Skripsi Tari Rejang Muani Di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan Kabupaten Bangli
Skripsi Tari Rejang Muani Di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan Kabupaten Bangli
Skripsi Tari Rejang Muani Di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan Kabupaten Bangli
OLEH:
OLEH:
NI LUH DIAN ARISTA DEWI
2010 01 005
i
SKRIPSI
MENYETUJUI :
PEMBIMBING I PEMBIMBING II
ii
Skripsi ini telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Fakultas Seni
Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar, pada
Mengesahkan : Mengetahui:
Fakultas Seni Pertunjukan Jurusan Seni Tari
Institut Seni Indonesia Denpasar Ketua,
Dekan,
iii
Motto
iv
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Asung Kerta Wara Nugraha_Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tari Rejang Muani di Pura
untuk memenuhi nilai tugas akhir dari program studi (S-1) Seni Tari, Fakultas Seni
Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar. Isi dalam skripsi ini meliputi
pendahuluan, kajian sumber dan landasan teori, metode penelitian, hasil dan
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, melalui kesempatan
1. Yang terhormat Bapak Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.SKar., M.Hum, Rektor
Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar beserta jajarannya, yang telah memberikan
2. Kepada Dr. I Gusti Bagus Priatmaka, MM, Kepala Biro Akademik Institut Seni
v
perkuliahan penulis telah banyak mendapat pelayanan akademik dan bantuan
beasiswa.
yang memadai dan motivasi yang diberikan sehingga studi ini dapat terselesaikan
4. Ibu A.A.Ayu Mayun Artati SST., M.Sn, Ketua jurusan Seni Tari, Fakultas Seni
ucapkan terima kasih atas segala perhatian yang telah diberikan selama ini.
Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Ibu Dosen Seni Tari yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan kesempatan dan
ini. Terima kasih pula kepada staf Tata Usaha Fakultas Seni Pertunjukan, Institut
selama ini.
6. Ibu Gusti Ayu Ketut Suandewi, SST.,M.Si selaku Pembimbing I dan Bapak I
vi
7. Ibu Dra. Dyah Kustiyanti, M.Hum dan Ibu Dr. Ni Made Wiratini, SST., MA
penulisan skripsi ini, khususnya pada mata kuliah Bimbingan Penulisan Skripsi.
8. I Dewa Gede Raka Wiguna yang sudah menyarankan penulis untuk memilih tari
Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli dan
Dewa Gede Raka Wiguna, Sang Komang Martahadi, I Nyoman Sukari, I Nengah
Kariani, yang telah bersedia memberikan informasi yang berkaitan dengan tari
Rejang Muani.
10. I Wayan Denny Saputra yang telah membantu penulis dalam membuat notasi
gending tari Rejang Muani sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dan lengkap.
11. Teman-teman Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni
Indonesia Denpasar angkatan 2010, yang selama ini telah saling memberikan
kepada sahabat penulis yaitu Ni Made Sri Lantini Rahayu, Ni Kadek Ratih Satria
Ningsih, dan Ariyitna Zianet Charmeis. Tak lupa juga penulis ucapkan terima
kasih kepada teman-teman bidang Pengkajian Seni Tari, Institut Seni Indonesia
Denpasar yakni Ni Luh Putu Eva savitri, I Gusti Ayu Ananta Wijayantri, Ida Ayu
Made Suwari Yanti, Ni Nyoman Suartini, Ni Wayan Trisna Dewi, Ella Jayanuari,
I Made Laksmana Putra, yang telah memberikan semangat dan saling bertukar
vii
12. Keluarga tersayang, kedua orang tua, I Nengah Jangkep dan Ni Made Sedani
yang sudah membantu penulis selama ini, serta selalu memberikan doa dan
bantuan baik moral maupun material. Kepada I Wayan Sumawan yang sudah
dengan lancar.
13. Semua pihak yang dalam penyusunan skripsi ini tidak dapat disebutkan satu
persatu.
penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca guna penyempurnaan
penulisan selanjutnya. Akhir kata, semoga skripsi yang telah penulis susun ini
Penulis
viii
ABSTRAK
Tari Rejang Muani adalah sebuah tari upacara yang sering dipentaskan
dalam rangkaian upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan,
Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Tarian ini dipentaskan setiap 6 bulan sekali
(210 hari) yaitu pada Hari Raya Galungan Nadi atau Kuningan Nadi, serta pada
Ngusaba kepitu. Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk
dan fungsi pertunjukan tari Rejang Muani bagi masyarakat setempat. Penelitian
tentang tari Rejang Muani merupakan penelitian kualitatif yang dianalisis dengan
menggunakan teori estetika dan teori fungsional. Semua data yang disajikan dalam
penelitian ini diperoleh melalui langkah observasi, wawancara, dokumentasi, serta
studi kepustakaan yaitu membaca buku-buku yang terkait dengan objek penelitian.
Hasil pengamatan menunjukkan tari Rejang Muani diperkirakan berasal dari
sebuah desa yang bernama Desa Darmaji, Karangasem. Diperkirakan tari Rejang
Muani sudah ada di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan sekitar 350 tahun yang
lalu. Tarian ini ditarikan oleh penari laki-laki atau sekaa truna (belum menikah atau
beristri). Tarian ini memiliki penyajian yang sangat sederhana yaitu penari tidak
memakai riasan wajah serta hanya menggunakan pakaian adat ke pura, dan ragam
gerak tarinya juga sederhana, yaitu dilakukan secara berulang-ulang ke arah pojok
kanan dan kiri. Gerak tersebut dilakukan hanya sembilan kali, hal tersebut karena
sangat terkait dengan penjor Nawa Sanga yang juga hanya terdiri dari sembilan
cabang. Penjor tersebut merupakan salah satu syarat dan harus ada pada setiap
pementasan tari Rejang Muani, karena merupakan simbol dari Dewata Nawa Sanga
(lambang para dewa disembilan arah mata angin).
Fungsi tari Rejang Muani adalah sebagai sarana upacara atau tari wali serta
sebagai pengikat solidaritas masyarakat setempat. Sebagai sarana ritual, tari Rejang
Muani selalu dipentaskan hanya dalam kaitannya dengan upacara Dewa Yadnya di
Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan. Fungsi kedua yaitu sebagai pengikat
solidaritas masyarakat, dapat dilihat dari kegiatan masyarakat dalam mempersiapkan
kebutuhan upacara maupun perlengkapan dalam pementasan tari Rejang Muani.
ix
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah …………………………………... 1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………… 6
1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………….. 6
1.4 Manfaat Hasil Penelitian ………………………………….. 6
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ………………………………… 7
x
3.3 Jenis dan Sumber Data ……………………………………. 25
3.4 Instrumen Penelitian ………………………………………. 26
3.5 Teknik Penentuan Informan ………………………………. 28
3.6 Teknik Pengumpulan Data ………………………………... 29
3.6.1 Observasi ……………………………………………. 30
3.6.2 Wawancara ………………………………………….. 32
3.6.3 Studi Kepustakaan ………………………………….. 38
3.6.4 Dokumentasi ………………………………………… 39
3.7 Analisis Data ……………………………………………… 39
3.8 Hasil Penyajian Analisis Data …………………………….. 40
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ………………………………………………... 86
5.2 Saran-saran ………………………………………………... 87
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….. 89
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
xii
21 : Pelinggih utama …………………………………………………….. 104
22 : Pelinggih utama …………………………………………………….. 104
23 : Pelinggih utama …………………………………………………….. 105
24 : Peta Pulau Bali ……………………………………………………… 106
25 : Peta Kabupaten Bangli ……………………………………………... 107
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
mempunyai berbagai macam kesenian yang patut dilestarikan. Salah satu bentuk
kesenian yang masih banyak ditemui di Bangli adalah seni tari wali. Adapun
jenis-jenis tari wali tersebut antara lain tari Baris, tari Sanghyang, tari Rejang, dan
Bangli, yang mempunyai kaitan sangat erat dengan upacara keagamaan, sebagai
wujud rasa bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Masyarakat Bangli
sampai sekarang masih tetap memegang teguh tradisi dan religi yang diwariskan
Secara umum, seni tari dapat digolongkan menjadi dua yaitu tari upacara
dan tari tontonan atau hiburan. Tari upacara mencakup tari-tarian wali dan bebali,
sedangkan tari tontonan atau hiburan mencakup tari balih-balihan (Dibia, 1999:9).
Tari wali merupakan bagian dari tradisi yang ada di dalam suatu kehidupan
tari wali tidak terlalu mengutamakan faktor keindahan, karena tujuan utamanya
1
adalah sebagai tari persembahan kepada sang pencipta. Seni tari wali merupakan
Bagi masyarakat Bali, agama merupakan salah satu kunci kehidupan seni
di Bali. Hal itu dapat dilihat pada suatu upacara keagamaan, seni tari memiliki
fungsi sebagai sarana dalam upacara tersebut, dan hampir tidak ada satupun
upacara keagamaan yang selesai tanpa ikut sertanya sebuah sajian tari-tarian
tak kasat mata. Kegiatan dalam melaksanakan upacara keagamaan dilakukan oleh
masyarakat Hindu Bali secara tulus ikhlas dan tanpa pamrih, yang biasa disebut
dengan ngayah. Tari Rejang merupakan salah satu dari sekian jenis tari wali yang
Tari Rejang sudah tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat Bali,
karena hampir semua upacara keagamaan selalu mengikut sertakan tarian ini. Tari
Rejang merupakan salah satu tari tradisional yang mempunyai gerak-gerak tari
yang sangat sederhana, dan penuh dengan rasa pengabdian kepada leluhur. Tarian
ini pada umumnya ditarikan oleh penari perempuan yang dilakukan secara
berkelompok. Tari Rejang biasanya ditarikan di halaman utama pura pada waktu
upacara, menari dengan berbaris melingkari pura atau pelinggih yang kadang kala
sekarang, tari Rejang masih banyak dapat ditemui di beberapa daerah di Bali,
2
karena sebagian besar masyarakat masih memfungsikan tarian tersebut sebagai
Bali, diantaranya adalah tari Rejang Renteng, tari Rejang Dewa, tari Rejang
Bengkol, tari Rejang Oyodpadi, tari Rejang Nyanying dan lain sebagainya
keunikan dan ciri khas tersendiri, sehingga di Bali terdapat beragam jenis tari
dan kelestarian dari kesenian itu sendiri. Tari-tarian tersebut dijaga dengan baik
oleh masyarakat pendukungnya, bahkan terkadang bisa menjadi ciri khas dari
daerahnya. Salah satu tari Rejang yang sampai sekarang masih dijaga
Tari Rejang Muani hanya dipentaskan ditempat dan waktu tertentu, serta
berkaitan dengan upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan
Bangli. Tarian ini dipentaskan di jeroan pura (halaman utama pura), serta tari
Rejang Muani hanya boleh dipentaskan pada Hari Raya Galungan nadi, Hari
Raya Kuningan nadi, serta Ngusaba kepitu. Tari Rejang Muani dipentaskan
selama empat hari berturut-turut pada Hari Raya Galungan nadi, sedangkan pada
Hari Raya Kuningan nadi dipentaskan selama tiga hari berturut-turut, dengan
waktu penyajian pementasan tari Rejang Muani pada saat malam hari.
