Lapsus TB Dengan DM - FIX
Lapsus TB Dengan DM - FIX
Lapsus TB Dengan DM - FIX
PENDAHULUAN
Definisi
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Sebagian besar kuman Mycobacterium tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat
juga menyerang organ tubuh lainnya. Penyakit ini merupakan infeksi bakteri kronik yang ditandai
oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan reaksi hipersensitivitas yang
diperantarai sel (cell mediated hypersensitivity). Penyakit tuberkulosis yang aktif bisa menjadi
kronis dan berakhir dengan kematian apabila tidak dilakukan pengobatan yang efektif 1,2
Insiden
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini.
Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai
Global Emergency . Laporan WHO tahun2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasusBTA (Basil Tahan Asam) positif.
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regionalWHO jumlah
terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila
dilihatdari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali
lebih besar dari Asiatenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk. Diperkirakan angka kematian
akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004
menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000
orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi
terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.3
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan
China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di
Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan
penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada
seluruh kalangan usia.3
Berikut ini adalah gambaran penyebaran penyakit Tuberkulosis di seluruh dunia
Gambar 1
Mycobacterium tuberculosis pada pewarnaan tahan asam
Cara penularan
Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+). Pada waktu batuk
atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).
Kuman yang berada di dalam droplet dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa
jam dan dapat menginfeksi individu lain bila terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman
tuberkulosis yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan dapat menyebar dari paru
ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran pernafasan,
atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.3
Patogenesis
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannyayang
sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai
alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non-spesifik.
Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian
besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembangbiak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama
kolonikuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.1,2
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limferegional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan dikelenjar
limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah,
kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus,sedangkan jika fokus primer
terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer
merupakan gabungan antara fokus primer,kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis)
dan saluran limfe yang meradang (limfangitis). 1,2
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer
secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa
inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga
timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanyaberlangsung dalam waktu 4-8 minggu
dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh
hingga mencapai jumlah 103-104,yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas
seluler.1,2
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman
TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami
perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah infeksi TB primer
dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi,
uji tuberkulin masih negatif.Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap
TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik,
begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil
kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB
baru yang masuk ke dalam alveoli akan segeradimusnahkan. 1,2
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanyamengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi,
tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB
dapat tetap hidup danmenetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. 1,2
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar
dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadinekrosis perkijuan yang berat,
bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di
jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfehilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkanateletaksis. Kelenjar
yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding
bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksikomplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis
danateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. 1,2
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional
membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. 1,2
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara
sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB
kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah
organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri,
terutama apeks paru atau
bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya. 1,2
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh
imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umumnya tidak langsung
berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di
apeks paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh
pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ
terkait, misalnya meningitis,TB tulang, dan lain-lain. 1,2
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata
akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk
dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul
dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi
TB, misalnya pada balita. 1,2
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan
jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai
ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang
menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa
nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secarahistologi merupakan granuloma.1
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenicspread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar kesaluran vaskular di
dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis,
sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan
acute generalized
terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi
ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.1
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB
tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1
tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25tahun setelah infeksi
primer.1
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata
atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan
menurun. Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan terutama pada
kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Pada TB paru lanjut dengan
fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bila TB mengenai
pleura, sering terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam
pernapasan, perkusi memberikan suara pekak, auskultasi memberikan suara yang lemah sampai
tidak terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis TB sering asimtomatik dan penyakit baru
dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji
tuberkulin yang positif.1,4
-
Pemeriksaan radiologis
Lokasi lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus bawah
atau daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarangsarang pneumonia, gambaran radiologinya berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batasbatas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa
bulatan dengan batas yang tegas dan disebut tuberkuloma.3
Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi.
Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas dengan penciutan yang dapat terjadi pada
sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier terlihat
berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Pada
TB yang sudah lanjut, foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus
seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis dan emfisema.4
Gambar 2
Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada
-
Pemeriksaan bakteriologis
a. Sputum
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA
Periksa
Rontgendinyatakan
Dada
positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil
pemeriksaan
positif
Beri Antibiotik
Spektrum Lua
apabila sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA
Hasil BTA
hasilnya positif.3
+-Hasil
TB diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto
Hasil
Tidak Mendukung
TB
Bila hanya
1 spesimen
yangMendukung
positif
perlu
Tidak Ada Perbaikan
Ada Perbaikan
rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. 1). Kalau hasil rontgen mendukung
Hasil BTA
++
tuberkulosis, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. 2). Kalau+hasil
++-
didiagnosis sebagai
BTA
Hasil BTA
TB, ulangi
pemeriksaanHasil
dahak
SPS. 1). Kalau hasil SPS positif,
+++
+penderita +tuberkulosis
---
positif
b. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.
