0% menganggap dokumen ini bermanfaat (1 suara)
726 tayangan20 halaman

Teori Feminimisme

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 20

MAKALAH

FEMINIST THEORY

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Teori-Teori Pekerjaan Sosial

Dosen Pengampu
Dr. Herry Koswara, M.Si
Ade Subarkah, MPS. SP

Disusun Oleh
Kelompok 9 / 2B
Firda Dwi Anjani 16.04.377
Jhody Bourqie 16.04. 304
Muhammad Nur Fadillah 16.04.222

SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL

BANDUNG
2017
PEMBAHASAN

Kontribusi Utama

Perspektif feminis berkontribusi pada pekerjaan sosial untuk memfokuskan pada


upaya menjelaskan dan menanggapi posisi perempuan yang tertindas dalam
berbagai masyarakat. Ini penting karena di banyak masyarakat, perempuan
merupakan klien utama pekerjaan sosial, dan sebagian besar pekerja sosial dan
pekerja perawatan sosial adalah perempuan. Oleh karena itu perspektif feminis
membantu setiap orang tidak hanya perempuan untuk memahami bagaimana
peran sosial perempuan dan posisinya dalam masyarakat dilaksanakan terutama,
mereka memberikan peluang kepada pekerja sosial dan para klien yang mayoritas
perempuan untuk berpraktik dalam solidaritas dengan pandangan-pandangan
mereka mengenai dunia satu sama lain. Praktik feminis menyumbangkan metode-
metode praktik dan keterampilan-keterampilan praktik dengan dialog kolaboratif
dan pekerja sosial dengan kelompok, yang bisa digunakan untuk mencapai
kesadaran mengenai isu-isu yang mempengaruhi perempuan dalam menjalin
hubungan sosial mereka dalam masyarakat. Hal ini bisa juga diaplikasikan secara
lebih luas.

Pernyataan Utama

Feminist Social Work Theory and Practice Dominelli (2002) merupakan


kontribusi langka yang memberikan perhitungan yang masuk akal mengenai
sebuah perspektif struktural dari teori feminis yang telah memiliki aplikasi untuk
praktik. Pernyataan-pernyataan sebelumnya telah disampaikan oleh Dominelli dan
McCleod (1989), Women and Social Work dan Statham (1999) serta naskah editan
Bricker-Jenkis et al (1991). Itu semua telah memperluas analisis teoritis, memberi
penjelasan-penjelasan yang sangat berguna mengenai masalah-masalah terkait
perempuan dalam pekerjaan sosial, serta merupakan catatan praktik yang sangat
bermanfaat, namun sayangnya semua itu tidak memasukkan perkembangan-
perkembangan lebih terkini dan pemikiran feminis posmodernisme. Koleksi
editan Van den Bergh (1995) mencerminkan beragam perspektif mengenai isu-isu
praktik.

Catatan V. White (2006) mengenai pekerjaan sosial feminis didasarkan pada bukti
yang disimpulkan dari wawancara dengan perempuan-perempuan feminis,
pendekatan ini menunjukan gaya feminis dari penelitian dan analisis. Ini
merupakan sebuah rasa kebersamaan dalam upaya untuk menciptakan teori dalam
dua cara. Pertama melalui dialog yang dilakukan secara inklusif, yakni proses
eksternal dimana perempuan mendebatkan masalah-masalah mengenai hubungan
kesetaraan, dan kedua melalui dialektika sebagai proses internal dimana orang-
orang beradu argumentasi dalam pikiran-pikiran mereka sendiri mengnai berbagai
pendapat atau keyakinan yang berbeda-beda untuk membentuk dasar bagi
pengambilan keputusan, pikiran atau tindakan mereka. Karena White
mencontohkan pemikiran feminis dengan cara ini, dan menyajikan sebuah laporan
yang terbaru dan praktis mengenai bagaimana menggunakan gagasan feminis
dalam praktik.

