15 5 PB
15 5 PB
15 5 PB
Abstract
Sugimo. 2018. “Kajian Estetika Wahyu Makutharama Pakem Mangkunegaran.
Akademi Seni Mangkunegaran Surakarta. This research is based on the different
ideas about Mangkunegaran puppetry style. Generally people even dalangs do not have
very good understanding about the Mangkunegaran style puppetry. Meanwhile, the
existing Mangkunegaran style puppetry is not owned by the wider community so this
kind of further research needs to be projected. The aesthetic research of Wahyu
Makutharama (Apocalypse of Makutharama) intends to try to study an action by using
an aesthetic approach. Wahyu Makutharama is a book that contains mainly verbal
aspects in puppetry and vice versa not the aspect of motion. With that assumption then
aesthetic research here is focused on aspects of the catur (dialog and narration) only.
Wahyu Makutharama in educational institution at Mangkunegaran Palace is applied as
a master or guide book even icon in Mangkunegaran style puppetry.
Abstrak
Penelitian ini didasarkan pada adanya perbedaan gagasan tentang gaya pedalangan
Mangkunegaran. Saat ini masih banyak masyarakat bahkan dalang yang belum
memahami pedalangan gaya Mangkunegaran. Buku yang berisi tentang pedalangan
Mangkunegaran belum menyentuh semua lapisan sehingga penelitian lanjutan perlu
dilakukan, untuk itulah penelitian ini dilakukan. Penelitian estetika Wahyu
Makutharama (Apocalypse of Makutharama) bermaksud untuk mencoba mempelajari
suatu tindakan dengan menggunakan pendekatan estetika. Wahyu Makutharama adalah
sebuah buku yang berisi terutama aspek verbal dalam pedalangan dan sebaliknya bukan
aspek gerak. Dengan asumsi itu maka penelitian estetika di sini dititikberatkan pada
aspek catur saja. Wahyu Makutharama dalam institusi edukasi di Istana Mangkunegaran
berlaku sebagai buku induk bahkan ikon pedalangan gaya Mangkunegaran.
PENDAHULUAN
Pura Mangkunegaran saat ini memiliki perguruan tinggi swasta yang khusus
mempelajari tentang seni budaya Mangkunegaran, yaitu Akademi Seni Mangkunegaran
Surakarta (disingkat ASGA). Sebelum ada ASGA lebih dulu berdiri Pasinaon Dalang
Mangkunegaran (PDMN) yang berdiri tahun 1931 dengan pedalangan gaya
Mangkunegaran memberi pengaruh besar pada jagad pedalangan Jawa.
Pada masa pemerintahan MN IV dan PB VII, kedua raja ini mempunyai ide
untuk memanggil para dalang kondang dari wilayah masing-masing untuk diberi
tambahan atau perbaikan pengetahuan pedalangan terutama dalam hal sastra. Kedua raja
ini merasa bahwa para dalang tersebut sukses di masyarakat tetapi bahasa
pedalangannya belum tersusun dengan baik. Catur dan suluk yang telah mereka (para
dalang) kuasai didokumentasi dan kemudian diperbaiki dalam wadah PDMN, maka
lahirlah catur dan suluk yang mudah diterima sebagai gaya Mangkunegaran. PDMN
juga memperkenalkan karawitan pakeliran yang ada di Mangkunegaran. Semua unsur-
unsur garap pakeliran yang telah dikembangkan tersebut kemudian diwadahi dalam
lakon Wahyu Makutharama dengan pengajar Wignyosoetarno. PDMN inilah pencipta
pedalangan gaya Mangkunegaran.
Wignyosoetarno dibimbing langsung oleh MN VII, setelah mahir muncul hasrat
untuk menularkan pengetahuannya kepada dalang lain. Maka atas ide Soetarno bersama
adiknya (Suyatno), dibukalah pembelajaran dalang yang disebut dengan Pasinaon
Dalang ing Mangkunegaran (Hali Jarwo Sularso, wawancara 25 Agustus 2016.
Soetarno, Sarwanto, Sudarko, 2007: 201).
PDMN menjadi acuan para dalang karena mampu menyusun pakem pedalangan
yang berupa panduan teknis bagi calon dalang yang berisi petunjuk penggunaan bahasa,
gending, suluk, dan balungan lakon. Panduan inilah yang menjadi anutan para dalang
dan kemudian melahirkan gaya Mangkunegaran. Panduan ini terakhir (1996) menjadi
buku berjudul Wahyu Pakem Makutharama, ditulis ulang oleh Suyatno Wignyosarono
bersama Sugeng Nugroho. Buku inilah yang menjadi fokus penelitian ini.
