga Januari. Fluktuasi titik panas
disebabkan karena jumlah curah hujan pada tahun tersebut (hotspot) akan mengikuti pola curah hujan bulanan di
rendah dibandingkan dengan tahun-tahun yang lain. Musim masing-masing provinsi (Prayoga et al. 2017).
kemarau pada tahun 2019 cenderung lebih panjang Korelasi negatif (-) pada hasil secara statistika yang
dibandingkan tahun sebelumnya dan menyebabkan terdapat pada Gambar 2 menunjukkan bahwa antara jumlah
kekeringan melanda sebagian besar wilayah Indonesia. curah hujan bulanan dengan jumlah hotspot bulanan setelah
Kejadian tersebut menyebabkan jumlah hotspot pada tahun diakumulasikan memiliki korelasi negatif (-) menandakan
2019 lebih tinggi dibandingkan tahun yang lain. Jumlah mempunyai hubungan sedang di mana nilai R-square
hotspot pada tahun 2019 terlihat meningkat pada bulan sebesar 0.0634 dan memiliki persamaan y = -0.0094x +
Agustus dengan jumlah titik panas sebesar 321 titik dan 1124.8 di mana y adalah jumlah hotspot dan x adalah curah
terjadi peningkatan yang signifikan pada bulan September hujan. Uji korelasi pada Gambar 2 menunjukkan arah
dengan jumlah titik panas sebesar 2.236 titik. Sebaliknya kedua hubungan antara jumlah curah dengan jumlah data
hotspot mempunyai hubungan terbalik. Hubungan terbalik
memberikan arti kenaikan curah hujan akan diikuti dengan
penurunan jumlah hotspot dan sebaliknya penurunan curah
hujan akan diikuti dengan kenaikan jumlah hotspot.
Simpulan
jumlah titik panas (hotspot) di suatu wilayah. Rata-rata Mardiani D. 2014. Hubungan curah hujan dan titik panas
jumlah titik panas (hotspot) tertinggi selama periode 2017- (hotspot) dalam kaitannya dengan terjadinya
2021 di Pulang Pisau terjadi pada bulan September yang kebakaran di Provinsi Aceh [skripsi]. Bogor (ID):
merupakan bulan yang memiliki jumlah curah hujan Institut Pertanian Bogor.
terendah (puncak musim kemarau) di Pulang Pisau selama Nugraha DA. 2016. Pengaruh curah hujan terhadap
periode 2017-2021. penurunan titik panas (Hotspot) di Indonesia pada
tahun 2019-2020 [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Saran Pertanian Bogor.
Nugroho PF. 2018. Hubungan antara faktor iklim dengan
Perlu dilakukan tinjauan dan penelitian lebih lanjut titik panas sebagai indikator terjadinya kebakaran
dengan penambahan parameter-parameter lain seperti hutan dan lahan di kalimantan [skripsi]. Bogor (ID):
suhu, kelembaban dan kecepatan angin. Serta penelitian Institut Pertanian Bogor.
lebih lanjut pada daerah-daerah yang memiliki tingkat Papilaya FS. 2020. Analisis Pola Spasial Kebakaran Lahan
kerawanan kebakaran hutan dan lahan yang tinggi. Di Kabupaten Pulang Pisau Tahun 2001-2019.
Jurnal Tunas Geografi. 9(1):23-34.
Peraturan Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
DAFTAR PUSTAKA Republik Indonesia Nomor
P.32/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2016 tentang
Afriyani A, Purwaningsih E. 2019. Analisis Jumlah Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Jakarta
Sebaran Hotspot Terhadap Nilai ISPU di Kabupaten ID): Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Pelalawan Provinsi Riau. Kapita Selekta Geografi. Republik Indonesia.
2(7):26–38. Pinem A, Yulianto S, Dwiastuti R. 2022. Karakteristik
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Pulang Pisau. spasial data hotspot modis tahun 2019 di Kota
2016. Kabupaten Pulang Pisau Dalam Angka. Palangka Raya Provinsi Kalimantan Tengah. Jurnal
Pulang Pisau (ID): BPS Kabupaten Pulang Pisau. Hutan Tropika. 17(148):104–113.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Pulang Pisau. Prayoga MBR, Yananto A, Kusumo DA. 2017. Analisis
2021. Kabupaten Pulang Pisau Dalam Angka. Korelasi Kerapatan Titik Api dengan Curah Hujan
Pulang Pisau (ID): BPS Kabupaten Pulang Pisau. di Pulau Sumatera Dan Kalimantan. Jurnal Sains
Cahyono SA, P Warsito S, Andayani W, H Darwanto D. dan Teknol Modifikasi Cuaca. 18(1):17-24.
2015. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran Putra EI, Ghaniyy AAN. 2021. Curah hujan, Anomali Sea
hutan di Indonesia dan implikasi kebijakannya. Surface Temperature (SST) dan kebakaran hutan
Jurnal Sylva Lestari. 3(1):103-112. Sabana di Waingapu. Jurnal Silvikultur Tropika.
Endrawati. 2016. Analisis data titik panas ( Hotspot) dan 12(2):95–101.
areal kebakaran hutan dan lahan tahun 2016. Rezainy A, Syaufina L, Sitanggang IS. 2020. Pemetaan
Jakarta (ID): Direktorat Inventarisasi dan Daerah Rawan Kebakaran di Lahan Gambut
Pemantauan Sumber Daya Hutan, Ditjen Planologi Berdasarkan Pola Sekuens Titik Panas di Kabupaten
Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementrian Pulang Pisau Kalimantan Tengah. Jurnal
Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2016. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkung
Haris MA, Kumalawati R, Arisanty D. 2017. Identifikasi (Journal Nat Resour Environ Manag. 10(1):66–76.
Faktor-Faktor Kerentanan Terhadap Kebakaran Saharjo BH, Velicia WA. 2018. Peran Curah Hujan
Hutan dan Lahan di Kec Cintapuri Darussalam Terhadap Penurunan Hotspot Kebakaran Hutan dan
Kabupaten Banjar. JPG (Jurnal Pendidikan Lahan di Empat Provinsi di Indonesia Pada Tahun
Geografi). 4(4):23–31. 2015-2016. Jurnal Silvikultur Tropika. 9(1):24–30.
Humam A, Hidayat M, Nurrochman A, Anestatia AI, Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di
Yuliantina A, Aji SP. 2020. Identifikasi Daerah Indonesia. Pola, penyebab dan dampak kebakaran.
Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Malang (ID): Bayumedia Publishing.
Menggunakan Sistem Informasi Geografis dan Wibowo A. 2003. Permasalahan dan Pengendalian
Penginderaan Jauh di Kawasan Tanjung Jabung Kebakaran Hutan di Indonesia. Bogor (ID) : Pusat
Barat Provinsi Jambi. Jurnal Geosains dan Remote Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Sensing (JGRS). 1(1):32–42. Konservasi Alam.