Ringkasan Perdebatan

Perdebatan-perdebatan mengenai teori feminis mencerminkan penyikapan


terhadap perempuan dan feminisme, terutama mengenai ketidaksetaraan gender
yang ada. Feminisme meyakinkan bahwa perempuan tertindas oleh berbagai
struktur dan hubungan sosial dalam masyarakat yang mengsitimewakan kaum
pria, serta pandangan lelaki mengenai prioritas sosial yang meniadakan dan
merendahkan kaum perempuan, serta pandangan-pandangan perempuan akan
masyarakat. Ini berakibat pada peniadaan terhadap perempuan terutama mereka
yang memiliki kekuatan sosial dan ekonomi rendah. Karena peniadaan itu berasal
dari ketidakadilan yang timbul dari pembagian gender, maka penting untuk
dipahami bahwa pengalaman penindasan ini menyulitkan perempuan untuk
mencapai aspirasi mereka dan memperoleh kesejahteraan. Ini juga yang
menyulitkan intervensi untuk menantang dan mengubah penindasan tersebut. Satu
kritik mengenai penggunaan teori secara eksplisit adalah bahwa memfokuskan
pada persoalan kaum perempuan meniadakan masalah-masalah lain yang sama
pentingnya yang pada umumnya mempengaruhi kaum pria, seperti tindak
kekerasan dan eksploitasi dalam pekerjaan yang sifatnya berbeda dari penindasan
yang dialami perempuan dalam situasi-situasi seperti ini. Hal ini pun tidak mampu
menjelaskan mengenai akibat pembagian gender tersebut pada masalah-masalah
kaum pria. Selain itu, fokus pada isu-isu perempuan juga dapat meniadakan
partisipasi lelaki. Meskipun sebuah kritik feminis mengenai banyak masyarakat
bahwa perempuan dianggap terlalu mengambil peran perawatan serta manajemen
hubungan sosial dalam keluarga atau lebih, tidak ada upaya terpadu dalam
pekerjaan sosial untuk melibatkan kaum pria dalam perawatan keluarga dan
sosial. Namun, ada bukti bahwa jika peran perawatan dibutuhkan oleh mereka,
terutama dalam hubungan intim, mereka dapat benar-benar menunjukkannya, ini
telah ditunjukkan umpanya dalam studi Parker (1993) mengenai perawatan
perempuan pada istri mereka yang mengalam cacat parah, serta diskusi Fisher
(1993) mengenai peran perawatan kaum pria dalam pelayanan-pelayanan
perawatan komunitas secara umum. Denga terlalu berkonsentrasi pada urusan
perempuan, menurut para ahli kritik, gagasan feminis gagal mengambil
kesempatan-kesempatan penting untuk mengubah hubungan dan peran gendr yang
dapat memberikan keuntungan bagi kedua jenis kelamin tersebut.

Berlawanan dengan sudut pandang ini, teori feminisme menunjukan berbagai


bukti mengenai adanya ketidaksamaan gender yang sudah tersebar luas dengan
konsekuensi-konsekuensi eksploitasi dan tindak kekerasan terhadap perempuan
dan juga pengabaian terhadap kebutuhan-kebutuhan mereka. Sebagian kaum pria
mengakui tejadinya hal ini, dan kemudian mendukung gerakan perempuan dan
terlibat dalam teorisasi ‘pro-feminis’.

Menggunakan teori feminis tentunya berguna karena sebagian besar pekerja sosial
melibatkan perempuan yang juga bekerja dengan perempuan lain, gagasan feminis
menjadi dasar praktik majoritas ini. Selain itu, dikebanyakan masyarakat,
perempuan secara signifikan lebih mendapat dampak dari kemiskinan dan
berbagai kerugian sosial lainnya dibanding kaum pria. Berlawanan dengan
pernyataan ini perempuan mungkin menjadi klien utama pekerja sosial hanya
dalam sistem kesejahteraan tertentu. Beberapa sistem kesejahteraan Nordic,
dimana pekerjaan sosial diasosiasikan dengan sistem jaminan sosial, menciptakan
pekerjaan sosial dengan kaum rpia jadi lebih mudah, karena mereka dirujuk
kepada pekerjaan sosial ketika mencari tunjangan-tunjangan finansial. Fokus pada
perempuan mungkin juga menjadi sebuah produk pilihan atau kenyamanan
diantara para praktisi untuk lebih memilih bekerja dengan anggota keluarga
perempuan dibanding dengan anggota keluarga pria. Organisasi pelayanan-
pelayanan sosial pada saat ini, yang melibatkan kunjngan rumah tangga, isu-isu
mengenai perawatan keluarga seperti perawatan anak dan perawatan bagi usia
lanjut yang lemah, juga menciptakan fokus pada kaum perempuan, dengan
asumsi-asumsi sosial terkini.

Masalah lain dengan penggunaan gagasan feminis secara eksplisit adalah bahwa
hal ini telah menempatkan isu-isu perempuan kedalam sebuah wilayah kumuh,
yang lebih nampak sebagai sebuah kepentingan khusus daripada sebagai upaya
untuk memperoleh kepercayaan akan analisis secara lebih luas. Orme (2003)
berargumen bahwa peringatan kaum feminis untuk terus melanjutka upayan untuk
penciptaan model-model feminis praktek umum yang lebih luas membuat
praktek-praktek feminisme tidak tampak dan kritik mengani cara-cra lembaga
sosial beroperasi menjadi tidak efektif. Namun demikian, prioritas pekerjaan
sosial feminis dapat dibenarkan karena sejarah pekerjaan sosial dengan perannya
dalam penelitian atas nama sebuah program negara kesejahteraan yang bersifat
patriarkat, yang berarti bahwa perempuan akan tetap tertindas secara sosial, dan
terkait dengan itu pekerjaan sosial hanya dnegna melakukan sedikit sekali usaha
untuk mengubah keadaan tersebut.

Perlawanan terhadap femiisme terletak pada penolakan atau keenganan lembaga-


lembaga kaum pria seperti pernikahan, pekerjaan dan lembaga-lembaga pekerjaan
sosial, dan pendidikan, untuk menyerahkan kekuasaan mereka kepada kaum
perempuan. Ini merupakan sisi pandang lain mengenai gagasan-gagasan feminis
yang lebih dianggap sebagai sebuah kepentingan khsusu dibanding sebagai
sebuah kritik umum dari gagasan -gagasan sosial dan praktiknya. Hubungan-
hubungan sosial yang secara kritis dianalisis oleh kaum feminis tidak pernah
secara langsung ditentang dalam pekerjaan sosial.

