Jurnal Metode Understanding by Design
Jurnal Metode Understanding by Design
Jurnal Metode Understanding by Design
Abstract: Indonesian students did not perform satisfactorily in the assessments conducted by PISA
in 2012 and TIMSS in 2011. Besides it shows the low quality of Indonesian human resources, the
result of the assessments shows that Indonesian students do not have higher-order thinking skills.
They are weak in creative and critical thinking, arguing and reasoning. If the higher-order thinking
skills will be set as the goal of the learning process, the learning process has to be prepared seriously
to reach the goal. Teachers need to plan the learning process in such a way that the students will
gain the competence in higher-order thinking skills. This theoretical study tries to find the best way
to create more engaging and effective learning through applying “Understanding by Design”
method. The method offers guidance on how to design learning process in which students attain the
goal targeted. Using this method, teachers organize the learning process into three steps. First, they
plan learning experience and instruction. Second, they develop specific strategies and general
approach to making students’ thinking visible through establishing a positive, engaged, and
thoughtful culture of learning. Third, they set up assignments and assessments to ensure the
implementation of the teaching of higher-order thinking.
Kemampuan berpikir level tinggi atau bernilai tinggi (Michalko, 2006). Seorang
Higher-Order Thinking Skills (HOTS) adalah peserta didik yang memiliki kemampuan
salah satu penanda (indikator) kualitas sumber berpikir kreatif-kritis tidak mudah
daya manusia. Kualitas ini mengacu pada mempercayai setiap informasi sebagai
kualitas pendidikan yang diterima oleh seorang informasi yang benar. Sikap kritis ditunjukkan
individu peserta didik. Jika semakin banyak dengan sikap aktif mencari dan menemukan
individu peserta didik memiliki kemampuan sumber pendukung kebenaran informasi yang
berpikir level tinggi (HOTS), semakin tinggi diterimanya.
kualitas pendidikan yang diterimanya. Semakin Seorang individu yang bersikap kritis akan
tinggi kualitas pendidikan, semakin tinggi pula selalu menggunakan nalarnya (rasio) dan
kualitas sumber daya manusia. mampu merumuskan alasan logis atas setiap
HOTS ditandai dengan kemampuan sikap dan tindakan yang dilakukannya
berpikir kreatif-kritis (Conklin, 2012). Menurut (Scriven& Paul, 1987). Conklin (2012)
Brookhart (2010), HOT juga ditandai dengan menegaskan bahwa secara sederhana sikap
kemampuan menalar serta kemampuan kritis selalu ditunjukkan dengan analisis dan
memecahkan masalah (problem solving). penilaian yang cermat, teliti dan hati-hati
Seorang peserta didik yang memiliki terhadap masalah yang sedang dihadapi.
kemampuan berpikir kreatif-kritis mampu Dengan demikian, peserta didik yang berpikir
menciptakan sesuatu yang baru dan bernilai kritis akan belajar lebih cepat dan lebih banyak
tinggi. Kreativitas ditunjukkan dengan jika mereka dihadapkan pada masalah untuk
kemampuan mencipta, bukan hanya sesuatu diselesaikan (Scriven& Paul, 1987). Mereka
yang sifatnya baru melainkan juga sesuatu yang memiliki komitmen tinggi untuk berpikir
48 PROSIDING
Seminar Nasional Pendidikan Transformatif dan Tantangan Masa Depan Bangsa
secara logis dan untuk menggunakan logika konsep dan sudut pandang, seorang peserta
berpikir secara maksimal dalam mendalami didik yang mengasah kemampuan bernalar
setiap topik. Individu yang berpikir kritis tidak mampu melihat keragaman dan juga terbiasa
mudah untuk meloncat ke kesimpulan sebelum dengan keragaman. Dalam kegiatan bernalar
dia menelaah secara mendalam logika berpikir ini, peserta didik mengasah kemampuan
pada topik atau hal yang dihadapinya. berpikir secara luas untuk memahami
Sikap kritis ini membawa pada keragaman. Penalaran memungkinkan individu
kemandirian berpikir. Setiap peserta didik yang peserta didik untuk berdialog dengan perbedaan
bersikap kritis akan selalu tampil dengan sikap dan keragaman sehingga pada akhirnya mampu
mandiri dan percaya diri. Kemandirian berpikir membuat sintesis atau kreasi baru sebagai hasil
ini memungkinkan individu peserta didik untuk dialog dari keragaman konsep dan sudut
melihat sebuah situasi dengan cara baru pandang. Penalaran membawa pada
(thinking out of the box). Merujuk pada pemahaman (understanding). Dengan menalar,
pemikiran John Dewey tentang berpikir seorang individu dapat memahami yang
reflektif, Conklin (2012) menegaskan bahwa berbeda dalam perbedaannya dan yang lain
seorang yang berpikir kritis adalah juga seorang dalam keberlainannya sehingga dia menjadi
yang berpikir reflektif. Individu yang berpikir semakin manusiawi (Hardiman, 2015, p. 6).
