Optima - Anak PDF
Optima - Anak PDF
Optima - Anak PDF
Yolina
J A K A R T A M E D A N
Jl padang no 5, Manggarai, Jakarta selatan Jl. SeKabudi no. 65 G, medan
T. 021 8317064 | BB. 5a999b9f/293868a2 T. 061 8229229 | BB. 24BF7CD2
WA. 081380385694/081314412212 w w w . o p t I m a p r e p . c o m
NEONATOLOGI
NEWBORN & APGAR
Newborn Baby
USIA GESTASI BERAT BADAN
• Neonatus Kurang Bulan (Pre-term
infant) : Usia gestasi < 37 minggu • BBL “rendah”: berat badan <
• Neonatus Lebih Bulan (Post-term 2500
infant) : Usia gestasi ≥ 42 minggu • BBL “sangat rendah” : berat
• Neonatus Cukup Bulan (Term-infant) : badan bayi baru lahir kurang
Usia gestasi 37 s/d 41
dari 1500 gram.
BERAT LAHIR BERDASARKAN USIA GESTASI • BBL “sangat-sangat rendah” :
• Small for GestaKonal Age (SGA, Kecil berat badan bayi baru lahir
Masa Kehamilan) : Berat lahir dibawah kurang dari 1000 gram.
2SD / persenKl 10th dari populasi usia
gestasi yang sama
• Large for GestaKonal Age (LGA, Besar
Masa Kehamilan) : Berat lahir diatas
persenKl 90 untuk populasi usia gestasi
yang sama
• Appropriate for GestaKonal Age (Sesuai
Masa Kehamilan) : Diantaranya
The Fetus and the Neonatal Infant. Nelson
Textbook of Pediatrics 17th ed
Lubchenco Intrauterine Growth Curve
hfp://en.wikipedia.org/wiki/Perinatal_asphyxia
Asfiksia Neonatal
Mathai SS. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI 2007; 63: 269-72.
HMD
• gangguan pernapasan yang disebabkan imaturitas paru dan
defisiensi surfaktan, terutama terjadi pada neonatus usia
gestasi<34 minggu atau berat lahir <1500 gram
• Gejala Klinis
– Sesak, merinKh, takipnea, retraksi interkostal dan
subkostal, napas cuping hidung, dan sianosis yang terjadi
dalam beberapa jam pertama kehidupan.
– Bila gejala Kdak Kmbul dalam 8 jam pertama kehidupan,
adanya PMH dapat disingkirkan.
• Lung immaturity à salah satu penyebab Chronic Lung Disease
(bronchopulmonary dysplasia)
• Penyakit membran hialin RESPIRATORY DISTRESS
(PMH) merupakan gangguan SYNDROME (Hyaline
pernapasan yang disebabkan membrane disease)
imaturitas paru dan defisiensi
surfaktan, terutama terjadi
pada neonatus usia gestasi <34
minggu atau berat lahir <1500
gram
• EKology:
– Defisiensi surfaktan (produksi
dan sekresi menurun)
• Surfactant
– Berperan untuk pengembangan
alveolus
– Komposis utama surfaktan :
• dipalmitoyl phosphaKdylcholine
(lecithin)
• PhosphaKdylglycerol
• apoproteins (surfactant proteins
SP-A, -B, -C, -D)
• Cholesterol
Derajat I, Bercak retikulogranuler dengan air Derajat II, Bercak retikulogranular menyeluruh dengan
bronchogram air bronchogram
Derajat III, Opasitas lebih jelas, dengan Derajat IV, Seluruh lapangan paru terlihat putih (opak),
airbronchogram lebih jelas meluas kecabang di Tidak tampak airbronchogram, jantung tak terlihat,
perifer. Gambaran jantung menjadi kabur. disebut juga “White lung”
Sindroma Aspirasi Mekonium
(a) Fuzzy vessel, fisura interlobaris terisi cairan; (b) densitas bergaris divergen di medial
dengan sedikit efusi kanan. Gambaran paru membaik dalam waktu yang cepat sejalan
dengan perbaikan klinis.
Transient Tachypnea of Newborn
(a) Fuzzy vessel, fisura interlobaris terisi cairan; (b) densitas bergaris divergen di medial
dengan sedikit efusi kanan. Gambaran paru membaik dalam waktu yang cepat sejalan
dengan perbaikan klinis.
Pneumonia Neonatal
• Terjadinya sindrom gagal napas akibat
komplikasi korioamnioniKs jika terjadi saat
lahir ataupun karena infeksi nosokomial jika
terjadi setelah lahir
• Gejala klinis akan tampak pus cells dan bakteri
pada cairan lambung
• Ro thoraks akan tampak daerah paru yang
kolaps dan konsolidasi
• Tatalaksana : SuporKf dan anKbioKka
Pneumonia neonatal
Infiltrat inhomogen pada lapang paru kanan atas. Bila terjadi dalam 72 jam
pertama kehidupan, pneumonia neonatal perlu dipikirkan.
Distres Pernapasan pada Neonatus
KELAINAN GEJALA
Biasanya pada bayi matur, pertumbuhan janin terhambat, terdapat
Sindrom aspirasi staining mekonium di cairan amnion dan kulit, kuku, atau tali pusar.
mekonium Pada radiologi tampak air trapping dan hiperinflasi paru, patchy
opacity, terkadang atelektasis.
Pada bayi prematur, pada bayi dengan ibu DM atau kelahiran SC,
Respiratory distress
gejala muncul progresif segera setelah lahir. Pada radiologi tampak
syndrome (penyakit
gambaran diffuse “ground-glass” or finely granular appearance, air
membran hyalin)
bronkogram, ekspansi paru jelek.
Biasanya pada bayi matur dengan riwayat SC. Gejala muncul setelah
Transient tachypnea of lahir, kemudian membaik dalam 72 jam pasca lahir. Pada radiologi
newboorn tampak peningkatan corakan perihilar, hiperinflasi, lapangan paru
perifer bersih.
Asfiksia perinatal
Asidemia pada arteri umbilikal, Apgar score sangat rendah, terdapat
(hypoxic ischemic
kelainan neurologis, keterlibatan mulKorgan
encephalopathy)
RESUSITASI NEONATUS
Resusitasi
Neonatus
Teknik VenKlasi dan Kompresi
Kafwinkel, John et al. Part 15: Neonatal ResuscitaKon: 2010 American Heart AssociaKon Guidelines for Cardiopulmonary ResuscitaKon and
Emergency Cardiovascular Care. Circula)on. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Pemberian Oksigen
• Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai
resusitasi dengan udara atau oksigen campuran
(blended oxygen) dan dilakukan Ktrasi konsentrasi
oksigen untuk mencapai SpO2 sesuai target.
• Jika oksigen campuran _dak tersedia, resusitasi dimulai
dengan udara kamar.
• Jika bayi bradikardia (kurang dari 60 per menit) setelah
90 deKk resusitasi dengan oksigen konsentrasi rendah,
konsentrasi oksigen diKngkatkan sampai 100% hingga
didapatkan frekuensi denyut jantung normal.
VTP
• Peralatan yang digunakan untuk VTP adalah:
– Self inflaKng bag (balon mengembang sendiri)
– Flow inflaKng bag (balon Kdak mengembang sendiri)
– T-piece resuscitator
• Dalam 30 deKk dilakukan VTP 20-30 kali,
mengikuK pernafasan bayi 40-60x/menit
• Pada permulaan resusitasi, oksigen Kdak
dibutuhkan secara ruKn. Namun bila terjadi
sianosis selama resusitasi à boleh ditambahkan
oksigen
Teknik VenKlasi dan Kompresi
• Kompresi dada
• Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60
per menit setelah venKlasi adekuat dengan oksigen selama 30 deKk.
Untuk neonatus, rasio kompresi: venKlasi = 3:1 (1/2 deKk untuk masing-
masing).
• Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus dinilai secara
periodik dan kompresi – venKlasi tetap dilakukan sampai frekuensi denyut
jantung sama atau lebih dari 60 per menit.
• Kompresi dada dilakukan pada 1/3 bawah sternum dengan kedalaman 1/3
dari diameter antero-posterior dada.
• Teknik kompresi: (1) teknik kompresi dua ibu jari dengan jari-jari
melingkari dada dan menyokong bagian punggung, (2) teknik kompresi
dengan dua jari dimana tangan lain menahan bagian punggung
• Pada kompresi, dada harus dapat berekspansi penuh sebelum kompresi
berikutnya, namun jari yang melakukan kompresi Kdak boleh
meninggalkan posisi di dada.
Kafwinkel, John et al. Part 15: Neonatal ResuscitaKon: 2010 American Heart AssociaKon Guidelines for Cardiopulmonary ResuscitaKon and
Emergency Cardiovascular Care. Circula)on. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Indicator of Successful ResuscitaKon
• A prompt increase in heart rate remains the most sensiKve
indicator of resuscitaKon efficacy (LOE 55).
• Of the clinical assessments, auscultaKon of the heart is the most
accurate, with palpaKon of the umbilical cord less so.
• There is clear evidence that an increase in oxygenaKon and
improvement in color may take many minutes to achieve, even in
uncompromised babies.
• Furthermore, there is increasing evidence that exposure of the
newly born to hyperoxia is detrimental to many organs at a cellular
and funcKonal level.
• For this reason color has been removed as an indicator of
oxygenaKon or resuscitaKon efficacy.
• RespiraKons, heart rate, and oxygenaKon should be reassessed
periodically, and coordinated chest compressions and venKlaKons
should conKnue unKl the spontaneous heart rate is ︎60 per minute
Kafwinkel, John et al. Part 15: Neonatal ResuscitaKon: 2010 American Heart AssociaKon Guidelines for Cardiopulmonary ResuscitaKon and
Emergency Cardiovascular Care. Circula)on. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Kapan menghenKkan resusitasi?
• Pada bayi baru lahir tanpa adanya denyut
jantung, dianggap layak untuk menghenKkan
resusitasi jika detak jantung tetap Kdak
terdeteksi setelah dilakukan resusitasi selama 10
menit (kelas IIb, LOE C).
• Keputusan untuk tetap meneruskan usaha
resusitasi bisa diperKmbangkan setelah
memperhaKkan beberapa faktor seperK eKologi
dari henK hantung pasien, usia gestasi, adanya
komplikasi, dan perKmbangan dari orangtua
mengenai risiko morbiditas.
Kafwinkel, John et al. Part 15: Neonatal ResuscitaKon: 2010 American Heart AssociaKon Guidelines for Cardiopulmonary ResuscitaKon and
Emergency Cardiovascular Care. Circula)on. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
SEPSIS NEONATORUM
Sepsis Neonatorum
• Merupakan sindrom klinis penyakit sistemik akibat infeksi yang terjadi
pada 1 bulan pertama kehidupan
– Early onset sepsis (onset< 72 jam)
Faktor risiko: Ibu dengan infeksi rahim (korioamnioniKs), ketuban pecah dini, riwayat persalinan
Kdak higienis. 85% kasus neonatus terjadi pada early onset.