Sebagai contoh telah terdapat kritik terus menerus mengenai kurangnya proporsi
jumlah perempuan dalam berbagai posisi penting (senior) di organisais-organisasi
pekerja sosial dibandingkan dengan jumlah perempuan di organisasi, dan
menegnai rendahnya pengaruh kepemimpinan perempuan dalam pekerjaan
akademik di universitas. Rekasi-reaksi yang muncul sering kali bersifat defensif,
tanpa adanya analisis secara teoritis yang bisa memberikan justifikasi mengenai
ketidakadilan yang diberikan oleh lawan-lawan aliran feminisme . diskriminasi
terhadap peremuan terus berlanjut mejadi hal yang biasa terjadi di tempat kerja
maupun dalam sistem pelayanan kesejahteraan dan perempuan terus dirugikan
baik secara ekonomi maupun sosial di setiap tempat khususnya di negara-negara
yang miskin sumber daya. Jadi jelas terdapat sebuah permasalahan yang perlu
dibahas oleh sebuah profesi yang mencoba menolong orang-orang dalam posisi
ini.

Perspektif-Perspektif Feminis Alternatif

1. Sejak tahun 1960-an, feminisme telah mengembangkan persspektif


alternatif untuk menjelaskan ketidaksetaraan anatar kaum pria dan
perempuan.
2. Feminisme liberal (Reynolds, 1993 ; Dominelli 2002) mencari perbaikan
rutin mengenai persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, terutama di
tempat-tempat kerja serta dalam perawatan dan tanggung jawab keluarga.
Pandangan ini berargumentasi bahwa perbedaan-perbedaan jenis kelamin
(perbedaan fisik) antara perempuan dan pria telah diterjemahkan oleh
asumsi-asumsi budaya menjadi perbedaan-perbedaan gender (asumsi-
asumsi sosial mengenai perbedaan tingkah laku dan kepentingan antara
laki-laki dan perempuan). Asumsi-asumsi gender mempengaruhi berbagai
hubungan sosial meskipun perbedaan jenis kelamin sering sekali tidak
penting. Jawaban terhadap ketidaksetaraan ini adalah mengubah asumsi-
asumsi gender dengan mempromosikan kesempatan-kesempatan yang
sama melalui pengaturan legislasi, dengan mengubah kesepakatan sosial
agarasumsi-asumsi gender tidak lagi memberi pengaruh dan juga perlunya
perubahan proses sosialisasi sehingga anak-anak akan tumbuh dengan
tidak lagi menerima nilai-nilai ketidaksetaraan gender.
3. Feminisme radikal (Reynolds 1993 ; Dominelli 2002) melawan patriarki
yang merupakan aspek-aspek sosial yang memberikan kekuasaan dan hak
istimewa kepada kaum pria. Pandangan ini menghormati dan memuliakan
perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Pandangan ini juga
berupaya untuk mempromosikan struktur-struktur perempuan secara
terpisah dalam organisasi-organisasi yang sudah ada dan struktur sosial
perempuan itu sendiri.
4. Feminis sosialis (Reynolds 1993 ; Dominelli 2002) mengatakan bahwa
peindasan terhadap perempuan berasal dari ketidaksetaraan yang melekat
dalam struktur sosial sebuah sistem sosial berbasis kelas. Teori Marxis
mengatakan bahwa peran perempuan dalam kapitalisme adalah untuk
memproduksi tenaga kerja demi kepentingan kapitalisme melakukannya
dengan melaksanakan tugas-tugas rumah tangga dan perawatan anak, dan
feminisme sosial memfokuskan pada hal-hal macam ini. Feminisme sosial
juga menegaskan bahwa operasi terhadap perempuan berinteraksi dengan
berbagai bentk penindasan lainnya, seperti penindasan terhadap ras atau
disabilitas. Hal ini mendekati pemikiran feminis yang mengatakan bahwa
karakteristik hubungan-hubungan sosial yang bersifat opresif seharusnya
dianalisis dan dipahami, sehingga kepentingan-kepentingan yang berbeda
bisa dipenuhi dengan cara-cara alternatif.
5. Feminisme kaum kulit hitam (Collins 2000 ; Dominelli 2002) mulai dari
rasisme dan akhirnya pada keragaman perempuan dengan berbagai jenis
serta kombinasi antara jenis penindasan yang mereka alami. Collins (2002)
mengatakan bahwa karena perempuan kulit hitam mendapatkan tekanan
dalam berbagai bidang kehidupan sosial maupun dalma rumah tangga,
berarti pengalaman penindasan mereka lebuh berat dibandingkan dengna
perempuan kulit putih. Terdapat respon yang berbeda akan penindasan-
penindasan seperti itu yang semuanya bergantung pada pengalaman
tertentu serta hubungan-hubungan yang dibuat dengan kampanye-
kampanye lain untuk mewujudkan keadilan sosial, karena penindasan
dalam berbagai bidang yang berbeda saling berkaitan. Hubungan-
hubungan penting dibuat untuk pengalaman-pengalaman yang berkaitan
dengan keluarga dalam perbudakan, sejarah keluarga serta pola-pola sosial
yang berasal dari negara Afrika dan negara-negara asal perbudakan
lainnya.
6. Feminisme posmodernisme (sands dan Nurico 1992 ; Dominelli 2002)
mengidentifikasi kompleksitas dan kecanggihan hubungan-hubungan
sosial yang melibatkan perempuan dengan meneliti pengaruh wacana yang
berkembang di masyarakat dalam membangun asumsi-asumsi sosial
mengenai perempuan, dan bagaimana perempuan sebaliknya diperlakukan.
Salah satu ciri penting dari feminisme posmodernisme adalah upayanya
untuk mempertanyakan mengenai kategori-kategori daripada sekedar
menerimanya begitu saja. Diambil dari tulisan Foucault (1972), feminisme
posmodernisme juga melihat hubungan-hubungan sosial dalam kelompok
yang begitu berkuasa, dalam hal ini terutama pada kelompok yang
didominasi oleh kaum pria dan kepentingannya, kelompom seperti itu
melakukan surveil ( memandang secara konsisten dan menindas) dan
mendisiplinkan kelompok lainnya, yang dalam kasus ini terutama adalah
kelompok-kelompok sosial dimana perempuan memiliki pengaruh besar.
Tujuan pengawasan dan disiplin adalah untuk memelihara sebuah tatanan
sosial agar bisa tetap melanjutkan kekuasaan kaum pria. Intervensi
pekerjaan sosial seringkali turut membentuk bagian dari pengawasan dan
disiplin ini, umpamanya ketika mengelola perkembangan anak atau kaum
remaja yang melanggar hukum, dalam keluarga-keluarga miskin, atau
dalam membatasi askses berbagai kesempatan bagi kaum cacat dan para
lanjut usia.
Keterkaitan