Sejak dahulu tari Rejang Muani diiringi oleh gamelan Gong Gede yang
3
dengan tujuan agar masyarakat setempat diberikan perlindungan, keselamatan,
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Selain sebagai sarana ritual, tarian ini juga
sehingga tari Rejang Muani masih tetap berkembang dengan baik dan dilestarikan
oleh masyarakat setempat. Tari Rejang Muani tergolong unik jika dibandingkan
dengan tari Rejang lainnya. Keunikannya terdapat pada penari, tata busana yang
dipakai, serta kaitannya dengan sebuah penjor yang memiliki sembilan buah
cabang dan oleh masyarakat setempat disebut dengan Penjor Nawa Sanga.
dengan tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten
Bangli, sesuai dengan namanya, tarian ini ditarikan oleh sekelompok penari laki-
laki (muani) yaitu sekaa truna yang berasal dari Desa Pakraman Lumbuan sendiri.
Sekaa truna merupakan kelompok pemuda yang belum menikah atau beristri.
Dalam pelaksanaan tarian ini, mereka menunjukkan rasa bakti kehadapan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, melalui gerakannya yang
sangat sederhana.
diikatkan dipinggang atau di dada penari. Pada tata busana tari Rejang Muani
berbeda dengan tari Rejang pada umumnya. Selendang yang dipakai tidak
diikatkan dipinggang, melainkan selendang tersebut diikat pada dada penari dan
4
selanjutnya disilangkan ke lehernya. Selendang tersebut disimpan disebuah kotak
di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan saja, serta tidak boleh dipinjamkan
Keunikan lainnya dari tarian ini adalah sangat terkait dengan Penjor
Nawa Sanga yang selalu dipersembahkan pada setiap pementasan tari Rejang
Muani. Penjor Nawa Sanga dilambangkan sebagai Dewata Nawa Sanga (lambang
para dewa di sembilan arah mata angin) dan sebagai tanda terima kasih
yang sesuai dengan jumlah cabangnya (bertingkat sembilan). Kaitan tari Rejang
Muani dengan penjor tersebut dapat dilihat pada gerak tariannya yang hanya
diulang sembilan kali sesuai dengan jumlah cabang pada Penjor Nawa Sanga.
Pembuatan Penjor Nawa Sanga dapat dikatakan sangat rumit, karena sekaa truna
harus mencari bahan-bahan penjor tersebut sendiri, sedangkan sekaa truni juga
harus mampu mambuat sampian dan lamak sendiri. Pembuatan penjor tersebut
diibaratkan sebagai ujian untuk bisa menopang tanggung jawab yang besar
Berdasarkan uraian di atas, dari sekian banyak tari Rejang yang sudah
pernah diteliti, tidak menunjukkan bahwa tari Rejang Muani yang ada di Pura
Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli pernah diteliti sebelumnya. Selain itu
perlu kiranya dilakukan suatu penelitian yang lebih mendalam, mengingat tari
Rejang Muani merupakan warisan budaya yang harus dipelihara dan dilaksanakan
5
dengan baik oleh masyarakat setempat, karena erat kaitannya dengan upacara
Kabupaten Bangli.
2. Apakah fungsi tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan,
Kabupaten Bangli.
2. Untuk mengetahui fungsi tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman
secara teoritis maupun praktis bagi pembaca maupun masyarakat luas yang
6
khususnya berkecimpung dalam dunia seni pertunjukan. Adapun manfaat dari
1. Manfaat teoritis
dan menambah pengetahuan mengenai seni tari upacara, khususnya tari Rejang
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini merupakan wujud dari upaya, untuk turut serta
masyarakat pendukungnya, yang pada penelitian ini adalah tari Rejang Muani
yang ada di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan. Selain itu, penelitian ini juga
diharapkan dapat bermanfaat bagi seniman muda sebagai generasi penerus dan
dapat dijadikan sebagai acuan bagi peneliti berikutnya, khususnya dalam bidang
tari Rejang Muani pada waktu Hari Raya Galungan nadi dan Hari Raya Kuningan
nadi. Sebagai salah satu bentuk tari wali yang sampai sekarang masih tetap
dipelihara dan difungsikan pada upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa
7
Pakraman Lumbuan Bangli, tentunya tari Rejang Muani diyakini mengandung
penafsiran yang terlalu melebar dalam topik yang dibahas, maka ruang lingkup
penelitian ini akan dibatasi. Penelitian tari Rejang Muani difokuskan pada bentuk
pertunjukan dan fungsi tarian tersebut bagi masyarakat Desa Pakraman Lumbuan,
penari, gerak, tata rias dan busana, musik iringan serta tempat pementasan tari
Rejang Muani. Pada pembahasan fungsi tari Rejang Muani dijelaskan mengenai
Bangli.
8
BAB II
terkait dengan objek penelitian. Penelitian tentang tari Rejang telah banyak
menunjukkan bahwa objek penelitian tentang tari Rejang Muani di Pura Puseh
Kajian sumber dan landasan teori dapat diambil dari berbagai macam
sumber bacaan. Walaupun demikian, sumber yang terbesar haruslah dari buku-
buku, sedangkan sumber terkecil adalah yang diambil adalah dari internet. Hal
tersebut dikarenakan kualitas informasi dari internet tidak diteliti sebelumnya oleh
para ahli (Raco, 2010:74-75). Buku-buku yang dipilih sebagai kajian sumber
dalam penelitian ini adalah buku yang memiliki topik bahasan terkait dengan
tulisan-tulisan ilmiah, majalah ilmiah, dan yang terakhir adalah sumber dari
internet.
bermanfaat sebagai perbandingan bahwa tari Rejang Muani belum ada yang
9
meneliti, serta dijadikan acuan atau referensi untuk memperkuat data-data yang
diperoleh dari informan dalam penelitian mengenai tari Rejang Muani. Adapun
Yudabakti dan I Wayan Watra (2007). Buku ini sangat mendukung dalam
fungsi yang sangat sakral karena dalam penciptaan karya seni Bali, pada awalnya
hanya untuk kepentingan keagamaan semata. Seni tari Wali yaitu seni tari yang
upacara agama. Pada umumnya kesenian wali tidak memakai lakon, misalnya
seperti tari Rejang, tari Pendet, tari Sanghyang, dan tari Baris upacara. Sesuai
dengan ungkapan tersebut, tari Rejang Muani yang dipentaskan di Pura Puseh
sebuah tarian yang dalam pementasannya tidak memakai lakon. Tari Rejang
yang dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai sarana
dalam penelitian tari Rejang Muani, khususnya dalam konteks keagamaan. Selain
itu dapat pula memperkuat data-data yang diperoleh dari informan dan dapat
memberikan informasi yang terkait dengan fungsi dari pertunjukan tari Rejang
Muani. Pada buku ini dijelaskan mengenai tari Rejang, namun penelitian tentang
tari Rejang Muani belum ada dibahas dalam buku ini, sehingga buku ini dapat
10
dijadikan perbandingan bahwa penelitian yang dilakukan benar-benar belum ada
(1999) pada halaman 3-4, menyebutkan bahwa pada tahun 1971 sesuai Keputusan
Seminar Seni Sakral dan Profan Bidang Tari di Denpasar, secara umum seni
pertunjukan Bali dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu tari upacara atau
seni wali dan bebali, dan seni tontonan atau hiburan yang biasa disebut seni balih-
balihan. Seni wali dan bebali meliputi jenis-jenis kesenian yang pada umumnya
boleh sembarangan, melainkan harus pada waktu dan tempat tertentu serta
bersuasana sekuler. Kesenian ini dapat dipentaskan kapan dan di mana saja tanpa
Berdasarkan penggolongan seni tari, tari Rejang Muani yang dipentaskan di Pura
Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli, termasuk sebagai tari wali,
karena masyarakat setempat hanya menarikan tarian ini dalam konteks upacara di
pura saja. Isi dari buku ini dapat menjadi acuan di dalam meneliti tari Rejang
Muani yang merupakan sebuah tari wali, terutama pada bagian pembahasan
fungsinya.
11
Buku Kaja dan Kelod Tarian Bali dalam Transisi oleh I Made Bandem
& Fredrik Eugene deBoer (2004), hasil terjemahan dari I Made Marlowe
dipentaskan atau digelar dalam hubungannya dengan ritual keagamaan, dan tari-
Bangli, yang dipentaskan pada saat upacara piodalan di Pura Puseh yakni pada
Hari Raya Galungan nadi atau Kuningan nadi, dan Ngusaba kepitu di Pura
pementasan tari Rejang Muani, dilakukan dengan melihat hari baik pada kalender
Bali. Buku ini sangat relevan karena dapat memperkuat data yang diperoleh
terkait mengenai tari Rejang Muani yang hanya dipentaskan dalam konteks
Buku Ensiklopedi Tari Bali oleh I Made Bandem (1983), pada bagian
halaman 122, menyebutkan bahwa tari Rejang adalah sebuah tari tradisional yang
gerak-gerak tarinya sangat sederhana (polos) dan penuh dengan rasa pengabdian
kepada para leluhur. Tari ini dilakukan oleh para wanita di dalam mengikuti
tangan. Tari Rejang biasanya memakai pakaian adat atau pakaian upacara,
daerah masing-masing. Berbeda halnya dengan tari Rejang Muani yang tidak
ditarikan oleh sekelompok penari putri, namun tarian ini ditarikan oleh
12
sekelompok penari putra yaitu sekaa truna (orang laki-laki yang belum beristri/
Kabupaten Bangli. Tarian ini juga tidak memakai bunga-bunga emas dikepalanya
serta busana yang digunakan sangat sederhana. Buku ini sangat mendukung dalam
pertunjukan dari tari Rejang Muani, baik dari gerak, penari (jenis kelamin), serta
Buku Metode Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa oleh R.M
dalam membedah sebuah penelitian seni pertunjukan dan seni rupa. Buku ini
pembahasan mengenai fungsi seni pertunjukan, yang terdiri dari fungsi primer dan
Skripsi “Tari Rejang Ayunan di Desa Pupuan” oleh Luh Mas Suastri
(1985), menyebutkan bahwa tari Rejang Ayunan ditarikan oleh sekelompok sekaa
truna dengan perbendaharaan gerak yang sangat sederhana, yang penuh rasa
pengabdian kepada para leluhur. Penelitian tentang tari Rejang Ayunan dengan
tari Rejang Muani sama-sama ditarikan oleh sekaa truna dengan gerak yang
sederhana dengan rasa pengabdian kepada leluhur. Walaupun penelitian ini sama-
sama membahas tari Rejang yang ditarikan oleh penari laki-laki, namun kedua
tarian ini mempunyai perbedaan pada gerak, tata busana, iringan musik serta
13
penyajiannya, sehingga dapat dibuktikan bahwa kedua penelitian tersebut tidak
sama. Hasil penelitian ini bisa dijadikan perbandingan dan membuktikan bahwa
tari Rejang Muani mempunyai keunikan tersendiri yang dapat menjadi ciri khas
belum ada yang menyinggung atau membahas tentang bentuk pertunjukan dan
fungsi tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan Bangli.
penelitian terkait tari Rejang Muani, sehingga perlu diadakannya suatu penelitian
sebagai bentuk keikutsertaan dalam melestarikan tarian ini dan menambah jumlah
latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Dalam penelitian
tentang tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli,
dipergunakan dua buah teori untuk mengkaji atau membedah permasalahan yang
14
mengandung tiga aspek dasar, yakni wujud atau rupa (appearance), bobot atau isi
pengertian wujud, yakni semua wujud terdiri dari bentuk (form) dan susunan atau
struktur (structure). Bobot mempunyai tiga aspek, yaitu suasana (mood), gagasan
sebuah kesenian, ada tiga unsur yang berperan, yaitu bakat (talent), keterampilan
(skill), dan sarana atau media. Dalam penelitian ini, teori estetika dari Djelantik
sangat relevan digunakan untuk mengkaji unsur-unsur yang ada dalam tari Rejang
Muani, yaitu wujud, bobot, dan penampilan yang berhubungan dengan tari Rejang
Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan Bangli, seperti gerak, penari
( jenis kelamin ), tata rias dan busana, musik iringan, dan sebagainya.
