Sejarah Teologi Sunni

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 16

SEJARAH TEOLOGI SUNNI

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah

Teologi Islam

Dosen pengampu: Dwi Putra Syahrul Muharam, M. Ag.

Disusun oleh:

Kelompok 9

Siti Khofifatus Tsalis (23401118)

Annisa Nurul Izza (23401131)

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI

2023/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas Rahmat dan karunia-Nya yang telah
memberikan ni’mat serta hidayah sehingga kami bisa menyelesaikan tugas
makalah kami yang bertema “TEOLOGI SUNNI” dengan sebaik-baiknya

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah Teologi Islam. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-


besarnya kepada bapak Dwi Putra Syahrul Muharam, M. Ag. Selaku dosen mata
kuliah Teologi Islam yang membimbing kami dalam pengerjaan makalah ini.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang turut membantu
dalam pembuatan makalah ini.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan
kritikan yang membangun dari teman-teman maupun dosen. Demi tercapainya
makalah yang sempurna.

Kediri, 07 November 2023

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemahaman agama (madzhab; mazhab) muncul karena adanya cara
berpikir masyarakat mendekati dan memahami ajaran agama. Dalam
setahun, lahirlah kelompok agama (firqah). bersumber dari pemahaman
keagamaan ini. Bahkan akibat dominasi dan gesekan pada posisi tertentu
yang berkuasa paham agama menjadi partai politik (hizb) yang
mempunyai dasar teologis legitimasi gerakan tersebut. Hal ini terjadi
dalam sejarah Islam. Sebenarnya aktif beberapa firqah mempunyai aliran
yang berbeda-beda. Setiap orang mempunyai gayanya masing-masing
dalam sikap terhadap agama Islam (Umar, 2016: 414).
Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah atau yang disebut dengan Sunnah
atau Sunni dalam sastra Barat adalah salah satu bagian dari polarisasi ini.
Itu adalah pemahaman agama, sebuah sekolah dan bahkan pada satu
tahapan sejarah tertentu menjadi firqah. Kehadirannya adalah reaksi
terhadap dinamika pemikiran dan gerakan keagamaan yang bercirikan
kecenderungan yang berbeda-beda ekstremisme di kalangan umat Islam.
Demikian terminologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah mengandung gagasan
awal tentang kesinambungan untuk menjaga keaslian dan keabsahan
ajaran tersebut dibawa oleh nabi. Keyakinan seperti ini kemudian
menimbulkan pernyataan kebenaran (truth statement) yang melengkapi
konstruksi firqah baru Sunni sebagai wacana agama Islam (Huda,
2019:51).
Sepanjang sejarah, sebagian besar umat Islam mendukung Sunni.
Hal ini diakui sebagai sebuah ideologi berbagai kelompok baik besar
maupun kecil di berbagai penjuru dunia Islam. Hari ini setidaknya ada 53
negara yang mayoritas umat Islamnya menganut Islam Sunni, termasuk
Indonesia. membutuhkan menambahkan bahwa setiap periodisasi sejarah
menghadirkan Sunni dengan dinamika uniknya masing-masing. Setiap
wilayah di dunia Islam juga mempunyai keunikan tersendiri dalam
penerapannya Sunni Faktanya, setiap kelompok ocalat menunjukkan sifat
keagamaannya dengan cara yang berbeda-beda di antara mereka sendiri,
meskipun mereka masih mengidentifikasi diri mereka sendiri atau
teridentifikasi sebagai kelompok Sunni. Dengan kata lain, setiap
komunitas Sunni mempunyai kekhasan masing-masing dalam menghayati
dan melaksanakan ideologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Begitu pula di Indonesia yang mayoritas umat Islam di negara
tersebut adalah Sunni. Setengah mereka mendefinisikan diri mereka atau