kritis adalah sekaligus individu yang berpikir Kemampuan bernalar dan berpikir kritis
tentang dirinya yang sedang berpikir. Oleh sebagai wujud HOTS belum sepenuhnya
karena itu, Conklin (2012) menyimpulkan dimiliki oleh sebagian besar peserta didik di
bahwa berpikir kritis adalah berpikir tentang Indonesia. Indikator makro yang dapat
berpikir. Inilah yang disebut dengan dijadikan rujukan atas kemampuan peserta
metakognisi. Peserta didik yang terbiasa didik di Indonesia ini dapat ditemukan dalam
dengan berpikir kritis akan mampu hasil studi dan penilaian yang dilakukan oleh
memperdalam tingkat pengetahuan yang PISA (Programme for International Student
dimilikinya sampai pada tingkat tertinggi, yaitu Assessment) dan TIMSS (Trends International
metakognisi. Dalam setiap hal yang dipelajari, Mathematics and Science Study), tanpa
seorang peserta didik yang berpikir kritis tidak mengabaikan hasil studi dari lembaga-lembaga
hanya memiliki pengetahuan tentang fakta, lain seperti The International Association for
konsep dan prosedur, melainkan mampu the Evaluation of Educational Achievement
memiliki pengetahuan tingkat tertinggi yaitu (IEA) yang membuat studi dengan nama PIRLS
metakognisi. (Progress in International Reading Literacy
Brookhart (2010) memahami HOTS dari Study), atau World Economic Forum dengan
sisi kemampuan bernalar. Menurutnya, HOTS laporan hasil studinya dalam The Global
meliputi tindakan menalar, menanya, dan Competitiveness Report yang berupa
menyelidiki (investigasi), atau tindakan pencapaian Competitiveness Index (CI) dari
mengamati dan mendeskripsi, atau juga tiap negara peserta yang dinilai. Hasil studi
menemukan kerumitan (complexity) dan yang dilakukan PISA dan TIMSS
mengeksplorasi berbagai sudut pandang memperlihatkan bahwa hasil assessment atau
(Brookhart, 2010: 4). Seorang individu peserta penilaian belajar para peserta didik di Indonesia
didik yang bernalar akan berusaha menemukan sangat tidak memuaskan. Hasil TIMSS 2011
konsep-konsep dan memisahkan konsep yang menempatkan Indonesia pada posisi 40 dari 42
satu dari konsep yang lainnya. Sudut pandang negara peserta. Sementara itu, hasil PISA 2012
memainkan peranan penting dalam munculnya menempatkan Indonesia pada posisi 64 dari 65
sebuah konsep. Dengan menemukan berbagai negara peserta. Hasil pencapaian yang rendah
PROSIDING 49
Seminar Nasional Pendidikan Transformatif dan Tantangan Masa Depan Bangsa
ini merupakan indikator kualitas sumber daya peserta didik, tetapi mungkin melulu pada
manusia Indonesia. Karena kualitas sumber penguasaan materi atau pada tuntasnya materi
daya manusia bertalian erat dengan kualitas diberikan kepada peserta didik.
pendidikan, hasil pencapaian yang rendah ini Tujuan dari makalah ini adalah mengkaji
memperlihatkan dengan sangat jelas rendahnya dan mempelajari perencanaan pembelajaran
kualitas pendidikan di Indonesia. Dengan yang berorientasi pada meningkatnya
rendahnya kualitas pendidikan ini, dapat kemampuan HOTS dalam diri peserta didik.