– Late onset sepsis (onset > 72 jam)
Ditemukan fokus infeksi yang Kdak berhubungan dengan proses melahirkan. Sering disertai dengan
meningiKs. EKologi pada late onset: Stafilokokus koagulase negaKf, S. Aureus, E. Coli, Klebsiella,
Pseudomonas, Enterboacter, Candida, SerraKa, Acinetobacter, Anaerob, GBS
– Sepsis nosokomial
Ditemukan pada bayi yang dirawat, berhubungan dengan penggunaan alat-alat di RS
• EKologi tersering (pada early onset)
– Group B streptococcus (GBS)
– E. Coli
– Stafilokokus koagulase negaKf
– H. inluenza
– L. monocytogenes
hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/978352-overview
Sepsis Neonatorum
• InternaKonal Pediatric Sepsis Consensus Conference 2005:
Sepsis adalah systemic inflammatory rensponse syndrome
(SIRS) + infeksi.
• Kriteria SIRS (2 dari 4):
– Suhu tubuh > 38,5°C atau < 36°C
– Takikardia, didefinisikan sebagai rata-rata frekuensi denyut
jantung > 2 SD atau diatas nilai normal menurut umur
– Frekuensi pernafasan > 2 SD menurut umur
– Leukositosis atau leukopenia berdasarkan umur atau
ditemukannya > 10% netrofil imatur
• Sepsis berat: sepsis disertai kegagalan organ atau
hipoperfusi
• Syok sepsis: sepsis disertai kegagalan organ kardiovaskular
Sepsis Neonatorum
• Anamnesis • Pemeriksaan fisis
– Riwayat ibu dengan infeksi – Suhu tubuh abnormal (sering
intrauterin (demam, ketuban hipotermia)
pecah dini >18 jam, air ketuban – Letargi, mengantuk, akKvitas
keruh) berkurang
– Riwayat persalinan, penolong – Malas minum
persalinan, lingkungan persalinan
yang Kdak higienis – Iritabel atau rewel
– Riwayat lahir asfiksia berat, BBLR, – Perburukan cepat
prematur – Muntah, diare, perut kembung,
– Riwayat bayi malas minum hepatomegali (muncul pada hari
ke-4)
– Perfusi kurang, sianosis, petekia,
ikterik
– Takipnea, distres nafas (NCH,
merinKh, retraksi), takikardia,
hipotensi
– Penurunan kesadaran, kejang,
ubun-ubun menonjol
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium
– DPL, leukosit, diff count, • Radiologis
CRP Foto thoraks (bila ada distress
– Kultur darah, kultur urin nafas), hasil:
– Uji resistensi – Pneumonia kongenitalà
konsolidasi bilateral atau
– AGD efusi pleura
– Kadar bilirubin meningkat – Pneumonia krn infeksi
• Pungsi lumbalà periksa intrapartumà infiltrasi dan
cairan CSF destruksi jaringan
bronkopulmoner, atelektasis
segmental, gambaran
reKkulogranular difus (spt
pada HMD)
– Pneumonia krn infeksi
pascanatalà sesuai pola
kuman setempat
Sepsis Neonatal. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. 2009.
Tatalaksana
• AnKbioKk
o Neonatus dengan kecurigaan sepsisà segera langsung diberikan anKbioKk
o Pilihan anKbioKk empirik: ampisilin + gentamisin.
o Bila organisme Kdak dapat ditemukan dan bayi tetap menunjukkan tanda
infeksi setelah > 48 jam à cefotaksim+gentamisin
o Pada sepsis nosokomialà anKbioKk disesuaikan dengan pola kuman. Bila
disertai dengan meningiKs, anKbioKk dosis meningiKs diberikan selama 14 hari
(kuman gram +) dan 21 hari (kuman gram -)
• Jaga patensi jalan nafas dan berikan oksigen, bila perlu pasang
venKlator mekanik
• Pasang iv line, beri cairan maintenance
– Pantau TD dan perfusi jaringan
– Bila ada gangguan perfusià berikan volume ekspander (NaCl, darah, albumin,
tergantung kebutuhan) 10cc/kg dalam 30 menit, dapat diulang 1-2 kali
– Inotropik agent (dopamin atau dobutamin)
hfp://pediatrics.aappublicaKons.org/content/pediatrics/129/5/1006.full.pdf
IKTERUS NEONATORUM
Ikterus Neonatorum
• Ikterus neonatorum: fisiologis vs non fisiologis.
• Ikterus fisiologis:
– Awitan terjadi setelah 24 jam
– Memuncak dalam 3-5 hari, menurun dalam 7 hari (pada NCB)
– Ikterus fisiologis berlebihan → keKka bilirubin serum puncak adalah 7-15 mg/
dl pada NCB
• Ikterus non fisiologis:
– Awitan terjadi sebelum usia 24 jam
– Tingkat kenaikan > 0,5 mg/dl/jam
– Tingkat cutoff > 15 mg/dl pada NCB
– Ikterus bertahan > 8 hari pada NCB, > 14 hari pada NKB
– Tanda penyakit lain
• Gangguan obstrukKf menyebabkan hiperbilirubinemia direk. Ditandai
bilirubin direk > 1 mg/dl jika bil tot <5 mg/dl atau bil direk >20% dr total
bilirubin. Penyebab: kolestasis, atresia bilier, kista duktus koledokus.
AAP, 2004
3. Panduan transfusi tukar
AAP, 2004
Ikterus yang Berhubungan dengan ASI
(Fisiologis)
Breast Feeding Jaundice (BFJ) Breast Milk Jaundice (BMJ)
• Disebabkan oleh kurangnya asupan • Berhubungan dengan pemberian
ASI sehingga sirkulasi enterohepaKk ASI dari ibu tertentu dan
meningkat (pada hari ke-2 atau 3 saat bergantung pada kemampuan
ASI belum banyak)
bayi mengkonjugasi bilirubin
indirek
• Timbul pada hari ke-2 atau ke-3 • Kadar bilirubin meningkat pada
• Penyebab: asupan ASI kurang à hari 4-7
cairan & kalori kurang à penurunan • Dapat berlangsung 3-12 minggu
frekuensi gerakan usus à ekskresi tanpa penyabab ikterus lainnya
bilirubin menurun • Penyebab: 3 hipotesis
– Inhibisi glukuronil transferase oleh
hasil metabolisme progesteron
yang ada dalam ASI
– Inhibisi glukuronil transferase oleh
asam lemak bebas
– Peningkatan sirkulasi
enterohepaKk
Indikator BFJ BMJ
Awitan Usia 2-5 hari Usia 5-10 hari
Lama 10 hari >30 hari
Volume ASI asupan ASI kurang à cairan & Tidak tergantung dari volume ASI
kalori kurang à penurunan
frekuensi gerakan usus à
ekskresi bilirubin menurun
BAB Tertunda atau jarang Normal
Kadar Bilirubin TerKnggi 15 mg/dl Bisa mencapai >20 mg/dl
Pengobatan Tidak ada, sangat jarang Fototerapi, HenKkan ASI jika kadar
fototerapi Teruskan ASI bilirubin > 16 mg/dl selama lebih
disertai monitor dan evaluasi dari 24 jam (untuk diagnosKk)
pemberian ASI AAP merekomendasikan
pemberian ASI terus menerus dan
Kdak menghenKkan
Gartner & Auerbach
merekomendasikan penghenKan
ASI pada sebagian kasus
• For healthy term infants with breast milk or breasyeeding
jaundice and with bilirubin levels of 12 mg/dL to 17 mg/dL, the
following opKons are acceptable: Increase breasyeeding to 8-12
Kmes per day and recheck the serum bilirubin level in 12-24
hours.
• Temporary interrupKon of breasyeeding is rarely needed and is
not recommended unless serum bilirubin levels reach 20 mg/dL.
• For infants with serum bilirubin levels from 17-25 mg/dL, add
phototherapy to any of the previously stated treatment opKons.
• The most rapid way to reduce the bilirubin level is to interrupt
breasyeeding for 24 hours, feed with formula, and use
phototherapy; however, in most infants, interrupKng
breasyeeding is not necessary or advisable
PENYAKIT KETERANGAN
hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/797150
Tatalaksana
• Jika sang ibu hamil Rh – dan belum tersensiKsasi,
berikan human anK-D immunoglobulin (Rh IgG atau
RhoGAM)
• Jika sang ibu sudah tersensiKsasi, pemberian Rh IgG
Kdak berguna
• Jika bayi telah lahir dan mengalami inkompaKbilitas,
transfusi tukar/ foto terapi tergantung dari kadar
bilirubin serum, rendahnya Ht, dan naiknya
reKculocyte count
hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/797150
Inkompa_bilitas ABO
• Terjadi pada ibu dengan • Gejala yang Kmbul adalah
golongan darah O terhadap ikterik, anemia ringan, dan
janin dengan golongan peningkatan bilirubin
darah A atau B serum.
• Tidak terjadi pada ibu gol A • Lebih sering terjadi pada
dan B karena anKbodi yg bayi dengan gol darah A
terbentuk adalah IgM yg tdk dibanding B, tetapi
melewaK plasenta, hemolisis pada gol darah
sedangkan 1% ibu gol darah Kpe B biasanya lebih berat.
O yang memiliki Kter • InkompaKbilitas ABO jarang
anKbody IgG terhadap sekali menimbulkan hidrops
anKgen A dan B, bisa fetalis dan biasanya Kdak
melewaK plasenta separah inkompaKbilitas Rh
Kenapa Inkompa_bilitas ABO _dak separah
Inkompa_bilitas Rh?
hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/797150
Tatalaksana Umum Hemoly_c Disease
of Neonates
• In infants with hyperbilirubinemia due to alloimmune HDN, monitoring serum
bilirubin levels, oral hydra_on, and phototherapy are the mainstays of
management.
• For infants who do not respond to these convenKonal measures, intravenous fluid
supplementaKon and/or exchange transfusion may be necessary to treat
hyperbilirubinemia. Intravenous immunoglobulin (IVIG) also may be useful in
reducing the need for exchange transfusion.
• Phototherapy — Phototherapy is the most commonly used intervenKon to treat
and prevent severe hyperbilirubinemia. It is an effecKve and safe intervenKon. The
AAP has developed guidelines for the iniKaKon and disconKnuaKon of
phototherapy based upon total serum bilirubin (TSB) values at specific hourly age
of the paKent, gestaKonal age, and the presence or absence of risk factors for
hyperbilirubinemia including alloimmune HDN
• Hydra_on — Phototherapy increases insensible skin losses and as a result the
fluid requirements of infants undergoing phototherapy are increased. In addiKon,
by-products of phototherapy are eliminated in the urine. If oral hydraKon is
inadequate, intravenous hydraKon may be necessary.
• Exchange transfusion — Exchange transfusion is used to treat severe anemia, as
previously discussed, and severe hyperbilirubinemia. Exchange transfusion
removes serum bilirubin and decreases hemolysis by the removal of anKbody-
coated neonatal RBCs and unbound maternal anKbody.
