Tuhan, Maaf, Kami Sedang Sibuk
Tuhan, Maaf, Kami Sedang Sibuk
Tuhan, Maaf, Kami Sedang Sibuk
Di kutip dari buku Tuhan, Maaf, Kami Sedang Sibuk karya Ahmad RifaI Rifain
Tuhan, maaf, kami orang-orang sibuk. Kami memang takut neraka, tetapi kami kesulitan mencari waktu
untuk mengerjakan amalan yang dapat menjauhkan kami dari neraka-Mu. Kami memang berharap
surga, tapi kami hampir tak ada waktu untuk mencari bekal menuju surga-Mu.
Berapa jam sehari Anda sempatkan waktu Anda untuk beribadah dan berkomunikasi dengan Allah?
Berapa penghasilan yang Anda sisihkan dalam sebulan untuk bersedekah?
Ya, dari dua pertanyaan itu sudah menunjukkan karakter kita yang lebih banyak menghabiskan waktu
untuk urusan dunia daripada akhirat. Teliti kata-kata yang saya tulis miring (italic) di atas, mari kita beristighfar. Kita seolah makhluk yang begitu sibuk, bahkan untuk beribadah dan berkomunikasi dengan
Allah saja kita harus menyempatkannya. Kita seolah manusia pelit, bahkan untuk akhirat kita justru
menyedekahkan harta yang tersisih.
Tak sadar di hadapan Tuhan seolah-olah kita adalah orang tersibuk, padahal seluruh waktu, seluruh jatah
usia, bahkan hidup kita seharusnya kita persembahkan dalam pengabdian kepada-Nya. Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Kita sudah sedemikian berani berbohong kepada Allah. Di setiap iftitahbegitu mudah kita ucap, nnash
shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa ma maati lillaahi rabbil aalamiina. Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidupku, matiku, hanya untuk Allah, Tuhan sekalian alam, tetapi kelakuan kita justru
mengingkarinya.
Tuhan kita Mahaadil. Tetapi mengapa kita tak adil kepada-Nya? Ketika ada sms masuk, kita begitu
bergegas membaca dan membalasnya, tetapi mengapa ketika Tuhan memanggil-manggil untuk
menghadap-Nya kita begitu berani menunda-nundanya?
Ketika bos kita memanggil, betapa takutnya kita sehingga dengan cepat kita menghadapnya, namun
ketika panggilan Tuhan berkumandang, betapa berani dan lamanya kita untuk menghadap-Nya. Padahal
yang memanggil kita adalah Tuhannya bos, Atasannya atasan.
Saudaraku, dengarlah kalimat-kalimat muadzin yang berkumandang paling tidak lima kali sehari.
Kalimatnya tak hanya mengajak kita untuk melaksanakan shalat, tetapi disusul dengan tawaran
kesuksesan. Dengarlah panggilan Tuhan yang dikumandangkan oleh muadzin, Hayya alash sholah. Mari
menunaikan shalat. Tak cukup hanya itu, tetapi dilanjut dengan balasan yang indah, Hayya alal falah.
Mari meraih kemenangan. Seolah Tuhan berkata, wahai manusia, berhentilah dari rutinitas kerjamu,
istirahatlah sejenak dari kesibukanmu. Shalatlah, dan sambutlah kemenangan. Shalatlah, dan sambutlah
kesuksesan. Shalatlah, dan yakinlah kerjamu akan membuahkan keberhasilan dan lebih berkah.
Tapi tidak, manusia masih begitu pelit kepada Tuhan, bahkan untuk bersedekah pun kita menyisihnyisihkan harta kita. Kita begitu boros untuk dunia, tetapi untuk bekal kehidupan abadi, malah kita tabung
harta yang tersisih. Sedekah kita tak lebih dari harta yang tak begitu kita cintai. Jangankan sedekah,
bahkan zakat yang hanya 2,5 persen saja terkadang begitu berat terambil dari dompet.