Wahyu Makutharama mengisahkan penghargaan dari dewa untuk umat manusia
hingga sanggup menurunkan raja hingga keturunan ketujuh. Lakon ini bermula dengan
suasana sidang kerajaan Astina. Prabu Duryudana dan Begawan Durna sama-sama
mendapat wangsit bahwa akan turun wahyu di Gunung Swelagiri dengan perantara
Begawan Kesawasidhi. Hasil kesepakatan ditugaskanlah Adipati Karna ke Gunung
Swelagiri untuk menyelidiki kebenaran wangsit itu. Di kaki gunung Swelagiri Karna
ditemui Anoman dan tiga saudara Bayu lainnya. Keempat anak angkat Dewa Bayu itu
diperintah oleh Kesawasidhi untuk melarang siapapun naik ke Pertapaan Kutharunggu.
Karna dan Kurawa bersikukuh ingin naik ke pertapaan dan menemui Kesawasidhi untuk
meminta wahyu. Anoman dan saudara Bayu tetap pada pendiriannya untuk
mensterilkan Kutharunggu dari siapapun. Adu argumen berkembang menjadi adu otot
(perang gagal) hingga Karna melepas senjata Kuntawijayandanu. Anoman sanggup
menghindari Kuntawijayandanu dan bahkan menangkapnya untuk diserahkan kepada
Kesawasidhi sebagai barang bukti. Kehadiran Anoman di hadapan Kesawasidhi
kemudian diikuti munculnya Arjuna meminta ijin untuk masuk ke pertapaan
menghadap Kesawasidhi. Kesawasidhi memberi wejangan kepada Arjuna mengenai
Hasthabrata. Arjuna pulang ke Amarta setelah mendapat Wahyu Makutharama.
Sinopsis lakon Wahyu Makutharama di atas terbingkai dalam balungan lakon
pakeliran semalam gaya Mangkunegaran. Pathet Nem dimulai dengan adegan Kerajaan
Astina dengan raja Prabu Duryudana menggunakan Ketawang Gending Kabor, Babak
Unjal dengan tokoh Adipati Karna menggunakan gending Ladrang Peksi Kuwung,
Adegan Gapuran menggunakan gending Ayak Anjangmas, Adegan Kedhatonan dengan
tokoh Dewi Banowati menggunakan gending Damarkeli, Adegan Paseban Jawi
menggunakan gending Kedhaton Bentar, dilanjutkan budhalan menggunakan Lancaran
Singanebah. Adegan Sabrang Gunung Swelagiri menggunakan Ladrang Dwiradameta.
Adegan Sintren (Sabrang Rangkep) Pertapaan Candramanik menggunakan Ladrang
Remeng.
Pathet Sanga pada adegan satria (Arjuna) di hutan menggunakan gending
Gandakusuma. Adegan Sampak Tanggung di Kasatrian Madukara (Dewi Sembadra)
menggunakan gending Renyep. Pathet Manyura adegan pertama (Arjuna di Swelagiri)
menggunakan Ayak-ayakan. Kemudian adegan berikutnya di Pertapaan Kutharunggu
menggunakan gending Kututmanggung. Adegan Manyura ketiga (Karna di hutan
Duryapura) menggunakan Ladrang Kandhamanyura. Adegan Manyura keempat di
Amarta menggunakan gending Bang-bang Wetan. Adegan Manyura kelima
(Kumbakarna) menggunakan Lancaran Ricik-ricik. Adegan terakhir di Amarta
menggunakan Ayak-ayakan irama tanggung.
Selain balungan lakon di atas, terdapat beberapa hal yang penulis temukan
sebagai ciri khas gaya Mangkunegaran. Pada panggung wayang terdapat kelir sebagai
tempat mementaskan wayang. Pada bagian bawah kelir terdapat palemahan sebagai
simbol bumi atau tanah. Palemahan gaya Mangkunegaran berwarna hijau.
Pascapemerintahan Sultan Agung, tepatnya era pemerintahan Amangkurat Tegal
Arum, pakem pedalangan pecah menjadi dua, yaitu gaya Kasepuhan dan gaya
Kanoman. Gaya Kasepuhan diprakarsai oleh Kyai Anjangmas yang menghilangkan
tokoh wayang Bagong karena mendapat larangan dari pemerintah Belanda. Bagong
dianggap sebagai orang yang lancang mulut dan sering mengkritik pemerintahan
Belanda. Gaya Kanoman yang beroperasi di wilayah timur diprakarsai oleh Nyi
Anjangmas. Gaya Kanoman memiliki ciri khas pada tokoh wayang dewa dan pendeta,
yaitu menggunakan jubah, sepatu, dan keris (Hali Jarwo Sularso, wawancara 25
Agustus 2016). Ki Anjangmas adalah orang yang ditunjuk oleh raja untuk menjadi
dalang keraton. Dalang pada masa kerajaan merupakan tokoh yang digunakan oleh raja
untuk mempengaruhi rakyat agar setia kepada raja dan kerajaan. Nama Anjangmas
merupakan pemberian raja. Jadi dulu ada cerita bahwa dalang dari keraton ditanggap
oleh ratu pantai selatan. Upah pentas berupa anjang yang terbuat dari emas. Anjang
adalah mangkuk wadah sayuran yang memiliki dua kupingan/gocekan
(gagang/pegangan). Sejak saat itulah dalang tersebut memiliki nama pasar Ki
Anjangmas (Hali Jarwo Sularso, wawancara 14 September 2016). Hingga saat ini Ki
Anjangmas menjadi panutan dalang-dalang Mangkunegaran.