kelompok mereka secara ketat sebagai bagian dari Ahl al-Sunnah wa al
Jama`ah. Namun, ada juga yang lain, meski tidak mengatakan secara
langsung bahwa mereka adalah pengikut Paham Ahl al-Sunnah wa al-
Jama`ah, mereka masih menolak diidentifikasi sebagai suatu kelompok
Non-Sunni.
Kelompok pertama diwakili oleh pesantren atau seringkali kajian
sosiologi disebut kelompok Islam tradisional. Kelompok ini antara lain
dihadirkan oleh NU (Nahdlatul Ulama), PERTI (Perkumpulan Tarbiyah
Islamiyah, Jam’iyah al-Washliyah dll. Sekaligus satu lagi diajukan oleh
kelompok yang mendukung atau meneliti ocal reformasi Islam sosiolog
sering disebut sebagai Islam modernis. Kelompok ini sedang memperkuat
aktivitasnya organisasi Jam`iyat al-Khayr, al-Irsyad, Muhammadiyah,
Persis (Liga Islam) dan seterusnya.
Keterwakilan umat Islam tradisionalis di Indonesia antara lain
dapat dilihat dari keberadaannya Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi
sosial keagamaan yang didirikan oleh KH pada tahun 1926. Muhammad
Hasyim Asy’ari (selanjutnya Hasyim Asy’ari). Sejak awal berdirinya
organisasi ini manifestonya mengklaim mendukung ideologi Ahl al-
Sunnah wa al-Jama’ah. Ungkapan Ahl al Sunnah wa al-Jama`ah NU
menunjukkan ciri khas coraknya, berbeda dengan ungkapan pemahaman
tersebut. Di negara-negara Muslim lainnya, bahkan dengan komunitas
Indonesia lainnya (Darmawati, 2011).
Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah juga dikenal dari sisi modernis baik
secara tidak langsung maupun eksplisit sebagaimana pemahaman agama
dianut. Muhammadiyah misalnya secara tidak langsung menganut ideologi
Sunni. Hal ini terlihat pada salah satu keputusan Majelis Tarjih
Muhammadiyah yang menyatakan bahwa keputusan mengenai keimanan
merupakan ahli ocal. Al-Haqq wa al-Sunnah. Sedangkan Ahl al-Haqq wa
al-Sunnah merupakan nama lain dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Sementara itu, Masyarakat Islam (Persis) menyatakan lebih berhak
menyebut dirinya Sunni karena Alasannya, mereka tidak mengamalkan
mazhab sehingga kelompok seperti NU yang menganut mazhab tersebut
tidak layak. Disebut Sunni (Kasdi, 2019: 252).
Padahal keduanya sama-sama mengaku pengikut Ahl al-Sunnah wa
al-Jama`ah, yang kedua kelompok ini memiliki perbedaan artikulasi yang
signifikan agamanya Bahkan, kedua kelompok ini kerap bercampur
konflik pandangan agama, konsep budaya-sosial dan politik. Uraian di atas
memberikan gambaran awal yang cukup jelas tentang keberadaan
dialektika secara internal di kalangan Sunni. Dialektika digambarkan
dalam dua kutub penafsiran, yaitu kelompok tradisionalis di satu sisi dan
kelompok modernis di sisi lain. Tentu saja dialektika ini tidak terjadi
dalam ruang hampa (Hasan, 2014).
Konteks di luar kelompok ini diduga hal ini berkontribusi pada
variasi makna Sunni. Terutama dinamikanya peristiwa internasional yang
terjadi di Arab pada waktu itu. Karena kamu tahu kapan Organisasi-
organisasi ini didirikan dan didirikan bersamaan dengan momentum
tersebut peristiwa internasional seperti penggulingan Kekhalifahan
Ottoman, perebutan kekuasaan di Hijaz dan Perluasan Wahhabisme
(Hilmy, 2013: 26).
Oleh karena itu, menarik untuk melakukan penelitian akademis
yang luas dan komprehensif Untuk penjelasan lebih jelas mengenai ocal
ocal Sunni di Indonesia ini artikulasi pemikiran Sunni yang berkembang
di negeri ini beserta ciri-ciri, ekspresi dan gerakannya menunjukkan gaya
yang berbeda dari Sunni di wilayah lain di Tanah Air.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Sejarah teologi sunni?
2. Bagaimana pemikiran tokoh-tokoh teologi sunni?

