Konseling Obat

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 12

MATERI EDUKASI KONSELING OBAT

RUMAH SAKIT UMUM ESHMUN


Jl. Marelan Raya No.173 A Medan 20245 - Indonesia
Telp:(061)88818000, (061)88818282
Email: eshmunhospital@yahoo.com
TAHUN 2019
MATERI EDUKASI TENTANG KONSELING OBAT
DI RUMAH SAKIT

1. Konseling
a. Pengertian Konseling
Konseling berasal dari kata counsel yang artinya memberikan saran,
melakukan diskusi dan pertukaran pendapat (Depkes RI, 2006). Konseling adalah
suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien
untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat dan
pengobatan. Apoteker harus senantiasa memberikan konseling mengenai sediaan
farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari
penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan lainnya
(Depkes RIa, 2004).
Kegiatan konseling dapat diberikan atas inisiatif langsung dari apoteker
mengingat perlunya pemberian konseling karena pemakaian obat-obat dengan cara
penggunaan khusus, obat-obat yang membutuhkan terapi jangka panjang sehingga
perlu memastikan untuk kepatuhan pasien meminum obat (Depkes RI, 2006).

b. Tujuan Konseling
1) Tujuan Umum
a) Meningkatkan keberhasilan terapi
b) Memaksimalkan efek terapi

c) Meminimalkan resiko efek samping

d) Meingkatkan cost effectiveness

e) Menghormati pilihan pasien dalam menjalankan terapi


2) Tujuan Khusus
a) Meningkatkan hubungan kepercayaan antar apoteker dengan pasien
b) Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien
c) Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obatnya
d) Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan dengan penyakitnya
e) Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan
f) Mencegah atau meminimalkan Drug Related Problem
g) Meningkatkan kemampuan pasien untuk memecahkan masalahnya sendiri
dalam hal terapi
h) Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan
i) Membimbing dan mendidik pasien dalam menggunakan obat sehingga
dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan
pasien (Depkes RI, 2006)
Untuk mencapai tujuan konseling dalam membantu pasien dengan berbagai
cara, apoteker juga harus melakukan tindakan mengedukasi pasien. Edukasi berarti
meningkatkan keterampilan dan pengetahuan dengan tujuan menimbulkan
perubahan sikap dan perilaku dalam hal-hal yang berkaitan. Tujuan edukasi oleh
apoteker adalah memberikan informasi yang sesuai dengan kebutuan spesifik
pasien. Tujuan lain dari edukasi meliputi pemberian keterampilan dan teknik yang
dibutuhkan pasien untuk mengoptimalkan terapi yang diresepkan bagi pasien
tersebut (Rantucci, 2009).

c. Manfaat Konseling
Manfaat Konseling bagi pasien antara lain: menjamin keamanan dan efektifitas
pengobatan, mendapatkan penjelasan tambahan mengenai penyakitnya, membantu
dalam merawat atau perawatan kesehatan sendiri, membantu pemecahan masalah
terapi dalam situasi tertentu, menurunkan kesalahan penggunaan obat,
meningkatkan kepatuhan dalam menjalankan terapi, Menghindari reaksi obat yang
tidak diinginkan, meningkatkan efektifitas dan efisiensi biaya kesehatan.
Sedangkan bagi apoteker antara lain: menjaga citra profesi sebagai bagian dari tim
pelayan kesehatan, mewujudkan bentuk pelayanan asuhan kefarmasian sebagai
tanggung jawab profesi apoteker, menghindarkan apoteker dari tuntutan karena
kesalahan penggunaan obat (medication error), suatu pelayanan tambahan untuk
menarik pelanggan sehingga menjadi upaya dalam memasarkan jasa pelayanannya
(Depkes RI, 2006).