Sebuah analisis pekerjaan sosial feminis yang dikembangkan secara baik memang
ada. Dalam sebuah makalah yang sangat berpengaruh yang melahirkan perdebatan
mengenai feminisme dalam pekerjaan sosial, Sans dan Nuricco (1992)
menegaskan mengenai pentingnya mempermasalahkan kategori-kategori sosial
dan gender hal ini berarti bahwa kita perlu menghindari sikap menerima yang
begitu saja terhadap berbagai asumsi mengenai kategori-kategori sosial serta
karakteristik manusia yang dikategorikan dengan berbagai cara. Misalnya, kita
sebaiknya tidak berasumsi bahwa perempuan merupakan perawat alamiah, hanya
karena perempuan memiliki peran biologis untuk mengurus bayi. Mengapa harus
dibeda-bedakan? Koleksi Taylor dan Daly (1995) mempertimbangkan
perkembangan sejarah peran perempuan yang harus patuh pada kaum pria dalam
kesepakatan-kesepakatan sosial umum, hukum, praktik medis, dan agama yang
telah memiliki banyak pengaruh pada perkembangan pekerjaan sosial. Hal ini
memperlihatkan bahwa dalam berbagai bidang, pengkategorian gender tersebut
diterapkan atau diterima dengan begitu saja. Koleksi Van den Bergh meneliti
berbagai masalah yang dianggap penting bagi kaum perempuan dan telah
memberikan banyak pengaruh terhadap praktik feminisme seperti kedamaian,
keadilan sosial dan tindak kekerasan terhadap perempuan.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan contoh yang dapat dipakai
disini. Sikap-sikap kontroversial seringkali menganggap bahwa perempuan
korban KDRT yang meminta bantuan polisi selanjutnya akan berubah pikiran
untuk menarik kembali laporannya karenanya polisis akan memnganggap itu
hanya akan mebuang-buang waktu. Pemikiran feminis mengakui adanya berbagai
tekanan sosial yang membuat perempuan menerima apapun, bahkan hubungan
kekerasan. Contoh tekanan-tekanan ini diantaranya adalah pandangan-pandangan
dari para anggota keluarga lain yang berdasar pada asumsi-asumsi konvensional
mengenai pentingnya mempertahankan sebuah pernikahan demi kebaikan anak,
perasaan bersalah akan kegagalan sebuah hubungan yang penting, serta kekuatan
finansial yang kadang-kadang dipegang kaum pria dalam sebuah pernikahan.
Meskipun sebuah cara penting yang bergerak pada sebuah psosisi yang adil bagi
perempuan terkait hubungan kekerasan adalah dengan membantu mereka
membuat keputusan-keputusan yang telah menjadi cara yang diperhitungkan
dalam menghadapi-faktor-faktor seperti ini.

Interaksi-interaksi lain dengan teori

Para feminis berupaya memahami kehidupan dan pengalaman perempuan dari


perspektif dan nilai-nilai mereka sendiri, yang berbeda dengan kaum pria, dan
menghindari mengambil sudut pandang laki-laki. Sebuah metode penting adalah
peningkatan kesadaran dengan membentuk kelompok-kelompok untuk berbagai
pengalaman dan memberikan dukungan timbal balik. Longres dan McCleod
(1980) menghubungkan peningkatan kesadaran dengan upaya penyadaran dari
Freire (1972) yang berkaitan langsung dengan teori kritis.