diyakini rendahnya HOTS yang dimiliki oleh Metode yang dipilih sebagai dasar dari
peserta didik Indonesia. pengembangan ini adalah “Understanding by
Dari indikator makro yang Design”, sebuah metode yang dikembangkan
memperlihatkan kemampuan peserta didik di oleh Grant Wiggins dan Jay McTighe. Metode
Indonesia dibandingkan dengan mereka yang ini menyajikan pendekatan yang kuat pada
berada di negara-negara lain, patut dikaji lebih perencanaan. Metode ini menawarkan tuntunan
jauh bagaimana mereka selama ini dididik di bagamana mendesain proses belajar yang
sekolah. Patut juga dikaji secara mendalam mampu membawa murid memperoleh tujuan
proses pembelajaran yang diterima oleh peserta yang direncanakan (Wiggins & McTighe, 2006,
didik di Indonesia pada umumnya. p. 8). Fokus dari metode ini adalah
Kemampuan yang ditunjukkan dari hasil studi mengembangkan dan memperdalam
dan assessment yang dilakukan oleh PISA dan pemahaman (understanding). Dengan
TIMSS memperlihatkan gambaran mutu menggunakan metode ini, pengajar diharapkan
pendidikan di Indonesia secara umum. mampu membuat para peserta didik mengerti
Pembelajaran berdasarkan HOTS dan bertujuan apa yang harus mereka pelajari. Pemahaman
untuk meningkatkan HOTS terlihat belum (understanding) adalah tujuan yang berusaha
mewarnai proses pembelajaran di sekolah- dicapai melalui desain yang dirancang secara
sekolah. Kemungkinan juga HOTS belum cermat. Itulah sebabnya, metode ini disebut
dipahami oleh sebagian besar pengajar di metode “Understanding by Desain”, yang
Indonesia. dilawankan dengan “understanding by good
Rendahnya kualitas peserta didik juga fortune” atau pemahaman yang secara tidak
disebabkan oleh model pemahaman sengaja dan tidak direncanakan terjadi dalam
“understanding by good fortune” yang sering diri para peserta didik.
dijumpai oleh para pengajar dalam proses
pembelajaran yang mereka dampingi, karena Butir-butir Pembahasan
mereka terlalu fokus pada isi atau materi Pembelajaran untuk mencapai
pembelajaran dan bukan fokus pada hasil pemahaman erat kaitannya dengan kemampuan
pembelajaran. Secara tidak disadari, banyak berpikir level tinggi atau HOTS. Darling-
pengajar merancang proses pembelajaran Hammond (2008, p. 2) berpendapat bahwa
dengan menggunakan pendekatan “by hope” pembelajaran yang berkualitas bukan
atau dengan berharap supaya para peserta didik pembelajaran hafalan (rote learning), yaitu
memahami, bukan dengan pendekatan “by pembelajaran yang berpusat pada keterampilan
design” atau secara terencana mendesain hasil dasar dan kemampuan mengingat
akhir pembelajaran melalui proses yang (memorization), melainkan pembelajaran yang
dirancang secara teliti (Wiggins & McTighe, menghasilkan pemikiran kritis (critical
2005, p. 15). Orientasi pembelajaran yang thinking), pemecahan masalah yang fleksibel,
dirancang oleh para pengajar bukan pada dan penggunaan pengetahuan pada situasi-
meningkatnya daya kemampuan bernalar situasi yang baru. Pembelajaran semacam ini
50 PROSIDING
Seminar Nasional Pendidikan Transformatif dan Tantangan Masa Depan Bangsa
dicapai dalam pembelajaran yang berfokus pengajar. Sesudah itu, pengajar menentukan
pada tercapainya pemahaman oleh murid bukti-bukti yang menunjukkan bahwa peserta
(learning for understanding). Kemampuan didik benar-benar memahami materi belajar.