d. Sasaran Konseling
1) Konseling Pasien Rawat Jalan
Pemberian konseling pada pasien rawat jalan dapat diberikan pada saat
pasien mengambil obat di apotik. Pemilihan tempat konseling tergantung dari
kebutuhan dan tingkat kerahasiaan / kerumitan akan hal-hal yang perlu
dikonselingkan kepada pasien. Konseling pasien rawat jalan diutamakan pada
pasien yang:
a) Menjalani terapi untuk penyakit kronis, dan pengobatan jangka panjang
b) Mendapatkan obat dengan bentuk sediaan tertentu dan dengan cara
pemakaian yang khusus

c) Mendapatkan obat dengan cara penyimpanan yang khusus


d) Mendapatkan obat-obatan dengan aturan pakai yang rumit
e) Golongan pasien yang tingkat kepatuhannya rendah
f) Mendapatkan obat dengan indeks terapi sempit
g) Mendapatkan terapi obat-obatan dengan kombinasi yang banyak (polifarmasi)
2) Konseling Pasien Rawat Inap
Konseling pasien rawat inap, diberikan pada saat pasien akan melajutkan
terapi dirumah. Pemberian konseling harus lengkap seperti pemberian konseling
pada rawat jalan. Selain pemberian konseling pada saat akan pulang, konseling
pada pasien rawat ini juga diberikan pada kondisi sebagai berikut:
a) Pasien dengan tingkat kepatuhan dalam minum obat rendah.
b) Adanya perubahan terapi yang berupa penambahan terapi, perubahan
regimen terapi, maupun perubahan rute pemberian (Depkes RI, 2006).

Aspek konseling yang harus disampaikan kepada pasien:


1) Deskripsi dan kekuatan obat
Apoteker harus menberikan informasi kepada pasien mengenai:
a) Bentuk sediaan dan cara pemakaiannya
b) Nama dan zat aktif yang terkandung didalamnya
c) Kekuatan obat (mg/g)
2) Jadwal dan cara penggunaan
Penekanan dilakukan untuk obat dengan instruksi khusus seperti “minum
obat sebelum makan”, ”jangan diminum bersama susu” dan lain sebagainya.
Kepatuhan pasien tergantung pada pemahaman dan perilaku sosial ekonominya.

3) Mekanisme kerja obat


Apoteker harus mengetahui indikasi obat, penyakit/gejala yang sedang
diobati sehingga Apoteker dapat memilih mekanisme mana yang harus dijelaskan.
Penjelasan harus sederhana dan ringkas agar dipahami oleh pasien.
4) Dampak gaya hidup
Regimen obat banyak memaksa pasien untuk merubah gaya hidup.
Apoteker harus dapat menanamkan kepercayaan pada pasien mengenai manfaat
perubahan gaya hidup untuk meningkatkan kepatuhan pasien.
5) Penyimpanan
Pasien harus diberikan tentang cara penyimpanan obat terutama
penyimpanan obat-obat yang harus disimpan pada temperatur kamar, adanya
cahaya dan lain sebagainya. Tempat penyimpanan sebaiknya jauh dari jangkauan
anak-anak.
6) Efek potensial yang tidak diinginkan
Apoteker sebaiknya menjelaskan mekanisme atau alasan terjadinya
toksisitas secara sederhana. Penekanan penjelasan dilakukan terutama untuk obat
yang menyebabkan perubahan warna urin, yang menyebabkan kekeringan pada
mukosa mulut, dan lain sebagainya. Pasien juga diberitahukan tentang tanda dan
gejala keracunan (Depkes RI, 2006).
Sesi konseling dapat dibagi menjadi 5 tahapan:
1. Diskusi pembukaan
a. Perkenalan
b. Menjelaskan tujuan konseling
2. Diskusi untuk mengumpulkan informasi dan mengidentifikasi kebutuhan
a. Pasien baru
1) Mengumpulkan informasi tentang pasien
2) Melaksanakan konsultasi pelaksanaan pengobatan
b. Pasien lama
1) Menegaskan informasi tentang pasien
2) Menegaskan informasi tentang obat
c. Resep baru
1) Pengetahuan tentang tujuan, obat, regimen obat, kondisi pasien dan sasaran
terapi
2) Masalah yang mungkin muncul
d. Resep ulangan atau pemantauan lanjutan
1) Masalah ketaatan
2) Perincian tentang penggunaan obat
3) Tanda efek samping
4) Keefektifan terapi
5) Masalah yang mungkin muncul