berjudul Metode Penelitian: Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Dinyatakan oleh
dibagi menjadi dua yaitu fungsi primer dan fungsi sekunder. Fungsi primer dari
seni pertunjukan adalah apabila seni tersebut jelas siapa penikmatnya, karena seni
tersebut bertujuan bukan sekedar untuk dinikmati tetapi untuk kepentingan yang
15
Ada tiga fungsi primer atau utama dari seni pertunjukan yaitu: 1) Sebagai
sarana ritual dan penikmatnya adalah kekuatan-kekuatan yang tak kasat mata, 2)
Sebagai sarana hiburan pribadi yang penikmatnya adalah pribadi yang melibatkan
fungsi primer pada tari Rejang Muani adalah sebagai sarana ritual, sedangkan
menyebutkan bahwa tari Bali apabila dilihat dari fungsinya dalam berbagai aspek
kehidupan ritual dan sosial masyarakat setempat, secara umum dapat digolongkan
menjadi dua yaitu tari upacara dan tari tontonan atau hiburan. Tari upacara
mencakup tari-tarian wali dan bebali, sedangkan tari tontonan atau hiburan
mencakup tari balih-balihan. Dikaitkan dengan ini, tari Rejang Muani di Pura
16
kehidupan masyarakat pendukungnya. Seni tari dapat berkembang dengan baik
sebuah tarian tidak difungsikan maka tarian tersebut akan lenyap dengan
sendirinya. Teori fungsional oleh Soedarsono dan pernyataan oleh Dibia, akan
diterapkan guna membedah fungsi tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa
17
BAB III
METODE PENELITIAN
dalam sebuah penelitian sangatlah penting, karena dapat tercapai atau tidaknya
Dengan pemilihan metode yang tepat, maka akan dapat menghasilkan data-data
yang akurat. Penelitian Tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman
kualitatif.
kualitatif adalah suatu penelitian yang bersifat deskriptif melalui tulisan, bahasa,
dan kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang dapat memberikan
Penelitian tentang salah satu jenis tari wali ini bertempat di Pura Puseh
Rejang Muani difokuskan pada bentuk dan fungsi pertunjukan tarian tersebut bagi
bertujuan untuk memberikan gambaran tentang tari Rejang Muani secara lengkap
dan sesuai dengan data-data yang diperoleh di lapangan. Data yang diperoleh pada
penelitian ini dikumpulkan dari mengamati pementasan tari Rejang Muani yang
berlangsung setiap enam bulan sekali, dan dari hasil wawancara dengan informan
yang dibutuhkan. Berkaitan dengan penelitian tentang tari Rejang Muani, maka
dalam penelitian ini akan dilakukan teknik pengumpulan data melalui langkah
terkait dengan tari Rejang Muani. Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh data
dimana data tersebut masih merupakan data mentah, sehingga perlu untuk diolah
dan disusun sesuai dengan keperluan, yakni untuk menjawab permasalahan yang
19
telah dirumuskan. Penelitian tentang tari Rejang Muani mengutamakan data
analisis data sejak awal sampai akhir penelitian ini. Data-data yang sudah
dianalisis, kemudian akan di sajikan dalam hasil penyajian analisis data sesuai
ketentuan yang ada pada pedoman penulisan karya ilmiah. Hasil penelitian
kualitatif adalah berupa gambaran umum apa adanya di lapangan, tanpa adanya
penelitian, maka lokasi yang dipilih pada penelitian ini adalah Desa Pakraman
Kabupaten, dengan jarak tempuh sekitar 30 menit. Adapun yang menjadi batas-
20
Tari-tarian wali masih banyak tersebar di wilayah Kecamatan Susut,
tersebut dikuatkan pula karena mengingat belum banyaknya data-data tertulis dan
belum ada yang melakukan penelitian, khususnya tentang tari Rejang Muani.
mengadakan penelitian tentang salah satu bentuk tari wali yang ada di Pura Puseh
Bangli adalah pada bidang kerajinan anyaman bambu dan kerajinan kayu. Usaha
dalam bidang kerajinan ini merupakan salah satu usaha rumah tangga, yang
bergerak dalam bidang kerajinan, karena bakat dari masyarakat setempat yang
Selain itu, sektor pertanian dan peternakan juga banyak digeluti oleh masyarakat
mereka memelihara ayam, bebek, babi dan sapi. Adapun mata pencaharian
lainnya adalah sebagai pedagang, penjual jasa, pegawai negeri sipil/ PNS dan
21
sampingan mereka. Sebagian masyarakat Desa Pakraman Lumbuan yang
menyukai seni khususnya seni pertunjukan. Mereka sering ikut serta dalam acara
luar desa mereka, bahkan ada beberapa orang yang biasa menari atau menabuh
belajar secara otodidak, yaitu tidak memiliki pelatih yang membinanya secara
khusus, dengan kata lain dapat dikatakan mereka belajar sendiri baik dari
menonton secara langsung maupun dari video-video yang ada. Dalam bidang seni
tari, mereka lebih berkiprah ke dalam kesenian Arja pada pementasan Calonarang.
Selain itu, kesenian yang sampai sekarang tetap dijaga dan dilestarikan oleh
masyarakat Desa Pakraman Lumbuan adalah kesenian Tantri. Kesenian ini juga
pementasan kesenian ini mengikut sertakan sesuhunan atau barong yang ada di
Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Belakangan ini, kesenian Tantri
juga pernah diikut sertakan pada Pesta Kesenian Bali pada tahun 2013, namun
pada pementasan tersebut tidak mengikut sertakan sesuhunan yang ada di Pura
22
tercangkup dalam sebuah Pasraman Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Pasraman
ini dibuat berdasarkan acuan dari Provinsi dan mendapat bantuan BKK (Bantuan
Keuangan Khusus).
telah ada sejak zaman dahulu. Organisasi ini mempunyai tugas untuk membantu
Pada masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, mereka bisa ikut bergabung
menjadi anggota dalam organisasi sekaa truna-truni mulai setelah tamat dari SD
(Sekolah Dasar). Di desa ini, menurut tradisi yang ada, antara sekaa truna-truni
yang menjadi krama pengarep (mereka yang bertugas untuk menyungsung Pura
Kahyangan Tiga) nantinya akan ikut dalam organisasi sekaa truna-truni dan
sekaa truna-truni dengan truna muncuk dan daha truni. (Wawancara dengan I
Putu Artawa, pada tanggal 26 Oktober 2013, pukul 17.00-19.00 WITA di Desa
Pakraman Lumbuan).
krama desa (masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli). Pada satu rumah
23
(angkul-angkul) bisa terdapat satu pasang (truna-truni), truna saja, ataupun truni
disesuaikan dengan umur mereka yaitu direkrut setelah tamat SD. Berbeda halnya
setelah kelas 2 SMP. Jumlah anggota muda-mudi akan lebih banyak daripada
anggota sekaa truna-truni, karena dalam satu rumah tersebut bisa terdapat 2 atau
lebih krama pengerob. Semua remaja yang bukan menjadi truna muncuk dan
daha truni akan masuk organisasi hanya sebagai anggota muda-mudi saja. Lain
halnya dengan remaja yang menjadi truna muncuk dan daha truni, mereka juga
mempunyai dua peran serta tanggung jawab, yaitu sebagai sekaa truna-truni dan
zaman dahulu truna muncuk dan daha truni memiliki tanggung jawab yang lebih
berat daripada remaja yang hanya menjadi anggota muda-mudi saja. Tanggung
jawab yang paling berat adalah pada waktu membuat penjor Nawa Sanga untuk
upacara di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan. Namun sekarang ini, semua
keperluan untuk upacara keagamaan tidak lagi hanya dipersiapkan oleh sekaa
upacara tersebut. Hal ini dilakukan karena jumlah sekaa truna-truni lebih sedikit
24
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian tari Rejang Muani di Pura
jenis data kualitatif, yakni data tentang jalannya pertunjukan tari Rejang Muani
dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data
yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti secara langsung dari objek penelitian.
Data primer dapat berupa hasil wawancara dan observasi. Sedangkan data
sebelumnya dan yang sudah diterbitkan. Data sekunder atau data tidak langsung
sekunder diperoleh dari studi kepustakaan, dengan membaca buku-buku yang ada
informasi, namun masih bersifat mentah sehingga perlu adanya pengolahan data
untuk bisa disajikan kedalam bentuk hasil penelitian. Sumber data adalah
mengenai asal atau darimana data tersebut diperoleh. Sumber data ada dua yaitu
sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer dalam
penelitian ini adalah proses dan jalannya pertunjukan tari Rejang Muani di Pura
Puseh Desa Pakraman Lumbuan, dan para informan yang juga ikut serta
25
data sekunder adalah buku-buku hasil penelitian yang telah ada, seperti buku
Ensiklopedi Tari Bali, Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali, Kaja and Kelod
Balinese Dance in Transition, Evolusi Tari Bali, Etnologi Tari Bali, Filsafat Seni
diperlukan dalam suatu penelitian. Instrumen penelitian menjadi salah satu hal
yang sangat penting dalam penelitian, karena perolehan informasi yang relevan
penelitian dan teknik pengumpulan data yang tepat, maka akan menghasilkan
suatu penelitian yang bermutu dan berkualitas. Instrumen penelitian dalam hal ini
dipilih sesuai dengan kebutuhan penelitian tari Rejang Muani di PuraPuseh Desa
dengan baik dalam suatu penelitian. Sesuai dengan pernyataan tersebut, instrumen
26
utama dalam penelitian tari Rejang Muani adalah peneliti sendiri. Peneliti
tersebut, secara langsung di lapangan atau tempat objek penelitian yakni di Desa
telah dirumuskan.
dengan tari Rejang Muani, akan digunakan alat bantu berupa pedoman
disusun sebelumnya untuk ditanyakan atau diajukan kepada informan. Tujuan dari
sehingga tidak ada informasi yang tertinggal dan tidak membuat jenuh kedua
pihak, sehingga dapat diperoleh informasi yang lebih banyak terkait tujuan
penelitian.
Agar proses wawancara dapat berjalan dengan lancar dan tidak adanya
data-data yang terlupakan, maka dalam penelitian ini juga dibutuhkan alat bantu
seperti tape recorder, handycam, camera, dan alat tulis yang digunakan untuk
mencatat hal-hal yang terkait dengan penelitian ini. Instrumen penelitian tersebut
digunakan pada saat pengumpulan data melalui langkah observasi dan wawancara
secara langsung kepada informan yang terkait dengan penelitian tari Rejang
Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Kamera dan alat perekam
video dapat digunakan sebagai bukti bahwa kesenian tersebut memang ada dan
27
dokumentasi pribadi, yang dapat digunakan apabila masih ada data-data yang
Pada penelitian tentang tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman
teknik purposive yaitu menentukan informan sesuai dengan kriteria terpilih yang
secara snow ball yaitu penentuan informan berdasarkan teknik bola salju bergulir.