untuk berpikir kritis dan bernalar (reasoning) Yang dimaksud dengan bukti atas hasil yang
hanya dapat dikembangkan ketika peserta didik diinginkan selama proses pembelajaran adalah
dibimbing dalam proses belajar untuk hal-hal yang dikumpulkan melalui penilaian
memahami, dan bukan dalam pembelajaran (assessment) formal dan informal. Bukti ini
yang ditekankan pada usaha menghafal fakta. bukan hanya tes akhir unit atau bab, melainkan
Untuk itu, Darling-Hammond (2008, p. 5) juga kuis, tugas, proyek, observasi, dialog, dan
menegaskan bahwa proses pembelajaran yang penilaian diri murid. Bukti-bukti ini harus
penuh makna dapat diwujudkan oleh para didokumentasi dan divalidasi untuk
pengajar melalui: pelibatan peserta didik dalam memastikan bahwa pembelajaran yang
pembelajaran aktif (active learning), penarikan diinginkan benar-benar tercapai, bukan sekedar
hubungan-hubungan (koneksi) dengan materi yang diselesaikan tetapi juga rangkaian
pengetahuan awal peserta didik, pembelajaran kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Dengan
scaffolding(pembelajaran yang dilakukan hasil yang diidentifikasi secara jelas dan
dengan teknik pemberian bantuan secara dengan bukti memadai atas pemahaman dalam
terstruktur sehingga peserta didik mampu pikiran peserta didik, pengajar memikirkan
mengonstruksi pengetahuan dalam pikirannya), aktivitas pembelajaran yang diperlukan. Hal-
pemberian tugas bermakna, penilaian hal yang menjadi bahan pertimbangan adalah
(assessment) pembelajaran secara hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan
berkelanjutan, penyusunan standar yang jelas (fakta, konsep, prinsip) dan ketrampilan
dan pengambilan umpan balik yang terus (proses, prosedur, strategi) yang diperlukan
menerus, serta dorongan berpikir strategis dan peserta didik untuk mencapai hasil yang
metakognitif. diinginkan; aktivitas untuk mengasah
Dalam mewujudkan pembelajaran untuk pengetahuan dan ketrampilan; hal-hal yang
pemahaman (learning for understanding) harus diajarkan dan dilatihkan; materi serta
melalui metode “Understanding by Design”, sumber belajar yang diperlukan untuk
pengajar perlu mengambil tiga langkah penting. mencapai tujuan belajar. Wiggins & McTighe
Langkah pertama, pengajar merencanakan (p. 19) memberi catatan bahwa detail dari
pengalaman belajar yang harus dimiliki peserta rencana pembelajaran, misalnya metode
didik dan instruksi pengajaran yang diberikan pengajaran, urutan materi dan sumber belajar,
oleh pengajar selama proses pembelajaran. dapat dijalankan sepenuhnya hanya setelah
Menurut Wiggins & McTighe (2006), untuk pengajar mengidentifikasi hasil belajar yang
sampai pada perencanaan ini, pengajar harus diinginkan dan penilaian yang memastikan
terlebih dulu mengidentifikasi hasil belajar bahwa hasil tersebut berhasil dicapai secara
yang diinginkan. Para pengajar perlu mendata memuaskan. Pengajaran hanyalah sarana untuk
apa saja yang seharusnya diketahui, dipahami mencapai tujuan. Tabel berikut ini dapat
dan mampu dilakukan oleh peserta didik, dan menjadi alat bantu untuk membuat perencanaan
pemahaman seperti apa yang diinginkan oleh pembelajaran untuk pemahaman.
PROSIDING 51
Seminar Nasional Pendidikan Transformatif dan Tantangan Masa Depan Bangsa
52 PROSIDING
Seminar Nasional Pendidikan Transformatif dan Tantangan Masa Depan Bangsa
(Pengajar harus mampu memastikan elemen “WHERETO” ini terpenuhi dalam proses
pembelajaran.)
Langkah kedua, pengajar ruang kelas maupun di masa depan (Costa &
mengembangkan strategi khusus dan Kallick, 2009, dalam Richhart, Church &
pendekatan umum untuk memastikan bahwa Morrison, 2011). Oleh karena itu, kualitas dan
pemikiran peserta didik terlihat melalui budaya kedalaman berikir peserta didik harus mampu
belajar yang positif, penuh keterlibatan peserta dikenali dan “dilihat” oleh para pengajar.
didik dan merangsang mereka berpikir. Ini Pengajar dapat membuat pemikiran murid
merupakan ketrampilan yang harus dimiliki terlihat melalui bertanya, mendengarkan dan
oleh pengajar untuk membuat terlihat (visible) mendokumentasikan tugas.