3. Diskusi untuk mengatasi masalah dan menyusun rencana asuhan kefarmasian


a. Mendiskusikan masalah yang ada atau masalah yang mungkin muncul
b. Membuat kesepakatan atas pilihan-pilihan
c. Melaksanakan rencana
d. Mendiskusikan hasil terapi dan pemantauannya
4. Diskusi untuk memberikan informasi dan edukasi
a. Resep baru
1) Memberikan informasi tentang kondisi dan pengobatan
2) Ketaatan dan pemantauan sendiri
3) Pengulangan resep dan pemantauan lanjutan
b. Resep ulangan atau pemantauan lanjutan
1) Menerangkan kembali informasi tentang obat atau kondisi agar semakin
jelas
2) Informasi tentang cara pemantauan sendiri
3) Merujuk pasien ke dokter bila diperlukan
4) Menangani efek samping
5) Menentramkan hati pasien/jaminan
c. Obat tanpa resep
1) Obat yang disarankan
- Memberikan informasi tentang kondisi dan pengobatan
- Terapi di masa akan datang
- Menentramkan hati pasien/jaminan
- Pemantauan sendiri
- Efek samping dan tindakan pencegahan yang perlu dilakukan

- Terapi lain yang bukan obat


- Tindak lanjut apoteker
2) Tidak ada obat yang disarankan
- Merujuk pasien ke dokter
- Manyarankan terapi lain yang bukan obat
- Memberikan informasi yang diperlukan
- Menentramkan hati pasien/ jaminan
- Tindak lanjut apoteker
5. Diskusi penutup
a. Mengulangi poin-poin penting
b. Meminta tanggapan dari pasien
c. Mendorong pasien untuk bertanya
d. Menegaskan tindak lanjut untuk pemantauan (Rantucci, 2009).
Apoteker perlu menyadari bahwa konseling adalah layanan apotek, tetapi
ternyata masih banyak apoteker yang masih menemui kesulitan untuk terlibat
dalam konseling pasien. Apoteker sepertinya menghadapi begitu banyak tantangan
untuk menjadikan konseling pasien sebagai aktivitas rutinnya untuk menerapkan
layanan-layanan apotek. Tantangan utama yang harus dihadapi apoteker dalam
memberikan layanan konseling pada pasien meliputi: tantangan yang melekat pada
sistem, lingkungan tempat praktik apoteker, tantangan yang ditimbulkan oleh
apoteker sendiri dan oleh pasien dan perubahan.
1. Tantangan Sistem
Salah satu contoh tantangan sistem adalah tantangan waktu. Ini terkait
dengan sejumlah persoalan sistem. Salah satunya adalah dibutuhkan
stafpendukung yang memadai dan cukup terlatih untuk mengerjakan banyak tugas
administrasi dan bila memungkinkan tugas meracik dan menyerahkan obat.
Masalah sistem lain berkaitan dengan keterbatasan sumber daya manusia dan juga
kebijakan bisnis apotek (beberapa mengharuskan apoteker meracik dan
menyerahkan sejumlah resep atau mempertahankan jumlah staf sesuai dengan
batas yang diterapkan) membuat apoteker sangat sulit memberikan konseling.
2. Tantangan Lingkungan Praktik
Tempat penyerahan obat yang ditinggikan, konter obat yang tinggi, dan
yang lebih penting kurang atau tidak adanya privasi, membuat pasien tidak dapat
bertemu dengan apoteker dan menciptakan suasana yang tidak kondusif untuk
melakukan interaksi terapi. Tantangan fisik seperti ini terbukti membuat pasien
bersikap negatif terhadap apoteker. Persepsi pasien mengenai mengenai keahlian
apoteker dan frekuensi pertemuan sangat menentukan dalam mengembangkan
hubungan yang berkualitas tinggi antar pasien dan apoteker. Tersedianya area
khusus yang benar-benar terpisah dari area peracikan dan penyerahan obat sebagai
tempat pertemuan apoteker dengan pasien akan menegaskan keahlian apoteker
pasien dan akan mendorong untuk berkomunikasi dengan bebas sehingga apoteker
dapat memberikan layanan asuhan kefarmasian yang sesuai.
3. Tantangan dari Pasien
Apoteker menghadapi berbagai bentuk kesulitan pemahaman yang
ditunjukkan oleh pasien selama konseling berlangsung. Kesulitan pemahaman
kemungkinan tidak hanya melibatkan pasien dalam berbahasa inggris karena
pasien berasal dari Negara yang lain, tetapi juga kesulitan pemahaman yang
disebabkan tingkat pengetahuan pasien yang rendah. Istilah-istilah teknis yang
dipergunakan apoteker dan berbagai ketidakmampuan/cacat yang diderita pasien
juga dapat menghambat pemahaman pasien.
4. Tantangan dari Apoteker
Apoteker terkadang menolak terlibat dalam konseling pasien karena
apoteker tidak yakin bahwa dirinya mempunyai kemampuan untuk memberikan
konseling pada pasien dan memiliki pengetahuan tentang obat-obatan. Apoteker
mungkin merasa takut pasien akan menanyakan pertanyaan yang tidak dapat
dijawab oleh mereka. Mereka sering tidak yakin akan dasar pengetahuan mereka
dan khawatir mereka tidak mampu memberikan semua informasi yang mungkin
diperlukan. Tantangan lain yang ditimbulkan oleh apoteker sendiri adalah
kurangnya keterampilan berkomunikasi dan keterampilan antar pribadi apoteker
ketika berinteraksi dengan pasien. Kurang atau tidak adanya keterampilan apoteker
dalam menyesaikan masalah menimbulkan kesulitan bagi apoteker dalam
memberikan asuhan kefarmasian.
5. Tantangan Perubahan
Perubahan yang diperlukan melibatkan banyak fase, yaitu dimulai dengan
memperbaiki keefesienan dan keefektifan praktik yang telah dijalankan, kemudian
mengembangkan berbagai layanan secara bertahap sambil memperkuat hubungan
dengan berbagai pihak yang berkepentingan sebelum akhirnya menerapkan
layanan-layanan tersebut. Perubahan struktur juga diperlukan, antara lain
pengadaan sumber-sumber daya seperti materi edukasi, instrument piranti lunak
dan piranti keras komputer, dan juga perubahan sosial. Perubahan prosedur
meliputi perubahan cara orang bekerja dan berinteraksi di dalam apotek dan juga
interaksi antara apoteker, pasien dan dokter (Rantucci, 2009).
2. Apotek
a. Definisi Apotek
Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan
penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat
(Anief, 2001).
b. Tugas dan Fungsi Apotek
Apotek mempunyai fungsi utama dalam pelayanan obat atas dasar resep dan
pelayanan obat tanpa resep serta untuk praktek dokter (Anief, 2000).
Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 menyatakan bahwa tugas dan
fungsi apotek adalah sebagai berikut:
1) Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah
jabatan.
2) Sarana farmasi yang dilakukan pengubahan bentuk dan penyerahan obat atau
bahan obat.
3) Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang
diperlukan masyarakat secara luas dan merata (Anief, 2001).
c. Pengelolaan Apotek
Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993
menyebutkan bahwa pengelolaan apotek meliputi:
1) Pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran,
penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat.

2) Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi


lainnya.
3) Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi:
a) Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi diberikan baik
kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat.
b) Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya
atau mutu suatu obat dan perbekalan farmasi lainnya. Pelayanan informasi
tersebut di atas wajib didasarkan kepada kepentingan masyarakat (Anief,
2001).
d. Pelayanan Apotek
1) Apotek wajib melayani resep dari dokter, dokter gigi, dan dokter hewan
2) Pelayanan resep sepenuhnya tanggung jawab APA serta sesuai dengan
tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi kepentingan
masyarakat
3) Apotek tidak boleh mengganti obat generik yang tertulis dalam resep,
apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk memilihkan obat yang
lebih tepat dan terjangkau. Apoteker wajib memberikan informasi yang
berkaitan dengan penggunaan obat secara aman, tepat, rasional, atau atas
permintaan masyarakat. Jika resep itu tertulis Resep p.p = pro pauper
maksudnya adalah resep untuk orang miskin
4) Apotek dilarang menyalurkan barang dan/atau menjual jasa yang tidak ada
hubungannya dengan fungsi pelayanan kesehatan

5) Yang berhak meracik resep adalah apoteker dan asisten apoteker di bawah
pengawasan apotekernya
6) Apotek dibuka setiap hari dari pukul 8.00-22.00
7) Apotek dapat ditutup pada hari-hari libur resmi atau libur keagamaan setelah
mendapatkan persetujuan dari Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Depkes
setempat atau Kepala Dinas Keseatan (Kadinkes) setempat, atau pejabat lain
yang berwenang (Syamsuni, 2006).
3. Apoteker
a. Definisi Apoteker
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004
menyebutkan bahwa apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan
profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai
apoteker (ISFI, 2004).
Apoteker wajib melayani semua resep sesuai tangung jawab dan keahlian
profesinya dan dilandasi pada kepentingan masyarakat. Apoteker wajib memberi
informasi tentang penggunaan obat secara tepat, aman, rasional, kepada pasien atas
permintaan masyarakat (Anief, 2001). Dalam Kepmenkes No. 1027 tahun 2004
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Apoteker di apotek senantiasa
harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik,
mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi,
menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan
mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, dan membantu
memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan
(Hartini dan Sulasmono, 2007).
b. Tugas Apoteker Pengelola Apotek
1) Di bidang pengabdian profesi
a) Melakukan penelitian seperlunya terhadap semua obat dan bahan obat secara
kualitatif/kuantitatif yang dibeli.
b) Mengadakan pengontrolan terhadap bagian pembuatan.
c) Mengadakan pengontrolan serta pengecekan terhadap pelayanan atas resep
yang telah dibuat dan diserahkan kepada pasien.
d) Menyelenggarakan informasi tentang obat pada pasien, Dokter dan sebagainya.
e) Menyelenggarakan komunikasi dengan mengusahakan segala sesuatunya agar
dapat melancarkan hubungan keluar antara lain dengan Dokter, masalah survei
pasar, promosi dan publisitas, dan sebagainya.
2) Di bidang administrasi
a) Memimpin, mengatur dan mengawasi pekerjaan tata-usaha, keuangan, perdagangan
dan statistik.
b) Membuat laporan-laporan.
c) Menyelenggarakan surat-menyurat
3) Di bidang komersiil

a) Merencanakan dan mengatur kebutuhan barang yaitu obat, alat kesehatan dan
sebagainya untuk satu periode tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku.

b) Mengatur dan mengawasi penjualan dalam bentuk resep maupun penjualan bebas,