Mangkunegaran juga memiliki ciri khas dari sisi sabet. Sabet adalah semua
gerak dan penampilan boneka wayang di atas panggungan/kelir/layar yang disajikan
oleh dalang (Bambang Murtiyoso, 1982:13). Sabet pertama yang dilakukan adalah
bedhol kayon (mencabut gunungan). Cara bedhol kayon adalah dengan mengangkat
tinggi-tinggi kemudian menurunkannya tiga tahapan. Turun tiga tahapan ini menjadi
penting karena memiliki makna filosofi lair-rabi-mati (lahir-menikah-mati) (Hali Jarwo
Sularso, wawancara 25 Agustus 2016). Sebelum dicabut, kayon berada pada posisi
tegak lurus di tengah kelir pada debog atas. Posisi seperti itu juga terjadi pada pathet
sanga dan akhir pertunjukan (tancep kayon). Dapat disimpulkan bahwa posisi kayon
tegak lurus hadir pada awal, tengah, dan akhir pertunjukan.
Mangkunegaran juga memiliki ciri khas dari sisi dhoyong kayon. Pada pathet
nem kayon berada pada posisi dhoyong ngiwa (miring kiri) debog bawah. Filosofinya
adalah ném (nom, enom, muda), biasanya orang yang masih muda memiliki
kecenderungan mengarah ke kiri (hal-hal negatif). Pada pathet sanga kayon berada pada
posisi jejeg (tegak lurus) debog atas. Makna filosofinya adalah wis jejeg uripe, sudah
lurus hidupnya, sudah bertanggung jawab, sudah berumah tangga (memiliki keluarga).
Pada pathet manyura kayon berada pada posisi dhoyong nengen (miring kanan) debog
bawah. Makna filosofinya adalah wis arep mati mula nengenake panembah, sudah akan
mati maka mengutamakan ibadah (Hali Jarwo Sularso, wawancara 25 Agustus 2016).
Posisi kayon yang dhoyong ngiwa-tengah-nengen juga ada hubungannya dengan
pergerakan matahari. Pura Mangkuneragan menghadap ke selatan. Jika kita menghadap
selatan, maka matahari awal terbit dari sebelah kiri, kemudian tengah hari berada di
tengah, dan tenggelam di sebelah kanan. Pendapat ini juga sebagai koreksi terhadap
tulisan Bambang Murtiyoso dalam Pengetahuan Pedalangan halaman 27, dan buku
Teori Pedalangan (Surakarta: ISI, 2007) halaman 126.
Karakteristik pedalangan Mangkunegaran juga tampak dalam unsur catur. Guna
mendeksripsikan ciri khas pedalangan gaya Mangkunegaran dilakukanlah penelitian
terhadap naskah pedalangan lakon Wahyu Makutharama seperti telah disebutkan di
atas. Penelitian ini menggunakan pendekatan estetika pedalangan Soetarno. Soetarno
mengatakan bahwa estetika merupakan kegiatan dari filsafat yang mempersoalkan
mengenai keindahan suatu karya seni (Soetarno, Sunardi, Sudarsono, 2007:1). Hal ini
merupakan kegiatan yang disebut penilaian terhadap objek dan nilai sesuatu. Estetika
secara singkat adalah ilmu tentang keindahan. Kegiatan berestetika disebut estetik.
Estetik menunjuk pada kegiatan mengamati seni, di mana pelakunya disebut penghayat,
kritikus, atau penonton. Sedangkan yang diamati adalah artis yang kegiatannya disebut
artistik. Kegiatan estetik memerlukan pemusatan perhatian, daya khayal, rasa, imajinasi,
kreativitas, daya menilai, dan pengalaman. Satu hal yang menjadi inti dari kegiatan
estetik adalah perasaan atau rasa (Soetarno, Sunardi, Sudarsono, 2007:21).
Estetika pedalangan adalah totalitas dari suatu sajian wayang kulit yang terdiri
dari: catur, sabet, dan karawitan pakeliran baik yang bersifat teknik maupun
isinya yang disajikan secara utuh satu sama lain saling mendukung sehingga
mewujudkan kesatuan yang integral (Soetarno, Sunardi, Sudarsono, 2007: 25).
Konsep estetika dalam seni pedalangan sebenarnya telah tertuang lewat karya-
karya pujangga Jawa zaman kuno, baik yang berupa prosa, puisi, atau bentuk karangan
yang lain (lukisan-lukisan). Pengalaman estetis dalam pertunjukan wayang seperti
dilukiskan dalam Kakawin Arjuna Wiwaha bait 59:
“Hanonton ringgit manangis asekel muda hidepan huwus wruh towin jan
walulang inukir molah angucap hatur ning wang tresnèng wisaya malaha tan
wihikana ri tatwan jan maya sahan-haning bhawa siluman” (G.A.J. Hazeu,
1987: 41).