Begitu pun dengan pekerjaan sosial, yang diargumentasikan bahwa praktiknya


berorientasi pada tujuan dan tugas, seperti tuntutan-tuntutan positivis untuk
praktik ilmiah dan berbasis bukti, merupakan prioritas yang didefinisikan oleh
kaum pria yang menggunakan bahasa laki-laki dan dengan cara berfikir laki-laki
(Collins, 1986; Fawcett, 2000). Walker (1994), meskipun demikian, menunjukan
pada perolehan-perolehan yang dicapai dengan metode ilmiah dan menyatakan
bahwa kritik sebaiknya mengenai fungsi-fungsi yang diterapkan. Tak hanya itu,
posisi ‘etika perawatan’ berargumentasi bahwa perawatan berkurang nilainya oleh
masyarakat-masyarakat patriarki karena sering diasosiasikan dengan kaum
perempuan. Partton (2003) berpendapat bahwa fokus dari teori konstruksi sosial
pada pluralitas ilmu pengetahuan dan suara yang berhubungan dengan pandangan
ini dengan menerima naratif alternatif dan kemungkinan dalam praktik.

Politik pekerjaan sosial feminis

Teori pekerjaan sosial feminis muncul dari komitmen para pekerja sosial
perempuan pada gerakan feminis yang lebih luas di tahun 1960-an dan awal 70-
an, namun tulisan-tulisan paling awal berasal dari sebuah tradisi yang lebih luas
dan lebih liberal dalam merespon gerakan-gerakan umum untuk memperbaiki
hak-hak sipil dan asasi manusia. Pada tahun 1970-an, pekerjaan akademis dan
teori radikal mengenai peran-peran perawatan perempuan mempengaruhi
pemikiran profesional. Sebaiknya, gerakan feminisme mempengaruhi pendekatan-
pendekatan konseling mengenai kesejahteraan dan kesehatan perempuan. Juga ada
kampanye seputar isu yang mempengaruhi perempuan, terutama kekerasan,
pemerkosaan dan prostitusi. Orme (2009) mengidentifikasi empat bidang utama
pekerjaan sosial feminis:

 Kondisi-kondisi perempuan - dengan perempuan yang berbagai


pengalaman penindasan dan diskriminasi dalam banyak area kehidupan,
dan para profesional yang dirugikan dalam upayanya dalam meningkatkan
pekerjaan dan kemajuan profesional mereka;

 Praktik berpusat perempuan - yang fokus pada identifikasi kebutuhan-


kebutuhan khusus perempuan dan meresponnya;

 Suara berbeda perempuan - perempuan mengalami dunia secara berbeda,


dan memiliki pandangan-pandangan yang berbeda dari pandangan kaum
pria, terutama mengenai isu-isu yang terkait masalah sosial dan moral;

 Bekerja dengan perbedaan - karena pengalaman bersama mereka tentang


penindasan, perempuan mampu mengidentifikasi, menghargai dan
menanggapi keragaman sosial yang ada. Ini merupakan sebuah sumber
penting kontribusi feminis pada praktik anti penindasan dan kritis.

Fokus teori feminis seringkali pada situasi-situasi dimana perempuan mengalami


KDRT atau serangan sosial. secara alternatif, KDRT dan kekerasan seksual
mungkin timbul dimana perempuan secara kuat terlibat karena asumsi sosial
mengenai peran-peran gender mereka. KDRT pada perempuan dan masalah-
masalah seksual, umpamanya, merupakan bagian isu-isu sosial dan kesehatan
yang lebih luas dimana perempuan dapat memainkan peran pentingnya untuk
memecahkan masalah di dalam keluarganya. Umpamanya, kesehatan mental,
penyalahgunaan obat, tuna wisma, kemiskinan dan kesejahteraan anak sering kali
ditangani oleh kaum perempuan (Valentich, 2008).
Kesamaan

Sebuah posisi nilai yang penting dalam praktik feminis adalah bahwa kaum
perempuan berbagai kesamaan, yaitu bahwa mereka memiliki pengalaman-
pengalaman yang sama sebagai korban penindasan oleh sebuah masyarakat
patriarkis yang memberikan keistimewaan pada cara berpikir dan hidup kaum
pria. Ini merupakan sebuah sumber identitas untuk perempuan dan basis untuk
membangun hubungan antara para praktisi dan klien, yang memampukan
kelompok perempuan untuk mendukung satu sama lain (Orme, 2009).

Teater (2010) menyarankan empat persamaan penting dalam praktik pekerjaan


sosial feminis:

 Mengakhiri patriarki;

 Memberdayakan perempuan;

 Memahami manusia, terutama perempuan, dalam lingkungan atau konteks


sosialnya, yang membuat politik sebagai personal dan personal sebagai
indan politik;

 Peningkatan kesadaran diantara perempuan dan laki-laki mengenai adanya


struktur-struktur sosial yang membangun ketidakadilan gender.