langganan dan sebagainya.
c) Menentukan kalkulasi harga dan kebijakan harga.
d) Berusaha meningkatkan permintaan.
e) Memupuk hubungan baik dengan para pelanggan.
f) Mencari langganan baru.
g) Menentukan kepada siapa dapat diberi kredit atas pembelian obat.
h) Mengadakan efisiensi dalam segala bidang.
4) Tanggung jawab dan wewenang
a) Kedalam bertanggungjawab mengenai segala aktivitas perusahaan kepada pemilik
sarana dan keluar di bidang farmasi kepada Departemen Kesehatan RI.
b) Memimpin, mengelola sejumlah orang dalam melakukan pengabdian profesi
kefarmasian.
c) Menambah, memberhentikan dan mutasi pegawai serta pemberian dan kenaikan
gaji (Anief, 2001).
4. Persepsi
Persepsi adalah suatu proses memperhatikan dan menyeleksi,
mengorganisasikan dan menafsirkan stimulus lingkungan. Proses memperhatikan
dan menyeleksi terjadi karena panca indera dihadapkan kepada begitu banyak
stimulus lingkungan (Gitosudarmo dan Sudita, 2000).
Sejumlah faktor dapat berpengaruh dalam memperbaiki atau kadang-
kadang mendistorsi persepsi. Faktor-faktor ini dapat terletak pada pelaku persepsi,
objek/target persepsi, dan dalam konteks situasi dimana persepsi itu dibuat
(Muchlas, 2008).
Faktor- faktor psikologis yang dapat mempengaruhi bagaimana kita
mempersepsikan serta apa yang kita persepsikan adalah:
a. Kebutuhan
Ketika seseorang membutuhkan sesuatu, atau memiliki ketertarikan akan suatu hal,
atau menginginkannya, seseorang akan dengan mudah mempersepsikan sesuatu
berdasarkan kebutuhan tersebut.
b. Kepercayaan
Apa yang dianggap sebagai benar dapat mempengaruhi interpretasi seseorang
terhadap sinyal sensorik yang ambigu.
c. Emosi
Emosi dapat mempengaruhi interpretasi seseorang mengenai suatu informasi
sensorik.
d. Ekspektasi
Kecenderungan untuk mempersepsikan sesuatu sesuai dengan harapan disebut
sebagai set persepsi (perceptual set). Set persepsi dapat sangat berguna, set
persepsi akan membantu seseorang mengisi kata-kata dalam sebuah kalimat, tetapi
set persepsi juga dapat memnyebabkan terjadinya kesalahan persepsi (Wade dan
Tavris, 2008).
5. Sumber Informasi Obat
Sumber informasi obat meliputi: dokumen, fasilitas, lembaga, dan manusia.
Dokumen mencakup pustaka farmasi dan kedokteran, yang terdiri dari majalah
ilmiah, buku teks, laporan penelitian, dan farmakope. Fasilitas mencakup fasilitas
informasi obat terkomputerisasi, internet, perpustakaan, dan lain-lain. Lembaga
mencakup industri farmasi, badan POM, Pusat Informasi Obat, pendidikan tinggi
farmasi, organisasi profesi dokter/apoteker. Manusia mencakup dokter, dokter gigi,
perawat, apoteker, dan profesional kesehatan yang lain (Kurniawan dan Chabib,
2010).
Sumber informasi obat digolongkan menjadi:
a. Sumber Informasi Primer
Artikel original yang dipublikasikan dan/atau yang tidak dipublikasikan
oleh penulis/peneliti, yang memperkenalkan pengetahuan baru atau peningkatan
pengetahuan yang telah ada tentang suatu persoalan. Sumber pustaka primer
memberikan informasi paling mutakhir tentang pokok bahasan tertentu pada waktu
tertentu karena karya tersebut merupakan refleksi pengamatan penulis, hasilnya
tidak diinterpretasikan. Keterbatasan utama sumber pustaka primer adalah ketidak
praktisan. Seseorang tidak dapat mencari informasi khusus secara efisien didalam
pustaka primer, kecuali orang tersebut memiliki pengetahuan tentang organisasi
dan jenis pustaka.
Sumber pustaka primer antara lain: hasil penelitian, laporan kasus, studi
evaluasi, dan laporan deskriptif. Contoh beberapa sumber informasi primer:
Annals of Pharmacotherapy, British Medical Journal, Journal of American
Medical Association (JAMA), The Lancet, New England Journal of Medicine.
b. Sumber Informasi Sekunder