“Ada orang melihat wayang menangis, kagum, serta sedih hatinya, walaupun
sudah mengerti bahwa yang dilihat itu hanya kulit dipahat berbentuk orang dapat
bergerak dan berbicara, yang melihat wayang itu umpamanya orang yang
bernafsu dalam keduniawian yang serba nikmat, mengakibatkan kegelapan hati.
Ia tidak mengerti bahwa semua itu hanyalah bayangan seperti sulapan,
sesungguhnya hanya semu saja (Soetarno, T.Th.: 1).
menanggapi atau menghayati gejala bentuk atau peristiwa, baik alam maupun karya
seni, dapat memunculkan berbagai refleksi pribadi pada seseorang. Efek refleksi
individual itu tidak hanya bersifat rohaniah, melainkan dapat meluas hingga ke tataran
jasmaniah. Dalam konteks khusus tanggapan terhadap seni, refleksi individual itu
kadangkala berlangsung sangat singkat dan kadang tak tersadari. Refleksi itulah yang
disebut “pengalaman estetis”. Pengalaman estetis semacam itu berlaku secara universal
dan sudah berlangsung sejak puluhan ribu tahun yang lalu. Ekspresi artistik dan
pengalaman estetis semacam itu dapat muncul pada berbagai tingkat kehidupan
manusia, berbagai habitat atau lokasi hunian manusia berbagai zaman atau masa.
Pengalaman estetis dan artistik itu merupakan refleksi manusia terhadap kondisi
lingkungannya (alam & sosial), juga terhadap berbagai segi kehidupan, baik yang fisik
(sandang, papan, peralatan) maupun nonfisik (sikap batin, harapan, makna, dsb),
sekaligus merupakan refleksi manusia terhadap hakikat fenomena alam dan kebudayaan
(Achmad Sjafi’i, wawancara 20 September 2008).
Istilah estetika berasal dari kosakata Yunani, “aisthesis”, yang berarti perasaan,
persepsi, penginderaan, pencerapan, pengamatan, atau tanggapan. Kata aisthesis
kemudian berkembang menjadi aesthetica (ilmu tentang nilai penginderaan),
aestheticos (hal-hal yang berkait dengan penginderaan), aesthesis (penginderaan,
pengamatan), aisthanomai (mengindera, mempersepsi, ‘merasakan’ dengan indera)
(Dick Hartoko, 1984:15). Estetika secara khusus digunakan untuk menyebut apa-apa
yang dianggap bernilai atau bermatra pengalaman khusus (pengalaman indrawi): visual,
audio, atau gabungan audio-visual. Sedangkan makna harian “estetika” adalah kajian
tentang keindahan (beauty) atau yang indah (the aesthetic), citarasa (taste), dan seni
(art). Estetika adalah salah satu cabang dari ilmu filsafat yang mempermasalahkan
tentang indah atau tidak indahnya suatu karya atau keadaan. Dengan demikian kegiatan
estetika merupakan suatu kegiatan menilai sesuatu objek dan/atau nilai dari sesuatu
(Soetarno, 1988: 17). Estetika adalah suatu cara berpikir kritis atau mendalam dengan
sasaran objek seni atau keindahan. Estetika sering disebut dengan filsafat seni.
Estetika pedalangan yaitu disiplin pengetahuan yang mencari asal-muasal
keindahan yang terdapat dalam pedalangan dan ke mana atau untuk apa keindahan itu
diciptakan. Pembicaraan mengenai estetika pedalangan sebenarnya ingin menangkap
unsur-unsur keindahan maupun maknanya dalam pergelaran wayang kulit (Suratno,
dkk., 1995:23). Disadari bahwa sampai dewasa ini belum ada kriteria yang jelas dalam
menilai keindahan pergelaran wayang kulit. Penilaian yang sering dilakukan pada
umumnya hanya didasari atas penilaian dengan ukuran personal yang subjektif sifatnya.
Artinya bahwa penilaian terhadap pertunjukan wayang kulit, sekali lagi tergantung dari
persepsi masing-masing menurut kedewasaan jiwa serta kemampuan berpikir (Soetarno,
Sunardi, Sudarsono, 2007:23). Di dalam sajian wayang kulit, nilai estetis diperlukan
kehadirannya karena sangat menentukan keberhasilan seniman dalang. Bermutu atau
tidaknya sajian pertunjukan wayang sangat ditentukan oleh unsur-unsur estetis yang
terkandung di dalamnya. Unsur-unsur estetis dalam pakeliran itulah yang menyebabkan
pakeliran menjadi berbobot dan berkualitas.