apa yang tidak terlihat (invisible) yaitu Dalam hal bertanya, persoalan tentang
pemikiran peserta didik (students’ thinking) dan pertanyaan yang bermutu yang harus
pemahaman murid (students’ understanding). disampaikan kepada murid telah menjadi focus
Langkah kedua ini mengandaikan perhatian dalam pendidikan, khususnya dalam
pemahaman bahwa belajar bukanlah kaitannya dengan pembelajaran berpikir tingkat
penerimaan informasi secara pasif, melainkan tinggi. Pertanyaan terbuka (open-ended), bukan
sebagai hasil dari proses berpikir dan proses pertanyaan yang menuntut jawaban tunggal
menggunakan indera secara aktif. Berpikir (closed-ended), disarankan untuk menjadi alat
adalah pusat atau sentral dari belajar, bukan untuk mendorong kemampuan murid berpikir.
tambahan, bukan tugas sampingan, juga bukan Bukan hal mudah bagi para pengajar untuk
kegiatan yang dilakukan jika tersedia waktu membuat pertanyaan “higher level” (tingkat
untuk itu. Oleh karena itu, ketika pengajar tinggi). Tidak jarang, ketika pertanyaan
mengurangi tingkat berpikir yang dituntut dari bermutu tinggi disampaikan kepada murid,
peserta didik, maka ia mengurangi tingkat murid tidak terbawa untuk bergerak ke arah
pembelajaran. Dengan kata lain, semakin berpikir tingkat tinggi sebagaimana
rendah tingkat kualitas berpikir yang dituntut diharapkan. Ini terjadi karena peserta didik
dari peserta didik, semakin rendah pula tingkat terbiasa dengan para pengajar yang biasa
kualitas pembelajaran yang dijalankan mencari jawaban khusus dan tunggal. Richhart
(Richhart, Church & Morrison, 2011). dkk (2011) mengusulkan tiga cara untuk
Peranan penting usaha berpikir dalam mengatasi masalah ini. Pertama, pengajar harus
belajar ini menunjukkan pemahaman bahwa memberi teladan dan contoh bahwa ia tertarik
pendidikan itu lebih dari sekedar penyampaian dengan ide yang sedang dieksplorasi.
materi atau isi pelajaran. Pendidikan yang Ketertarikan dan keingintahuan yang tinggi
bermutu tinggi itu berkaitan erat dengan yang dicontohkan oleh pengajar dapat
pengembangan kebiasaan dan sikap berpikir mempengaruhi munculnya ketertarikan peserta
yang memperlakukan peserta didik sebagai didik. Dengan kata lain, jika pengajar tidak
pembelajar dan pribadi yang belajar, baik itu di tertarik dengan ide atau gagasan yang
PROSIDING 53
Seminar Nasional Pendidikan Transformatif dan Tantangan Masa Depan Bangsa
dieksplorasi dalam pembelajaran, peserta didik hal yang esensial dan penting dalam seluruh
juga tidak akantertarik untuk berpikir dan proses pembelajaran. Bahkan, pertanyaan dapat
mempelajari lebih mendalam ide atau gagasan menjadi dasar penilaian terhadap peserta didik,
tersebut. Kedua, pengajar membantu peserta bukan dari jawaban yang diberikan peserta
didik menyusun atau mengonstruksi didik atas pertanyaan yang diberikan pengajar.
pemahaman dalam pikiran peserta didik. Tidak Pertanyaan yang diajukan peserta didik
jarang terjadi murid belum mampu bentindak menampakkan dengan sangat jelas kualitas
sebagai tukang bangunan atas bangunan berpikir mereka. Pertanyaan yang berkualitas
pengetahuan dalam pikirannya. Jika demikian, akan membuat semua yang terlibat dalam
bantuan dari lingkungan, baik dari pengajar proses pembelajaran berpikir, baik itu peserta
maupun dari sesama peserta didik (scaffolding), didik maupun pengajar. Dari pertanyaan
merupakan bentuk pelatihan untuk mengasah peserta didik, pengajar dapat memperoleh jalan
ketrampilan berpikir dan mengonstruksi masuk ke dalam pemikiran peserta didik
struktur pengetahuan dalam pikirannya. Ini sehingga mengetahui: hal-hal apa saja yang
menegaskan bahwa berpikir tingkat tinggi sedang mereka gumuli, hal-hal yang
merupakan bentuk ketrampilan (skills) membingungkan, di mana dan bagaimana
sehingga kemampuan atau kompetensi ini mereka dapat menghubungkan satu hal dengan
disebut “Higher-Order Thinking Skills” hal yang lainnya (membuat koneksi), di mana
(HOTS). Ketiga, memfasilitasi peserta didik mereka mencari klarifikasi dan kejelasan.