Pustaka sekunder memuat berbagai abstrak yang merupakan sistem


penelusuran kembali untuk pustaka primer dan digunakan untuk menemukan
artikel pustaka primer. Informasi yang diperoleh dari pustaka sekunder tersendiri
jarang digunakan untuk keputusan klinik. Dengan pustaka sekunder
memungkinkan apoteker memasuki sumber informasi secara cepat dan efisien.
Informasi dalam pustaka sekunder dikategorikan/diindekskan dan diabstrak dari
sumber pustaka primer. Belakangan ini, sumber informasi sekunder telah dapat
diperoleh melalui penelusuran internet.
Pustaka sekunder sebaiknya digunakan sebagai alat bantu untuk menyeleksi
dan mengakses sumber informasi primer yang terkait. Contoh beberapa sumber
informasi sekunder: Inpharma, International Pharmaceutical Abstract (IPA),
Medline, Pharmline.
c. Sumber Informasi Tersier
Pustaka tersier biasanya dikaitkan dengan buku teks atau acuan umum.
Sumber ini menyoroti data yang diterima secara luas dari pustaka primer,
mengevaluasi informasinya, dan menerbitkan hasilnya. Sumber pustaka tersier
adalah acuan pustaka yang paling umum digunakan, mudah dimasuki, dan
biasanya dapat memenuhi kebanyakan permintaan informasi obat spesifik
penderita. Sumber tersier memberikan informasi yang disusun dan dievaluasi dari
acuan pustaka yang banyak dan dinyatakan dalam suatu cara yang praktis.
Keterbatasan utama pustaka tersier adalah ketinggalan waktu beberapa bulan
sampai mungkin beberapa tahun.

Contoh beberapa sumber informasi tersier: AHFS Drug Information,


Handbook of Injectable Drug, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Meyler’s
Side Effect of Drugs, British National Formulary.
d. Sumber Informasi Lain
Yang dimaksud dengan sumber informasi lain adalah sumber informasi
yang tidak termasuk kategori sumber pustaka primer, sekunder atau tersier yang
mencakup antar lain: komunikasi dengan tenaga ahli, industri farmasi, dan brosur
peneliti (Kurniawan dan Chabib, 2010).

Anda mungkin juga menyukai