Lebih jelasnya yang disebut teknik snow ball adalah dari informan kunci
Rejang Muani, diawal sudah menentukan orang-orang atau informan yang akan
informan yang dimaksud adalah orang-orang yang ada kaitannya langsung dengan
28
objek penelitian antara lain; Bendesa Adat Lumbuan, pemangku Pura Puseh, jero
nyarikan Pura Puseh, para penari, penabuh, dan beberapa masyarakat setempat.
data-data yang diperlukan dalam mengkaji tari Rejang Muani, maka penelitian
akan diawali dengan mencari informan pangkal yaitu Bendesa Adat Lumbuan.
yang terkait dengan tari Rejang Muani. Dalam penelitian ini, informan kunci
adalah pemangku dan jero nyarikan Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan,
Bangli. Selain itu, untuk mendapatkan tambahan informasi terkait, dilakukan juga
informan pangkal dan informan kunci, kemudian didukung oleh informasi yang
diberikan oleh informan tambahan seperti para penari, penabuh, dan beberapa
penelitian. Dalam mengumpulkan data, harus memilih teknik yang tepat agar
29
sangat menentukan terhadap proses dan hasil penelitian yang akan dilaksanakan
langsung terhadap proses dan hasil sebuah penelitian. Data kualitatif diperoleh
dari hasil pengumpulan data dan informasi dengan menggunakan berbagai teknik
pengumpulan data. Pada proses pengumpulan data terkait dengan penelitian tari
3.6.1 Observasi
mengamati hal-hal yang berkaitan dengan rumusan permasalahan dan yang sangat
relevan dengan data yang dibutuhkan (Patilima, 2011:63-64). Pada penelitian ini,
peneliti telah mengetahui aspek apa saja yang akan diamati yang relevan dengan
masalah dan tujuan penelitian, sehingga dalam melakukan observasi peneliti dapat
observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengamati dari persiapan,
proses upacara, sampai jalannya pementasan tari Rejang Muani di Pura Puseh
30
hilangnya data, dapat dilakukan dengan langsung mencatat, dan merekam segala
Pada teknik ini, yang menjadi fokus pengamatan adalah mengenai bentuk
pertunjukan tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli.
Selain itu, peneliti juga mencari informasi tentang apakah fungsi tarian tersebut
meminta ijin serta memperkenalkan diri kepada Bendesa Adat serta masyarakat
Desa Pakraman Lumbuan untuk meneliti tari Rejang Muani. Setelah ijin diterima,
selanjutnya peneliti matur piuning di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan pada
kelancaran dalam melakukan penelitian ini. Pengamatan yang dilakukan pada saat
menonton secara langsung yaitu tanggal 27 Maret 2013 tepatnya pada Hari Raya
Susut, Kabupaten Bangli. Dalam pengamatan ini diketahui secara jelas mengenai
bentuk pertunjukan tari Rejang Muani, baik dari penari (jenis kelamin), gerak-
gerak tarinya, tata rias dan busana yang dipakai, serta musik pengiringnya.
Disamping itu pula, dilakukan pengumpulan data berupa foto-foto dan video yang
Raya Kuningan nadi yang bertempat di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan,
Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Pada kesempatan ini dapat mengamati lebih
31
Pada pengamatan ini, dilakukan juga dengan pengambilan foto-foto dan video
Observasi ketiga dilakukan pada tanggal 22 Mei 2014, pada Hari Raya
3.6.2 Wawancara
secara lebih bebas dan tanpa terikat oleh suatu susunan pertanyaan yang sudah
Persiapan yang harus dilakukan oleh seorang peneliti sebelum menemui informan
apa saja yang akan dilakukan. Supaya wawancara efektif, efisien dan dapat
berjalan dengan lancar, maka peneliti harus menentukan atau menyusun fokus
32
garis-garis besar yang akan ditanyakan kepada informan. Tujuannya adalah
wawancara tidak kaku, dan hubungan antara pewawancara dengan informan tidak
apa adanya, namun proses wawancara tetap terarah dan diperoleh data yang sesuai
dari informan pangkal, informan kunci, maupun informan tambahan tentang hal-
dipakai sebagai bukti pernyataan dari informan, serta dapat digunakan untuk
Selain rekaman, hasil wawancara juga dicatat dalam sebuah buku milik pribadi
juga wawancara melalui telepon dan pesan singkat melalui handphone. Cara ini
Wawancara melalui SMS dan telepon dilakukan untuk menanyakan hal-hal yang
kurang dan penting terkait dengan objek penelitian. Hal ini dilakukan karena
33
waktu yang lebih lama bersama informan, tentunya untuk menggali informasi
ini, telah dilakukan beberapa kali wawancara dengan beberapa informan yang
selaku penari tari Rejang Muani dan salah satu sekaa truna Desa Pakraman
Muani apakah masih selalu dipentaskan, keunikan tarian ini, serta beberapa
informasi lain seperti bagaimana gerakannya, tata busana dan tata rias,
(blackberry messenger).
Wita. Dalam wawancara ini dikatakan bahwa tari Rejang Muani sudah ada
Lumbuan. Beliau juga memaparkan mengenai fungsi tari Rejang Muani serta
sesajen-sesajen yang digunakan, dan proses upacara dari awal hingga akhir di
Pura Puseh. Dalam wawancara ini, beliau juga mengatakan bahwa tari
Rejang Muani ditarikan oleh sekaa truna karena masyarakat Desa Pakraman
suci. Bapak I Wayan Sudana juga menyebutkan pada pementasan tari Rejang
disimpan di Pura Puseh, karena tari Rejang Muani hanya dipentaskan di pura
itu saja.
dengan penjor Nawa Sanga yang selalu ada setiap pementasan tarian tersebut.
Apabila tidak ada penjor itu, maka tari Rejang Muani dan tari Mabuang tidak
belum pernah melakukan hal tersebut. Adapun urutan tari wali tersebut adalah
35
pertama tari Baris Tombak, tari Rejang Daha, tari Mabuang dan terakhir tari
yaitu gamelan serta gending yang digunakan untuk mengiringi tarian tersebut.
Pakraman Lumbuan, Bangli. Beliau menyatakan bahwa 350 tahun lalu, pada
masa Kerajaan Panji Sakti, dan terjadi bencana di sebuah desa yang bernama
Pakraman Lumbuan. Diperkirakan tari Rejang Muani sudah ada sejak saat itu,
tertulis yang menyebutkan kapan muculnya tari Rejang Muani. Beliau juga
36
mengucapkan terima kasih kepada para pahlawan atas jasanya
7. Tanggal 6 Maret 2014 wawancara dengan I Dewa Gede Raka Wiguna selaku
penari tari Rejang Muani dan salah satu sekaa truna Desa Pakraman
Lumbuan, pada pukul 16.00-18.00 Wita, mengenai gerak tari pada tari Rejang
Muani.
8. Tanggal 12 April 2014 wawancara dengan I Dewa Gede Raka Wiguna selaku
penari tari Rejang Muani dan salah satu sekaa truna Desa Pakraman
data-data mengenai tata rias dan busana serta data-data yang dirasakan masih
kurang lengkap.
Lumbuan. Pada wawancara ini mencari data-data yang kurang lengkap seperti
pengertian dan penetapan Hari Raya Galungan nadi dan Hari Raya Kuningan
37
mendapatkan data mengenai sesajen atau sarana upacara apa yang
tidak bisa dipisahkan dari suatu penelitian. Hal tersebut dikarenakan teori-teori
yang mendasari permasalahan yang akan diteliti dapat ditemukan dengan adanya
peneliti untuk memperoleh data yang relevan dengan objek penelitian. Dengan
dengan obyek penelitian. Studi kepustakaan harus dilakukan oleh peneliti untuk
memperoleh data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara
membaca literatur, jurnal, majalah ilmiah maupun hasil-hasil penelitian yang ada
adalah mengumpulkan data dari buku-buku sumber yang sudah ditentukan yang
pertunjukan, jurnal, dan hasil penelitian tentang tari Rejang. Buku-buku tersebut
dapat menjadi suatu acuan di dalam meneliti tari Rejang Muani. Data-data yang
38
Perpustakaan Daerah. Data yang didapatkan dipilah-pilah dan dikelompokkan
3.6.4 Dokumentasi
cara pengambilan gambar atau foto, rekaman audio visual oleh peneliti sendiri,
penelitian akan semakin kuat apabila didukung oleh foto-foto, video, karya tulis
akademik dan seni yang telah ada. Dalam penelitian ini, dokumentasi juga
diperoleh dari foto-foto dan rekaman video yang dimiliki oleh masyarakat Desa
Pakraman Lumbuan, Bangli. Melalui foto-foto dan rekaman video tersebut dapat
dijadikan acuan untuk meneliti tari Rejang Muani, sehingga dapat diketahui
penelitian, hal ini dikarenakan dengan menganalisis maka data tersebut dapat
Pada analisis data kualitatif, data yang muncul berwujud kata-kata dan
bukan rangkaian angka. Data itu dikumpulkam melalui teknik pengumpulan data
39
2011:100). Dalam analisis data, semua data yang didapatkan dilapangan,
dikumpulkan terlebih dahulu dan memilih mana yang penting akan digunakan,
sehingga dapat membuat kesimpulan yang dapat dipahami dengan mudah oleh
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang
Kabupaten Bangli sesuai dengan tujuan penelitian. Tahap analisis data ini
diperoleh dari lapangan selama penelitian berlangsung. Pada analisis data, data-
data yang sudah terkumpul diolah dan disederhanakan ke dalam bentuk yang lebih
mudah dibaca dan dipahami oleh pembaca, sedangkan data-data yang tidak
penelitian.
dengan ketentuan yang ada dalam pedoman penulisan karya ilmiah. Hasil
40
penelitian yang didapatkan seperti hasil dari observasi ke lapangan, wawancara
terkait dengan tari Rejang Muani akan disajikan dengan mengikuti aturan yang
telah ditentukan oleh Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar
dalam bentuk skripsi, sesuai dengan Buku Pedoman Tugas Akhir Fakultas Seni
ditetapkan untuk mencapai gelar Sarjana Seni (S-1). Berdasarkan pada format
yang ada, maka skripsi ini akan disajikan dalam 5 bab yaitu:
BAB I 1.
: Pendahuluan, di dalamnya akan membahas latar belakang masalah
2.
BAB II 3.
: Kajian Pustaka dan Landasan Teori. Kajian Pustaka memaparkan
41
BAB III 4.
: Metode Penelitian, berisi tentang metode atau cara yang digunakan
5.
BAB IV 6.
: Hasil dan Pembahasan, didalamnya berisi tentang temuan penelitian
yang meliputi bentuk pertunjukan dan fungsi tari Rejang Muani bagi
Bangli. Pada bentuk pertunjukannya terdiri dari penari, gerak, tata rias
dan busana, musik iringan dan tempat pertunjukan tari Rejang Muani.
Selain bentuk pertunjukan, dalam bab ini dijelaskan juga fungsi tari
Rejang Muani dalam upacara Dewa Yadnya dan fungsi tarian tersebut
ini.
7.
BAB V : Penutup, berisi tentang uraian kesimpulan dan saran-saran.
Pada akhir tulisan ini akan dilampirkan daftar pustaka atau referensi dan lampiran-
lampiran lainnya.
42
BAB IV
Tari Rejang Muani merupakan sebuah tari wali yang memiliki bentuk
Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Pada bab ini akan
dipaparkan tentang bentuk, dan fungsi dari pertunjukan tari Rejang Muani, namun
terlebih dahulu dijelaskan mengenai asal mula tarian ini. Mengenai asal-mula tari
Rejang Muani tidak ditemukan secara pasti, karena tidak adanya data-data yang
tertulis baik dalam bentuk lontar maupun prasasti-prasasti yang ada. Walaupun
demikian, tentang asal mula munculnya dapat diperoleh dari wawancara dengan
lengkap.