untuk memperoleh kejelasan atas pemikirannya Ketika seorang peserta didik membagikan
sendiri. Pengajar menyediakan sarana atau pengertian dan pemahaman, atau juga
metode untuk membantu peserta didik kebingunan dan mungkin kesalahpahaman,
memahami dengan jelas apa yang ada dalam akan terjadi efek riak (ripple effect) di antara
pikiran peserta didik itu sendiri. Ketiga hal ini peserta pembelajaran sehingga tercipta
mendukung para peserta didik untuk semangat dan energi yang diperlukan dalam
mengonstruksi pemahaman dan sekaligus proses pembelajaran.
menjernihkan atau mengklarifikasi pemikiran Berkenaan dengan mendengarkan,
mereka sendiri. Untuk klarifikasi, pengajar pengajar tidak hanya dituntut untuk membuat
dapat mengajukan pertanyaan: “Apa yang pertanyaan bermutu, melainkan juga untuk
membuat Anda mengatakan hal itu?” mendengarkan jawaban peserta didik.
Pertanyaan ini menjadi undangan untuk Kegagalan dan ketidakmampuan dalam
menjelaskan dan mengklarifikasi gagasan dan mendengarkan atau memahami jawaban
pemikiran peserta didik dengan cara yang tidak peserta didik akanmemunculkan dua pengaruh.
bersifat mengancam. Pertanyaan ini akan Pertama, secara tidak sengaja sikap ini akan
mampu menumbuhkan keterbukaan dan interes mengirimkan sinyal bahwa pengajar tidak
dalam diri peserta didik. tertarik untuk mendengarkan apa yang
Dengan ketiga usulan ini, pertanyaan yang dipikirkan peserta didik ketika pengajar
disampaikan pengajar kepada peserta didik mendengarkan satu bentuk jawaban tertentu.
akan mendorong peserta didik bergumul Akibatnya, peserta didik akan bermain
dengan gagasan yang dipelajari atau “Tebaklah apa yang ada di kepala pengajar?”
dieksplorasi, bukan sekedar mereview materi dan bukan berusaha menyatakan gagasan dan
yang telah diajarkan. Lebih dari itu, melalui pemahaman mereka yang benar.Kedua, dengan
ketiga usulan tersebut, pengajar harus mampu tidak mendengarkan, pengajar tidak mampu
membuat peserta didik mengajukan memberi tanggapan yang benar terhadap
pertanyaan. Pertanyaan peserta didik menjadi peserta didik melalui pertanyaan-pertanyaan
54 PROSIDING
Seminar Nasional Pendidikan Transformatif dan Tantangan Masa Depan Bangsa
bantuan. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa Pendokumentasian dapat diartikan sebagai
pertanyaan yang baik adalah pertanyaan yang “tindakan mengamati, merekam, menafsirkan,
muncul sebagai tanggapan atas sumbangan atau dan membagi (share) proses dan produk
kontribusi peserta didik, bukan pertanyaan pengajaran dan pembelajaran melalui berbagai
yang berasal dari daftar pertanyaan yang bentuk media dalam upaya mencapai tingkat
disiapkan sebelumnya. Sikap mendengarkan pembelajaran yang mendalam” (Given, Kuh,
mengungkapkan rasa hormat (sense of respect) LeeKeenan, Mardell, Redditt, Twombly, 2010,
dan interes terhadap sumbangan pemikiran p. 38 dalam Richhart, Church & Morrison,
peserta didik selaku pembelajar (Richhart, 2011). Pendokumentasian harus mampu
Church & Morrison, 2011). Ketika rasa hormat melayani setiap bentuk usaha mencapai
dan interes ini hadir dan dirasakan dalam proses kedalaman pembelajaran, bukan sekedar
pembelajaran, peserta didik merasa lebih memotret proses pembelajaran.
