Bolehkah Nikah Beda Agama PDF
Bolehkah Nikah Beda Agama PDF
Bolehkah Nikah Beda Agama PDF
Oleh:
Mohammad Muhibuddin,S.Ag.,SH.,M.S.I *)
A. Pendahuluan
Perkawinan/pernikahan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat
penting dalam kehidupan manusia di dunia manapun. Begitu pentingnya perkawinan
tidak mengherankan jika agama-agama di dunia mengatur masalah perkawinan bahkan
tradisi atau adat masyarakat dan juga institusi negara tidak ketinggalan mengatur
perkawinan yang berlaku di kalangan masyarakatnya.
Sudah menjadi kenyataan umum bahwa pengaturan masalah perkawinan di
dunia tidak menunjukkan adanya keseragaman, keberbedaan itu tidak hannya antara
satu agama dengan agama yang lain, satu adat masyarakat dengan adat masyarakat yang
lain, satu negara dengan negara yang lain, bahkan dalam satu agamapun dapat terjadi
perbedaan pengaturan perkawianan disebabkan adanya cara berfikir yang berlainan
karena menganut mazhab atau aliran yang berbeda.
Keadaan dan kondisi di suatu daerah
sah di Indonesia, selain Islam ada agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan lain-lain.1
Sensus penduduk tahun 1980 menunjukkan bahwa Islam dipeluk oleh sebagian besar
bangsa Indonesia (88,2 % dari 145 juta penduduk), disusul Protestan (5,8 %), Katolik (3
%), Hindu (2,1 %), dan Budha (0,9 %).2 Keragaman pemeluk agama di Indonesia
ternyata telah ikut membentuk pola hubungan antar agama di Indonesia dalam berbagai
aspek kehidupan sosial kemasyarakatan. Salah satu bentuk pola hubungan tersebut
tercermin dalam hukum keluarga di Indonesia khususnya dalam bidang perkawinan
sejak diundangkannya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan
disahkannya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia melalui Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. 3 Demikianlah ternyata keadaan
di suatu negara telah mempengaruhi bagi terbentuknya suatu hukum/aturan di negara
tersebut.
*) Hakim pada Pengadilan Agama Natuna, Mahasiswa Program Doktor Studi Islam Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
1
Abdurrahman Wahid (mantan Presiden RI ke-4) menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah
bangsa yang majemuk, selain Islam ada Hindu, Budha, Kristen, Katolik, Protestan, dan lain-lain. Bahkan yang
Islam ada yang santri dan ada yang kejawen. Lihat Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Sabtu, 27 Maret
2004, hlm. 11.
2
Data di atas sebagaimana dikutip oleh M. Atho Mudzhar dari Biro Pusat Statistik Jakarta, sensus
1980, juga dari Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama, Statistik Keagamaan 1981.
Dalam sensus tahun 1980 jenis agama lain-lain tidak tercatat. Lihat M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988 (Jakarta :
INIS, 1993), hlm. 11.
3
Kompilasi Hukum Islam (KHI) disahkan melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, KHI memuat tiga buku yaitu buku I Hukum Perkawinan (Pasal 1-170),
Buku II Hukum Kewarisan (Pasal 171-214), Buku III Hukum Perwakafan (Pasal 215-229). Lihat Depag RI,
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (t. tp.,: Depag RI, 1998/1999).
Salah satu fenomena hukum yang menarik untuk dikaji bersama di masa modern
dan kontemporer ini adalah persoalan pengaturan hukum keluarga di negara-negara
muslim, di Indonesia misalkan terjadi kontroversi yang cukup fenomenal atas sah atau
tidaknya pernikahan beda agama dilihat dari sudut pandang perundang-undangan di
Indonesia. Dalam tulisan ini penulis mencoba memaparkan pandangan hakim Peradilan
Agama tentang boleh atau tidaknya pernikahan beda agama di Indonesia dengan
melihat hukum terapan di lingkungan Peradilan Agama di Indonesia.
B. Pengaturan Perkawinan Beda Agama Dalam Perundang-Undangan Perkawinan
Di Indonesia
Pembahasan dalam
Perkawinan beda agama di sini dimaksudkan sebagai perkawinan campuran antar agama.