C. TUJUAN MASALAH
1. Memahami Sejarah teologi sunni
2. Memahami pemikiran tokoh-tokoh teologi sunni
BAB II

PEMBAHASAN

A. SUNNI DALAM PERSEPEKTIF SEJARAH


Sunni berasal dari kata sunnah. Arti sunnah secara harafiah adalah tradisi,
adat istiadat yang dilembagakan dalam Masyarakat. Dalam Al-Qur’an topik
sunnah biasanya muncul dalam dua konteks: (1) sunnah al-awwalin artinya
kebiasaan masyarakat zaman dulu dan (2) sunnah Allah. Sunnah dalam pengertian
syara’ ialah tradisi yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW dan diteruskan oleh para
salaf yang saleh. Sunnah yang semakna dengan hadits, menjadi ciri khas teori dan
praktik kaum muslimin ortodoks, maknanya dalam Batasan yang sempit ialah
semua perbuatan (fi’il), ucapan (qoul) dan persetujuan diam nabi (taqrir). Dalam
batas-batas tertentu lebih luas, juga memuat karya karya yang disajikan, fatwa dan
tradisi dari shahabi (atsar shahabi). Sunnah dalam batas ilmu ahli kalam adalah
keyakinan (I’tiqad) yang didasarkan pada dalil naqli (Al-Qur’an, hadits dan qaul
(ucapan) shahabi) bukan semata bersandar pada pemahaman aqal (rasio). Dalam
pengertian ahli politik, sunnah ialah jejak yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW
dan para Khulafaur Rasyiddin.
Jadi, yang dimaksud Sunni adalah nama sekelompok umat Islam penganut
sunnah menurut terminologi syaara’ ahli hadis, ahli kalam dan ahli politik. Mercka
juga disebut sebagai Muslim ortodoks yang menentang Pengikut mazhab Syiah
dan Khawarij, yang disebut heteredoks. Jadi Sunni adalah seorang muslim yang
tidak mengatakannya dengan jelas dia adalah pendukung Syi’ah atau Khawarij
tanpa harus mengatakannya seorang pendukung atau pengikut suatu mazhab fiqh.
Salah satu prinsip dasar Sunni yang menjadi ciri khas mereka, adalah menurut
pemahaman mereka memilih jalan tengah (wasathan). Mereka mengikuti prinsip
keseimbangan, yang menyarankan al-Quran dan as-Sunnah serta berusaha
mencari perdamaian antara kedua belah pihak menantang secara ekstrim.
Sementara itu, kaum Sunni menimbang dan mengatur kecerdasan dan kenakalan,
menyeimbangkan dunia ini dan cinta di luar, menciptakan perdamaian antara
fiqh dan tasawwuf.
Embrio aliran tengah (moderat) terbentuk ditengah-tengah sedang
berkecamuknya sikap pro dan kontra terhadap pemegang kekuasaan negeri
menolak ta 'wil terhadap penafsiran ayat-ayat al-Quran. Mereka juga menolak
qiyas sebagai alat penggalian hukum. Hukum bagi mereka ialah apa yang sudah
disampaikan oleh Nabi dan harus dilaksanakan menurut bunyi teksnya secara
harfiah. Dengan sikap seperti inilah mereka melahirkan slogan "La hukana illa
lillah". Dalam masalah agama dan kehidupan sosial mereka mencari inspirasinya
pada contoh-contoh perbuatan nabi dalam periode Makkah. Kehidupan sosial
yang seperti itu tidak boleh berubah. Ia harus tetap berlaku sepanjang zaman.
Dalam sikap anti perubahan dan perkembangan yang diperlihatkan oleh Khawarij
bisalah dikatakan bahwa mereka adalah ahistoris.
Khawarij yang kini pengikutnya hanya tinggal sedikit di Maroko dan di
Oman, itupun yang beraliran moderat,- ibadi-, hanya berperan di panggung
sejarah Muslim lebih kurang satu setengah abad. Golongan Azariqoh dan Najdiah
hancur sebab sikap ekstrem dan radikal yang mereka perlihatkan. Khawarij
mengambil sikap bahwa bukan saja setiap orang yang telah berbuat dosa besar
keluar dari Islam tetapi juga orang-orang yang bukan penganut Khawarij adalah
kafir. Karena sikap ekstremis inilah mereka ditumpas olch berbagai pihak. Dari