diteguhkan untuk membagikan pemikiran Pendokumentasian juga harus terhubung
mereka dan mengajukan gagasan-gagasan dengan tindakan mendengarkan. Dengan
mereka, sama seperti ketika setiap orang demikian, untuk dapat memotret dan merekam
dewasa memberi tanggapan lebih banyak pada pemikiran peserta didik, pengajar harus
saat seseorang yang sedang berbincang- menjadi pengamat yang teliti dan pendengar
bincang dengannya menunjukkan sikap tertarik yang penuh perhatian.
terhadap gagasan yang diajukannya. Langkah ketiga, pengajar membuat tugas
Mendengarkan tidak sekedar berarti tidak dan teRevaluasi untuk memastikan
berbicara, melainkan lebih dari itu, terlaksananya pengajaran berpikir level
menunjukkan sikap tertarik yang kuat terhadap tinggi.Keduanya merupakan bentuk assessment
apa yang dikatakan pihak lain kepada kita. dan feedback (umpan balik). Baik assessment
Sikap mendengarkan menunjukkan maupun feedback sangat diperlukan untuk
keterbukaan pengajar terhadap peserta didik membantu setiap orang yang belajar.
untuk memperlihatkan pemikiran mereka Assessment yang terdiri atas prinsip-prinsip
karena ada alasan dari peserta didik untuk pembelajaran dan pemahaman harus
melakukan hal itu. mencerminkan pengajaran yang baik,
Cara lain untuk membuat pemikiran murid dilakukan secara berkelanjutan sebagai bagian
terlihat (visible) adalah dengan dari pengajaran, dan menyediakan informasi
pendokumentasian. Hal-hal yang perlu tentang seberapa tinggi tingkat pemahaman
didokumentasikan adalah: rekaman investigasi yang telah dicapai oleh peserta didik
kelas yang tercatat di papan tulis, foto-foto (Bransford, Brown, & Cocking, 2000, p. 244
murid berkegiatan atau bekerja, rekaman suara dalam Wiggins & McTighe, 2006, p. 172).
diskusi kelas, notulen yang berisi gagasan dan Tugas maupun tes evaluasi yang
usulan serta sumbangan pemikiran dari peserta digunakan untuk menilai pemahaman harus
didik, makalah dan gambar yang diserahkan berupa penilaian konstruktif. Artinya, baik
peserta didik, dan sebagainya. tugas maupun tes tidak boleh menggunakan
Pendokumentasian difokuskan pada proses jawaban tunggal sebagai satu-satunya jawaban
pembelajaran dengan usaha mempotret setiap yang benar, atau satu-satunya solusi, melainkan
kejadian, pertanyaan, percakapan, dan tindakan didasarkan penilaian yang dituntun oleh
yang mampu memancing peserta didik untuk kriteria. Kriteria yang jelas dan sesuai
masuk ke dalam proses pembelajaran yang membantu pengajar untuk menentukan tingkat
lebih maju dan berkualitas. pemahaman peserta didik dan untuk menilai
proses pembelajaran secara konsisten dan fair
PROSIDING 55
Seminar Nasional Pendidikan Transformatif dan Tantangan Masa Depan Bangsa
(adil). Kriteria yang baik tidak bersandar pada kredibel atau meyakinkan. Pola ini bersifat
apa yang begitu mudah terlihat atau terinderai, konsisten. Siapa pun pengajar yang membuat
melainkan yang mampu mengungkap aspek- assessment, untuk hasil tugas atau jawaban tes
aspek penting dari tugas atau jawaban yang evaluasi yang sama memperoleh skor yang
diberikan oleh peserta didik. Karena sama.
assessment dibuat berdasarkan sasaran (goals) Sebagaimana dijelaskan sebelumnya
pembelajaran, kriteria dikembangkan bahwa pembelajaran HOTS berkaitan tentang
berdasarkan sasaran pembelajaran. pemahaman, maka kriteria yang digunakan
Dalam menilai tugas maupun tes evaluasi, untuk menilai harus dapat menunjukkan tingkat
kriteria dibuat dalam bentuk rubrik. Rubrik (degree) pemahaman yang dicapai oleh peserta
adalah petunjuk pemberian skor berdasarkan didik. Jika demikian, perhatian pengajar yang
kriteria yang berisi skala pengukuran yang tetap melakukan assessment harus tertuju pada
dan juga berisi deskripsi karakteristik dari tingkat pemahaman, bukan pada benar atau
setiap poin skor (Wiggins & McTighe, 2006, p. tidaknya jawaban. Melalui kriteria yang valid
173). Rubrik menjawab pertanyaan- dan reliabel, pengajar mampu melihat tingkat
pertanyaan: (1) Dengan kriteria apa hasil keberhasilan pembelajaran yang dirancang,
pekerjaan atau jawaban dinilai dan dibedakan? yaitu tingkat kemampuan HOTS dari setiap
(2) Syarat apa yang harus dipenuhi untuk peserta didik yang didampinginya.