Perkawinan ini terjadi jika seorang pria dan seorang wanita yang berbeda agama melakukan perkawinan
dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing. Hilman Hadikusumo, Hukum Perkawinan
Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat dan Hukum Agama (Bandung : Mandar Maju, 1990), hlm.18.
Peraturan Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken terdiri dari dua belas pasal
yang mengatur tentang perkawinan campuran beserta pelaksanaannya. Secara lengkap lihat dalam Wila
Chandrawila Supriadi, Hukum Perkawinan, hlm. 90-95.
Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Udang-Undang Dasar 1945.
wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum Islam
menyatakan sebagai berikut:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
karena keadaan tertentu;
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria
lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara laki-laki
(muslim) dengan wanita non-muslim (baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al-Kitab). Jadi
pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun agama yang
dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam. Sedangkan pasal 44
menyatakan sebagai berikut:
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria
yang tidak beragama Islam.
Pasal ini secara tegas melarang terjadinya perkawinan antara wanita muslim dengan
pria non-muslim baik termasuk kategori Ahl al-Kitab maupun tidak termasuk kategori
Ahl al-Kitab.
Terakhir pasal 60 Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:
(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang
dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan.
(2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri
yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk
Pasal ini secara tegas memberikan penjelasan tentang pencegahan perkawinan terhadap
calon mempelai yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam
maupun peraturan perundang-undangan. Pasal ini menguatkan pelarangan perkawinan
beda agama.
C. Pandangan Hakim Peradilan Agama Tentang Nikah Beda Agama Di Indonesia
Pembahasan dalam
perkawinan
beda
agama
yaitu
dalam
Peraturan
Perkawinan
Perkawinan beda agama di sini dimaksudkan sebagai perkawinan campuran antar agama.
Perkawinan ini terjadi jika seorang pria dan seorang wanita yang berbeda agama melakukan perkawinan
dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing. Hilman Hadikusumo, Hukum Perkawinan
Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat dan Hukum Agama (Bandung : Mandar Maju, 1990), hlm.18.
Para pakar hukum berbeda pendapat tentang perkawinan beda agama dalam
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 hal ini disebabkan karena undangundang tersebut tidak menyebut secara tertulis/tekstual/eksplisit (expressis verbis)
mengenai perkawinan beda agama. Pada garis besarnya ada tiga pandangan tentang
perkawinan beda agama di Indonesia terkait dengan pemahaman terhadap Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu :
a. Perkawinan beda agama
undang-undang perkawinan berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf (f)
yang dengan tegas menyebutkan hal itu. Oleh karena itu perkawinan beda agama
adalah tidak sah dan batal demi hukum.8
b. Perkawinan beda agama adalah diperbolehkan dan sah dan oleh sebab itu dapat
dilangsungkan, sebab perkawinan tersebut termasuk dalam perkawinan campuran.
Menurut pendapat ini titik tekan Pasal 57 tentang perkawinan campuran terletak
pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. 9 Oleh
karena itu pasal tersebut tidak saja mengatur perkawinan antara dua orang yang
memiliki kewarganegaraan yang berbeda tetapi juga mengatur perkawinan antara
8
Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 berbunyi : Perkawinan adalah sah, apabila
diakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan Pasal 8 huruf (f)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 berbunyi: mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku, dilarang kawin.
9
Pasal 57 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 berbunyi : Yang dimaksud dengan perkawinan
campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing
dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
dua orang yang berbeda agama. Menurut pendapat ini pelaksanaan perkawinan beda
agama dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh Pasal 6 Peraturan Perkawinan
Campuran.10
c. Undang-undang perkawinan tidak mengatur tentang masalah perkawinan beda
agama. Oleh karena itu dengan merujuk Pasal 66 Undang-undang Perkawinan11
maka peraturan-peraturan lama selama Undang-undang Perkawinan belum
mengaturnya dapat diberlakukan. Dengan demikian maka masalah perkawinan beda
agama harus berpedoman kepada peraturan perkawinan campuran.12
Sehubungan dengan pandangan kelompok ketiga ini menarik untuk dicatat bahwa
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam suratnya No. KMA/72/IV/1981
tanggal 20 April 1981 yang ditujukan kepada Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri secara tegas menyatakan:
10
Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran (GHR) terdiri dari 5 ayat yang mengatur tata cara
dilaksanakannya perakawinan campuran.