Seni tari tradisional merupakan sebuah seni yang diterima secara turun-
seni tradisi ini tidak diketahui secara pasti, karena tidak adanya data-data tertulis
munculnya tari-tarian tradisi tersebut. Begitupula dengan tari Rejang Muani yang
ada di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, sampai saat ini belum dapat
dikaji secara mendalam mengenai asal mula tarian ini, karena minimnya sumber
43
mengetahui secara pasti tentang awal munculnya tari Rejang Muani sudah banyak
yang meninggal, serta tidak adanya bukti tertulis, sehingga yang didapatkan hanya
sebelumnya.
dipercaya hanya dari Jero Nyarikan, yang merupakan salah satu tokoh masyarakat
di Desa Pakraman Lumbuan Bangli dan beliau ini merupakan generasi yang
ketujuh. Menurut Jero Nyarikan Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, I Wayan
2013 pukul 19.00 sd 22.00 WITA, tari Rejang Muani diperkirakan sudah ada di
Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan sekitar 350 tahun yang lalu. Tarian ini
Lumbuan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Senada dengan pernyataan tersebut, I
Putu Artawa selaku Bendesa Adat juga menegaskan kembali bahwa tari Rejang
Muani sudah ada sejak dahulu dan hanya dipentaskan pada saat upacara di Pura
sebuah tarian yang sudah lama berada di Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, dan
dianggap penting bagi masyarakat setempat karena selalu dilibatkan pada saat
mengatakan bahwa beliau mengetahui cerita tentang asal mula tari Rejang Muani
44
dari orang-orang tua terdahulu. Lebih lanjut dikatakan beliau pernah mendengar
cerita, bahwa pada masa kerajaan Panji Sakti, pernah terjadi bencana di sebuah
desa yang disebut Desa Darmaji, sehingga banyak penduduk dari Desa Darmaji
yang mengungsi ke beberapa daerah di Bali dengan membawa seni dan budaya
yang mereka miliki. Salah satu yang menjadi tempat pengungsian mereka adalah
ke Desa Pakraman Lumbuan. Jika diperhatikan dari jarak tempuh Desa Darmaji
dengan Desa Pakraman Lumbuan memang tidak terlalu jauh, sehingga sangat
bahwa tari Rejang Muani berasal dari Karangasem, yang terbawa ketika penduduk
masyarakat Desa Darmaji terjalin sangat baik. Dalam bidang kesenian, kedua desa
Tidak hanya sebatas pada bidang kesenian saja, apabila terdapat upacara
keagamaan di Desa Darmaji, masyarakat Desa Pakraman Lumbuan akan ikut serta
Desa Pakraman Lumbuan, Bangli berasal dari sebuah desa kecil yaitu Desa
45
tempat yang baru, yaitu ke sebuah desa yang sekarang disebut dengan Desa
Pakraman Lumbuan, Bangli. Desa ini pada mulanya masih merupakan daerah
Pura Puseh sebagai tanda tentang asal-mula berdirinya Desa Pakraman Lumbuan.
sang pencipta, yang didasari oleh keinginan masyarakat itu sendiri. Penampilan
dan keberadaan seni tari wali pada umumnya selalu dikaitkan dengan upacara
keagamaan, karena seni pada zaman dahulu hanya difungsikan sebagai tari
upacara. Pementasan tari upacara/ wali dijadikan sebagai media persembahan dan
pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tujuan
persembahan tari Rejang Muani kepada sang pencipta adalah menuntun Ida
Bhatara Bhatari turun kedunia untuk hadir dalam upacara Dewa Yadnya atau
upacara yang diadakan di Pura tersebut. Selain itu tari ini bertujuan untuk
menolak Bala sehingga keharmonisan dan keselamatan dunia tetap terjaga yaitu
dunia atas, tengah dan bawah. Maksudnya adalah tetap menjaga hubungan
46
harmonis kepada Tuhan, sesama manusia, dan dengan alam lingkungan sekitar.
Alam lingkungan adalah kekuatan yang tak kasat mata namun diyakini kekuatan
pementasan tarian ini pada Hari Raya Galungan nadi serta Hari Raya Kuningan
nadi. Pada bagian ini, akan dipaparkan secara terperinci mengenai proses upacara
sebelum dipentaskan tari Rejang Muani. Adapun proses upacara di Pura Puseh
Desa Pakraman Lumbuan yang dilengkapi dengan tari Rejang Muani adalah
sebagai berikut.
bersama dan nunas tirta pengelukatan (air suci) di Pura Puseh Desa Pakraman
suatu istilah dalam bahasa Bali yang berarti pertunjukan berpindah-pindah dari
satu rumah ke rumah yang lain, ataupun dari satu desa ke desa yang lain. Dalam
47
tradisi ngelawang, seluruh masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli ikut
sekaa truna-truni, anggota muda-mudi, beserta orang-orang tua juga ikut serta
menjadi penabuh. Untuk masyarakat perempuan akan ikut serta sebagai pengiring
Barong Macan dan Barong Ketet. Kedua barong tersebut merupakan sesuhunan
di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Pada tradisi ini, tidak lepas juga
dan bandrang. Tradisi ngelawang hanya dilakukan sekali saja, tepatnya pada hari
pertama saat upacara berlangsung (Hari Raya Galungan nadi atau Hari Raya
Kuningan nadi). Tradisi ini dimulai dari sore hari sekitar pukul 17.00 WITA dan
selesai hingga malam hari sekitar pukul 20.00 WITA. Tujuan dari tradisi
ngelawang ini tiada lain untuk mengusir roh-roh jahat, dan sekaligus melindungi
penduduk dari wabah penyakit yang diakibatkan oleh roh-roh jahat (bhuta kala)
khususnya seni tari Bali, tidak pernah lepas dengan upakara (banten) baik
Sebagaimana tari Rejang Muani, juga selalu melibatkan upacara bebantenan jika
48
tarian ini dipentaskan. Upacara diawali dengan menghaturkan banten/ sesajen
pada sebuah pelinggih pahlawan yang berada di jaba sisi pura (halaman pura
sehingga masyarakat setempat bisa tetap hidup seperti sekarang ini. Selain itu
belum berani untuk memulai upacara di jeroan pura. Persembahan sesajen pada
pelinggih pahlawan, dilakukan oleh sekaa truni dan dipimpin oleh seorang
pemangku. Persembahan tersebut dilakukan oleh sekaa truni, karena sekaa truna
keagamaan tersebut.
dibawah penjor Nawa Sanga dan juga pada pelinggih utama, dengan tujuan untuk
juga bertujuan untuk memohon ijin kepada penghuni yang berada ditempat yang
dengan lancar, serta dapat mengubah status tempat pertunjukan dari tempat biasa
telung dasa telu (33), banten sorohan yang didalamnya berisi daksina (pejati),
suci sari, tumpeng pitu, metaled pras, sayut, canang raka, canang ajuman,
50
dipersembahkan kepada penguasa alam bawah. Adapun sesajen yang
dipersembahkan dibawah penjor Nawa Sanga berisi tetabuhan (arak, tuak), yang
bertujuan untuk nyomia (mensucikan) bhuta kala, agar tidak mengganggu selama
Sanga ditujukan kepada para bhuta kala di ke sembilan arah mata angin, yang
bertujuan untuk nyomia para bhuta kala sebagai penguasa alam bawah dengan
mempersembahkan atau menuang arak, tuak, pada sesajen dibawah penjor Nawa
Sanga yaitu pada awal dan akhir pementasan masing-masing tari-tarian wali yakni
tari Baris Tombak, tari Rejang Daha, tari Mabuang dan tari Rejang Muani.
akan ikut menari duduk berkumpul bersama-sama di depan pelinggih utama untuk
semua penari, dengan tujuan untuk memohon keselamatan dan persembahan tari
wali dapat berjalan dengan lancar. Penari sudah menggunakan selendang yang
harus dipakai dalam pementasan tari wali tersebut, sebelum mereka mengadakan
51
Pakraman Lumbuan, Bangli, karena tari Rejang Muani sendiri hanya ditarikan di
Setelah rangkaian atau prosesi ritual selesai, maka pertunjukan tari wali
dapat dimulai. Adapun rangkaian dari tari upacara yang diselenggarakan di Pura
Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli adalah: diawali dengan pementasan tari
Baris Tombak, tarian ini ditarikan oleh 4 orang penari laki-laki yaitu sekaa truna.
Sesuai dengan nama tariannya, semua penari ini membawa sebuah properti
tersebut selesai, maka dilanjutkan dengan menarikan tari Rejang Daha. Tarian ini
dibawakan oleh sekaa truni dan merupakan sebuah tari kelompok dengan jumlah
penari sekitar 35 orang. Pada pementasan tarian ini, dipimpin oleh seorang sekaa
yang terdiri dari ayam dan bebek, dimasukkan kedalam kisa (anyaman yang
52
terbuat dari daun kelapa berbentuk sangkar kecil). Kisa tersebut kemudian
tarian ini dipentaskan oleh 8 orang penari laki-laki (sekaa truna). Tari Mabuang
merupakan sebuah tarian yang dipersembahkan kepada bhuta kala, dengan tujuan
agar tidak diganggu serta dapat membawa kemakmuran dan kedamaian bagi
Muani. Tari Rejang Muani dipentaskan sebagai tari terakhir dari sekian tari wali
yang dipertunjukkan. Tidak ada makna secara khusus kenapa tari Rejang Muani
Muani, maka dengan itu selesai juga pementasan tari-tarian wali yang
pura). Dari pengamatan peneliti, halaman utama atau jeroan pura sangat luas,
53
merupakan rangkaian dari upacara Dewa Yadnya, yang sampai sekarang selalu
ini tidak dipentaskan maka upacara tersebut dikatakan belum selesai atau belum
lengkap, oleh karena itu dari dulu sampai sekarang tari Rejang Muani selalu
yang mereka miliki. Hal tersebut diungkapkan oleh Artawa pada saat wawancara
2013 pukul 19.00 Wita, bahwa apabila Galungan nadi tarian ini dilaksanakan
selama 3 hari. Pada Ngusaba kepitu tarian ini dipentaskan selama 7 hari berturut-
turut dengan rangkaian pertunjukan yang sama. Tari Rejang Muani merupakan
sebuah karya seni religius (sebagai sarana pelengkap upacara) sehingga harus
untuk tetap mempertunjukkan tari Rejang Muani disetiap piodalan di Pura Puseh
tari Rejang Muani ketika Hari Raya Galungan nadi dan Kuningan nadi. Sebagai
sebuah tari wali, tari Rejang Muani dipentaskan setiap 6 bulan (210 hari) sekali
bertepatan dengan Hari Raya Galungan atau Kuningan secara bergantian. Hari
54
Raya Galungan atau Kuningan oleh masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli
disebut dengan Hari Raya Galungan nadi atau Hari Raya Kuningan nadi.
Pengertian nadi disini adalah tarian tersebut ditarikan bergilir atau sering disebut
enam bulan sekali. Umumnya, apabila tarian ini sekarang dipentaskan pada waktu
Hari Raya Galungan nadi, maka enam bulan yang akan datang tari Rejang Muani
dipentaskan pada saat Hari Raya Kuningan nadi. Namun tidak selamanya tarian
ini dipentaskan secara bergiliran yaitu sekarang Galungan dan yang akan datang
Hari Raya Galungan atau Hari Raya Kuningan akan pernah jatuh berdekatan
selama dua hari yaitu ketika rahinan purnama sesuai kalender Bali dan keesokan
harinya (manis purnama). Oleh karena itu, apabila rahinan purnama jatuhnya
berdekatan dengan Hari Raya Galungan atau Hari Raya Kuningan, maka tari
satu contoh, apabila tari Rejang Muani sekarang dipentaskan pada Hari Raya
Galungan nadi, dan seharusnya enam bulan kemudian dipentaskan pada Hari
Raya Kuningan nadi, namun rahinan purnama jatuhnya berdekatan dengan Hari
Raya Galungan, maka tarian tersebut kembali dipentaskan pada Hari Raya
Galungan dan tetap disebut dengan Hari Raya Galungan nadi. Misalnya rahinan
purnama jatuhnya pada penyajaan Galungan, maka tetap dipentaskan pada Hari
55
Raya Galungan, karena upacara keagamaan pada saat rahinan purnama dilakukan
selama dua hari dengan sarana upakara yang sama. Jika pada Hari Raya Galungan
atau Hari Raya Kuningan tidak berdekatan dengan jatuhnya rahinan purnama,
maka tari Rejang Muani tetap dipertunjukkan secara bergiliran atau jungkat-
jungkit.
tari Rejang Muani dilakukan setiap Hari Raya Galungan nadi atau Kuningan nadi.