Konsep estetika seni pertunjukan wayang gaya Mangkunegaran tertuang dalam
Gegebengan Anjangmas (1954:4) seperti yang disampaikan oleh Soetarno (2007:78)
dalam buku Estetika Pedalangan. Soetarno menjelaskan terdapat sebelas (11)
persyaratan estetik dalam unsur catur, yaitu:
(1) Tutug, artinya cerita yang disajikan dari awal, tengah, sampai akhir dapat
menyatu dan konsisten. (2) Tanduk, adalah bahwa dalang harus pandai dan
terampil dalam mengucapkan janturan, pocapan, dan ginem, sehingga terasa
enak didengarkan dan mudah dipahami oleh penonton. (3) Sabda, yakni bahasa
maupun ucapan tokoh yang digunakan dalam suatu adegan maupun keseluruhan
lakon tidak diulang-ulang. (4) Lebda, artinya dalang harus cakap dalam
menggunakan bahasa pedalangan. (5) Weweka, artinya dalang dituntut
mengetahui seluk beluk pengetahuan wayang maupun lakon. (6) Mungguh,
memiliki arti patut, sesuai, tepat azas, relevan. Dalam ginem, mungguh memiliki
arti bahwa antawecana wayang harus sesuai dengan wanda wayangnya. (7)
Lungguh, dalam ginem wayang harus sesuai dengan status dan kedudukan sosial
tokoh dalam dunia wayang. (8) Cucut, diartikan bahwa dalam dialog dapat
memunculkan humor yang segar. (9) Nuksma atau langgut, berarti dalam
mengekspresikan emosi harus pas dan mantap, baik narasi, maupun percakapan
wayang terkesan mantap atau seolah-olah hidup (menjiwai). (10) Tatas, artinya
bahwa narasi (janturan dan pocapan) ditampilkan dengan jelas, urut, dan tidak
tumpang-tindih. (11) Micara, artinya bahwa dalang harus pandai menyusun
kata-kata serta terampil dalam dialog wayang.
Sebelas konsep itulah yang akan penulis gunakan untuk membedah Wahyu
Makutharama pada bagian catur. Catur merupakan salah satu dari perabot pakeliran
yang ideal untuk mengungkapkan sesuatu atau suasana agar dapat diterima, dimengerti,
dan dirasakan oleh penghayat. Garap catur Wahyu Pakem Makutharama masih
berpegang pada konsep pakeliran tradisi semalam yang meliputi janturan, pocapan, dan
ginem.
Catur adalah susunan atau rangkaian bahasa yang diucapkan dalang diwaktu
mendalang, baik yang berisi pelukisan sesuatu maupun berupa percakapan tokoh
wayang. Janturan adalah narasi dalang yang didalamnya berisi deskripsi tentang
tempat, tokoh, suasana, dan kejadian-kejadian yang sudah berlalu, sedang terjadi, dan
yang akan datang dengan diiringi bunyi gending tipis (sirep). Janturan merupakan
bagian dari catur yang berisi pelukisan suatu adegan atau jejer. Dalam janturan
biasanya menyebut nama dan suasana tempat, nama dan perwatakan tokoh wayang,
permasalahan yang dihadapi, dan apa yang akan dibicarakan tokoh-tokoh yang
dihadirkan dalam suatu adegan. Penyuaraan janturan diringi dengan gending yang
dibunyikan secara lirih (sirep).
Adapun pocapan pada dasarnya sama dengan janturan, tetapi tanpa diiringi
gending, hanya disertai dengan dhodhogan dan/atau keprakan. Pocapan merupakan
bagian dari catur yang berisi pelukisan suatu adegan dengan menyebut nama dan
suasana tempat, nama dan perwatakan tokoh wayang, permasalahan yang dihadapi, dan
apa yang akan dibicarakan tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam suatu adegan.
Ginem adalah dialog atau percakapan tokoh wayang. Ginem merupakan bagian
dari catur yang berisi percakapan tokoh wayang dalam bergumam maupun bicara
dengan tokoh wayang lain (Bambang Murtiyoso, 1982:8-9).
PEMBAHASAN
Berikut ini penulis mencoba mengkaji nilai-nilai estetis dalam buku Wahyu
Pakem Makutharama karya Wignyosoetarno yang terjabarkan dalam unsur catur
dengan menggunakan pendekatan estetika Soetarno.
Tutug artinya cerita yang disajikan dari awal, tengah, sampai akhir dapat
menyatu dan konsisten. Di awal cerita, Duryudana mengutus Karna untuk memastikan
keberadaan Wahyu Makutharama. Di tengah cerita, Karna bertemu Anoman. Karna
ingin bertemu langsung dengan Begawan Kesawasidhi agar mendapatkan informasi
akurat. Setengah mati Karna melaksanakan tugas hingga lepasnya Kunta Wijayandanu
ke tangan Anoman dalam perang gagal. Di akhir cerita perjuangan Karna meminta
petunjuk dewa, muncul Arjuna yang sudah mendapatkan Wahyu Makutharama. Kunta
Wijayandanu kembali tetapi informasi keberadaan Wahyu Makutharama belum didapat
malah sudah diraih Arjuna dan tak bisa direbut. Berdasarkan uraian di atas, berarti cerita
yang disajikan dari awal, tengah, sampai akhir cerita tutug atau selesai. Tutug karena
ceritanya menyatu dan konsisten.