INKOMPATIBILITAS ABO INKOMPATIBILITAS RH
Tidak memerlukan proses sensiKsasi Butuh proses sensiKsasi oleh kehamilan RH +
oleh kehamilan pertama karena sdh pertama karena ibu blm punya anKbodi.
terbentuk IgG. Dapat terjadi pada Terjadi pada anak ke dua atau lebih
anak 1
InkompaKbilitas ABO jarang sekali
Gejala biasanya lebih parah jika
menimbulkan hidrops fetalis dan
dibandingkan dengan inkompaKbilotas ABO,
biasanya Kdak separah
bahkan hingga hidrops fetalis
inkompaKbilitas Rh
Risiko dan derajat keparahan meningkat
seiring dengan kehamilan janin Rh (+)
Risiko dan derajat keparahan Kdak berikutnya, kehamilan kedua menghasilkan
meningkat di anak selanjutnya bayi dengan anemia ringan, sedangkan
kehamilan keKga dan selanjutnya bisa
meninggal in utero
OBSTRUKSI
Urin warna
teh
Feses warna
Tidak ada bilirubin direk yg menuju usus
Dempul
Kolestasis (Cholesta_c Liver Disease)
• Definisi : Keadaan bilirubin direk > 1 mg/dl bila bilirubin total < 5
mg/dl, atau bilirubin direk >20% dari bilirubin total bila kadar
bil.total >5 mg/dl
• Kolestasis : Hepatoselular (Sindrom hepaKKs neonatal) vs
ObstrukKf (Kolestasis ekstrahepaKk)
• Sign and Symptom : Jaundice, dark urine and pale stools,
nonspecific poor feeding and sleep disturbances, bleeding and
bruising, seizures
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang
Atresia Bilier
• Merupakan penyebab kolestasis tersering dan serius pada bayi yang
terjadi pada 1 per 10.000 kelahiran
• Ditandai dengan adanya obstruksi total aliran empedu karena destruksi
atau hilangnya sebagian atau seluruh duktus biliaris. Merupakan proses
yang bertahap dengan inflamasi progresif dan obliterasi fibroKk saluran
bilier
• EKologi masih belum diketahui
• Tipe embrional 20% dari seluruh kasus atresia bilier,
– sering muncul bersama anomali kongenital lain seperK polisplenia, vena porta
preduodenum, situs inversus dan juga malrotasi usus.
– Ikterus dan feses akolik sudah Kmbul pada 3 minggu pertama kehidupan
• Kpe perinatal/postnatal yang dijumpai pada 80% dari seluruh kasus atresia
bilier, ikterus dan feses akolik baru muncul pada minggu ke-2 sampai
minggu ke-4 kehidupan.
Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Dept IKA RSCM. 2007
Biliary Atresia Type
Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Dept IKA RSCM. 2007
Triangular Cord Sign in USG
• The triangular cord sign is a triangular or tubular
echogenic cord of fibrous Kssue seen in the porta
hepaKs at ultrasonography and is relaKvely specific in
the diagnosis of biliary atresia.
• This procedure is not usually curaKve, but ideally does buy Kme unKl the child
can achieve growth and undergo liver transplanta_on
Congenital HD
AcyanoKc CyanoKc
Common lesions:
Tricuspid atresia, ToF, single ventricle with pulmonary stenosis
increased
myocardial
contracKlity +
infundibular
KEMATIAN
stenosis. Right-to-le€ shunt meningkat
TET SPELL
HYPERCYANOTIC SPELL SKmulasi pusat pernapasan di
reseptor karoKs + nucleus hiperpnoea
batang otak
Tatalaksana Tet Spell
• Knee chest posiKon/ squa{ng
– Diharapkan aliran darah paru bertambah karena
peningkatan resistensi vaskular sistemik dan a€erload
aorta akibat penekukan arteri femoralis
• Morfin sulfat 0,1-0,2 mg/kgBB SC, IM, atau IV
untuk menekan pusat pernapasan dan mengatasi
takipnea
• Natrium bikarbonat 1 mEq/kgBB IV untuk
mengatasi asidosis. Dosis yang sama dapat
diulang dalam 10-15 menit.
Fluid leaks into the intersKKal space & Pulmonary edema, tachypnea, chest
alveoly retracKon, wheezing
Flow across the septal defect doesn’t produce murmur because the pressure gap
between LA & RA is not significant
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings
Palmar eritema
Plantar eritema
Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease, AHA 2017
Diagnosis Kawasaki Disease
Based on Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management
of Kawasaki Disease 2017
§ edema
§ rambut kemerahan, mudah
dicabut
§ kurang ak_f, rewel/cengeng
§ pengurusan otot
§ Kelainan kulit berupa bercak
merah muda yg meluas &
berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
Marasmik-kwashiorkor
• Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan
kwashiorkor secara bersamaan
Kriteria Gizi Kurang dan Gizi Buruk
• Z-score → menggunakan • BB/IBW (Ideal Body Weight)
kurva WHO weight-for- → menggunakan kurva CDC
height • ≥80-90% ⇒ mild
• <-2 – moderate wasted malnutriKon
• <-3 – severe wasted è gizi • ≥70-80% ⇒ moderate
buruk malnutriKon
• ≤70% ⇒ severe
• Lingkar Lengan Atas < 11,5 malnutriKon è Gizi Buruk
cm
Kwashiorkor
Protein ê
Serum Albumin ê
Edema
Marasmus
Karbohidrat ê
Lemak subkutan ê
• Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3
bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2,
dan 15.
PEDIATRIK
SOSIAL
IMUNISASI
Jadwal Imunisasi Anak Umur 0 – 18 tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Tahun 2014
Umur pemberian vaksin
Jenis vaksin Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3
Polio 0 1 2 3 4 5
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td) 7(Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3
Influenza Ulangan 1 kali tiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan tiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6-12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 3 kali
Keterangan 6. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali
Cara membaca kolom umur: misal 2 berarti umur 2 bulan (60 hari) sd 2 bulan 29 hari (89 hari) dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali, namun keduanya perlu
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januari 2014 dan dapat diakses pada website IDAI (http:// booster 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada
idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
7. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14 minggu, dosis ke-2
1. Vaksin hepatitis B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin rotavirus monovalen selesai
pemberian suntikan vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin hepatitis B diberikan sebelum umur 16 minggu dan tidak melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus
dan imunoglobulin hepatitis B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Vaksinasi hepatitis B pentavalen : dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2 dan ke-3, 4-10 minggu;
selanjutnya dapat menggunakan vaksin hepatitis B monovalen atau vaksin kombinasi. dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32 minggu (interval minimal 4 minggu).
2. Vaksin polio. Pada saat lahir atau pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral 8. Vaksin varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur
(OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat diberikan vaksin sebelum masuk sekolah dasar. Apabila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun, perlu 2 dosis
OPV atau IPV, namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV. dengan interval minimal 4 minggu.
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, optimal umur 2 bulan. Apabila 9. Vaksin influenza. Vaksin influenza diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang setiap tahun.
diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunization) pada anak umur kurang dari 9 tahun
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat diberikan diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6 - < 36 bulan, dosis 0,25 mL.
vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun 10. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur 10 tahun. Vaksin
diberikan vaksin Td, dibooster setiap 10 tahun. HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan
5. Vaksin campak. Vaksin campak kedua tidak perlu diberikan pada umur 24 bulan, apabila MMR interval 0,2,6 bulan.
sudah diberikan pada 15 bulan.
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tdap) 7 (Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau 3 kalib
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 bulan
Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertama tidak diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertama tidak diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksin influenza. Vaksin influenza diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang setiap tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunization) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
1. Vaksin hepatitis B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatitis B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
Cara membaca kolom usia: misal 2 berarK usia 2 bulan (60 hari) s.d 2 bulan 29 hari (89 hari)
aVaksin rotavirus monovalen Kdak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan)
bApabila diberikan pada remaja 10-13 tahun pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12
Plus2 : HiB
Note: Huruf kapital = pediatric dose, huruf kecil = adult dose
Vaksin Pertusis
• Vaksin pertussis whole cell: • Kejadian ikutan pasca imunisasi
merupakan suspensi kuman B. DTP
pertussis maK. – Reaksi lokal kemerahan, bengkak,
• Vaksin pertusis aselular adalah dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi
pada separuh (42,9%) penerima
vaksin pertusis yang berisi DTP.
komponen spesifik toksin dari
– Demam
Bordefellapertusis.
– Anak gelisah dan menangis terus
• Vaksin pertussis aselular bila menerus selama beberapa jam
dibandingkan dengan whole-cell pasca sunKkan (inconsolable
ternyata memberikan reaksi lokal crying).
dan demam yang lebih ringan, – Kejang demam
diduga akibat dikeluarkannya – ensefalopaK akut atau reaksi
komponen endotoksin dan anafilaksis
debris.
Vaksin Pertusis
• Kontraindikasi mutlak • Keadaan lain dapat
terhadap pemberian vaksin dinyatakan sebagai
pertusis baik whole-cell perhaKan khusus
maupun aselular, yaitu (precau)on):
– Riwayat anafilaksis pada – bila pada pemberian pertama
pemberian vaksin dijumpai riwayat
sebelumnya hiperpireksia, keadaan
– EnsefalopaK sesudah hipotonik-hiporesponsif
pemberian vaksin pertusis dalam 48 jam, anak menangis
sebelumnya terus menerus selama 3 jam
dan riwayat kejang dalam 3
hari sesudah imunisasi DTP.
•
KONTRAINDIKASI IMUNISASI
• Berlaku umum untuk semua vaksin
Indikasi Kontra BUKAN Indikasi Kontra
• Reaksi anafilaksis terhadap • Reaksi lokal ringan-sedang (sakit,
vaksin (indikasi kontra kemerahan, bengkak) sesudah sunKkan
pemberian vaksin tersebut vaksin
berikutnya) • Demam ringan atau sedang pasca vaksinasi
• Reaksi anafilaksis terhadap sebelumnya
konsKtuen vaksin • Sakit akut ringan dengan atau tanpa demam
• Sakit sedang atau berat, dengan ringan
atau tanpa demam • Sedang mendapat terapi anKbioKk
• Masa konvalesen suatu penyakit
• Prematuritas
• Terpajan terhadap suatu penyakit menular
• Riwayat alergi, atau alergi dalam keluarga
• Kehamilan Ibu
• Penghuni rumah lainnya Kdak divaksinasi
Pedoman Imunisasi di Indonesia. Satgas Imunisasi – IDAI. 2008
PerKmbangan Pemberian Imunisasi
• Kontra indikasi absolut imunisasi adalah defisiensi imun dan pernah
menderita syok anafilaksis pada imunisasi terdahulu. Sedangkan
demam Knggi atau sedang dirawat karena penyakit berat
merupakan kontra indikasi sementara, sehingga anak tetap harus
diimunisasi apabila telah sembuh.
• Bila anak sedang batuk pilek tanpa demam, anak tetap BOLEH
mendapat imunisasi polio oral. Bila anak sedang demam atau sakit
berat lainnya, maka imunisasi polio oral DITUNDA.
• Pengurangan dosis imunisasi menjadi setengahnya, atau membagi
dosis sangat Kdak dibenarkan.
• Apabila anak sedang minum obat prednison 2 mg/kgbb/hari,
dianjurkan menunda imunisasi 1 bulan setelah selesai pengobatan.
Idai.or.id
PerKmbangan Pemberian Imunisasi
• Pada bayi prematur, vaksin polio sebaiknya diberikan
sesudah bayi prematur berumur 2 bulan atau berat
badan sudah > 2000 gram, demikian pula DPT,
hepaKKs B dan Hib.
• Apabila bayi / anak sudah pernah sakit campak, rubela
atau batuk rejan, imunisasi boleh dilakukan untuk
penyakit-penyakit tersebut.
• Vaksinasi bayi / anak dengan riwayat pernah sakit
campak akan meningkatkan kekebalan dan Kdak
menimbulkan risiko. Diagnosis campak dan rubella
tanpa konfirmasi laboratorium sangat Kdak dapat
dipercaya.