11
Pasal 66 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 berbunyi : Untuk perkawinan dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya
Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Bugerlijk
Wetboek). Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwerlijks Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933 No.
74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan
peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini,
dinyatakan tidak berlaku.
12
O.S.Eoh, Perkawinan Antar , hlm. 37. Pasal 7 ayat 2 GHR berbunyi: Perbedaan agama,
golongan penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan. Dalam
pelaksanaannya perkawinan dapat dilangsungkan menurut hukum yang berlaku untuk suami. Hal ini sesuai
dengan Pasal 6 ayat 1 GHR yang berbunyi: Perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang
berlaku atas suaminya, kecuali izin para calon mitrakawin yang selalu disyaratkan. Ibid., hlm.18 dan 21.
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Perkawinan, hlm. 92-93.
1). Merupakan suatu kenyataan yang hidup di dalam masyarakat Indonesia yang
serba majemuk ini yang terdiri dari berbagai macam golongan suku, adalah
pemeluk agama dan penganut Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
yang berbeda satu dengan lainnya.
2). Adalah suatu kenyataan pula bahwa antar mereka itu, ada yang menjalin suatu
hubungan dalam memebnetuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal melalui
proses perkawinan, di mana Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan belum mengatur perihal perkawinan campuran.
3). Meskipun demikian dapat dicatat bahwa Pasal 66 Undang-undang Perkawinan
memungkinkan S.1898 No. 158 diberlakukan untuk mereka sepanjang
Undang-undang Perkawinan belum mengatur hal-hal yang berhubungan
dengan perkawinan campuran dimaksud.13
Di samping ketiga pendapat di atas ada pula yang berpandangan bahwa Undangundang Perkawinan perlu disempurnakan sebab ada kekosongan hukum tentang
perkawinan beda agama. Pentingnya penyempurnaan Undang-undang tersebut
disebabkan karena beberapa hal
14
1974 tidak mengatur perkawinan beda agama, kedua, masyarakat Indonesia adalah
masyarakat plural yang menyebabkan perkawinan beda agama tidak dapat dihindarkan,
ketiga, persoalan agama adalah menyangkut hak asasi seseorang, dan keempat,
kekosongan hukum dalam bidang perkawinan tidak dapat dibiarkan begitu saja sebab
akan dapat mendorong terjadinya perzinaan terselubung melalui pintu kumpul
kebo/samen leven.
13
14
undang Nomor 1 Tahun 1974 telah mengatur hukum perkawinan beda agama dengan
tegas dan jelas.15
Mencermati
berbeda yaitu bahwa
pendapat-pendapat
di atas penulis
penyusun -sejalan dengan pendapat M. Idris Ramulyo dan Watik Pratiknya-16 memang
tidak secara eksplisit mengatur perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita nonmuslim ataupun antara wanita muslim dengan laki-laki non-muslim, namun Undangundang tersebut secara tegas menyerahkan sah atau tidaknya perkawinan kepada agama
dan kepercayaan yang dianut oleh para pihak yang akan melangsungkan perkawinan.17
Kesimpulan ini didasarkan pada pengamatan terhadap bunyi pasal 2 ayat (1) dan pasal
8 huruf f Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 2 ayat (1) berbunyi:
15
FXS. Purwaharsanto Pr, Perkawinan Campur Antar Agama Menurut UU RI No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan: Sebuah Telaah Kritis Aktualita Media Cetak (Yogyakarta: t.p., 1992), hlm. 23.
16
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, Dan
Zakat Menurut Hukum Islam (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), hlm. 66. Watik Pratiknya menyatakan bahwa
perkawinan beda agama mungkin dilakukan asal tidak bertentangan dengan ajaran agama sesuai dengan pasal
2 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Lihat dalam Mazroatus Saadah, Perkawinan Antaragama,
hlm. 93-94.
17
10
11
a.
b.
c.
karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria
lain;
seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara laki-laki
(muslim) dengan wanita non-muslim (baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al-Kitab). Jadi
pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun agama yang
dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam. Sedangkan pasal 44
menyatakan sebagai berikut:
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria
yang tidak beragama Islam.