Tanduk adalah bahwa dalang harus pandai dan terampil dalam hal catur
sehingga terasa enak didengar dan mudah dipahami oleh penonton. Naskah Wahyu
Makutharama dibuat sedemikian rupa hingga mudah dipahami. Seperti yang
disampaikan dalam kata pengantar (prawacana), editor melakukan perubahan pada
sanggit dan bahasa supaya enak didengar dan mudah dipahami (halaman iii). Jika
dalang memahami pengertian janturan, pocapan, ginem, dan bahkan antawacana, maka
akan terasa bahwa dalang tersebut pandai dan terampil. Hal ini berarti bahwa Wahyu
Makutharama memiliki rasa estetika tanduk.
Sabda mengandung arti bahwa bahasa maupun ucapan tokoh yang digunakan
dalam suatu adegan maupun keseluruhan lakon tidak diulang-ulang. Pengulangan
bahasa maupun ucapan tokoh wayang menjadi kelemahan naskah pakeliran semalam
tradisi. Janturan pada paragraf terakhir (halaman 4) berisi tentang wangsit dewa melalui
mimpi bahwa akan turun wahyu raja di Gunung Swelagiri.
Ing pagedhongan sri nata hamanggalih wasitaning jawata kang kawursita ing
pasupenan, nenggih wahyuning karaton ingkang dumunung sapucaking Wukir
Swélagiri. ...
Terjemahan:
Di kamar raja memikirkan wangsit dewa melalui mimpi, tentang wahyu raja yang
berada di puncak Gunung Swelagiri. ...
Bahasa di atas kemudian diulangi lagi dalam dialog antara Duryudana dengan Durna
pada halaman 7.
Prabu Duryudana:
Mangké ta Bapa Pandhita ing Sokalima, anjawi anggèn kula lenggah siniwaka,
milanipun Jengandika kula piji mangarsa, boten sanès ingkang kula rembag
amung wasitaning jawata ingkang kawursita salebeting pasupenan. Ujaring
wasita, wekdal punika jawata ngandhapaken wahyuning karaton, dumunung
sapucaking Wukir Swélagiri inggih ing Kutharunggu. Ing ngriku wonten pandhita
kaélokaning jawata peparab Begawan Késawasidhi, kepareng ambabaraken
pepakemipun Prabu Ramadéwa duk ing nguni. Ujaring wasita, para naréndra,
sénapati, miwah para satriya ingkang saged nampi wedharing pepakem wau,
badhé saged nurunaken darah ratu pakuningrat.
Pandhita Druna:
O, lolé-lolé samaraté emprit gantil buntuté omah joglo. Dhawah kaluhuran
dhawuh timbalan Padukéndra. Nuwun, sadèrèngipun Ingkang Sinuhun paring
Terjemahan:
Prabu Duryudana:
Begini Bapa Durna, kehadiran saya di sini, dan Anda saya suruh menghadap,
tidak lain yang saya bahas hanya wangsit dewa melalui mimpi. Isi wangsit, saat
ini dewa menurunkan wahyu raja, berada di puncak Gunung Swelagiri tepatnya di
Pertapaan Kutharunggu. Di situ ada pendeta utusan dewa bernama Begawan
Kesawasidhi, untuk membeberkan ajaran Prabu Ramadewa dulu. Siapapun itu,
baik raja, prajurit, atau ksatria yang sanggup menerima ajaran itu, maka akan
memiliki keturunan raja dijara yang disegani seluruh dunia.
Pendeta Durna:
O, lolé-lolé samaraté emprit gantil buntuté omah joglo. Tepat apa yang Paduka
katakan. Maaf, sebelum Paduka memanggil saya, saya sendiri sebenarnya ingin
segera menghadap. Karena saya sendiri juga menerima wangsit dewa tersebut
yang sama persis dengan apa yang Paduka katakan. Kalau sudah begini, apa
langkah Paduka selanjutnya?
Bahasa di atas juga diulang lagi pada halaman 12 diktat Wahyu Pakem
Makutharama, ketika Prabu Duryudana memerintahkan Adipati Karna untuk menuju
Gunung Swelagiri. Bahasa tentang tafsir mimpi bahwa dewa menurunkan Wahyu
Makutharama kemudian muncul lagi pada dialog antara Prabu Duryudana dengan Dewi
Banowati pada halaman 18, dialog Karna kepada para Kurawa halaman 24, dialog
Karna dengan Anoman halaman 33, dan dialog Arjuna halaman 55. Ini berarti bahwa
naskah tersebut tak memiliki rasa estetika sabda, karena terdapat beberapa catur yang
diulang berkali-kali. Pengulangan bertujuan agar pesan yang ingin disampaikan selalu
melekat di benak penonton, tapi tetap saja melanggar unsur estetika sabda.