Tari Rejang Muani selalu dipentaskan setiap 6 bulan sekali (210 hari sesuai
kalender Bali). Dari keterangan masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, dari dulu
sampai sekarang setiap 6 bulan sekali selalu bertemu dengan Hari Raya Galungan
nadi atau Kuningan nadi, sehingga masyarakat setempat selalu bisa menyuguhkan
tarian ini pada setiap upacara Dewa Yadnya tepatnya pada Hari Raya Galungan
upacara agama tersebut selama empat hari berturut-turut pada Hari Raya
Galungan nadi, sedangkan pada Hari Raya Kuningan nadi, upacara dilaksanakan
selama tiga hari berturut-turut. Lebih lanjut, untuk rangkaian pementasan tari wali
di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli selalu sama, yaitu diawali
dengan tari Baris Tombak, selanjutnya tari Rejang Daha, setelah itu tari Mabuang
dan terakhir dipentaskan tari Rejang Muani. Untuk proses upacaranya terdapat
perbedaan pada hari pertama dan hari terakhir saja. Pada saat hari pertama (Hari
ngelawang, yakni keliling di wilayah desa tersebut. Dalam tradisi ini, sesuhunan
56
yang berupa Barong Macan dan Barong Ketet yang diarak oleh masyarakat untuk
keliling di Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Dengan kata lain, proses upacara
pada hari pertama diawali dari melakukan tradisi ngelawang dan setelah itu
Perbedaan pada hari kedua dan ketiga adalah prosesi upacara diawali dengan
melaksanakan tradisi ngelawang. Begitu pula dengan hari terakhir, prosesi diawali
sembahyang bersama. Pada hari terakhir, terdapat upacara yang disebut dengan
senjata penawa sanga serta sesuhunan Pura Puseh mengitari penjor Nawa Sanga
dengan arah berlawanan jarum jam sebanyak 3 kali. Mengitari penjor tersebut ke
arah kiri sebanyak 3 kali putaran yakni berputar melawan arah jarum jam, oleh
Kabupaten Bangli.
Tari Rejang Muani mempunyai kaitan dengan Penjor Nawa Sanga, yang
juga hanya dipersembahkan pada Hari Raya Galungan nadi ataupun Hari Raya
Kuningan nadi. Apabila upacara keagamaan yang dilaksanakan selain Hari Raya
Galungan nadi atau Hari Raya Kuningan nadi, serta Ngusaba kapitu, maka tari
wali yang ditampilkan hanya tari Baris Tombak dan tari Rejang Daha saja, serta
57
tidak mempersembahkan penjor Nawa sanga. Hal tersebut dikarenakan kedua
Penjor Nawa Sanga merupakan salah satu syarat dalam pementasan tari
Rejang Muani, serta menjadi syarat bisa terselenggarakan upacara agama tersebut.
jeroan pura menggunakan satu penjor dengan 9 buah cabang, di jaba tengah pura
memakai satu penjor dengan 7 buah cabang, sedangkan di jaba sisi menggunakan
satu penjor dengan 5 buah cabang. Dari ketiga tempat tersebut, yang ada
kaitannya dengan tari Rejang muani hanya penjor yang mempunyai 9 buah
Kaitan penjor Nawa Sanga dengan tari Rejang Muani adalah karena penjor
tari Rejang Muani, serta mempunyai kaitan dengan gerak pada tarian tersebut.
Begitu erat kaitannya dengan tari Rejang Muani, sehingga antara keduanya tidak
bisa dipisahkan, dengan kata lain, penjor Nawa Sanga tersebut harus ada pada
setiap pertunjukan tari Rejang Muani. Penjor Nawa Sanga hanya dipersembahkan
Sanga. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, tari Rejang Muani hanya
58
kaitannya dengan penjor Nawa Sanga yang juga hanya dipersembahkan di pura
itu saja.
dan perempuan yang belum menikah). Dalam pembuatan penjor dapat dikatakan
cukup sulit, karena sekaa truna harus mencari bahan-bahan untuk penjor itu
pohon enau yang masih muda), tiing jlepung (bambu jlepung), tiing jajang
(bambu jajang), biu kayu (pisang kayu) dengan jumlah genap (12 biji, 16 biji, 18
Foto 4.4 Sekaa truna mencari bambu untuk membuat penjor Nawa Sanga
Dokumentasi: STT Eka Dharma Jati, 2012
sebagai ujian untuk ikut menjadi anggota organisasi desa. Jika sudah mampu
mencari bahan-bahan tersebut, berarti mereka sudah siap untuk menopang beban
Foto 4.5 Sekaa truna mencari bambu untuk membuat penjor Nawa Sanga
Dokumentasi: STT Eka Dharma Jati, 2012
mereka yang baru pertama kali menjadi truna muncuk, mereka akan mendapat
bagian untuk mengangkat bambu pada bagian pangkal, dengan posisi bambu
terlentang, dan ketika bambu diberdirikan mereka juga tetap mendapat bagian
mengangkat bambu tersebut, berarti mereka sudah siap untuk memikul tanggung
jawab yang berat. Kegiatan tersebut menjadi kegiatan rutin sekaa truna dan
pemuda Desa Pakraman Lumbuan, Bangli setiap enam bulan sekali. Mereka
60
melakukannya dengan tulus ikhlas dan tidak pernah mengeluh dalam mencari
bahan-bahan untuk penjor Nawa Sanga yang memang sulit untuk dicari.
Foto 4.6. Sekaa truna muncuk membawa bambu untuk bahan penjor Nawa Sanga.
Dokumentasi: STT Eka Dharma Jati, 2011
Penjor Nawa Sanga tidak hanya di buat oleh sekaa truna saja, namun
sekaa truni juga terlibat untuk turut ikut serta membantunya. Sekaa truni bertugas
untuk membuat lamak yaitu jejahitan (rangkaian janur) berbentuk segi empat
panjang yang dipasang pada sanggah penjor. Lamak yang dipasang pada penjor
Nawa Sanga memiliki panjang sekitar 7-8 meter. Lamak tersebut melambangkan
alam semesta, karena berisi hiasan berbentuk seperti air, gunung, tumbuh-
tumbuhan, manusia, matahari dan lain sebagainya. Sekaa truni juga bertugas
untuk membuat sampian penjor yang mempunyai tingkat sesuai dengan jumlah
cabangnya. Penjor yang berada di jaba sisi bertingkat 5, jaba tengah bertingkat 7,
sedangkan yang ada di jeroan pura bertingkat 9. Pada sampian penjor tersebut
diisi banten canang sari sebagai lambang bumi. Pada penjor Nawa Sanga yang
61
dipersembahkan di jeroan pura, menggunakan sampian yang bertingkat 9. Hal itu
dikarenakan penjor tersebut sebagai lambang dari sembilan dewa di penjuru arah
mata angin. Adapun dewa-dewa yang berstana di sembilan penjuru arah mata
angin adalah arah Utara yaitu Dewa Wisnu; arah Selatan yaitu Dewa Brahma;
arah Barat yaitu Dewa Mahadewa; arah Timur yaitu Dewa Iswara; arah Tengah
yaitu Dewa Siwa; arah Timur Laut yaitu Dewa Sambhu; arah Tenggara yaitu
Dewa Mahesora; arah Barat Daya yaitu Dewa Rudra; arah Barat Laut yaitu
Sangkara.
setempat yang memiliki bahan-bahan untuk pembuatan penjor seperti tiing, ambu
muncukan, biu kayu, dan lain sebagainya, mereka akan memberikan bahan-bahan
tersebut secara suka rela kepada sekaa truna-truni. Menurut masyarakat setempat,
62
yang susah untuk didapatkan di antara bahan-bahan tersebut adalah ambu
muncukan dan biu kayu yang berjumlah genap tersebut. Untuk mencari ambu
muncukan, sekaa truna harus memanjat pohon enau sampai di ujung, karena
bahan itu terdapat di ujung pohon tersebut. Untuk mencari biu kayu, sekaa truna
harus memanjat dan melihat satu persatu pohon pisang dan hanya memetik buah
dengan jumlah yang sudah ditetapkan saja, yaitu berjumlah 12 biji, 16 biji, 18 biji
dan seterusnya. Pembuatan penjor Nawa Sanga memang terbilang sangat susah,
namun dengan rasa tanggung jawab yang dimiliki oleh sekaa truna-truni, maka
setiap pementasan tari Rejang Muani penjor tersebut selalu bisa terwujud.
belum pernah dipentaskan tanpa persembahan penjor Nawa Sanga, karena hal
yang mereka miliki. Dari awal muncul tarian ini selalu disajikan dalam konteks
4.2 Bentuk Pertunjukan tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman
Lumbuan, Bangli
sebuah tarian yang dipentaskan oleh satu orang; 2) bentuk berpasangan (duet),
yaitu sebuah tarian yang dipentaskan oleh dua orang penari; 3) bentuk trio, yaitu
63
tarian yang dipentaskan oleh tiga orang penari; 4) bentuk kwartet (tari kelompok
kecil) yaitu sebuah tarian yang dipentaskan oleh empat orang atau dibawah 10
orang; 5) bentuk kelompok besar (massal), yaitu sebuah tarian yang dipentaskan
secara berkelompok dengan lebih dari 10 orang penari. Dilihat dari koreografinya,
(massal), yang ditarikan dengan melibatkan penari dalam jumlah yang banyak.
Tarian ini ditarikan oleh sekelompok penari laki-laki yang menggunakan tata rias
dan busana sangat sederhana. Begitu pula dengan musik iringannya dan tempat
dengan tata lampu yang seadanya saja ( tidak memakai tata cahaya secara khusus).
Dalam pertunjukan tari Rejang Muani yang tergolong sangat sederhana tentu saja
memiliki isi atau makna tersendiri yang penting bagi masyarakat pendukungnya.
kesenian mengandung tiga aspek dasar, yakni: wujud atau rupa (appearance),
mendasar atas pengertian wujud, yakni semua wujud terdiri dari bentuk dan
susunan atau struktur. Terkait dengan pernyataan tersebut maka untuk mengetahui
wujud dalam tari Rejang Muani dapat dilihat dari komponen penari, gerak, tata
rias dan busana, tempat pementasan atau pertunjukan, serta musik iringan tarian
tersebut. Tari Rejang Muani memiliki bentuk pertunjukan yang sangat sederhana.