menilai bahwa peserta didik berhasil dengan
baik mengerjakan tugas atau tes evaluasi? (3) Kesimpulan
Bagaimana mendeskripsikan level kualitas, Berdasarkan pembahasan di atas, untuk
kemahiran, atau pemahaman, dan bagaimana menerapkan metode “Understanding by
membedakannya satu dengan yang lain? Design” dalam upaya meningkatkan
Sebagai dasar untuk menentukan berhasil keterampilan berpikir level tinggi (HOTS –
tidaknya sasaran dicapai, kriteria yang Higher-Order Thinking Skills), pengajar perlu
ditentukan harus memenuhi syarat keabsahan mendesain tiga tahap pembelajaran untuk
atau kesahihan atau validitas. Validitas merujuk pemahaman (learning for understanding),
pada pengertian apa yang dapat atau tidak dapat yaitu:
dibuat menjadi bukti khusus. Validitas itu hal (1) merencanakan pengalaman belajar
penyimpulan, bukan masalah tes. Penyimpulan yang harus dimiliki peserta didik
ini berasal dari hasil tugas atau jawaban tes dengan cara mengidentifikasi hasil
evaluasi. Validitas berkenaan dengan arti dari belajar yang diinginkan;
sebuah bukti: apa yang diminta oleh pengajar (2) mengembangkan strategi khusus dan
dari para peserta didik untuk dilakukan, dan pendekatan umum untuk memastikan
bagaimana menilai hasil kerja. Dengan kata bahwa pemikiran peserta didik terlihat
lain, validitas adalah tentang pemahaman selama proses pembelajaran
pengajar terhadap hasil tugas atau jawaban tes berlangsung, dan juga memastikan
evaluasi. Mempertajam kemampuan bahwa peserta didik mengonstruksi
menyimpulkan adalah kunci untuk menjadi pengetahuan melalui tindakan berpikir
assessor yang baik. aktif-kreatif, yaitu melalui tindakan
Selain validitas, kriteria juga harus bertanya, mendengarkan dan
memenuhi syarat reliabilitas. Pengajar tidak mendokumentasikan;
hanya memerlukan kesimpulan yang valid, (3) membuat tugas dan tesevaluasi untuk
tetapi juga yang dapat dipercaya.Assessment memastikan pengajaran berpikir level
yang reliabel mengungkap pola-pola yang
56 PROSIDING
Seminar Nasional Pendidikan Transformatif dan Tantangan Masa Depan Bangsa
tinggi berhasil terlaksana sesuai Richhart, R., Church, M., & Morrison, K.
dengan target yang telah ditentukan. (2011). Making Thinking Visible: How
to Promote Engagement,
Daftar Rujukan Understanding and Independence for
Brookhart, S.M. (2010). How to Assess All Learners. San Francisco, CA:
Higher-Order Thinking Skills in Your Jossey-Bass
Classroom. Alexandria, VA: ASCD. Scriven, M., and R. Paul. 1987. Defining
Conlkin, W. (2012). Higher-Order Thinking critical thinking. Dillion Beach, CA:
Skills to Develop 21st Century National Council for Excellence in
Learners. Huntington Beach, CA: Shell Critical Thinking Instruction.
Education. http://www.criticalthinking.org/pageID=766
Darling-Hammond, L. (Ed.). (2008). &categoryID=51 (diakses 15
Powerful learning: What we know September 2010).
about teaching forunderstanding. San Wiggins, G., & McTighe, J. (2006).
Francisco: Jossey-Bass. Understanding by Design. Upper
Hardiman, F.B. (2015). Seni Memahami, Saddle River, NJ: Pearson Education,
Hermeneutik dari Schleiermacher Inc.
sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius.
PROSIDING 57
Seminar Nasional Pendidikan Transformatif dan Tantangan Masa Depan Bangsa