Unsur estetika selanjutnya adalah weweka. Weweka mengandung arti dalang
dituntut mengetahui seluk-beluk pengetahuan wayang maupun lakon. Weweka memberi
nasihat agar dalang senantiasa belajar tentang wayang dan lakon, misalnya mengapa
Duryudana memanggil Sengkuni dengan “paman”? karena memang Sengkuni adalah
paman Duryudana dari silsilah bahwa ibu Duryudana (Gendari) adalah kakak kandung
Sengkuni. Lebih dalam lagi mengapa menggunakan istilah “pakenira-manira” alih-alih
“sira-ingsun”? Duryudana jika berdialog dengan Sengkuni dalam menyebut “kamu-
aku” menggunakan kata “pakenira-manira”, seperti pada halaman 5 sampai 7 buku
Wahyu Pakem Makutharama. Hali mengatakan bahwa hal ini karena Duryudana
bukanlah ratu Astina sesungguhnya, tetapi ratu wakil (mewakili Yudistira) (Hali Jarwo
Sularso, wawancara 25 Agustus 2016). Sepeninggal Prabu Pandu Dewanata, secara
hierarki tahta kerajaan Astina diteruskan kepada anak tertua, yaitu Yudistira
(Puntadewa). Akan tetapi karena Yudistira masih terlalu kecil untuk menjadi raja, maka
tahta kerajaan Astina dipegang oleh Duryudana, dengan syarat nanti jika Yudistira
sudah dewasa dan layak menjadi raja, maka tahta kerajaan Astina dikembalikan ke
Yudistira. Akan tetapi hingga dewasa, Duryudana bersikukuh mempertahankan tahta
kerajaan Astina sampai titik darah penghabisan. Inilah penyebab perang Baratayuda.
Pengetahuan wayang lainnya adalah mengenai keluarnya nafsu empat perkara
(amarah, aluamah, supiah, mutmainah) dari badan Begawan Kuntawibisana dalam
bentuk empat raksasa (Buta Cakil, Buta Babrah, Buta Terong, Buta Galiyuk) seperti
pada halaman 44 – 46 naskah Wahyu Makutharama. Diceritakan Begawan
Kuntawibisana mendapat wangsit dewa bahwa nyawanya akan segera dicabut. Untuk
menyegerakan kematian, Begawan Kuntawibisana harus melepas segala ilmu yang
dimiliki. Ilmu tersebut digambarkan sebagai nafsu empat perkara (nafsu duniawi).
Setelah keluar dari badan Kuntawibisana, nafsu empat perkara kemudian masuk dan
menyatu ke badan Arjuna. Inilah salah satu peristiwa Arjuna yang akan dibawa sampai
kepada lakon-lakon berikutnya. Setiap pertunjukan wayang hampir selalu menampilkan
adegan perang kembang antara Arjuna melawan raksasa cakil bersaudara. Perang
kembang artinya perang sekar. Kembang atau sekar artinya bunga. Kembangan atau
sekaran berarti vokabuler, kekayaan ragam gerak perang. Semakin banyak kembangan
atau sekaran, maka semakin indah. Penggambarannya seperti sekaran bonang, jika
kembangannya banyak maka menjadi bagus. Salah satu keindahan perang kembang
adalah gendiran. Gendiran adalah cara Arjuna menghadapi perlawanan cakil. Arjuna
menganggap cakil adalah musuh yang remeh-temeh, sehingga tidak perlu menggunakan
tangan, apalagi senjata, cukup menggunakan sampur atau selendang. Sehingga dapat
diartikan bahwa gendiran adalah seblak sampur, ayunan selendang. Ayunan selendang
atau seblak sampur atau gendiran inilah ciri khas perang kembang antara bambangan
(Arjuna, Abimanyu) melawan cakil. Perlu diketahui juga bahwa perang kembang tidak
harus menampilkan raksasa cakil, tetapi bisa juga tampilnya buta lanang-wedok
(raksasa laki-laki dan perempuan) misalnya malihane (jelmaan) Kamajaya-Ratih.
Perang kembang juga bisa berupa perang macan (harimau). Perang kembang raksasa
cakil bisa terjadi jika adegan kedua (jejer pindho) pada pathet nem menampilkan
kerajaan raksasa (sabrang) (Hali Jarwo Sularso, wawancara 14 September 2016). Yang
jelas para dalang selalu ingin berusaha menampilkan adegan perang kembang untuk
memamerkan ketrampilannya. Hubungannya dengan Wahyu Makutharama, adegan
perang kembang menjadi penting karena mengandung makna filosofis bahwa untuk
mendapatkan wahyu, seorang ksatria harus mensucikan diri. Untuk mensucikan diri,
ksatria itu harus melepaskan semua nafsu duniawinya. Muncullah raksasa cakil
bersaudara yang nantinya akan mati oleh kerisnya sendiri. Hal ini mengandung makna
bahwa nafsu diri hanya bisa dihilangkan oleh dirinya sendiri, baik melalui tekad,
kemauan, kemampuan, maupun semangat diri sendiri. Sebuah tuntunan mendalam dari
nilai-nilai positif pertunjukan wayang lakon Wahyu Makutharama.