Pasal ini secara tegas melarang terjadinya perkawinan antara wanita muslim dengan
pria non-muslim baik termasuk kategori Ahl al-Kitab maupun tidak termasuk kategori
Ahl al-Kitab.
Terakhir pasal 60 Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:
(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang
dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan.
(2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang
akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundangundangan.
Pasal ini secara tegas memberikan penjelasan tentang pencegahan perkawinan terhadap
calon mempelai yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam
12
berpandangan bahwa perkawinan beda agama (antara muslim dengan non muslim baik
laki-laki maupun perempuan) tidak boleh, tidak sah dan batal demi hukum.
13
DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan Perundang-Undangan
Instruksi Presiden Republik Indonesia
Kompilasi Hukum Islam.
Redaksi Sinar Grafika, Ketetapan-Ketetapan MPR Pada Sidang Tahunan MPR 2000,
Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
Suma, Muhammad Amin, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan
Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
B. Buku
Afandi, Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian, Jakarta: Rineka
Cipta, 1997.
Amrullah, Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema
Insani Press, 1996.
-------------------- dkk, Prospek Hukum Islam Dalam Kerangka Pembangunan Hukum
Nasional di Indonesia, Jakarta: PP-IKAHA, 1994.
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974, Jakarta: Dian Rakyat, 1986.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1991.
Azizy, A. Qodri, Eklektisisme Hukum Nasional Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum
Umum , Yogyakarta: Gama Media, 2004.
Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan
Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2005.
14
Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, t. tp.,: Depag RI, 1998/1999.
Djatniko, Rachmat dkk., Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991.
Eoh, O. S., Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2001.
Hadikusumo, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat
dan Hukum Agama, Bandung : Mandar Maju, 1990.
Hadisoeprapto, Hartono, Pengantar Tata Hukum Indonesia,Yogyakarta: Liberty, 2000.
Handrianto, Budi, Perkawinan Beda Agama Dalam Syariat Islam, Jakarta: Khairul Bayan,
2003.
Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7
Tahun 1989, Jakarta: Sinar Grafika, 2001.
Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyyah al-Hadisah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum
Islam , Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.
Ilyas, Hamim, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga : Pandangan Muslim Modernis Terhadap
Keselamatan Non-Muslim, Yogyakarta : Safiria Insania Press, 2005.
Al-Jabry, Abdul Mutaal Muhammad, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam,
terj. Achmad Syathori, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996.
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum Jilid I, Jakarta: Balai Pustaka, 1992.
Kabah, Rifyal, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, Jakarta: Khairul Bayan, 2004.
Mahfud, Moh. MD dkk. (ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata
Hukum Indonesia ,Yogyakarta: UII Press, 1993.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1999.
Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang,
2004.
15
Purwaharsanto, FXS. Pr, Perkawinan Campur Antar Agama Menurut UU RI No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan: Sebuah Telaah Kritis Aktualita Media Cetak,
Yogyakarta: t.p., 1992.
Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama, Dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2000.
--------------------, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Rasjidi, Lili, Hukum Perkawinan Dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Bandung :
Remaja Rosdakarya, 1991.
Siregar, Bismar, Bunga Rampai Hukum Islam ,t.tp.: Grafikatama Jaya, 1994.
Sirry, Munim (ed.), Fiqih Lintas Agama : Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis,
Jakarta : Paramadina, 2004.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum , Jakarta: UI-Press, 1986.
--------------------dan Purnadi Purbacaraka, Aneka Cara Pembedaan Hukum, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1989.
Sosroatmodjo, Arso dan Aulawi, A. Wasit, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta:
Bulan Bintang, 2004.
Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004.
Supriadi, Wila Chandrawila, Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda, Bandung:
Mandar Maju, 2002.
Syafii, Nasrul Umam dan Ulfah, Ufi, Ada Apa dengan Nikah Beda Agama?, Depok :
Qultum Media, t.t.
Tim Ditbinbapera, Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, Jakarta:
Yayasan al-Hikmah, 1993.
Wahid, Marzuki dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara Kritik Atas Politik Hukum Islam di
Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2001.
16
17