64
4.2.1 Penari tari Rejang Muani
pertunjukan sebuah tarian. Pertunjukan tari tidak dapat berlangsung apabila tidak
ada penari, karena penarilah yang melakukan gerak tarinya. Tari Rejang Muani di
Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli merupakan sebuah tari kelompok
dengan jumlah penari yang banyak. Tari Rejang pada umumnya ditarikan oleh
penari perempuan, namun berbeda dengan tari Rejang Muani yang terdapat di
Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Tarian ini ditarikan oleh sekaa
truna (sekelompok laki-laki yang belum menikah/ beristri), dengan jumlah penari
namun berapapun bisa ikut menarikan tari Rejang Muani, karena hal itu
tergantung dari jumlah sekaa truna yang hadir mengikuti upacara tersebut. Penari
tari Rejang Muani dalam setiap pementasannya dapat berubah-ubah, hal tersebut
dipengaruhi oleh banyak dan sedikitnya sekaa truna yang mengikuti upacara
piodalan tersebut. Artinya, siapapun bisa ikut menarikan tarian ini, asalkan
mereka adalah orang laki-laki dan sudah ikut kedalam organisasi pemuda.
untuk ikut dalam pementasan tarian ini, tetapi biasanya mereka mempunyai
melaksanakan tarian ini, sehingga pada pementasannya selalu ditarikan oleh sekaa
truna dengan jumlah yang banyak. Belakangan ini, tidak hanya sekaa truna saja
yang ikut serta menarikan tari Rejang Muani, namun muda-mudi juga ikut
65
tulus ikhlas serta memang tidak ada persyaratan secara khusus selain batasan
terdapat batasan umur yaitu 12 tahun keatas, namun tidak ada upacara ritual
secara khusus dalam pemilihan penari, yang terpenting adalah penarinya orang
laki-laki dan masih ikut serta dalam organisasi sekaa truna maupun organisasi
keyakinan bahwa orang laki-laki dianggap masih suci, karena mereka tidak
mengalami datang bulan seperti perempuan. Karena dari dulu sudah ditemui
berpandangan bahwa hanya orang laki-lakilah yang pada umumnya mampu dan
Gerak merupakan bahan baku utama atau unsur pokok dalam sebuah tari,
Gerak memiliki peranan besar pada suatu tarian, karena apabila gerakan
dirangkai, ditata dan disatukan, maka akan terciptalah sebuah tarian. Gerak-gerak
pada tari Rejang sangat sederhana (polos), dan penuh rasa pengabdian kepada
leluhur. Tari Rejang Muani merupakan sebuah tarian tradisi yang diwariskan
pada tarian ini sangat sederhana yang merupakan ciri dari tarian kuno, karena
dalam mempelajarinya, dan yang lebih dipentingkan adalah rasa pengabdian dan
pelatihan secara khusus, dikarenakan mereka sudah terbiasa melihat tarian ini,
serta gerakannya hanya terdiri dari satu gerak dengan arah hadap yang berbeda.
tanggung jawab atau kewajiban untuk tetap melestarikan tradisi yang mereka
miliki. Hal tersebutlah yang membuat tarian ini selalu bisa dipentaskan berkaitan
Lumbuan Bangli. Adapun gerak pada tari Rejang Muani adalah sebagai berikut:
Pertama, gerak menghadap arah pojok kiri yaitu kaki kanan berada di
depan kaki kiri (kaki kiri sebagai tumpuan atau kaki disilang), posisi badan
67
dicondongkan ke arah pojok kiri, dengan melihat arah bawah (pandangan ke
kebawah.
Kedua, gerak menghadap arah pojok kanan yaitu kaki kiri berada di
depan kaki kanan (kaki kanan sebagai tumpuan atau kaki disilang), posisi badan
menghadap kebawah. Lebih jelasnya untuk gerakan tarian ini, dapat dilihat pada
68
Foto 4.10 Penari melakukan gerakan menghadap ke arah pojok kanan
Dokumentasi : Dian Arista, 2013
tari Rejang Muani adalah dengan gerak ngelangsut. Ngelangsut merupakan salah
satu istilah dalam tari Bali, yang mempunyai arti gerakan menghadap ke arah
pojok kiri yang seketika berbalik ke arah pojok kanan dengan salah satu kaki
diangkat (kaki kiri), begitu pula sebaliknya. Salah satu contohnya apabila penari
bergerak menghadap ke arah pojok kiri, maka untuk bergerak ke arah samping
hadap.
monoton dan terbilang sangat sederhana karena hanya terdiri dari satu gerak saja.
Penari melakukan gerak yang sama baik ke arah pojok kiri maupun ke arah pojok
kanan. Kesederhanaan gerak pada tarian ini tidak mengurangi makna yang
terkandung dalam tari Rejang Muani tersebut. Gerakan pada tari Rejang Muani
69
dimulai dari penari bergerak menghadap ke arah pojok kiri, kemudian penari
kali secara bergantian (pojok kiri-pojok kanan) dan berakhir dengan penari
bergerak menghadap ke pojok kiri. Gerak tersebut diulang sebanyak sembilan kali
merupakan kaitannya dengan penjor Nawa Sanga yang juga memiliki sembilan
buah cabang, yang diyakini sebagai lambang dari sembilan dewa di penjuru arah
mata angin. Hal ini dimaksudkan bahwa tari Rejang Muani dipersembahkan
tarian ini penari tidak menari ke sembilan arah mata angin. Gerakan pada tarian
tersebut menjadikan tarian ini unik dan berbeda dengan tari Rejang lainnya.
Tata rias merupakan salah satu faktor penting dalam sebuah tarian, dan
juga tata rias dapat mempertegas garis muka, serta dapat memberikan perubahan-
suatu pertunjukan. Secara umum tata rias memang sangat berpengaruh dalam
suatu pementasan, namun berbeda dengan tari Rejang Muani yang dipentaskan di
Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli ini sama sekali tidak menggunakan
wajah.
70
Berkaitan dengan tata rias pada tari Rejang Muani, sebagai tarian yang
lahir pada zaman dahulu, yang masyarakat pada waktu itu menciptakan sebuah
tari terpusat untuk persembahan kepada sang pencipta. Masyarakat tidak berani
alat-alat kosmetika, namun tarian ini sangat berarti bagi masyarakat Desa
Selain tata rias, sebenarnya tata busana juga merupakan salah satu hal
pendukung yang penting dalam tari Bali. Tata busana akan memberikan kesan
yang indah serta busana atau pakaian dapat menunjukkan kepada penonton
tentang tokoh atau lakon yang dibawakan. Pada umumnya, setiap tarian biasanya
menggunakan tata busana tersendiri, yang dapat memberikan ciri khas pada tarian
masih tetap mempertahankan tata busana yang memang mereka terima dari
ditonjolkan.
71
Seperti halnya tari Rejang Muani yang dipentaskan di Pura Puseh Desa
Pakraman Lumbuan, Bangli, tarian ini menggunakan tata busana yang sangat
sederhana. Tata busana yang dipakai yaitu penari hanya menggunakan pakaian
adat ke pura. Mereka memakai baju warna putih, kain warna putih, udeng putih,
dan menggunakan saput berwarna biru muda atau kuning dan menggunakan
selendang. Saput berwarna biru muda/ kuning merupakan salah satu kostum dari
sekaa truna yang dipakai bersama supaya kelihatan seragam atau kompak. Tidak
ada aturan secara pasti kapan harus menggunakan saput berwarnan kuning
maupun biru, karena hanya merupakan kostum dari sekaa truna dan pemuda Desa
Pakraman Lumbuan Bangli dan tidak ada pengaruhnya terhadap persembahan tari
wali tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada foto dibawah ini:
Udeng putih
Baju putih
Foto 4.11 Pakaian adat ke pura sekaa truna dan pemuda Desa Pakraman
Lumbuan
Dokumentasi: Raka Wiguna, 2011
72
Foto diatas merupakan pakaian adat ke pura sekaa truna dan pemuda
dengan memakai saput berwarna biru. Adapun pakaian adat ke pura sekaa truna
maupun pemuda Desa Pakraman Lumbuan, Bangli yang memakai saput berwarna
Udeng putih
Baju putih
Foto 4.12 Pakaian adat ke pura sekaa truna dan pemuda Desa Pakraman
Lumbuan
Dokumentasi: Raka Wiguna, 2014
selendang yang digunakan dalam pementasan tari Rejang Muani sudah disediakan
berwarna merah muda atau dadu, merupakan perpaduan dari warna putih dan
merah. Warna dari selendang yang dipakai pada pementasan tari Rejang Muani
tersebut tidak selamanya seperti itu, artinya dalam kurun waktu tertentu warnanya
bisa berubah atau diganti. Walaupun warna selendang yang dipakai berubah-ubah,
73
namun tetap tidak mengurangi makna dari tarian tersebut, karena selendang yang
keadaan rusak dan sudah tidak layak pakai. Cara penggunaan selendang pada tari
Rejang Muani berbeda dengan penggunaan selendang pada tari Rejang lainnya,
misalnya tari Rejang Dewa yang penggunaan selendangnya adalah di dada penari
dan terurai panjang di sebelah kanan. Adapun cara penggunaan selendang pada
tarian ini adalah di slempang, yaitu diikatkan di dada penari dan selanjutnya
digunakan tersebut disimpan di sebuah Bale (tempat) yang disebut dengan Bale
74
Pesanekan bersamaan dengan disimpannya pakaian tari lainnya, seperti pakaian
topeng. Agar lebih jelasnya penggunaan selendang pada tarian ini dapat dilihat
Pada pementasan tari Rejang Muani dari dulu memang hanya memakai
pakaian adat ke pura, namun hanya saja biasanya terdapat perubahan pada saput
yang digunakan oleh penari. Biasanya selang beberapa waktu sekaa truna akan
mengganti warna saputnya dengan warna yang berbeda tergantung dengan selera
mereka. Seperti halnya dengan warna selendang, walaupun warna saput yang
dipakai juga mengalami perubahan, namun tidak mengurangi fungsi tarian ini
Tata rias dan tata busana dalam sebuah tarian merupakan dua serangkai
yang tidak dapat dipisahkan untuk penyajian suatu tarian. Tata rias dan tata
busana sangat berkaitan erat dengan warna, karena warna dalam seni pertunjukan
75
berkaitan dengan tokoh yang dibawakan. Pada tari Rejang Muani, yang
merupakan sebuah tari upacara yang dalam pementasannya tidak memakai lakon
sehingga tidak ada penokohan di dalam tarian ini. Warna yang terdapat pada
busana atau pakaian tarian ini, menggunakan warna putih, kuning, biru dan merah
muda. Warna putih memberi kesan muda dan memiliki arti simbolis kesucian.
simbolis kesetiaan. Warna merah muda atau dadu memiliki makna penyatuan
antara gunung dan matahari, keseimbangan alam. Warna-warna dari tata busana
pura saja, dari awal muncul dan sampai sekarang masih memakai pakaian seperti
itu, Meskipun sekarang ini sudah zaman globalisasi, namun masyarakat Desa
busana tarian ini, hanya mengalami perkembangan pada saput yang digunakan.
Seni musik tidak bisa lepas dari seni pertunjukan, khususnya seni tari
yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Hal ini dikarenakan musik berfungsi
sebagai iringan yang mengikuti irama gerak tari, sebagai pembentuk suasana,
76
tertentu. Pada pementasan tari Rejang Muani, musik iringan berfungsi sebagai
pembentuk suasana dan sebagai ilustrasi saja, namun walaupun begitu gerak yang
dilakukan tetap mengikuti irama, tempo, maupun angsel dari musik tersebut.