Hasil Mendukung TB
Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI (2006), sebagaimana bisa
dilihat di bawah ini :
Bukan TBC,
Penyakit Lain
TB BTA Negatif Rontgen
Positif
Gambar 3
Alur Diagnosis TB paru
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan
b. Darah
pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah (LED)
mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali ke normal dan jumlah
limfosit masih tinggi, LED mulai turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain juga
didapatkan: anemia ringan dengan gambaran normokrom normositer, gama globulin meningkat,
dan kadar natrium darah menurun.3
c. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis TB terutama pada
anak-anak (balita). Sedangkan pada dewasa tes tuberkulin hanya untuk menyatakan apakah
seorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi M. tuberculosis atau Mycobacterium
patogen 3
Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D (Purified
Protein Derivative) secara intrakutan. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat.
Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang
terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen
tuberkulin.3
Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam (Bahar, 2007): a). Indurasi 0-5
mm (diameternya) : Mantoux negatif = golongan no sensitivity. Di sini peran antibodi humoral
paling menonjol. b). Indurasi 6-9 mm : Hasil meragukan = golongan normal sensitivity. Di sini
peran antibodi humoral masih menonjol. c). Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan
low grade sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang. d). Indurasi > 15 mm : Mantoux
positif kuat = golongan hypersensitivity. Di sini peran antibodi seluler paling menonjol.3
Biasanya hampir seluruh penderita TB paru memberikan reaksi mantoux yang positif (99,8%).
Kelemahan tes ini adalah adanya positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi dengan
Mycobacterium lain, negatif palsu pada pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis,
anergi, penyakit sistemik serta (Sarkoidosis, LE), penyakit eksantematous dengan panas yang
akut (morbili, cacar air, poliomielitis), reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit hodgkin,
pemberian obat imunosupresi, usia tua, malnutrisi, uremia, dan penyakit keganasan. Untuk pasien
dengan HIV positif, tes mantoux 5 mm, dinilai positif.1
Klasifikasi TB
Tipe penderita tuberkulosis berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu :3,4
a. Kasus baru
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b. Kambuh (relaps)
Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosa dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat
dengan pemeriksaan dahak BTA positif.
c. Pindahan (transfer in)
Pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan di suatu
kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan
tersebut harus membawa surat rujukan / pindah (form TB. 09).
d. Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out)
Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien yang sudah
berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang
kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif.
e. Gagal
Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif
pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau pada akhir
pengobatan. Atau penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif pada akhir bulan
kedua pengobatan.
f. Kasus kronis
Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan yang baik.
g. Tuberkulosis resistensi ganda
Tuberkulosis resistensi ganda adalah tuberkulosis yang menunjukkan resistensi
terhadap Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT lainnya (Depkes RI, 2006).
Pengobatan
Obat-obat TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat lapis pertama dan
obat lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke penghentian pertumbuhan basil,
pengurangan basil dormant dan pencegahan resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari
Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin. Obat-obatan lapis dua
mencakup Rifabutin, Ethionamid, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine,
Aminoglycosides di luar Streptomycin dan Quinolones. Obat lapis kedua ini dicadangkan untuk
pengobatan kasus-kasus multi drug resistance. Obat tuberkulosis yang aman diberikan pada
perempuan hamil adalah Isoniazid, Rifampisin, dan Etambutol 1,3,5
Tabel 1 Jenis dan Sifat OAT
Jenis OAT
Isoniazid
Sifat
Bakterisid
Keterangan
Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam
(H)
Terkuat
Rifampisin
Bakterisid
sedang
berkembang.
Mekanisme
adalah
menghambat
cell-wall
kerjanya
biosynthesis
pathway
Rifampisin dapat membunuh kuman semi-
(R)
polimerase
DNA-dependent
Bakterisid
(Z)
Streptomisin
Bakterisid
pengobatan.
obat ini adalah suatu antibiotik golongan
(S)
aminoglikosida
Etambutol
Bakteriostatik
dan
bekerja
mencegah
(E)
Paduan
Pasien TB
pengobatan
TB
TB
alternatif
Fase awal
Fase lanjutan
setiap hari
2
EHRZ
3 x seminggu
6 HE
(SHRZ)
4 HR
(SHRZ)
ekstra-pulmonal berat
(SHRZ)
EHRZ
EHRZ
4 H3 R3
II
III
2 SHRZE / 1
5 H3R3E3
pengobatan
gagal;
HRZE
5 HRE
pengobatan
setelah
terputus
HRZE
dahak
2H3R3Z3
negatif
(selain
dari
kategoriI);
kasus
baru
TB
ekstra-
pulmonal
IV
2 SHRZE / 1
yang
tidak
HRZ
HRZ
atau
6 HE
atau
2 HR/4H
atau
2 H3R3/4H
2H3R3Z3
2
HRZ
berat
Kasus
kronis
(dahak
2H3R3Z3
TIDAK DIPERGUNAKAN
masih
positif
setelah
menjalankan pengobatan
ulang)
Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program penanggulangan
tuberkulosis di Indonesia adalah 1,5
Kategori I : 2HRZE (S) / 6HE.
Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE (S) setiap hari selama 2 bulan obat
H, R, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif setelah 2 bulan diharapkan menjadi negatif, dan
kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan 4HR atau 4 H3 R3 atau 6 HE. Apabila sputum BTA masih
positif setelah 2 bulan, fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi tanpa melihat apakah
sputum sudah negatif atau tidak.
Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R dengan H, Z, E, setiap hari
selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila sputum BTA menjadi
negatif fase lanjutan bisa segera dimulai. Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-12,
fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih
positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan,
obat dilanjutkan memakai fase lanjutan, yaitu 5H3R3E3 atau 5 HRE.
Kategori III : 2HRZ/2H3R3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H 3R3, yang dilanjutkan dengan fase lanjutan
2HR atau 2 H3R3.
Kategori IV : Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur hidup
Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya harus dikultur dan
dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup diberikan H saja sesuai rekomendasi WHO atau
menggunakan pengobatan TB resistensi ganda (MDR-TB).
Selain 4 kategori di atas, disediakan juga paduan obat sisipan (HRZE).
Obat sisipan akan diberikan bila pasien tuberkulosis kategori I dan kategori II pada tahap
akhir intensif pengobatan (setelah melakukan pengobatan selama 2 minggu), hasil pemeriksaan
dahak/sputum masih BTA positif.
Dosis obat
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia secara harian maupun
berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien.1,5
Tabel 3 Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia
Jenis
Dosis
harian : 5mg/kg BB
intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu
harian = intermiten : 10 mg/kgBB
harian : 25mg/kg BB
intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu
Streptomisin (S)
Etambutol (E)
Isoniazid (H)
Rifampisin (R)
Pirazinamid (Z)
Ringan
tanda-tanda keracunan pada
Berat
Hepatitis, ikhterus
dan
gangguan
(pellagra)
kulit
dan
yang
kadang
disertai
purpura,
anemia
Pirazinamid (Z)
Reaksi
hipersensitifitas :
Hepatitis,
nyeri
sendi,
Streptomisin (S)
Reaksi
hipersensitifitas
berkaitan
keseimbangan
dengan
dan
pendengaran
Etambutol (E)
Gangguan
berupa
penglihatan
berkurangnya
ketajaman penglihatan
Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan pemeriksaan kontrol,
seperti: 1,6
a. Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol
b. Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin
c. Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin, darah perifer dan
asam urat (untuk pasien yang menggunakan Pirazinamid)
Hasil pengobatan
World Health Organization (1993) menjelaskan bahwa hasil pengobatan penderita
tuberkulosis paru dibedakan menjadi :5
a. Sembuh: bila pasien tuberkulosis kategori I dan II yang BTA nya negatif 2 kali atau
lebih secara berurutan pada sebulan sebelum akhir pengobatannya.
b. Pengobatan lengkap: pasien yang telah melakukan pengobatan sesuai jadwal yaitu
selama 6 bulan tanpa ada follow up laboratorium atau hanya 1 kali follow up dengan
hasil BTA negatif pada 2 bulan terakhir pengobatan.
c. Gagal: pasien tuberkulosis yang BTA-nya masih positif pada 2 bulan dan seterusnya
sebelum akhir pengobatan atau BTAnya masih positif pada akhir pengobatan.
Pasien putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dan BTA terkhir masih
positif.
Pasien tuberkulosis kategori II yang BTA menjadi positif pada bulan ke-2 dari
pengobatan.
d. Putus berobat/defaulter: pasien TB yang tidak kembali berobat lebih dari 2 bulan
sebelum bulan ke-5 dimana BTA terakhir telah negatif.
e. Meninggal: penderita TB yang meninggal selama pengobatan tanpa melihat sebab
kematiannya.
selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya
Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga
tuberculosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu yang lama yaitu
sputum BTA ulang positif, lesi konsodilasi, kavitasi dan lapang paru bawah pada gambaran
radiologi serta angka kematian yang lebih tinggi.
Kemudian Ali syahbana (dalam Cahyadi, 2011) juga menyatakan pasien TB dengan DM
mempunyai gejala klinis yang lebih banyak dan keadaan klinis yang lebih buruk.
Pengobatan TB dengan DM
Prinsip pengobatan pasien TB dengan DM serupa dengan penobatan pada pasien non DM
dengan syarat gula darah terkontrol. Yang menjadi perhatian pada pasien ini adalah efek samping
dari obat-obatan TB yang seharusnya dapat dicegah. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pada
pasien dengan pengobatan anti-diabetes sulfonilurea, karena obat-obatan TB dapat meningkatkan
metabolisme sulfonilurea sehingga apabila diberikan golongan sulfonilurea dosisnya dapat
ditingkatkan.
Kemudiaan perlu diketahui bahwa kadar rifampisin dalam plasma pasien TB dengan DM
hanya 50% dibandingkan dengan non DM sehingga dapat mendeskripsikan bahwa respon
pengobatan pasien TB dengan DM lebih rendah dibanding pasien non DM.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bahar A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi
IV. Jakarta : BPFKUI;988-994.
2. Daniel, M. Thomas. 1999. Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu penyakit dalam Edisi 13
Volume 2. Jakarta : EGC : 799-808
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.