Imunisasi pada Anak dengan Ibu
Penderita Hepa__s B
• Tujuan utama imunisasi hepaKKs B (HB) ialah untuk
mencegah terjadinya hepaKKs kronik serta karier dan
bukan untuk menyembuhkan hepaKKs akut atau
infeksi oleh virus HB (VHB)
• Indonesia adalah negara dengan angka prevalensi HB
berkisar antara 5 – 20 % à endemisitas sedang sampai
Knggi
• Transmisi verKkal HB 48 % à imunisasi harus diberikan
segera setelah lahir
• Dosis dan jadwal imunisasi HB diberikan berdasarkan
status HBsAg ibu
Bayi lahir dari ibu dengan
status HBsAg yang _dak Bayi lahir dari ibu dengan
diketahui : HBsAg posi_f:
• Diberikan vaksin rekombinan • Dalam waktu 12 jam setelah
(10 mg) secara
intramuskular, dalam waktu lahir, secara bersamaan
12 jam sejak lahir. diberikan 0,5 ml HBIG dan
• Dosis ke dua diberikan pada vaksin rekombinan secara
umur 1-2 bulan dan dosis ke intramuskular di sisi tubuh
Kga pada umur 6 bulan. yang berlainan.
• Apabila pada pemeriksaan
selanjutnya diketahui HbsAg
• Dosis ke dua diberikan 1-2
ibu posiKf, segera berikan 0,5 bulan sesudahnya, dan
ml imunoglobulin anK dosis ke Kga diberikan pada
hepaKKs (HBIG) (sebelum usia 6 bulan
usia 1 minggu).
• Bayi prematur, termasuk bayi berat lahir rendah, tetap dianjurkan
untuk diberikan imunisasi, sesuai dengan umur kronologisnya
dengan dosis dan jadwal yang sama dengan bayi cukup bulan
Vaksin BCG (Bacille CalmeKe-Guerin)
2/27/18 200
NEUROPEDIATRI
KEJANG DEMAM DAN TATALAKSANA
KEJANG AKUT PADA ANAK
Kejang demam
• Kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh diatas 38 C yang
TIDAK disebabkan oleh proses intrakranial
• Mayoritas terjadi pada hari pertama sakit
• Bukan disebabkan infeksi SSP, gangguan metabolik, Kdak pernah
ada riwayat kejang tanpa demam.
• Usia antara 6 bulan – 5 tahun, mayoritas usia 12-18 bulan.
• Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang
demam, namun jarang sekali.
• Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului
demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf
pusat.
• Bayi berusia kurang dari 1 bulan Kdak termasuk dalam rekomendasi
ini melainkan termasuk dalam kejang neonatus
Rekomendasi Kejang Demam. 2016. IDAI
Klasifikasi
• Indikasi EEG
– Pemeriksaan EEG Kdak diperlukan untuk kejang demam, KECUALI
apabila bangkitan bersifat fokal untuk menentukan adanya fokus
kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
Faktor resiko berulangnya KD
• Faktor risiko :
– Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga
– Usia kurang dari 12 bulan
– Suhu tubuh kurang dari 39oC saat kejang
– Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan
terjadinya kejang.
– Apabila kejang demam pertama merupakan kejang
demam kompleks.
• Semua faktor risiko ada, kemungkinan berulang 80%
• Tidak ada faktor risiko kemungkinan berulang 10-15%
Tatalaksana
• Saat kejang : algoritme tatalaksana kejang akut dan SE
• Setelah kejang berhen_ :
– Profilaksis atau Kdak
– Profilaksis intermiten atau konKnyu
• An_pire_k:
– Tidak mengurangi risiko berulangnya kejang
– Memberikan rasa nyaman bagi pasien
– Mengurangi kekhawaKran orangtua
– Kesimpulan: dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa
anKpireKk tetap dapat diberikan.
– Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan
Kap 4-6 jam.
– Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
Tatalaksana Saat Kejang
• Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4
menit) dan pada waktu pasien datang, kejang sudah
berhenK.
• Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang,
obat yang paling cepat untuk menghenKkan kejang
adalah diazepam intravena.
• Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg
perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau
dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
• Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuK
algoritma kejang pada umumnya.
Tatalaksana Saat Kejang
• Obat yang prakKs dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital)adalah diazepam rektal.
– Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan
lebih dari 12 kg.
• Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenK, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit.
• Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit.
• Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena.
• Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epilepKkus.
• Bila kejang telah berhenK, pemberian obat selanjutnya tergantung dari
indikasi terapi anKkonvulsan pro laksis.
Profilaksis Intermiten
• Yang dimaksud dengan obat anKkonvulsan intermiten adalah obat
anKkonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam.
• Indikasi (salah satu dari):
– Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
– Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
– Usia <6 bulan
– Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
– Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat.
• Obat diazepam oral 0,3 mg/kgBB/kali, maksimum 7,5 mg/kali (3 kali
sehari) ATAU rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan
10 mg untuk berat badan >12 kg) 3 kali sehari
• Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam.
• ES dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.
Profilaksis Kon_nyu/ Rumatan
• Berdasarkan bukK ilmiah bahwa kejang demam Kdak berbahaya dan
penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang Kdak
diinginkan, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus
selekKf dan dalam jangka pendek
• Indikasi pengobatan rumat:
– Kejang fokal
– Kejang lama >15 menit
– Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis. (Pada anak dengan
kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk pemberian terapi
profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika Kdak berhasil/orangtua
khawaKr dapat diberikan terapi anKkonvulsan rumat)
Profilaksis Kon_nyu/ Rumatan
• Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat seKap hari efekKf
dalam menurunkan risiko berulangnya kejang
• Pemakaian fenobarbital seKap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus.
• Obat pilihan saat ini adalah asam valproat.
• Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun,
asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi haK.
• Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan
fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.
• Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghenKan pengobatan rumat
untuk kejang demam Kdak membutuhkan tapering off , namun
dilakukan pada saat anak Kdak sedang demam.
Diagnosis diferensial infeksi SSP
Demam < 7 hari < 7 hari > 7 hari < 7 hari </> 7 hari/(-)
Umum/
Kejang Umum Umum Umum Umum
fokal
Penurunan Somnolen- Variasi, apaKs -
ApaKs CM - ApaKs ApaKs - Somnolen
kesadaran sopor sopor
Paresis +/- +/- ++/- - -
Perbaikan
Lambat Cepat Lambat Cepat Cepat/Lambat
kesadaran
Tidak dpt
E_ologi diidenKfikas ++/- TBC/riw. kontak - Ekstra SSP
i
Simpt/ Atasi penyakit
Terapi AnKbioKk TuberkulostaKk Simpt.
anKviral primer
Kejang dan Status Epilep_kus pada
Anak
• Sampai saat ini, belum terdapat keseragaman mengenai
definisi status epilepKkus (SE) karena Interna)onal League
Againts Epilepsy(ILAE) hanya menyatakan bahwa SE adalah
kejang yang berlangsung terus-menerus selama periode
waktu tertentu atau berulang tanpa disertai pulihnya
kesadaran diantara kejang.
• Kekurangan defnisi menurut ILAE tersebut adalah batasan
lama kejang tersebut berlangsung.
• Oleh sebab itu, sebagian para ahli membuat kesepakatan
batasan waktunya adalah selama 30 menit atau lebih.
Tatalaksana
• Evaluasi tanda vital serta penilaian airway,
breathing, circula)on (ABC) harus dilakukan
seiring dengan pemberian obat anK-
konvulsan.
• Pemilihan jenis obat serta dosis anK-
konvulsan pada tata laksana SE sangat
bervariasi antar insKtusi.
Algoritma tata laksana kejang akut dan status epilep_kus berdasarkan Konsensus UKK Neurologi IDAI 2016
Keterangan
• Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit.
Bila kejang berhenK sebelum obat habis, Kdak perlu dihabiskan.
• Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan
yang sama
• Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis
yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan
teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan
kelompok usia;
– 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
– 5 mg (usia 1 – 5 tahun)
– 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
– 10 mg (usia ≥ 10 tahun)
• Tapering midazolam infus kon_nyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah pemberian
midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap dengan
kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihenKkan setelah 48 jam bebas kejang.
• Midazolam: Pemberian midazolam infus konKnyu seharusnya di ICU, namun disesuaikan
dengan kondisi rumah sakit
• Bila pasien terdapat riwayat status epilep_kus, namun saat datang dalam keadaan Kdak
kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan dengan
pemberian rumatan bila diperlukan.
CEREBRAL PALSY
Cerebral Palsy
• Cerebral palsy (CP) describes a group of permanent disorders of the
development of movement and posture, causing acKvity limitaKon,
that are afributed to non-progressive disturbances that occurred in
the developing fetal or infant brain.
• The motor disorders of cerebral palsy are o€en accompanied by
disturbances of sensaKon, percepKon, cogniKon, communicaKon,
and behaviour, by epilepsy, and by secondary musculoskeletal
problems. ”Rosenbaum et al, 2007
• Although the lesion is not progressive, the clinical manfestaKons
change over Kme
• CP is caused by a broad group of developmental, geneKc,
metabolic, ischemic, infecKous, and other acquired eKologies that
produce a common group of neurologic phenotypes
Behrman: Nelson Textbook of Pediatrics, 17th ed
Cerebral Palsy Risk factor
Clinical ManifestaKon
• CP is generally divided into several major motor syndromes
that differ according to the pafern of neurologic
involvement, neuropathology, and eKology
Clinical ManifestaKon
• Spas)c hemiplegia: decreased spontaneous movements on the affected
side, the arm is o€en more involved than the leg. SpasKcity is apparent in
the affected extremiKes, parKcularly the ankle, causing an equinovarus
deformity of the foot
• Spas)c diplegia is bilateral spasKcity of the legs greater than in the arms.
ExaminaKon: spasKcity in the legs with brisk reflexes, ankle clonus, and a
bilateral Babinski sign. When the child is suspended by the axillae, a
scissoring posture of the lower extremiKes is maintained
• Spas)c quadriplegia is the most severe form of CP because of marked
motor impairment of all extremiKes and the high associaKon with mental
retardaKon and seizures
• Athetoid CP, also called choreoathetoid or extrapyramidal CP, is less
common than spasKc cerebral palsy. Affected infants are characterisKcally
hypotonic with poor head control and marked head lag
Tujuan Terapi Cerebral Palsy
• Tujuan terapi pasien cerebral palsy adalah membantu pasien dan
keluarganya memperbaiki fungsi motorik dan mencegah deformitas serta
penyesuaian emosional dan pendidikan sehingga penderita sesedikit
mungkin memerlukan pertolongan orang lain dan diharapkan penderita
bisa mandiri dalam melakukan akKvitas kehidupannya di kemudian hari.
• Diperlukan tatalaksana terpadu/mulK disipliner mengingat masalah yang
dihadapi sangat kompleks, dan merupakan suatu Km antara dokter anak,
dokter saraf, dokter jiwa, dokter mata, dokter THT, dokter ortopedi,
psikolog, rehabilitasi medik, pekerja sosial, guru sekolah luar biasa dan
orang tua penderita.
• Jenis rehabilitasi medik yang diperlukan pada CP: fisioterapi, terapi wicara,
okupasional (termasuk rekreasional di dalamnya), dan ortoKk protese
NEFROLOGI
ISK PADA ANAK
Infeksi Saluran Kemih
• UTI pada anak perempuan 3-5%, laki-laki 1% (terutama yang
Kdak disirkumsisi)
• Banyak disebabkan oleh bakteri usus: E. coli (75-90%),
Klebsiella, Proteus. Biasanya terjadi secara ascending.