catatan sejarah ini dapat diambil ibarat, bahwa sikap ekstrem bukan saja tidak
akan beroleh dukungan luas dalam waktu lama, tetapi juga akan menghancurkan
diri sendiri.
Kaum Syiah yang awalnya didukung oleh bangsa Arab Selatan dan Persia,
terbawa oleh budaya politik dan doktrin hak ketuhanan Tuhan dalam menentukan
siapa yang menjadi pemimpin yang telah mendarah daging dalam diri mereka
sistem hak waris. keturunan, dalam masalah suksesi imam. Bukan karena pilihan.
Kedudukan imam sebagai pemimpin agama terlalu tinggi untuk diserahkan
kepada kehendak manusia. Imam adalah orang yang bersih dari dosa (ma'shum).
Beliau adalah orang yang mempunyai ilmu untuk mampu menafsirkan Al-Quran
secara internal. Oleh karena itu kehadiran imam yang berdasarkan nash dan
washiat adalah wajib. Seseorang yang tidak mendukung imam yang ditunjuk,
meninggalkan Islam. Itulah sebabnya, Syiah Qaramithah di bawah pimpinan
Hasan as-Shabah dari al-Alamut banyak menumpahkan darah kaum non-Syiah,
tidak hanya kaum Khawarij yang menjadi rival beratnya namun juga kaum Sunni,
termasuk Nizam al- Muluk.
Sama seperti budaya politik kerajaan, khususnya Persia yangmenganggap
Khosru atau raja sebagai setetes dewa atau wakil Tuhan di muka bumi, maka
Syi'ah berpendapat bahwa seorang Imam adalah bayang-bayang Tuhan di dunia.
Kebudayaan ini juga dikembangkan oleh Dinasti Abbasiyah Bersama
menggunakan gelar-gelar khalifah yang menunjuk kepada budaya itu. Selain itu,
sesuai dengan budaya politik pemerintah yang menganggap rajalah Sama seperti
budaya politik kerajaan, khususnya Persia yang menganggap Khosru atau raja
sebagai setetes dewa atau wakil Tuhan di muka bumi, maka Syi'ah berpendapat
bahwa seorang Imam adalah bayang-bayang Tuhan di dunia. Kebudayaan ini juga
dikembangkan oleh Dinasti Abbasiyah Bersama menggunakan gelar-gelar
khalifah yang menunjuk kepada budaya itu. Selain itu, sesuai dengan budaya
politik pemerintah yang menganggap rajalah mempunyai kewenangan mutlak
dalam menetapkan hukum, maka Syi'ah menolak lembaga ijma' sebagai alat
penetapan hukum.
Di tengah situasi pertentangan antara Syiah (mewakili budaya Persia) dan
Khawarij (mewakili budaya Arab) tentang postur Imam dan perang yang
berkecamuk antara Bani Umayyah, Khawarij dan Syiah, lahirlah mazhab
Murji'ah. Murji'ah mengemukakan tesis bahwa keimanan terletak pada hati yang
tidak dapat dinilai oleh manusia. Oleh karena itu, masih beriman atau tidaknya
seseorang itu terserah penilaian Allah, karena Dialah Yang Maha Mengetahui apa
yang terungkap dan apa yang tersembunyi. Tesis Murji’ah dalam bidang teologi
nampaknya ditujukan untuk menolak tesis Khawarij dan Syi’ah yang berpendapat
bahwa seseorang yang melakukan dosa besar, misalnya membunuh sesama
muslim, sudah menjadi kafir. Pada awal kelahirannya, Murji'ah mengambil posisi
pendukung Umaiyah.
Selain tiga mazhab: Khawarij, Syi'ah dan Murji'ah yang jelas-jelas
menunjukkan orientasi politik dalam pembahasan teologi, masih ada dua mazhab
lagi yaitu: Jabariyah dan Qadariyah yang pendapatnya saling bertentangan tentang
kedudukan manusia dalam agama. Tuhan masa depan Permasalahan pokoknya
adalah tentang qadla dan qadar yang merupakan salah satu rukun iman.
Pertanyaan yang muncul dalam permasalahan ini adalah “apakah manusia
mempunyai kewenangan untuk berkehendak (iradah) atau tidak. Jabariyah
berpandangan bahwa manusia tidak mempunyai kewenangan untuk berkehendak.
anak manusia tidak dilahirkan. Jika manusia mempunyai wewenang untuk
berkehendak, berarti mengurangi hakikat kemahakuasaan Tuhan atas makhluk-