Pandangan feminisme dan etika-etika perawatan

McLaughlin (2003) mengidentifikasi perdebatan antara teori-teori sosial dan


pemikiran feminis. Contoh pentingnya adalah teori standpoint, suatu perluasan
feminis dari sebuah perspektif Marxisme. Hal ini menyatakan bahwa masing-
masing kelompok sosial yang berbeda mewakili suatu standpoint di masyarakat,
dan setiap standpoint mengandung kepentingan sosial dan ekonomi kelompoknya.
Teori tersebut mengatakan bahwa kaum perempuan merupakan kelompok yang
memiliki suatu standpoint yang masuk akal, yang merefleksikan penindasan
ekonomi dan sosial yang dilakukan kaum pria terhadap mereka. Menurut teori
standpoint, semua penindasan berpangkal dari penindasan ekonomi. Perspektif-
perspektif posmodernisme, di lain pihak, menegaskan mengenai kompleksitas
budaya dan aspek bahasa dari hubungan-hubungan kekuasaan antara perempuan
dan laki-laki dalam era yang disebut era paska feminis. Dalam pandangan ini, cara
berpikir dan pembicaraan kelompok perempuan mengenai hubungan-hubungan
mereka mencerminkan suatu posisi budaya yang spesifik, mereka bukanlah
sekedar tambahan untuk sebuah penjelasan umum, seperti tentang penegasan
ekonomi dari teori standpoint.

Pekerjaan Gilligan (1982) yang berkontribusi pada posisi ‘etika-etika perempuan’


berpengaruh dalam pekerjaan sosial dan profesi-profesi yang berhubungan
(Koggel dan Orme, 2010, 2011). Gilligan menunjukan bahwa perempuan dan
laki-laki memiliki modus alasan yang berbeda atas pertanyaan-pertanyaan
mengenai moral, termasuk sifat dari kepedulian (Rhodes, 1985).

David (1985) menerapkannya dalam pekerjaan sosial dan menyatakan bahwa


‘suara-suara’ perempuan, baik secara umum maupun dalam pekerjaan sosial, telah
ditekan untuk mendukung sebuah perspektif positivis kaum pria; oleh karena itu,
hal ini berkisar pada gender dan pendekatan untuk memahami pengetahuan.
Perspektif seperti ini mengajukan cara-cara alternatif untuk mendefinisikan
pekerjaan sosial serta dasar ilmu pengetahuannya, dan untuk memastikan bahwa
lembaga-lembaga tidak dikelola untuk mengesampingkan kaum perempuan
dengan perspektif mereka.

Aplikasi-Aplikasi Praktik feminis

Orme (2009) mengidentifikasi tiga elemen utama praktik feminis:

 Prinsip-prinsip feminis, yang membentuk kesamaan antara feminisme dan


pekerjaan sosial berdasarkan nilai-nilai yang sama-sama dimiliki oleh
semua perempuan karena pengalaman yang sama;

 Petunjuk-petunjuk untuk praktik dalam bekerja dengan perempuan dan


kaum pria yang berasal dari pemikiran feminis;
 Penggunaan perspektif-perspektif feminisme untuk memahami dimensi
praktik gender.

Wacana contoh :’keadaan pekerjaan sosial feminis’ V. White (2006)

V. White memulai dari sebuah perasaan ketidaknyamanan mengenai teori dan


praktik terkini yang tidak memasukan gagasan-gagasan dan aktivisme antara teori
pekerjaan sosial feminis dengan pengalaman menjadi seorang pekerja sosial
feminis :

 Teori mengasumsikan bahwa identitas feminis merupakan suatu basis


yang tidak problematik yang menghasilkan praktik feminis, sementara
pengalaman menunjukkan bahwa identitas feminis bersifat cair, rapuh atau
untuk beberapa orang pada saat-saat tertentu, tidak eksis.
 Teori menganggap bahwa kesamaan pengalamn anatara para praktisi
perempuan dan para klien merupakan basis untuk sebuah praktik non
hierarki, tidak menindas, setara, sementara pengalaman menunjukkan
bahwa gender mungkin bukan merupakan suatu basis untuk hubungan-
hubungan setara, hubungan-hubungan yang bisa jad tidak mungkin sama
sekali.
 Teori menganggap bahwa tujuan dari hubungan-hubungan yang setara
adalah pemberdayaan, sementara dalam praktik tidak jelas apa yang
dimaksud dengan pemberdayaan.
 Teori played down, atau menghindari basis statutory atau mandat legal
untuk pekerjaan sosial, sementara statutory dan tanggung jawab hukum
serta kekuasaan di dalam praktik menghambat praktik feminis.
 Beberapa sarann