• Gejala dan tanda klinis, tergantung pada usia pasien:
– Neonatus: Suhu Kdak stabil, irritable, muntah dan diare, napas Kdak
teratur, ikterus, urin berbau menyengat, gejala sepsis
– Bayi dan anak kecil: Demam, rewel, nafsu makan berkurang, gangguan
pertumbuhan, diare dan muntah, kelainan genitalia, urin berbau
menyengat
– Anak besar: Demam, nyeri pinggang atau perut bagian bawah,
mengedan waktu berkemih, disuria, enuresis, kelainan genitalia, urin
berbau menyengat
Fisher DJ. Pediatric urinary tract infecKon. hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/969643-overview
American Academic of Pediatrics. Urinary tract infecKon: clinical pracKce guideline for the diagnosis and
management of the iniKal UTI in febrile infants and children 2 to 24 months. Pediatrics 2011; 128(3).
ISK
• 3 bentuk gejala UTI:
– PyelonefriKs (upper UTI): nyeri abdomen, demam, malaise, mual,
muntah, kadang-kadang diare
– SisKKs (lower UTI): disuria, urgency, frequency, nyeri suprapubik,
inkonKnensia, urin berbau
– Bakteriuria asimtomaKk: kultur urin (+) tetapi Kdak disertai gejala
• Pemeriksaan Penunjang :
– Urinalisis : Proteinuria, leukosituria (>5/LPB), Hematuria
(Eritrosit>5/LPB)
– Biakan urin dan uji sensiKvitas
– KreaKnin dan Ureum
– Pencitraan ginjal dan saluran kemih untuk mencari kelainan
anatomis maupun fungsional
• Diagnosa pasK : Bakteriuria bermakna pada biakan urin (>105 koloni
kuman per ml urin segar pancar tengah (midstream urine) yang diambil
pagi hari)
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. & PPM IDAI
Tatalaksana
• Tujuan : Memberantas kuman penyebab, mencegah dan menangani komplikasi dini, mencari
kelainan yang mendasari
• Umum (SuporKf)
– Masukan cairan yang cukup
– Edukasi untuk Kdak menahan berkemih
– Menjaga kebersihan daerah perineum dan periurethra
– Hindari konsKpasi
• Khusus
– Sebelum ada hasil biakan urin dan uji kepekaan, anKbioKk diberikan secara empirik selama
7-10 hari
– Obat rawat jalan : kotrimoksazol oral 24 mg/kgBB seKap 12 jam, alternaKf ampisilin,
amoksisilin, kecuali jika :
• Terdapat demam _nggi dan gangguan sistemik
• Terdapat tanda pyelonefri_s (nyeri pinggang/bengkak)
• Pada bayi muda
– Jika respon klinis kurang baik, atau kondisi anak memburuk berikan gentamisin (5-7.5 mg/kg IV
sekali sehari) + ampisilin (25-50 mg/kg IV seKap 6 jam) atau sefalosporin gen-3 parenteral
– AnKbioKk profilaksis diberikan pada ISK simpleks berulang, pielonefriKs akut, ISK pada
neonatus, atau ISK kompleks (disertai kelainan anatomis atau fungsional)
– PerKmbangkan komplikasi pielonefriKs atau sepsis
Interpretasi Hasil Biakan Urin
Algoritme
Penanggulangan
dan Pencitraan
Anak dengan ISK
Dosis Obat Pada UTI Anak
Increased capillary
pressure (failure of parasiKc infecKon of
lymph nodes
venous pumps, (filariasis)
heart failure)
EDEMA
NefroKk vs NefriKk
Diagnosis
• Anamnesis : Bengkak di kedua kelopak mata, perut,
tungkai atau seluruh tubuh. Penurunan jumlah urin.
Urin dapat keruh/kemerahan
• Pemeriksaan Fisik : Edema palpebra, tungkai, ascites,
edema skrotum/labia. Terkadang ditemukan hipertensi
• Pemeriksaan Penunjang : Proteinuria masif ≥ 2+, rasio
albumin kreaKnin urin > 2, dapat disertai hematuria.
Hipoalbumin (<2.5g/dl), hiperkolesterolemia (>200
mg/dl). Penurunan fungsi ginjal dapat ditemukan.
Definisi pada Sindrom NefroKk
• Remisi : proteinuria negaKf atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu
• Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu
• Relaps jarang : relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama
setelah respons awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan
• Relaps sering (frequent relaps) : relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan
pertama setelah respons awal atau ≥ 4 kali dalam periode 1 tahun
• Dependen steroid : relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau
dalam 14 hari setelah pengobatan dihenKkan, dan hal ini terjadi 2 kali
berturut-turut
• Resisten steroid : Kdak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis
penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.
Immune injuries
Proliferasi selular
Destruksi membran basal glomerulus
Lumen kapiler menyempit
hematuria
Aliran darah glomerular menurun
oliguria
Retensi air dan natrium
hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/919999-overview
hfp://www.noahhealth.org/five-most-common-food-myths-associated-with-diabetes/#pid
DM Tipe 1 vs Tipe 2
hfp://s3.amazonaws.com/stopdiabete/symptoms-between-type-1-and-type-2-diabetes.html
• Pemeriksaan Penunjang :
– Penderita baru : gula darah, urin reduksi dan keton urin, HbA1C, C-
Pep)de (untuk membedakan diabetes Kpe 1 dan Kpe 2), pemeriksaan
autoan_bodi yaitu: cytoplasmic anKbodies (ICA), insulin
autoanKbodies (IAA), dan glutamic acid decarboxylase (GAD).
– Penderita lama : HbA1c SeKap 3 bulan sebagai parameter kontrol
metabolik
• Tatalaksana: Insulin
1. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes FoundaKon.
2009
2. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan AnaK. Diabetes Melitus pada Anak(DM Kpe-1). RSCM. 2007
HbA1c
• Parameter kontrol metabolik standar:
- HbA1c < 7% baik
- HbA1c < 8% cukup
- HbA1c > 8% buruk
• Untuk modifikasi tatalaksana.
• Wajib seKap 3 bulan.
• Perbedaan HbA1c 1% à risiko komplikasi ↓25-50%.
• Penyimpangan kurva pertumbuhan ideal periode 6
bulan à evaluasi HbA1c.
1. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes FoundaKon.
2009
2. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan AnaK. Diabetes Melitus pada Anak(DM Kpe-1). RSCM. 2007
Pilihan Insulin
Insulin kerja cepat : Insulin kerja menengah:
• Setelah makan • Pilihan pada penderita yang
• Snack sore memiliki pola hidup teratur
• Saat hiperglikemi dan Insulin kerja panjang:
ketosis • Masa kerja lebih dari 24 jam
• Pada CSII (con)nuous • Digunakan dalam regimen
subcutaneous insulin basal-bolus
infusion) Insulin kerja campuran:
Insulin kerja pendek: • Dianjurkan bagi penderita
• Sebelum makan yang memiliki kontrol
• Pilihan pada balita metabolik baik.
1. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes FoundaKon. 2009
HIPOTIROID KONGENITAL
Hipo_roid Kongenital
• HipoKroid kongenital adalah kelainan fungsi dari kelenjar Kroid yang
didapat sejak bayi baru lahir.
• Kondisi ini dapat terjadi karena kelainan anatomi atau gangguan
metabolisme pembentukan hormon Kroid atau defisiensi iodium.
• Selama kehamilan, plasenta berperan sebagai media transportasi
elemen-elemen penKng untuk perkembangan janin. Thyroid Releasing
Hormone (TRH) dan iodium – yang berguna untuk membantu
pembentukan Hormon Tiroid (HT) janin – bisa bebas melewaK plasenta.
Demikian juga hormon Kroksin (T4). Namun disamping itu, elemen yang
merugikan Kroid janin seperK anKbodi (TSH receptor an)body) dan obat
anK Kroid yang dimakan ibu, juga dapat melewaK plasenta. Sementara,
TSH, yang mempunyai peranan penKng dalam pembentukan dan
produksi HT, justru Kdak bisa melewaK plasenta.
PPM IDAI
INTOLERANSI LAKTOSA
Intoleransi Laktosa
• Laktosa diproduksi oleh kelenjar payudara dengan kadar yang
bervariasi diantara mamalia.
• Susu sapi mengandung 4% laktosa, sedangkan ASI
mengandung 7% laktosa.
• Laktosa adalah disakarida yang terdiri dari komponen glukosa
dan galaktosa.
• Manusia normal Kdak dapat menyerap laktosa, oleh karena itu
laktosa harus dipecah dulu menjadi komponen-komponennya.
• Hidrolisis laktosa memerlukan enzim laktase yang terdapat di
brush border sel epitel usus halus.
• Tidak terdapatnya atau berkurangnya akKvitas laktase akan
menyebabkan terjadinya malabsorpsi laktosa.
Defisiensi Laktase
• Defisiensi laktase dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu defisiensi
laktase primer dan defisiensi laktase sekunder
• Terdapat 3 bentuk defisiensi laktase primer, yaitu
– Developmental lactase deficiency
Terdapat pada bayi prematur dengan usia kehamilan 26-32 minggu. Kelainan
ini terjadi karena akKvitas laktase belum opKmal.
– Congenital lactase deficiency
Kelainan dasarnya adalah Kdak terdapatnya enzim laktase pada brush border
epitel usus halus. Kelainan ini jarang ditemukan dan menetap seumur hidup
– Gene)cal lactase deficiency
Kelainan ini Kmbul secara perlahan-lahan sejak anak berusia 2-5 tahun hingga
dewasa. Kelainan ini umumnya terjadi pada ras yang Kdak mengkonsumsi susu
secara ruKn dan diturunkan secara autosomal resesif
• Defisiensi laktase sekunder
– Akibat penyakit gastrointesKnal yang menyebabkan kerusakan mukosa usus
halus, seperK infeksi saluran cerna.
– umumnya bersifat sementara dan akKvitas laktase akan normal kembali
setelah penyakit dasarnya disembuhkan.
Patogenesis
• Laktosa Kdak dapat diabsorpsi sebagai disakarida,
tetapi harus dihidrolisis menjadi glukosa dan galaktosa
dengan bantuan enzim laktase di usus halus.
• Bila akKvitas laktase turun atau Kdak ada è laktosa
Kdak diabsorpsi dan mencapai usus bagian distal atau
kolon è tekanan osmoKk meningkat è menarik air
dan elektrolit sehingga akan memperbesar volume di
dalam lumen usus è diare osmoKk
• Keadaan ini akan merangsang peristalKk usus halus
sehingga waktu singgah dipercepat dan mengganggu
penyerapan.
Patogenesis
• Di kolon, laktosa akan difermentasi oleh bakteri kolon è
menghasilkan asam laktat dan asam lemak rantai pendek lainnya
seperK asam asetat, asam buKrat, dan asam propionat è
Fenomena ini menerangkan feses yang cair, asam, berbusa dan
kemerahan pada kulit di sekitar dubur (eritema natum).
• Fermentasi laktosa oleh bakteri di kolon è menghasilkan beberapa
gas seperK hidrogen, metan dan karbondioksida è distensi
abdomen, nyeri perut, dan flatus.