Gamelan Bali hanya menggunakan satu dari dua laras yang ada yaitu
selendro atau pelog. Gong Gede merupakan salah satu gamelan yang
menggunakan laras pelog lima nada. I Wayan Dibia mengatakan bahwa Gong
Gede termasuk barungan ageng (besar) namun langka, yang melibatkan antara
40-50 orang pemain serta hanya ada di beberapa daerah saja. Gamelan ini
Gamelan ini disebut dengan Gong Gede karena terdiri dari berbagai jenis
instrumen perkusi dalam jumlah yang cukup banyak. Gamelan ini merupakan
perangkat gamelan Bali yang terbesar, baik dari jumlah pemainnya atau penabuh,
kempli, bende, kempur, gong lanang wadon, gangsa jongkok, jublag, jegogan,
kendang, dan cengceng kopyak. Gamelan Gong Gede tersebut merupakan warisan
satu aset yang berharga yang terdapat di Desa Pakraman Lumbuan, Bangli.
menggunakan musik iringan yang berupa gamelan Gong Gede dengan gending
tanggal 2 September 2013, di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan pada pukul
19.00-20.00 WITA).
berbeda-beda dan bervariasi dari pelan, sedang dan cepat ( Dibia, 2013:120).
Sesuai dengan pernyataan tersebut, musik pengiring dari tari Rejang Muani
menggunakan tempo yang lambat pada awal pertunjukan dan tempo lebih cepat
pada akhir pertunjukan. Adanya perubahan tempo dari lambat ke lebih cepat
tersebut, merupakan suatu tanda bahwa pementasan tari Rejang Muani akan
berakhir.
78
mana-mana, namun pada tari upacara kalangan merupakan sebuah tempat yang
khusus. Hal tersebut dapat dilihat dari perlakuan masyarakat terhadap tempat
tersebut bersih dan terbebas dari gangguan-gangguan makhluk yang tidak kasat
mata.
(halaman utama pura). Penari keluar dari arah Selatan dan mereka menari di
depan penjor Nawa Sanga, menghadap ke arah Utara atau menari di depan
79
konsentrasi dan menari dengan rasa pengabdian yang tulus. Pementasannya
penonton dapat melihat tarian ini dari segala arah, karena tidak ada pembatas
antara penari dengan penonton. Pementasan tari Rejang Muani dilakukan pada
malam hari dengan disinari lampu seadanya, karena tidak menggunakan tata
lantai seperti tari Rejang pada umumnya. Tari Rejang pada umumnya biasanya
terdapat pola lantai yang membentuk lingkaran (melingkar), lurus, sejajar atau
berbaris, menghadap arah pojok dan sebagainya. Pada tarian ini hanya
menggunakan pola lantai berbaris yaitu penari hanya bergerak di tempat saja, hal
tersebut dikarenakan pada motif gerak pada tari Rejang Muani tidak terdapat
gerakan untuk berjalan atau berpindah tempat untuk mengubah pola lantai.
Kendatipun pada tari Rejang Muani hanya memakai satu pola lantai, yaitu hanya
menghadap arah depan berubah menghadap ke arah pojok kanan depan, berubah
lagi ke arah pojok kiri depan, dan kembali menghadap arah depan.
4.3 Fungsi tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan,
Bangli
Seni merupakan bagian dari agama, tujuan utama dari seni tersebut
adalah untuk menghormati kebesaran Tuhan Hyang Maha Esa/ Ida Sang Hyang
80
Widhi Wasa. Hal tersebutlah sebagai penguat sehingga seni bisa bertahan hidup
keagamaan untuk mementaskan seni, khususnya seni tari. Yudabakti dan Watra
Profan bidang seni tari yang diadakan oleh Proyek Pemeliharaan dan
yakni:
1. Seni tari Wali adalah seni tari yang dipentaskan di pura-pura dan ditempat
yang ada hubungannya dengan upacara agama, sebagai pelaksana upacara dan
2. Seni tari Bebali adalah tari yang berfungsi sebagai pengiring upacara dan
3. Seni tari Balih-balihan adalah segala jenis tari Bali yang mempunyai unsur-
unsur dasar dari seni tari yang luhur yang tidak tergolong tari wali dan bebali
upacara, baik seni wali atau bebali pada dasarnya memiliki nilai religius dan
bersifat sakral, serta dalam pertunjukannya didasarkan pada konsep desa, kala,
dan patra (tempat, waktu, dan keadaan). Tujuan pertunjukan lebih difokuskan
pada kepentingan upacara Dewa Yadnya daripada hiburan untuk penonton. Hal
tersebut sangat berbanding terbalik dengan seni tontonan atau balih-balihan, yang
81
cenderung lebih menonjolkan unsur keindahan dan dalam pertunjukannya tidak
menjadi dua yaitu, seni sebagai fungsi primer dan fungsi sekunder (Soedarsono,
2004:170-173). Salah satu fungsi primer atau utama dari seni pertunjukan yaitu:
sebagai sarana ritual, sedangkan untuk fungsi sekunder adalah sebagai pengikat
Muani bagi masyarakat Desa Lumbuan, Bangli adalah tarian ini memiliki dua
fungsi, yakni sebagai tari wali atau sarana ritual, dan berfungsi sebagai pengikat
termasuk ke dalam jenis seni tari wali. Hal ini tersirat dari hubungan yang sangat
erat dengan upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan,
Bangli, dan diyakini tanpa adanya tarian ini upacara tersebut dianggap kurang
dan pemujaan Tuhan Yang Maha Esa, dengan tujuan agar diberikan perlindungan,
Desa Pakraman Lumbuan, Bangli karena tarian ini berfungsi sebagai sarana di
sarana ritual, tari Rejang Muani dipentaskan di jeroan pura (halaman utama pura)
82
dan tidak pernah dipentaskan di luar dari upacara Dewa Yadnya selain di Pura
Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Tanpa pertunjukan tari Rejang Muani,
maka proses upacara dikatakan belum selesai, sehingga dapat dikatakan dengan
tegas oleh masyarakat pendukungnya bahwa tari Rejang Muani merupakan sarana
upacara pada piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Sampai
saat ini, tari-tarian wali masih tetap bertahan dan lestari, karena masyarakat
pendukungnya tidak berani mengubah atau meninggalkan begitu saja. Hal tersebut
Lumbuan, Bangli.
Fungsi tari Rejang Muani tidak hanya semata-mata sebagai tari upacara
keagamaan atau tari wali, namun juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai pengikat
sebagai tari pengikat sosial, dikaitkan dengan tari Rejang Muani bila dilihat dari
83
Pakraman Lumbuan, Bangli. Begitu juga dalam pelaksanaan upacara yang disertai
pementasan tari Rejang Muani, banyak melibatkan organisasi sosial seperti sekaa
tersebut harus melibatkan diri dengan tanpa mendapatkan upah. Kegiatan yang
dilakukan secara sukarela tersebut dalam bahasa Bali disebut dengan ngayah.
upacara agama di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, apabila mereka
tidak hadir dalam kegiatan ngayah, maka mereka akan dikenakan sangsi sesuai
dengan aturan atau awig-awig yang sudah disepakati. Biasanyaa mereka akan
terlibat pada kegiatan ngayah, maka mereka bisa dikucilkan oleh masyarakat
lainnya.
Dalam pementasan tari Rejang Muani, banyak orang yang ikut terlibat di
Dalam kebersamaan inilah dapat menimbulkan kondisi yang harmonis dan saling
yang merupakan syarat dari bisa terlaksananya pementasan tari Rejang Muani.
84
Pembuatan penjor tersebut memerlukan bahan-bahan yang cukup sulit
didapatkan. Bahan-bahan tersebut harus dicari sendiri oleh sekaa truna-truni yang
diperlukan, hal itu dilakukan supaya semua sekaa truna-truni memahami betapa
berat dan sulitnya dalam mencari bahan-bahan untuk penjor Nawa Sanga. Dari
kegiatan dan usaha itulah timbul rasa kebersamaan sebagai sarana pengikat
penerus dalam desa setempat. Pada kegiatan gotong royong atau bekerjasama
adanya komunikasi yang baik tersebut akan mewujudkan rasa saling menghargai
85
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
bahwa tari Rejang Muani merupakan sebuah tari upacara, yang dipentaskan oleh
masyarakat Desa Lumbuan pada upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa
Pakraman Lumbuan, Bangli. Tarian ini berbentuk tari massal atau kelompok,
tersebut dapat dilihat dari penari tidak memakai riasan wajah, serta busananya
yang hanya menggunakan pakaian adat ke pura saja. Selain itu, gerak-gerak yang
ditampilkan dalam tarian ini juga tergolong sederhana, yaitu hanya berupa gerak
kedua tangan ke arah samping kanan dan kiri. Gerakan tersebut diulang-ulang
sebanyak sembilan kali, karena gerakan tarinya memiliki kaitan dengan penjor
Nawa Sanga yang juga memiliki sembilan buah cabang. Gerak ke pojok kanan
depan dan pojok kiri depan, dihubungkan dengan sebuah gerak yang dalam tari
Bali biasa disebut gerakan nengkleng. Penjor tersebut merupakan lambang dari
para dewa penguasa di kesembilan penjuru arah mata angin. Selain itu, tempat
pertunjukan tarian ini juga sederhana, yakni ditarikan di halaman pura, tanpa
depan atau berhadap-hadapan dengan pelinggih utama dan penjor Nawa Sanga.
86
Dilihat dari fungsinya, tari Rejang Muani memiliki dua fungsi yaitu
pertama sebagai sarana ritual atau sebagai tari wali, yang kedua sebagai pengikat
solidaritas masyarakat Desa Pakraman Lumbuan Bangli. Sebagai sarana ritual, tari
Rejang Muani selalu dipentaskan hanya dalam kaitannya dengan upacara Dewa
Yadnya di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan. Fungsi kedua yaitu sebagai
memiliki peran yang sangat penting, yaitu dalam membuat penjor Nawa Sanga,
sehingga dengan adanya gotong royong tersebut akan mampu mempererat tali
5.2 Saran-saran
Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, ada beberapa saran yang kiranya
perlu untuk diperhatikan dan dipertimbangkan bersama agar kesenian tari Rejang
maka tarian ini harus tetap dipelihara kelangsungannya. Walaupun tari Rejang
Muani dalam penyajiannya sangat sederhana, tapi kelestarian tarian ini harus tetap
dijaga. Selain itu, tarian ini harus tetap dipertahankan hanya sebagai tari wali,
dengan tidak mengalih fungsikan sebagai tari pertunjukan untuk wisata. Pada
87
musik iringan tari Rejang Muani perlu diadakan regenerasi penabuh, agar
kelestarian musik iringan bisa tetap terjaga. Para penabuh yang lanjut usia harus
melestarikan tari Rejang Muani, karena tari ini merupakan peninggalan budaya
bangsa.
88
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I Nyoman Mider. 2012. Arti dan Fungsi Banten. Denpasar: Pustaka
Bali Post
Bandem, I Made, & Fredrik Eugene de Boer. 2004. Kaja dan Kelod Tarian Bali
dalam Transisi Terjemahan I Made Marlowe Makaradhawaja. Kaja
and Kelod Balinese Dance in Transition. Yogyakarta: Institut Seni
Indonesia Yogyakarta.
____________. 2013. Puspasari Seni Tari Bali. Denpasar: UPT. Penerbitan ISI
Denpasar.
89
Hidayat, Robby. 2009. Pengetahuan Seni Tari. Malang: Universitas Negeri
Malang, Fakultas Sastra, Jurusan Seni dan Desain, Program Studi
Pendidikan Seni Tari.
_________. 2001. Metode Penelitian: Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung:
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Suastri, Luh Mas. 1985. “Tari Rejang Ayunan di Desa Pupuan”. Skripsi Strata I
(S-I) Akademi Seni Tari Indonesia Denpasar.
Sudira, Made Bambang Oka. 2010. Ilmu Seni Teori Dan Praktik. Jakarta: Inti
Prima Promosindo.
90
Yudabakti, I Made & Wayan Watra. 2007. Filsafat Seni Sakral dalam
Kebudayaan Bali. Surabaya: Penerbit Paramita Surabaya.
91