Pemberdayaan perempuan merupakan tujuan utama praktik dalam posisi feminis


ekletik, dan dimaksudkan untuk mentransformasi posisi dan kapasitas perempuan
untuk mencapai kesetaraan dalam peran-peran dan posisi sosialnya.
Bagaimanapun juga, pemberdayaan memiliki serangkaian arti. Dalam banyak
lembaga pemerintah, dan di mana saja, ini merupakan suatu sinonim ntuk
memampukan para klien lebih berpartisipasi dalam keputusan-keputusan yang
mempengaruhi mereka, daripada hanya menerima pengaryh atas kehidupan
mereka. Ini juga mungkin berarti bawa, dalam berbagai lembaga, klien
memperoleh kendali atas pelayanan, bukan hanya pengalaman kehidupan mereka
sendiri. Teori neoliberal elihat pemberdayaan dalam cara yang berlawanan, yakni
sebagai bentuk pembebasan manusia dari interferensi oleh negara, atau dari suatu
ketergantungan pada negara dan pelayanannya.Teori fenimisme melihat
pemberdayaan sebagai hasil pelayanan dan prkatik egaliter, karena teori feminis
memvalidasi pengalaman kehidupan perempuan dan memampukan perempuan
lebih Mencari tujuan mereka sendiri daripada tujuan lembaga; mereka jadi
memperoleh kendali yang lebih besar atas kehidupannya dan layanan-laanan yang
disediakan. Salah satu masalahnya adalah bahwa konsepsi kekuasaan ini bersifat
individualistis : ini mungkin mengarah kepada perempuan yang memiliki
pengaruh lebih besar dalam hubungan interpersonalnya, namun tidak mengubah
rutinitas masyarakat yang cenderung mengesampingkan perempuan dari
kekuasaam. Hal ini terutama merupakan isu di mana praktik feminis berlangsung
dalam lembaga-lembaga, terutama lembaga negara bagian, dimana struktur
kekuatan hirarkis menerima dominasi laki-laki dalam menentukan keputusan dan
hubungan-hubungan sosial. Pemberdayaan signifikan untuk perempuan mungkin
diobstruksi oleh struktur-struktur seperti itu, bahkan ketika pemberdayaan
dimungkinkan dalam organisasi, seperti organisasi perempuan, yang menyediakan
perlindungan dari KDRT.

Penggunaan teori feminis dalam praktik

Jelas dari penilitian White (2006) bahwa menggunakan gagasan-gagasan feminis


dalam praktik, adalah problematik untuk perempuan, dan mungkin juga bagi laki-
laki. Teori feminis sebagai sebuah perspektif telah dikritik karena terbatasnya
fokus dan prioritas bagi isu-isu perempuan, posisi termarjinalkannya basis
penelitiannya yang berarti sulit untuk diaplikasikan secara umum. Akan tetapi,
teori feminisme telah mengubah pemikiran mengenai peran dan hubungan gender
dalam kaitannya dengan kebijakan sosial dan pelayanan kesejahteraan. Teori
fenimisme telah menimbulkan kesadaran akan pentingnya pengalaman-
pengalaman perempuan dalam bekerja dengan perempuan lain, terutama mereka
yang beradadalam situasi tertindas.

Gambaran utama praktik feminis adalah sebaga berikut:

 Praktik feminisme menciptakan hubungan dialogis dan egaliter. Hal ini


mewajibkan adanya pendekatan terbuka untuk menciptakan perdebatan
mengenai kemungkinan-kemungkinan dengan para klien, dibanding
sebuah praktik interpersonal yang diragukan. Daripada mengajukan
peryanyaan-pertanyaan dari sebuah daftar periksa secara konstan,
membuka sebuah diskusi akan membiarkan klien dan perawatnya
mengutarakan isu-isu dan mengungkapkan pendapat-pendapat mereka,
tidak sekedar berpegang teguh pada agenda lembaga. Hal ini bukan
berarti para praktisi feminisme tidak sulit : mereka secara konstan
berupaya meresahkan asumsi-asumsi berbasis gender konvensional dan
mengimplementasikan prinsip nilai bersama ‘praktik kritis’
 Praktik feminisme fokus pada identitas pribadi, terutama identitas
perempuan. Hal ini membutuhkan bantuan bagi klien untuk
mengklarifikasi dan memburu tujuan-tujuan pribadi penting yang
memperkuat mereka sebagai perempuan.
 Praktik feminisme menilai keragaman di antara kaum perempuan dan
kaum pria dan hubungan antara mereka, yang memvalidasi serangkaian
relasin non-eksploitatif yang luas dalam kehidupan klien.
 Praktik feminisme juga mencari kesempatan menggunakan kelompok-
kelompok untuk mempromosikan suatu kesadaran dan pemaaman
penindasan, sebagaimana halnya strategi-strategi untuk menanggapinya.
Ini merupakan pendekatan feminisme tradisional ‘peningkatan kesadaran’
secara lebih luas diartikan sebagai suatu pendekatan pendagogi sosial
untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran perempuan dengan
menggunakan kesempatan-kesempatan belajar dan memperoleh
pengalaman berbagai macam hubungan sosial.
KESIMPULAN

Feminisme itu sendiri menurut Najmah dan Khatimah sa‟ida dalam bukunya yang
berjudul “Revisi Politik Perempuan” (2003:34) menyebutkan bahwa : Feminisme
adalah suatu kesadaran akan penindasan dan eksploitasi terhadap perempuan yang
terjadi baik dalam keluarga, di tempat kerja, maupun di masyarakat serta adanya
tindakan sadar akan laki- laki maupun perempuan untuk mengubah keadaan
tersebut secara leksikal. Feminisme adalah gerakan kaum perempuan yang
menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki “.

Feminisme sebagai sebuah teori dan metode memiliki implikasi yang cukup luas
terhadap pekerjaan sosial. Pengaruh teori feminis terhadap pekerjaan sosial
berubah menjadi sebuah paradigma tersendiri yang dikenal dengan nama feminist
social work (pekerjaan sosial feminis). Beranjak dari organiasi sukarela dan aksi
masyarakat (community action), perspektif feminis kini masuk ke bidang-bidang
praktek pekerjaan sosial yang lain, seperti konseling ,terapi kelompok, terapi
organisasi, analisis kebijakan sosial, dan penelitian pekerjaan sosial.