• Selanjutnya, 80% dari gas tersebut akan dikeluarkan melalui rektum
dan sisanya akan berdifusi ke dalam sistem portal dan dikeluarkan
melalui sistem pernapasan.
• Feses sering mengapung karena kandungan gas yg Knggi dan juga
berbau busuk.
Gejala Klinis
• Intoleransi laktosa dapat bersifat • Gejala klinis yang diperlihatkan
asimtomaKs atau dapat berupa rasa mual, muntah,
memperlihatkan berbagai gejala sakit perut, kembung dan sering
klinis flatus.
• Berat atau ringan gejala klinis • Rasa mual dan muntah
yang diperlihatkan tergantung merupakan gejala yang paling
dari akKvitas laktase di dalam sering ditemukan
usus halus, jumlah laktosa, cara • Pada uji toleransi laktosa rasa
mengkonsumsi laktosa, waktu penuh di perut dan mual Kmbul
pengosongan lambung, waktu dalam waktu 30 menit,
singgah usus, flora kolon, dan sedangkan nyeri perut, flatus dan
sensiKfitas kolon terhadap diare Kmbul dalam waktu 1-2 jam
asidifikasi. setelah mengkonsumsi larutan
laktosa
Pemeriksaan Penunjang
• Analisis Knja, prinsipnya ditemukan asam dan bahan pereduksi
dalam Knja setelah makan yg mengandung laktosa, ada 3 metode:
– Metode klini test (detects all reducing substances in stool; of primary
interest are glucose, lactose, fructose, galactose, maltose, and
pentose)
– Kromatografi Knja
– pH Knja à Knja bersifat asam
• Uji toleransi laktosa: merupakan uji kuanKtaKf; memeriksa kadar
gula darah setelah konsumsi laktosa
• Pemeriksaan radiologis lactosa-barium meal
• Ekskresi galaktos pada urin
• Uji hidrogen napas à metode pilihan pada intoleransi laktosa
karena bersifat noninvasif, memiliki sensiKvitas dan efekKvitas yang
Knggi
• Biopsi usus dan pengukuran akKvitas laktase
Clinitest
Method Principle
• Clinitest is a reagent tablet based on • Copper sulfate in Clinitest reacts
the Benedict's copper reducKon with reducing substances in
reacKon, combining reacKve urine/stools converKng cupric
ingredients with an integral heat sulfate to cuprous oxide.
generaKng system. • The resultant color, which varies
• The test is used to determine the with the amount of reducing
amount of reducing substances substances present, ranges from
(generally glucose) in urine/stools. blue through green to orange.
• Clinitest provides clinically useful
informaKon on carbohydrate
metabolism.
Clinitest
• The Clinitest® reacKon detects all • TesKng for reducing substances in
reducing substances in stool; of stool is used in diagnosing the cause
primary interest are glucose, lactose, of diarrhea in children.
fructose, galactose, maltose, and • Increased reducing substances in
pentose. stool are consistent with primary or
• Reference Range: secondary disaccharidase deficiency
NegaKve. A result of 0.25% to 0.5% is and intes_nal monosaccharide
suspicious for a carbohydrate malabsorp_on.
absorpKon abnormality, >= 0.75% is • Similar intesKnal absorpKon
abnormal.
deficiencies are associated with short
• Test LimitaKons: bowel syndrome and necroKzing
Assay results have relevance for enterocoliKs.
liquid stool samples; assay results • Stool reducing substances is also
have lifle relevance for formed stool helpful in diagnosing between
samples. osmo_c diarrhea caused by
abnormal excre_on of various sugars
as opposed to diarrhea caused by
viruses and parasites.
Tatalaksana
• Sebagian besar self limited, cukup menjaga status
hidrasi agar Kdak dehidrasi dan menjaga asupan nutrisi
• Pemberian cairan rehidrasi oral (CRO) hipotonik
• Rehidrasi cepat (3-4 jam)
• ASI harus tetap diberikan
• Realimentasi segera dengan makanan sehari-hari
• Susu formula yang diencerkan Kdak dianjurkan
• Susu formula khusus diberikan sesuai indikasi
• AnKbioKk hanya berdasarkan indikasi kuat.
• PerKmbangan pengganKan susu formula selama diare akut
(diare kurang dari 7 hari), sebagai berikut :
• Diare tanpa dehidrasi dan dehidrasi ringan-sedang : susu
formula normal dilanjutkan
• Diare tanpa dehidrasi atau dehidrasi ringan-sedang dengan
gejala klinis intoleransi laktosa yang berat (selain diare)
dapat diberikan susu formula bebas laktosa.
• Diare dengan dehidrasi berat diberikan susu formula bebas
laktosa
• Pemberian susu formula untuk alergi pada anak dengan
diare akut tanpa jelas petanda alerginya adalah Kdak
rasional.
FOOD ALLERGY
Food Allergy
• HipersensiKvitas terhadap protein di dalam makanan (cth kasein & whey dari
produk sapi)
• Mekanisme pertahanan spesifik dan non-spesifik saluran cerna belum sempurna,
anKgen masuk lewat saluran cerna à hipersensiKvitas
• HipersensiKvitas bisa diperantarai IgE atau Tidak diperantarai IgE
• The prevalence of food allergies has been esKmated to be 5-6% in infants and
children younger than 3 years and 3.7 % in adults
• Gejala:
– AnafilakKk
– Kulit: dermaKKs atopik, urKkaria, angioedema
– Saluran nafas: asma, riniKs alergi
– Saluran cerna: oral allergy syndrome, esofagiKs eosinofilik, gastriKs eosinofilik, gastroenteriKs
eosinofilik, konsKpasi kronik, dll.
• Pemeriksaan: skin test, IgE serum, eliminasi diet, food challenge
• Tata laksana:
– Eliminasi makanan yang diduga mengandung alergen
– Breas^eeding, ibu ikut eliminasi produk susu sapi dalam dietnya
– Susu terhidrolisat sempurna bila susah untuk breas^eeding
Nocerino A. Protein intolerance. hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/931548-overview
PPM IDAI
Intoleransi Laktosa VS Milk Allergy
INTOLERANSI LAKTOSA MILK ALLERGY
o reaksi hipersensiKvitas terhadap
o KeKdakmampuan tubuh untuk
protein susu sapi. Dapat melalui 2
mencerna “gula susu/laktosa”
Definisi mekanisme : 1). Diperantarai IgE ; 2).
akibat defisiensi enzim laktase.
Non IgE (rx hipersensiKvitas Kpe IV)
o reaksi non – imunologis
Occurs frequently
in young children
VIRAL INFECTIONS
Primary herpes infecKon:
Treatment:
1. PalliaKve treatment
2. Viscous topical anestheKc.
3. Nutrient supplements.
4. Acyclovir (anK-viral agent)
StomaKKs aphtosa
StomaKKs herpeKca
Stoma__s Herpe_c Stoma__s Aphthosa
WHO. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. WHO; 2008.
EKSANTEMA AKUT
EKSANTEMA AKUT
Morbili/Rubeola/Campak
• Pre-erup_ve Stage
– Demam
– Catarrhal Symptoms – coryza, conjuncKviKs
– Respiratory Symptoms – cough
• Erup_ve Stage/Stage of Skin Rashes
– Exanthem sign
• Maculopapular Rashes – Muncul 2-7
hari setelah onset
• Demam Knggi yang menetap
• Anoreksia dan iritabilitas
• Diare, pruriKs, letargi dan
limfadenopaK oksipital
• Stage of Convalescence
– Rash – menghilang sama dengan urutan
munculnya (muka lalu ke tubuh bag bawah)
→ membekas kecoklatan
– Demam akan perlahan menghilang saat
erupsi di tangan dan kaki memudar
• Tindakan Pencegahan :
– Imunisasi Campak pada usia 9 bulan
– Mencegah terjadinya komplikasi berat
Morbili
• Paramyxovirus • Prodromal
• Kel yg rentan: – Hari 7-11 setelah
– Anak usia prasekolah yg eksposure
blm divaksinasi – Demam, batuk,
– Anak usia sekolah yang konjungKviKs,sekret
hidung. (cough, coryza,
gagal imunisasi conjuncKviKs à 3C)
• Musin: akhir musim • Enanthem à ruam
dingin/ musim semi kemerahan
• Inkubasi: 8-12 hari • Koplik’s spots muncul 2
• Masa infeksius: 1-2 hari hari sebelum ruam dan
sblm prodromal s.d. 4 bertahan selama 2 hari.
hari setelah muncul ruam
Morbili
KOMPLIKASI DIAGNOSIS & TERAPI
• OKKs Media (1 dari 10 penderita • Diagnosis:
campak pada anak)
– manifestasi klinis, tanda
• Diare (1 dari 10 penderita campak) patognomonik bercak Koplik
• Bronchopneumonia (komplikasi
berat; 1 dari 20 anak penderita – isolasi virus dari darah, urin,
campak) atau sekret nasofaring
• EncephaliKs (komplikasi berat; 1 – pemeriksaan serologis: Kter
dari 1000 anak penderita campak) anKbodi 2 minggu setelah
• PericardiKs Kmbulnya penyakit
• Subacute sclerosing • Terapi:
panencephaliKs – late sequellae
due to persistent infecKon of the – SuporKf, pemberian vitamin A
CNS; 7-10 tahun setelahnya; 1: 2 x 200.000 IU dengan interval
100,000 orang) 24 jam.
Penatalaksanaan
• Terapi suporKf diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan
mengganK cairan yang hilang dari diare dan emesis.
• Obat diberikan untuk gejala simptomaKs, demam dengan
anKpireKk.
• Jika terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan anKbioKk.
• Suplementasi vitamin A diberikan pada:
– Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO diberi 2 dosis.
– Umur 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Umur di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai
umur, dilanjutkan dosis keKga sesuai umur yang diberikan 2-4
minggu kemudian.
Konseling & Edukasi
• Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili merupakan penyakit
yang menular.
• Namun demikian, pada sebagian besar pasien infeksi dapat sembuh
sendiri, sehingga pengobatan bersifat suporKf.
• Edukasi penKngnya memperhaKkan cairan yang hilang dari diare/
emesis.
• Untuk anggota keluarga/kontak yang rentan, dapat diberikan vaksin
campak atau human immunoglobulin untuk pencegahan.
• Vaksin efekKf bila diberikan dalam 3 hari terpapar dengan
penderita.
• Imunoglobulin dapat diberikan pada individu dengan gangguan
imun, bayi umur 6 bulan -1 tahun, bayi umur kurang dari 6 bulan
yang lahir dari ibu tanpa imunitas campak, dan wanita hamil.
Measles Virus Taxonomy
• Family :
Paramyxoviridae
• Order :
Mononegavirales
• Single-stranded, negaKve-sense,
enveloped (non-segmented)
RNA virus
hfps://www.cdc.gov/measles/about/photos.html
3D graphical representaKon of a
spherical-shaped, measles virus
parKcle
Rubella
• Togavirus • AsymptomaKk hingga
• Yg rentan: orang dewasa 50%
yang belum divaksinasi • Prodromal
• Musim: akhir musim – Anak-anak: Kdak bergejala
dingin/ awal musim semi. s.d. gejala ringan
– Dewasa: demam, malaside,
• Inkubasi 14-21 hari nyeri tenggorokan, mual,
• Masa infeksius: 5-7 hari anoreksia, limfadeniKs
sblm ruam s.d. 3-5 hari oksipital yg nyeri.
setelah ruam muncul • Enanthem
– Forschheimer’s spots
èpetekie pada hard
palate
Rubella - komplikasi
• Arthralgias/arthriKs pada
org dewasa
• Peripheral neuriKs
• encephaliKs
• thrombocytopenic purpura
(jarang)
• Congenital rubella
syndrome
– Infeksi pada trimester
pertama
– IUGR, kelainan mata, tuli,
kelainan jantung, anemia,
trombositopenia, nodul kulit.