Betapa kecilnya harga uang ketika kita sedang berhadapan dengan penjual baju. Betapa murahnya angka
satu juta ketika kita sedang shopping. Betapa kecilnya angka seratus ribu ketika kita belikan pulsa. Tetapi
ketika ada kotak amal berjalan, ketika ada pengemis mengiba pinta, ketika ada anak kecil dengan wajah
kusam mengamen dan menadahkan tangannya yang masih suci, berapa jumlah uang yang kita ambil dari
dompet? Betapa besarnya nilai uang seratus ribu apabila dibawa ke masjid untuk disumbangkan, tetapi
betapa kecilnya kalau dibawa ke mal untuk dibelanjakan. Ya Allah, tak sadar kita begitu pelit ketika
dihadapkan pada bekal akhirat, tetapi untuk menuruti nafsu dan keinginan-keinginan dunia, betapa ringan
kita rogohkan tangan. Padahal seharusnya justru sebaliknya, pelitlah untuk dunia, dan boroskan harta
untuk akhirat.
Tapi tidak. Semua orang sudah begitu terjungkal konsep pemikirannya dalam memaknai hidup. Ingatlah
ketika shalat, seolah tak kerasan dan betah berkomunikasi dengan Tuhan. Jangankan khusyuk, bahkan
menyadari apa yang sedang dibaca saja tak sempat. Betapa lamanya lima belas menit jika kita gunakan
untuk menyembah Allah, tetapi betapa singkatnya jika digunakan untuk melihat film. Betapa nyamannya
apabila pertandingan bola ada perpanjangan waktu, namun ketika mendengar khotbah di masjid lebih
lama sedikit daripada biasa kita begitu mudahnya untuk mengeluh.
Saudaraku, berapa waktu pagi yang kita habiskan untuk membaca koran? Kemudian bandingkan berapa
waktu yang kau habiskan untuk membaca Surat Cinta dari Tuhan. Ah, betapa sulit menyempatkan waktu
untuk membaca satu halaman Kitab Suci, tapi betapa mudahnya membaca ratusan halaman novel.
Saudaraku, kita lebih sering menghabiskan sisa usia dengan obrolan-obrolan tanpa makna, tetapi untuk
berdoa kepada Allah berapa waktu yang kita sisihkan? Astaghfirullah, betapa sulitnya kita merangkai kata
demi kata ketika berdoa kepada Tuhan, namun betapa mudahnya kita menyusun kalimat panjang ketika
menggunjing tetangga, bergosip dengan teman, dan mengobrol tanpa makna.
Betapa semangatnya kita duduk di barisan paling depan ketika menonton pertandingan atau konser musik,
tetapi ketika berjamaah mengapa kita lebih memilih shaf terbelakang?
Betapa sulitnya mempelajari arti yang terkandung di dalam Kitab Suci. Betapa sulitnya kita mengimani
apa yang dikatakan Allah Swt., dan Rasul saw., tetapi betapa mudahnya kita mempercayai apa yang
dikatakan oleh koran. Ya, tiap pagi koran seolah menjadi sarapan wajib, tetapi hampir tiap hari seolah tak
ada jeda untuk mengisi waktu dengan tilawah.
Ibnu Athaillah berkata, Menunda beramal saleh guna menantikan kesempatan yang lebih luang termasuk
tanda kebodohan diri. Ya, kebodohan diri. Betapa bodohnya diri yang tak tahu berapa lama Allah
menjatah umurnya, tetapi dengan tenang ia lakukan aktivitas dunia dengan menunda-nunda kebaikan.
Betapa bodohnya jiwa yang telah tahu bahwa belum tentu esok ia masih bias bernapas lega, tetapi dengan
beraninya hidup dalam santai dan lupa bahwa momentum kebaikan takkan terulang untuk yang kesekian
kalinya.
Bertahun-tahun begitu mudah kita habiskan usia untuk memuaskan nafsu-nafsu. Bertahun-tahun begitu
mudah kita mengumbar semua keinginan. Tetapi mengapa untuk berpuasa beberapa hari saja kita terlalu
banyak mengungkap keluh. Mengapa untuk menahan diri beberapa saat saja kau terus mengiba.
Ah, setiap orang begitu takut ketika diancam neraka, tetapi kelakuan-kelakuan mereka seolah-olah sedang
memohon untuk dimasukkan ke neraka secepatnya. Betapa setiap orang ingin menginjakkan kaki di
pelataran surga, tetapi kelakuan-kelakuannya justru menjauhkannya.
Semua umatku akan masuk surga kecuali yang enggan memasukinya. Siapa yang menaatiku akan
memasuki surga, dan siapa yang mendurhakaiku, maka dialah orang yang enggan masuk surga. (HR.
Bukhari)