Wahyu Makutharama sendiri menjadi kait untuk beberapa lakon lain. Siapapun
yang mendapat Wahyu Makutharama nantinya akan bisa memiliki keturunan raja diraja.
Fakta bahwa bukan Arjuna yang menjadi raja diraja, melainkan keturunannya, maka
muncullah lakon Wahyu Cakraningrat. Mirip dengan Wahyu Makutharama, siapapun
yang mendapat Wahyu Cakraningrat maka akan menurunkan darah raja diraja, dan
kebetulan bahwa yang mendapatkannya adalah anak Arjuna, Abimanyu. Akan tetapi
Abimanyu tak memiliki keturunan. Masalah muncul ketika diketahui bahwa istri
Abimanyu, Siti Sendari, tak bisa mengandung. Maka muncullah lakon yang
menceritakan tentang peristiwa seputar pernikahan kedua Abimanyu. Wangsit
menunjukkan bahwa bersamaan dengan turunnya Wahyu Cakraningrat, turun pula
Wahyu Widayat yang merasuk ke badan Dewi Utari. Wahyu Widayat adalah jodoh
Wahyu Cakraningrat, Dewi Utari adalah jodoh Abimanyu, kemudian lahir Parikesit.
Parikesit inilah raja diraja yang dimaksud. Pengetahuan-pengetahuan seperti inilah yang
menjadikan dalang dianggap memiliki unsur estetika weweka.
Unsur estetika ketujuh adalah lungguh. Lungguh berarti ginem wayang harus
sesuai dengan status dan kedudukan sosial tokoh dalam dunia wayang. Status
berhubungan dengan usia dan hubungan kekeluargaan, sedangkan kedudukan
berhubungan dengan derajat pangkat tokoh wayang. Hal ini tercermin dalam dialog
antara Duryudana, Durna, Sengkuni, dan Karna pada adegan jejer. Dialog antara Prabu
Duryudana dengan Pandita Durna menggunakan basa krama lugu (mudha krama),
Duryudana ke Sengkuni menggunakan basa kramantara, Sengkuni ke Durna
Terjemahan:
Semar:
Laaeee, tuan juraganku, tuan lelakiku Gan. Perintah Den. Apa sebab saya
kaudiamkan? Jika saya salah, lantas salah saya itu apa? Jika besar kesalahan saya
Den, silakan korek hidung Gareng. Dan lagi Den, butuh Engkau itu apa?
Ketampanan, siapa yang seperti Anda; kekayaan, tidak kekurangan harta;
kesaktian, tak kurang kemampuan. Lantas apa gunanya, siang-malam
mengembara di hutan? Kalau anda menjadi pertapa, tapi Gareng hanya
menambah kudisnya, maka mari pulang saja Juragan.
Unsur estetika kesembilan adalah nuksma atau langgut yang berarti dalam
mengekspresikan emosi harus pas dan mantap, baik narasi maupun percakapan wayang
terkesan mantap atau seolah-olah hidup (menjiwai). Hal ini terlihat dalam narasi
(pocapan) pada halaman 78.
PENUTUP
Dari kesebelas unsur estetika catur, tidak semuanya terpenuhi. Buku Pakem
Wahyu Makutharama ini dari sisi catur mengandung unsur tutug, tanduk, weweka,
lungguh, cucut, nuksma atau langgut, tatas, dan micara; tetapi tidak mengandung unsur
sabda. Hal ini merupakan suatu konsekuensi bahwa untuk mendapatkan suatu nilai
estetika yang maksimal, maka mengorbankan nilai estetika yang lain. Semoga
penelitian ini bermanfaat bagi pembaca. Kritik dan saran kami harapkan sampai kepada
penulis agar tulisan ini menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Hazeu, G.A.J. Kawruh Asalipun Ringgit sarta Gegepokanipun Kaliyan Agami ing
Jaman Kina. Jakarta: Balai Pustaka, 1987.
Kuwato. “Bahan Ajar Pengetahuan Lakon,” Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta,
2001.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2003.
Soetarno, Sunardi, Sudarsono. Estetika Pedalangan. Surakarta: ISI Surakarta dan CV.
Adji, 2007.
Soetarno, Sarwanto, Sudarko. Sejarah Pedalangan. Surakarta: ISI Surakarta dan CV.
Cendrawasih, 2007.
Suratno, Sumardji, Blacius Subono, Sarwanto, dan Purbo Asmoro. “Pengertian Elemen-
elemen Estetika Pedalangan Kaitannya dengan Pernilaian dalam Sajian
Wayang”, Laporan Penelitian Kelompok, Sekolah Tinggi Seni Indonesia
Surakarta, 1995.
Van Groenendael, Victoria Maria Clara. Dalang di Balik Wayang. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1987.
Narasumber