Secara garis besar, tiga mahzab yang paling dikenal dalam feminism perspektif
adalah feminism liberal, radikal dan sosialis. Setiap mazhab feminis memiliki
perspektif yang berbeda mengenai hakekat ketidakadilan dan penindasan terhadap
wanita. Masing masing mazhab memiliki pendekatan yang berbeda guna
mengatasi ketidakadilan gender ini.

Feminisme liberal adalah “pandangan yang berargumentasi bahwa bahwa


perbedaan-perbedaan jenis kelamin (perbedaan fisik) antara perempuan dan pria
telah diterjemahkan oleh asumsi-asumsi budaya menjadi perbedaan-perbedaan
gender (asumsi-asumsi sosial mengenai perbedaan tingkah laku dan kepentingan
antara laki-laki dan perempuan). Asumsi-asumsi gender mempengaruhi berbagai
hubungan sosial meskipun perbedaan jenis kelamin sering sekali tidak penting.”
(Reynolds, 1993 ; Dominelli 2002). Intinya mazhab ini mengusulkan agar wanita
memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Para pendukung feminisme liberal
sangat banyak, antara lain John Stuart Mill, Harriet Taylor, Josephine St. Pierre
Ruffin, Anna Julia Copper, Ida B. Wells, Frances E. W. Harper, Mary Church
Terrel dan Fannie Barrier Williams.

Feminisme radikal adalah “pandangan untuk menghormati dan memuliakan


perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan serta pemisahan struktur-
struktur perempuan dalam organisasi-organisasi yang sudah ada dan dalam
struktur sosial perempuan itu sendiri.” (Reynolds 1993 ; Dominelli 2002). Intinya
mahzab ini mengusulkan bahwa masing-masing gender menghargai perbedaan
masing-masing, dan memperjuangkan kebutuhan gendernya dalam struktur
sosialnya. Tokoh feminisme radikal adalah Maria Stewart melalui karyanya,
Vindication of the Rights of Women, Mary Wollstonecraff pada tahun 1797
menganjurkan kemandirian wanita dalam bidang ekonomi. Selain itu Elizabeth
Cuddy Stanton pada tahun 1880-an menentang hak-hak seksual laki-laki terhadap
wanita dan menyerang justifikasi keagamaan yang menindas wanita.

Feminisme sosialis adalah “Pandangan ini menyatakan bahwa penindasan


terhadap perempuan berasal dari ketidaksetaraan yang melekat dalam struktur
sosial sehingga rawan terjadinya bentuk penindasan seperti penindasan terhadap
ras dan disabilitas.” (Reynolds 1993 ; Dominelli 2002). Intinya mahzab ini
mengusulkan untuk memberikan fokus terkait dengan penindasan baik ras dan
disabilitas dan perbudakan terhadap perempuan. Tokoh feminisme sosialis adalah
Jagga yang merasa tidak puas terhadap analisis Marx dan Engels yang tidak
menyentuh terkait penindasan dan perbudakan perempuan.

Dalam bukunya Modern Social Work Theory, Malcol Payne menyatakan terdapat
tiga pandangan yang menimbulkan terjadinya diskursus atau interaksi yang
dilakukan oleh individu dengan individu tentang apa yang mereka katakan dan
pemberian makna terhadap sesuatu. Ketiga pandangan tersebut adalah

 Reflexive – Therapeutic Views


 Socialis – Collectivist Views
 Individualist – Reformist Views
Dari ketiga pandangan tersebut, Teori Feminisme masuk ke dalam pandangan
Socialis – Collectivist Views. Dimana maksud dari Socialis – Collectivist Views
adalah suatu pandangan yang memandang bahwa pekerjaan sosial berusaha
bekerjasama dan saling mendukung di dalam masyarakat. Jadi dalam menangani
masalah diskriminasi dengan cara-cara bekerjasama dan memberi dukungan di
dalam masyarakat. Maka mereka akan memiliki kekuatan untuk mengatasi diri
sendiri. Dalam pandangan Socialis – Collectivist Views penyelesaiannya dengan
memberdayakan orang, sehingga orang atau klien akan mengambil bagian dari
proses belajar sehingga dapat mengatasi masalahnya sendiri. Jika dilihat,
feminisme muncul sebagai akibat adanya diskriminasi atau penindasan yang
dirasakan oleh kaum perempuan, selain itu dalam penyelesaiannya seperti yang
sudah dijelaskan yaitu melalui kerjasama baik oleh kaum perempuan dalam
memperjuangkan hak-haknya agar terbebas dari penindasan, diskriminasi, dan
perbudakan. Serta kerjasama kaum laki-laki untuk menghargai hak-hak kaum
perempuan serta menghilangkan perspektif negatif terkait fungsi kaum
perempuan. Selain itu pemberdayaan perempuan juga termasuk solusi dalam hal
membuat perempuan menjadi lebih berkualitas dan memiliki kapasitas lebih.
DAFTAR PUSTAKA

Payne Malcolm. Teori Pekerjaan Sosial Modern. Edisi Ke-4.

Payne Malcolm. Modern Social Work Theory. 3rd Edition.

SUMBER LAIN :

Edi Suharto. Paper Feminis dan Pekerjaan Sosial. Indonesia

Anda mungkin juga menyukai