Roseola Infantum ≈ Exanthem Subitum
• Human Herpes Virus 6 • Demam Knggi 3-4 hari
(and 7) • Demam turun mendadak
• Yg rentan: 6-36 bulan dan mulai Kmbul ruam
(puncak 6-7 bulan) kulit.
• Musim: sporadik • Kejang yang mungkin
• Inkubasi: 9 hari Kmbul berkaitan dengan
infeksi pada meningens
• Masa infeksius: berada
dalam saliva secara oleh virus.
intermiten sepanjang
hidup; infeksi
asimtomaKk persisten.
Roseola Infantum ≈ Exanthem Subitum
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
Scarlet Fever
• Sindrom yang memiliki • Rash : Timbul 12-48 jam setelah
karakterisKk: faringiKs eksudaKf, onset demam. Dimulai dari leher
demam, dan rash. kemudian menyebar ke badan
• Disebabkan oleh group Abeta- dan ekstremitas.
hemolyKcstreptococci (GABHS) • Pemeriksaan : Throat culture
• Masa inkubasi 1-4 hari. posiKve for group A strep
• Manifestasi pada kulit diawali • Tatalaksana : AnKbioKk
oleh infeksi streptokokus anKstreptokokal minimal 10 hari
(umumnya pada (Eritromisin atau Penicillin G)
tonsillopharynx) : nyeri
tenggorokan dan demam Knggi,
disertai nyeri kepala, mual,
muntah, nyeri perut, myalgia, dan
malaise.
Sumber : Kllegman RM, Staton BF, Schor N,et all. Nelson Texbook of Pediatrics. 19th ediKon. New York : Saunders; 2011.
Pneumonia
• Tanda utama menurut WHO: fast breathing & lower chest indrawing
• Signs and symptoms :
– Non respiratory: fever, headache, faKgue, anorexia, lethargy, vomiKng
and diarrhea, abdominal pain
– Respiratory: cough, chest pain, tachypnea , grunKng, nasal flaring,
subcostal retracKon (chest indrawing), cyanosis, crackles and rales
(ronchi)
RESOLUTION
Sumber : Rubin E, Resiner H. EssenKals of Rubin’s Pathology. 6th ediKon. New
York : Lippincot ; 2014.
Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Lokasi Anatomis
Manifestasi Klinis
• Infeksi umum à demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan
gastrointesKnal seperK mual, muntah atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi
ekstrapulmoner.
• Gangguan respiratori à batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air
hunger, merinKh, dan sianosis.
Pneumonia
• Hubungan antara diagnosis klinis dan
Klasifikasi-Pneumonia (MTBS)
Sumber :WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di
Kabupaten/Kota.
Klasifikasi Pneumonia (WHO) dan kriteria rawat inap
Kriteria rawat inap
Pneumonia Ringan
• Dx à disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
• Napas cepat:
• pada anak umur 2 bulan – 11 bulan: ≥ 50 kali/menit
• pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit
• Tx à rawat jalan, beri anKbioKk : Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari
selama 3 hari atau Amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari.
Pneumonia Berat
• Dx à Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini:
• Kepala terangguk-angguk
• Pernapasan cuping hidung
• Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
• Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas, konsolidasi)
• Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
• Napas cepat
• Suara merinKh (grun_ng) pada bayi muda
• Pada auskultasi terdengar : Crackles (ronki), suara pernapasan menurun, suara
pernapasan bronkial
• Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai: Tidak dapat menyusu atau minum/
makan, atau memuntahkan semuanya, Kejang, letargis atau _dak sadar, sianosis, distres
pernapasan berat.
Tatalaksana
Pneumonia Berat
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat
(Kdak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang,
letargis atau Kdak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan
kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV seKap 8 jam).
Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan pengobatan
kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. Sebagai alternaKf, beri
seoriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari.
Gambaran Radiologis
DISEASE RADIOGRAPHY
EKology:
Pneumococcus
Mycoplasma
Gram negaKve organisms
Legionella
Bronchioli_s
The x-ray shows lung hyperinflaKon with a flafened diaphragm and opacificaKon in the right lung apex (red circle) and le€
lung base (blue circle) from atelectasis. Obviously, the same changes can be seen in the x-ray of a child with acute asthma.
This is one reason why children with acute asthma are o€en misdiagnosed as having pneumonia.
ATELECTASIS
Chest radiographs and CT scans may
demonstrate direct and indirect signs of
lobar collapse.
Direct signs include displacement of
fissures and opacificaKon of the collapsed
lobe.
Indirect signs include
• displacement of the hilum,
• mediasKnal shi€ toward the side
of collapse,
• loss of volume on ipsilateral
hemithorax,
• elevaKon of ipsilateral diaphragm,
• crowding of the ribs,
• compensatory hyperlucency of
the remaining lobes,
• silhoue{ng of the diaphragm or
the heart border.
BRONKIOLITIS
Bronkioli_s
• InfecKon (inflammaKon) at
bronchioli
• Bisa disebabkan oleh
beberapa jenis virus, yang
paling sering adalah
respiratory syncyKal virus
(RSV)
• Virus lainnya: influenza,
parainfluenza, dan
adenoviruses
• Predominantly < 2 years of age
(2-6 months)
• Difficult to differenKate with
pneumonia and asthma
BronkhioliKs
Bronchioli_s
Bronchioli_s:
Management
Mild disease
• SymptomaKc therapy
Moderate to Severe diseases
• Life Support Treatment : O2,
IVFD
• EKological Treatment
– AnK viral therapy (rare)
– AnKbioKc (if eKology
bacteria)
• SymptomaKc Therapy
– Bronchodilator: controversial
– CorKcosteroid: controversial
(not effecKve)
Tatalaksana BronkioliKs
• Walaupun pemakaian nebulisasi
dengan beta2 agonis sampai saat
ini masih kontroversi, tetapi
masih bisa dianjurkan dengan
alasan:
– Pada bronkioliKs selain terdapat
proses inflamasi akibat infeksi virus
juga ada bronkospasme dibagian
perifer saluran napas (bronkioli)
– Beta agonis dapat meningkatkan
mukosilier
– Sering Kdak mudah membedakan
antara bronkioliKs dengan
serangan pertama asma
– Efek samping nebulasi beta agonis
yang minimal dibandingkan
epinefrin.
Sari Pediatri
TUBERKULOSIS PADA ANAK
Tuberkulosis pada anak
• Pada umumnya anak yang terinfeksi Kdak
menunjukkan gejala yang khas over/
underdiagnosed
• Batuk BUKAN merupakan gejala utama TB pada
anak
• PerKmbangkan tuberkulosis pada anak jika :
– BB berkurang dalam 2 bulan berturut-turut tanpa
sebab yang jelas atau gagal tumbuh
– Demam sampai 2 minggu tanpa sebab yang jelas
– Batuk kronik 3 ≥ minggu
– Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa
Petunjuk Teknis Tatalaksana TB Anak
(Depkes 2016)
• Penegakan diagnosis TB anak didasarkan 4 hal :
– Konfirmasi bakteriologis TB
– Gejala klinis yang khas TB
– Adanya bukK infeksi TB(tuberculin atau kontak TB)
– Foto thorax sugesKf TB
• System skoring:
– Telah digunakan untuk diagnosis TB anak
– Bila Kdak terdapat fasilitas pemeriksaan tuberculin dan
foto thoraks, maka skoring ini akan Kdak dapat terpenuhi
seluruh komponennya
– Sehingga dibuat alur diagnosKk berdasarkan klinis dan
pemeriksaan bakteriologis
Sistem Skoring
Sistem Skoring
• Diagnosis oleh dokter
• Perhitungan BB dinilai saat pasien datang (moment opname)
• Demam dan batuk yang Kdak respons terhadap terapi baku
• Cut-of f point: ≥ 6
• Anak dgn skor 6 yg diperoleh dari kontak dgn pasien BTA + dan hasil uji
tuberkulin posiKf, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi
atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak tersebut
• Foto toraks bukan merupakan alat diagnosKk utama pada TB anak
• Adanya skrofuloderma langsung didiagnosis TB
• Reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring
• Total nilai 4 pada anak balita atau dengan kecurigaan
• besar dirujuk ke rumah sakit
ALUR DIAGNOSIS
BILA DIDAPATKAN
GEJALA KLINIS
Prinsip Pengobatan TB Anak
Berat dan ringannya penyakit
• TB ringan:
– Kdak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau
kemaKan, misalnya TB primer tanpa komplikasi,
TB kulit, TB kelenjar
• TB berat:
– TB pada anak yang berisiko menimbulkan
kecacatan berat atau kemaKan, misalnya TB
meningiKs, TB milier, TB tulang dan sendi, TB
abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru
BTA posiKf, TB resisten obat, TB HIV.
Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. 2016. Depkes.
KorKkosteroid pada TB Anak
Uji Tuberkulin
• Menentukan adanya respon imunitas selular terhadap TB. Reaksi
berupa indurasi (vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin, dan
akumulasi sel-sel inflamasi)
• Tuberkulin yang tersedia : PPD (purified protein derived) RT-23 2TU,
PPD S 5TU, PPD Biofarma
• Cara : SunKkkan 0,1 ml PPD intrakutan di bagian volar lengan bawah.
Pembacaan 48-72 jam setelah penyunKkan
• Pengukuran (pembacaan hasil)
– Dilakukan terhadap indurasi yang Kmbul, bukan eritemanya
– Indurasi dipalpasi, tandai tepi dengan pulpen. Catat diameter transversal.
– Hasil dinyatakan dalam milimeter. Jika Kdak Kmbul = 0 mm
• Hasil:
– PosiKf jika indurasi >= 10mm
– Ragu-ragu jika 5-9 mm
– NegaKf < 5 mm
Pengobatan Profilaksis
• Pengobatan profilaksis hanya diberikan pada
pasien dengan kontak TB dan Kdak bergejala,
yaitu:
– kelompok infeksi laten TB (tuberculin posiKf)
– Terpajan (tuberculin negaKve)
• Untuk menentukan kelompok pasien tersebut
dilakukan invesKgasi kontak
ALUR INVESTIGASI KONTAK
TB RO: kontakTB
tersangka resisten
Obat (RO) atau
terbukK resisten Obat
Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid
KETERANGAN
• ILTBàInfeksi Laten TB
• Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg) se_ap hari
selama 6 bulan.
• SeKap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya gejala
TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera
dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukK sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke
regimen terapi TB anak dimulai dari awal
• Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (Kdak ada gejala TB selama 6 bulan
pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat dihenKkan.
• Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah
pengobatan profilaksis dengan INH selesai.