Nya. Tesis Jabariyah ini, baik disengaja maupun tidak, dapat dimanfaatkan oleh
Bani Umayyah untuk mempertahankan kekuasaannya dalam memegang tampuk
kekuasaan. kekuasaan negara, ditentang oleh Qadariyah. Qadariyah berpandangan
bahwa manusia tidak mempunyai wewenang berkehendak melawan hakikat
keadilan Tuhan Yang Maha Esa. Betapa tidak adilnya, menurut Qadariyah,
seseorang telah ditetapkan sebagai penghuni neraka, Pendapat Qadariyah ini jelas
tidak berpihak pada Bani Umayyah, oleh karena itu tidak mengherankan jika
tokoh Qadariyah mendapat hukuman mati, bahkan dengan cara menghadapinya
seperti Ghailan ad-Dimasygi misalnya. Tesis Jabariyah melahirkan sikap fatalistis
nrimo- yang mematikan etos kerja, sedangkan tesis Qadariyah akan menempatkan
Tuhan sebagai petugas yang melakukan apa yang diinginkan manusia. Kedua tesis
ini semuanya sama ekstrimnya
Pikiran Qadariyah pada akhir pemerintahan Dinasti Umaiyah dengan sedikit
modifikasi dikembangkan oleh Mu'tazilah. Mu'tazilah yang menamakannya diri
dengan Ahl at-Tauhid wa al-Ta'dil yang olch al-Ma'mun dari dinasti Abbasiyah
dijadikan sebagai mazhab negara, menggunakan konsep-konsep filsafat Yunani
dalam mendiskusikan dogma dan doktrin agama. Atau dengan kata lain, mereka
menggunakan metode berpikir rasional dalam membahas masalah teologi.
Walaupun Mu'tazilah tidaklah sama sekali menolak dalil-dalil naqli dalam
membahas teologi, karena itu mereka tidak termasuk kelompok filsuf, namun
sikap mereka yang tidak menggunakan dalil naqli yang dianggapnya bertentangan
dengan akal dapat dikatakan bahwa mereka lebih mengedepankan akal daripada
naqal. Sikap Mu'tazilah seperti ini, bukan saja banyak menimbulkan pertanyaan-
pertanyaan baru tentang teologi, seperti pertanyaan di mana letak al-manzilat
baina al-manzilatain, yang tidak terpecahkan juga pada ujungnya akan berakibat
orang menjadi ragu akan kebenaran dalil naqli. Atas kekhawatiran inilah maka
Ahmad ibn Hanbal mengajukan metode yang diametral dengan metode
Mu'tazilah. Ibn Hanbal menolak penggunaan akal dan produk budaya dalam
memahami agama. Agama harus dipahami seperti yang tersebut dalam al-Quran
dan dijelaskan oleh Hadits dan atsar Shahabi. Itu pula alasan bagi ibn Hanbal
menolak qiyas sebagai alat penggalian hukum. Pendirian ibn Hanbal, salah
seorang Sunni tokoh awal di barisan Salaf, pada satu sisi memang sangat urgen
dalam memelihara kemurnian agama, khususnya dalam masalah ibadah mahdlah
akan tetapi menjadi faktor yang kurang menguntungkan dalam proses
perkembangan hukum kemasyarakatan (muamalat).
Dalam abad 2/8 pada masa awal pemerintahan dinasti Abbasiyah ketika
sebagian masyarakat Muslim telah lebih cenderung ke dunia dengan mengabaikan
akhirat dan para penguasa negeri menunjukkan sikap kesewenangan dan gandrung
kemewahan yang biayanya harus dipikul olch rakyat, lahirlah aliran sufisme.
Sufisme bersikap anti dunia dan mengambil posisi oposisi diam terhadap
penguasa. Mercka pada umumnya mengambil tempat-tempat di desa-desa
terpencil, di kaki-kaki gunung. Dalam kecenderungannya bertemu, menjadi
kekasih dan bersatu dengan Tuhan, mereka menempuh jalan pintas, dalam arti
tidak perlu menempuh jalan syari'at. Pada titik ini mereka berbenturan dengan
fuqaha yang berpendapat bahwa dengan menempuh jalan legal formalistiklah
manusia baru bisa sampai ke pantai keselamatan dan bahagia. Sedangkan bagi
Sufi, legal formalistik hanyalah sekedar perahu yang tidak dibutuhkan lagi jika
seseorang telah sampai ke pantai yang dituju. Pertanyaan lain yang diajukan oleh