ASMA
Asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Episodik jarang Intermiten Episode gejala asma <6x/tahun atau jarak antar
gejala ≥6 minggu
• Beberapa pasien memiliki risiko Knggi untuk mengalami serangan asma yang
dapat mengancam nyawa. Resiko tersebut adalah pasien dengan riwayat:
Ø Serangan asma yang mengancam nyawa
Ø Intubasi karena serangan asma
Ø Pneumotoraks dan/atau pneumomediasKnum
Ø Serangan asma berlangsung dalam waktu yang lama
Ø Penggunaan steroid sistemik (saat ini atau baru berhenK)
Ø Kunjungan ke UGD atau perawatan rumah sakit (RS) karena asma dalam
setahun terakhir
Ø Tidak teratur berobat sesuai rencana terapi
Ø Berkurangnya persepsi tentang sesak napas
Ø Penyakit psikiatrik atau masalah psikososial.
Ø Alergi makanan
• Untuk pasien dengan risiko Knggi tersebut, steroid sistemik (oral atau
parenteral) perlu diberikan pada awal tata laksana meskipun pada penilaian
awal serangannya masih ringan sedang.
Tatalaksana serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Herpes simplex virus Congenital varicella
Perinatally acquired HSV infec_on • Cicatricial or vesicular skin lesions
• Mucocutaneous vesicles
• Microcephaly
• CSF pleocytosis
• Thrombocytopenia
Congenital Zika syndrome
• Elevated liver transaminases • Microcephaly
• ConjuncKviKs or keratoconjucKviKs • Intracranial calcificaKons
Congenital (in utero) HSV infec_on (rare) • Arthrogryposis
• Skin vesicles, ulceraKons, or scarring • Hypertonia/spasKcity
• Eye abnormaliKes (eg, micro-ophthalmia) • Ocular abnormaliKes
• Brain abnormaliKes (eg, hydranencephaly,
microcephaly) • Sensorineural hearing loss
Kelainan Kongenital
Penyebab Temuan klinis
Herpes Trias:
1. Kulit (scarring, acKve lesions, hypo- and
hyperpigmentaKon, aplasia cuKs, and/or an
erythematous macular exanthem)
2. Mata (microopthalmia, reKnal dysplasia, opKc atrophy,
and/or chorioreKniKs)
3. Neurologis (microcephaly, encephalomalacia,
hydranencephaly, and/or intracranial calcificaKon)
hfp://cmr.asm.org/content/17/1/1.full
Cytomegalovirus Congenital InfecKon
Within first
Early
Congenital 2 year
syphilis Later than
Late
2 yr
Sifilis Kongenital Dini
hfp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/arKcles/PMC2819963/
Sifilis Kongenital Dini
Eyes
• ChoroidoreKnits, glaucoma, uveiKs .
• ChoroidoreKniKs in later life is seen as salt &
pepper fundus showing black pigment & white
atrophic patches.
Congenital Syphilis
Hydrops
fetalis
Nasal discharge
Petechial rash
NecroKzing
funisiKs
within the matrix of
the umbilical cord
Hepatomegaly
Rash
OsKKs,
MetaphysiKs,
PeriosKKs
Wimberger sign
MulKple, discrete, tense
blisters seen over a
normal looking skin
Contain serous/
seropurulent discharge
(spirochetes)
Decreased
mineralizaKon of the
metaphyses of long
bones of the upper
extremiKes
Among these manifestaKons, Hutchinson triad (Hutchinson teeth, intersKKal keraKKs, and
sensorineural hearing loss), mulberry molars, and Clufon joints are relaKvely specific for
congenital syphilis hfp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/arKcles/PMC2819963/
Treatment
Congenital Syphilis in Neonates (Proven or
highly probable)
• Treat congenital infecKon with 10 days of
aqueous penicillin G OR procaine penicillin G.
– Aqueous crystalline penicillin G is 50,000 units/kg/
dose IV every 12 hours (infants ≤7 days of life) and
every 8 hours (infants ≥7 days of life) for a total of 10
days
– Procaine penicillin G (50,000 U/kg IM) single dose for
10 days
GENETIC DISORDER
GENETIC DISORDER
Patau Mental retardaKon, heart defects, CNS abnormaliKes, microphthalmia, polydachtyly, a
Syndrome cle€ lip with or without a cle€ palate, coloboma iris, and hypotonia, Clenched hands
Trisomi 13 (with outer fingers on top of the inner fingers), Close-set eyes, Low-set ears, Single
noninherited palmar crease, microcephaly, Small lower jaw (micrognathia), cryptorchidism, Hernia
Many infants with trisomy 13 die within their first days or weeks of life.
The most common feature is short stature, which becomes evident by about
age 5. Ovarian hypofuncKon. Many affected girls do not undergo puberty and
inferKle.
Sindrom
About 30 % have webbed neck, a low hairline at the back of the neck,
turner
limfedema ekstrimitas, skeletal abnormaliKes, or kidney problem, 1/3 have
45 + XO
heart defect, such as coarctaKon of the aorta.
noninherited
Most of them have normal intelligence. Developmental delays, nonverbal
learning disabiliKes, and behavioral problems are possible
No unusual physical features, increased risk of learning
disabiliKes and delayed development of speech and
Jacob Syndrome language skills. Delayed development of motor skills,
47, XYY weak muscle tone (hypotonia), hand tremors or other
involuntary movements (motor Kcs), and behavioral and
emoKonal difficulKes
Marfan syndrome Mutasi pada fibrillin (protein pada jaringan ikat tubuh).
3 dari 4 kasus A tall, thin build, Long arms, legs, fingers, and toes and
bersifat diturunkan flexible joints, skoliosis, pektus karinatum/ ekskavatum,
Teeth that are too crowded, Flat feet.
Sindrom
Turner
Sindrom Down
Patau syndrome (Trisomy 13)
Edward Syndrome
• Higher in females compared to males
• Trisomy 18 is the second most common
autosomal trisomy syndrome a€er trisomy 21
• Types: full, parKal, mosaic
• There is a high percentage of fetuses dying during
labor (38.5%), and the preterm frequency (35%)
• Approximately 50% of babies with trisomy 18 live
longer than 1 week, and 5-10% of children
survive beyond the first year
Clinical descripKon
• Prenatal growth deficiency
• Specific craniofacial features
• minor, major malformaKons,
• marked psychomotor and cogniKve
developmental delay
• The growth delay starts in prenatal period and
conKnues a€er the birth
• Associated with feeding problems that may
require enteral nutriKon.
PROMINENT OCCIPUT
DYSPASTIC EARS
SMALL MOUTH AND JAW
SMALL NECK
WIDE NIPPLES SHORT STERNUM
SHIELD CHEST
CLENCHED HANDS
small
fingernails,
club feet underdevelop
ed
thumbs
Findings
CARDIOVASCULAR
• 80%-100%
• ventricular and atrial septal defects, patent
• ductus arteriosus and polyvalvular disease
RESPIRATORY
• upper airway obstrucKon
• (in some case due to a laryngomalacia or
tracheobronchomalacia)
• and central apnea
Findings
CENTRAL NERVOUS SYSTEM GASTROINTESTINAL
• cerebellar hypoplasia, Omphalocele
• agenesis of corpus oesophageal atresia
callosum, tracheo-oesophageal fistula
• polymicrogyria, umbilical or inguinal hernia
• spina bifida imperforate anus
• craniofacial orofacial cle€s pyloric stenosis
• eye microphthalmia,
• coloboma, cataract,
• corneal opaciKes
Developmental and behavior
• Developmental delay is always present
– marked to profound degree of psychomotor and
intellectual disability
– slow gaining of some skills
– Expressive language and independently walk are
not achieved
HEMATOLOGI &
ONKOLOGI
WILMS TUMOR
Wilms tumor
neuroblastoma NB is the third most common pediatric cancer, accounKng for about 8% of
childhood malignancies
The signs and symptoms of NB reflect the tumor site and extent of disease. Most
cases of NB arise in the abdomen, either in the adrenal gland or in retroperitoneal
sympatheKc ganglia. Usually a firm, nodular mass that is palpable in the flank or
midline is causing abdominal discomfort
Wilms tumor Wilms tumor is the most common renal malignancy in children and the fourth
most common childhood cancer
Most children with Wilms tumor present with an abdominal mass or swelling,
without other signs or symptoms. Other symptoms can include abdominal pain
(30 %), hematuria (12 to 25 %), and hypertension (25 %)
PF reveals a firm, nontender, smooth mass that rarely crosses the midline and
generally does not move with respiraKon. In contrast, neuroblastoma and
splenomegaly o€en will extend across the midline and move with respiraKon
disease Sign & symptoms
Burkit PaKents with BL present with rapidly growing tumor masses and o€en have evidence of tumor lysis
limfoma with a very high serum lactate dehydrogenase (LDH) concentraKon and elevated uric acid levels
The endemic (African) form usually presents as a jaw or facial bone tumor that spreads to
extranodal sites including the mesentery, ovary, tesKs, kidney, breast, and especially to the bone
marrow and meninges
The nonendemic (sporadic) form usually has an abdominal presentaKon
Immunodeficiency-related cases more o€en involve lymph nodes
BL tumor cells are monomorphic, medium-sized cells with round nuclei, mulKple nucleoli, and
basophilic cytoplasm
A "starry-sky" pafern is usually present, imparted by numerous benign macrophages that have
ingested apoptoKc tumor cells
hodgkin commonly present with painless, non-tender, firm, rubbery, cervical or supraclavicular
limfoma lymphadenopathy.
Most paKents present with some degree of mediasKnal involvement. paKents may present with
symptoms and signs of airway obstrucKon (dyspnea, hypoxia, cough), pleural or pericardial effusion,
hepatocellular dysfuncKon, or bone marrow infiltraKon (anemia, neutropenia, or
thrombocytopenia).
DiagnosKc Reed-Stemberg cells are large cells that have bilobed, double, or mulKple nuclei and
prominent, eosinophilic, inclusion-like nucleoli in at least two nuclei or nuclear lobes
Acute Jenis leukemia tersering pada anak. Akan ditemukan anemia, trombositopenia, Leukositosis/
LymphocyKc leukopenia dengan banyak sel limfoblas. Gejala klinis Kmbul berupa lemas, pucat akibat anemia,
Leukemia demam dan mudah infeksi akibat kelainan leukosit, dan mudah berdarah/ lebam akibat
trombositopenia. Selain itu bisa didapatkan adanudanya organomegali dan pembesaran KGB
disease Sign & symptoms
Rhabdomyosar the most common so€ Kssue sarcoma in children, originated from
coma rhabdomyoblasts. The tumor is believed to arise from primiKve muscle cells,
but tumors can occur anywhere in the body; however, a primary bone
rhabdomyosarcoma has not been reported. The most common sites are the
head and neck (28%), extremiKes (24%), and genitourinary (GU) tract (18%).
Other notable sites include the trunk (11%), orbit (7%), and retroperitoneum
(6%). Rhabdomyosarcoma usually manifests as an expanding mass.
Symptoms depend on the locaKon of the tumor, and pain may be present.
Typical presentaKons of nonmetastaKc disease, by locaKon, are as follows:
• Orbit: Proptosis or dysconjugate gaze
• ParatesKcular: Painless scrotal mass
• Prostate: Bladder or bowel difficulKes
• Uterus, cervix, bladder: Menorrhagia or metrorrhagia
• Vagina: Protruding polypoid mass (botryoid, meaning a grapelike cluster)
• Extremity: Painless mass
• Parameningeal (ear, mastoid, nasal cavity, paranasal sinuses,
infratemporal fossa, pterygopalaKne fossa): Upper respiratory symptoms
or pain