para fuqaha ialah "apakah mungkin manusia dapat bersatu dengan Tuhan". Bagi
fuqaha hal ini tidak mungkin. Benturan ini seperti juga benturan antara kelompok
lainnya selalu berujung kepada saling mengkafirkan.
Di tengah benturan antara sikap lahiriah (Khawarij, Qadariyali) dan sikap
batin (Murji'ah), antara kehendak bebas (Qadariyah) dan fatalistik (Jabariyah)
antara penafsiran lahiriah (Khawarij) dan penafsiran batin (Syi'ah), antara hukum
formalistik (fikih) dan tasawuf (sufi) serta antara Naqal (Salaf) dan akal
(Mu'tazilah), antara pengusaha yang pro (Umayyah) melawan (Syiah dan
Khawarij) sejarah perkembangan pemikiran Sunni. Kedua kutub ekstrim tersebut
baik dalam permasalahan politik maupun permasalahan teologis sama-sama tidak
memberikan kepuasan dan menyelesaikan masalah serta memberikan keyakinan
yang teguh. Jalan terbaik adalah jalan tengah, tidak terlalu jauh ke kiri dan tidak
terlalu jauh ke kanan.
Proses konsolidasi sunni berjalan secara evolusi. Pada masa awal, ketika
masih berwujud embrio, pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat cklektif,
memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Hasan al-Bisri (w.
110/728) scorang tokoh sunni terkemuka yang hidup secara juhud dan teguh
berpegang pada disiplin diri, dalam masalah qadla dan qadar yang menyangkut
soal kehendak manusia, memilih pendapat Qadariyah, sedangkan dalam masalah
pelaku dosa besar memilih pendapat Murji'ah yang menyatakan bahwa sang
pelaku tidak berakibat kufur, hanya imannya yang rusak (fasiq).
Titik konsolidasi tercapai setelah Muhammad ibn Idris asy-Syafi'i (w.
205/820) berhasil menempatkan Hadist sebagai sumber hukum kedua setelah al-
Qur'an dalam kerangka pemikiran hukum Islam. Sejak hadits dan atsar Shahabi
menjadi salah satu rujukan penting dalam pemikiran Islam, maka dilakukanlah
upaya yang sungguh-sungguh dalam mengumpulkan hadits dan giat pula
dikerjakan ikhtiar seleksi dan kritik hadits. Maka lahirlah dua kitab sahih diantara
enam buah korpus hadits (kutub as-Sittah).
Kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif,
walaupun di balik pintu tertutup, sejak al-Mutawakkil (memerintah, 232-47/ 847-
61) menarik dukungan pemerintah terhadap Mu'tazilah dan memberikannya
kepada Sunni. Kajian dan diskusi-diskusi ini dikerjakan untuk mengurangi
penggunaan formula bila kaifa yang diintroduksikan oleh Malik ibn Anas (w.
179/925) terhadap masalah-masalah yang diajukan oich Mu'tazilah. Jawaban bila
kaifa, bukan saja tidak memberikan kepuasan bagi penanya karena sifatnya yang
melarang mempertanyakan, juga tidak bisa dijadikan hujjah yang ampuh untuk
menolak argumentasi-argumentasi Mu'tazilah. Daftar nama orang yang
mendiskusikan masalah ini cukup panjang. Diantaranya dapat disebutkan nama-
nama: al Muhasibi hidup semasa dengan Ahmad ibn Hanbal (w. 241/855) yang
berusaha menjelaskan. tentang aqidah dengan menggunakan argumentasi rasional
karenanya tidak. disenangi oleh ibn Hanbal: dan al-Junaid yang mendiskusikan
tentang keesaan Tuhan. Asy-Syafi’i yang mendukung kajian dan diskusi teologi
dan berpendapat bahwa memang diperlukan sekelompok orang yang terlatih
untuk melindungi mumi aqidah, namun mengingatkan agar dalil-dalil yang
mereka kemukakan dalam forum diskusi tersebut tidak boleh sampai pada hal-hal
yang bersifat aqidah. telinga masyarakat karena sangat berbahaya. Masyarakat
umum yang belum mampu mencerna argumen-argumen canggih akan
kebingungan. Peringatan yang diberikan Asy-Syafi'i masih relevan hingga saat ini.

B. Pemikiran tokoh tokoh teologi sunni


Tokoh-tokoh Sunni memiliki beragam pemikiran dalam berbagai aspek
kehidupan, terutama dalam konteks agama dan fiqh (hukum Islam).
Beberapa tokoh terkenal dari aliran Sunni yang memiliki pemikiran
signifikan meliputi:
1. Imam Abu Hanifa (699-767 M): Pendiri mazhab Hanafi, ia
dikenal dengan metode ijtihad (analogi) yang cermat dan
berpikiran luas dalam masalah fiqh.
2. Imam Malik ibn Anas (711-795 M): Pendiri mazhab Maliki, ia
menekankan pentingnya tradisi dan amal saleh dalam
pemahaman hukum Islam.
3. Imam Muhammad al-Bukhari (810-870 M): Dikenal sebagai
kompilator hadis paling terkenal melalui karyanya, "Sahih al-
Bukhari," yang digunakan sebagai salah satu referensi utama
dalam hadis.
4. Imam Ash-Shafi'i (767-820 M): Pendiri mazhab Syafi'i, yang
menggabungkan teori dan praktik dalam hukum Islam dan
memperkenalkan konsep qiyas (analogi) dan istihsan (penilaian
berdasarkan keyakinan).
5. Imam Ahmad ibn Hanbal (780-855 M): Pendiri mazhab Hanbali,
ia menekankan penggunaan hadis sebagai sumber utama hukum
Islam dan menentang ijtihad (pandangan pribadi) dalam
beberapa hal.
6. Ibn Taymiyyah (1263-1328 M): Tokoh pemikiran yang memiliki
pengaruh besar dalam mazhab Hanbali, ia menekankan tafsir Al-
Quran yang sahih dan menentang praktik-praktik yang dianggap
bid'ah (inovasi) dalam Islam.
7. Imam Ghazali (1058-1111 M): Seorang filsuf dan ulama Sunni
yang menggabungkan pemikiran filsafat Yunani dengan ajaran
Islam. Karyanya "Ihya Ulum al-Din" dikenal luas.
8. Ibn Qayyim al-Jawziyya (1292-1350 M): Seorang murid dari
Ibn Taymiyyah, ia dikenal dengan pemikiran teologis yang
mendalam dan karya-karya pentingnya dalam pemahaman
agama Islam.
Tentu saja, ini hanya sebagian kecil dari tokoh-tokoh Sunni yang
memiliki pemikiran berpengaruh dalam sejarah Islam. Pemikiran mereka
telah memberikan kontribusi besar dalam pemahaman dan pengembangan
ajaran Islam. Adapun prinsip-prinsip ajaran sunni:
a) Tauhid
Keyakinan dalam keesaan Allah dan penghambaan hanya
kepadanya
b) Sunnah dan Hadits
Mengikuti tuntunan Nabi Muhammad dan memepelajari hadist
sebagai sumber ajaran agama
c) Ihsan
Melakukan kebaikan dengan Ikhlas dan berusaha mencapai
maqam terbaik dihadapan Allah SWT

You might also like