Skripsi Tari Rejang Muani Di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan Kabupaten Bangli

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 106

SKRIPSI

TARI REJANG MUANI


DI PURA PUSEH DESA PAKRAMAN LUMBUAN
KABUPATEN BANGLI

OLEH:

NI LUH DIAN ARISTA DEWI


NIM: 2010 01 005

PROGRAM STUDI S-1 SENI TARI


JURUSAN SENI TARI
FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
INSTITUT SENI INDONESIA
DENPASAR
2014
SKRIPSI

TARI REJANG MUANI


DI PURA PUSEH DESA PAKRAMAN LUMBUAN
KABUPATEN BANGLI

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan


memperoleh gelar Sarjana Seni (S-1)

OLEH:
NI LUH DIAN ARISTA DEWI
2010 01 005

PROGRAM STUDI S-1 SENI TARI


JURUSAN SENI TARI
FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
INSTITUT SENI INDONESIA
DENPASAR
2014

i  
 
SKRIPSI

TARI REJANG MUANI


DI PURA PUSEH DESA PAKRAMAN LUMBUAN
KABUPATEN BANGLI

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan


memperoleh gelar Sarjana Seni (S-1)

MENYETUJUI :

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Gusti Ayu Ketut Suandewi, SST.,M.Si I Wayan Budiarsa, S.Sn,.M.Si


NIP. 19650712 199203 2 002 NIP. 19730906 200604 1 002

ii  
 
Skripsi ini telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Fakultas Seni
Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar, pada

Hari/tanggal : Selasa, 13 Mei 2014

Ketua : I Wayan Suharta, S.SKar., M. Si (…………………)


NIP. 19630730 199002 1 001

Sekretaris : I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum (……………………)


NIP. 19641231 199002 1 040
Dosen Penguji :

1. Dr. Ni Made Wiratini, SST., MA (……………………)


NIP. 19500622 197503 2 001

2. Gusti Ayu Ketut Suandewi, SST.,M.Si (….………………..)


NIP. 19650712 199203 2 002

3. I Wayan Budiarsa, S.Sn,.M.Si (……………………)


NIP. 19730906 200604 1 002

Disahkan pada tanggal :………………….

Mengesahkan : Mengetahui:
Fakultas Seni Pertunjukan Jurusan Seni Tari
Institut Seni Indonesia Denpasar Ketua,
Dekan,

I Wayan Suharta,S.SKar.,M.Si Anak Agung Ayu Mayun Artati, SST., M.Sn


NIP. 19630730 199002 1 001 NIP. 19641227 199003 2 001

iii  
 
Motto

~Pengetahuan adalah kekuatan~

iv  
 
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi

Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Asung Kerta Wara Nugraha_Nya

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tari Rejang Muani di Pura

Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli” tepat pada waktunya.

Skripsi “Tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan,

Kabupaten Bangli” merupakan hasil penelitian yang dilakukan sebagai syarat

untuk memenuhi nilai tugas akhir dari program studi (S-1) Seni Tari, Fakultas Seni

Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar. Isi dalam skripsi ini meliputi

pendahuluan, kajian sumber dan landasan teori, metode penelitian, hasil dan

pembahasan, serta kesimpulan dan saran.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya

bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, melalui kesempatan

ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Yang terhormat Bapak Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.SKar., M.Hum, Rektor

Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar beserta jajarannya, yang telah memberikan

kesempatan dan menyediakan fasilitas yang memadai untuk menyelesaikan studi

di Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar.

2. Kepada Dr. I Gusti Bagus Priatmaka, MM, Kepala Biro Akademik Institut Seni

Indonesia Denpasar, beserta jajarannya atas bantuan selama menempuh

v  
 
perkuliahan penulis telah banyak mendapat pelayanan akademik dan bantuan

beasiswa.

3. Bapak I Wayan Suharta, S.SKar., M.Si, Dekan Fakultas Seni Pertunjukan,

Institut Seni Indonesia Denpasar, beserta jajarannya atas tersedianya fasilitas

yang memadai dan motivasi yang diberikan sehingga studi ini dapat terselesaikan

tepat pada waktunya.

4. Ibu A.A.Ayu Mayun Artati SST., M.Sn, Ketua jurusan Seni Tari, Fakultas Seni

Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar, beserta jajarannya penulis

ucapkan terima kasih atas segala perhatian yang telah diberikan selama ini.

Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Ibu Dosen Seni Tari yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan kesempatan dan

membimbing dari sejak awal perkuliahan sampai dapat menyelesaikan skripsi

ini. Terima kasih pula kepada staf Tata Usaha Fakultas Seni Pertunjukan, Institut

Seni Indonesia Denpasar yang telah membantu dalam registrasi perkuliahan

selama ini.

5. Bapak Kompiang Gede Widnyana, SST.,M.Hum sebagai Pembimbing

Akademik, yang selalu memantau perkembangan akademik penulis dari awal

hingga studi ini selesai ditempuh.

6. Ibu Gusti Ayu Ketut Suandewi, SST.,M.Si selaku Pembimbing I dan Bapak I

Wayan Budiarsa, S.Sn,.M.Si selaku Pembimbing II, yang telah menyediakan

waktu untuk membimbing dan memberikan saran-saran serta masukan kepada

penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

vi  
 
7. Ibu Dra. Dyah Kustiyanti, M.Hum dan Ibu Dr. Ni Made Wiratini, SST., MA

yang memberikan saran-saran yang sifatnya membangun dari awal proses

penulisan skripsi ini, khususnya pada mata kuliah Bimbingan Penulisan Skripsi.

8. I Dewa Gede Raka Wiguna yang sudah menyarankan penulis untuk memilih tari

Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli dan

memberikan informasi awal mengenai tarian ini.

9. Bapak Putu Artawa, I Wayan Sudana, I Nyoman Adnyana, I Wayan Merta, I

Dewa Gede Raka Wiguna, Sang Komang Martahadi, I Nyoman Sukari, I Nengah

Kariani, yang telah bersedia memberikan informasi yang berkaitan dengan tari

Rejang Muani.

10. I Wayan Denny Saputra yang telah membantu penulis dalam membuat notasi

gending tari Rejang Muani sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dan lengkap.

11. Teman-teman Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni

Indonesia Denpasar angkatan 2010, yang selama ini telah saling memberikan

semangat untuk berjuang menuntut ilmu dan mencari pengalaman, khususnya

kepada sahabat penulis yaitu Ni Made Sri Lantini Rahayu, Ni Kadek Ratih Satria

Ningsih, dan Ariyitna Zianet Charmeis. Tak lupa juga penulis ucapkan terima

kasih kepada teman-teman bidang Pengkajian Seni Tari, Institut Seni Indonesia

Denpasar yakni Ni Luh Putu Eva savitri, I Gusti Ayu Ananta Wijayantri, Ida Ayu

Made Suwari Yanti, Ni Nyoman Suartini, Ni Wayan Trisna Dewi, Ella Jayanuari,

I Made Laksmana Putra, yang telah memberikan semangat dan saling bertukar

pikiran dalam pembuatan skripsi ini.

vii  
 
12. Keluarga tersayang, kedua orang tua, I Nengah Jangkep dan Ni Made Sedani

yang sudah membantu penulis selama ini, serta selalu memberikan doa dan

bantuan baik moral maupun material. Kepada I Wayan Sumawan yang sudah

menemani penulis dan memberikan dukungan, serta memberikan bantuan untuk

memecahkan masalah dalam penyusunan skripsi ini sehingga dapat berjalan

dengan lancar.

13. Semua pihak yang dalam penyusunan skripsi ini tidak dapat disebutkan satu

persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, oleh karenanya

penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca guna penyempurnaan

penulisan selanjutnya. Akhir kata, semoga skripsi yang telah penulis susun ini

dapat bermanfaat bagi masyarakat luas.

Denpasar, Mei 2014

Penulis

viii  
 
ABSTRAK

TARI REJANG MUANI


DI PURA PUSEH DESA PAKRAMAN LUMBUAN
KABUPATEN BANGLI

Tari Rejang Muani adalah sebuah tari upacara yang sering dipentaskan
dalam rangkaian upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan,
Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Tarian ini dipentaskan setiap 6 bulan sekali
(210 hari) yaitu pada Hari Raya Galungan Nadi atau Kuningan Nadi, serta pada
Ngusaba kepitu. Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk
dan fungsi pertunjukan tari Rejang Muani bagi masyarakat setempat. Penelitian
tentang tari Rejang Muani merupakan penelitian kualitatif yang dianalisis dengan
menggunakan teori estetika dan teori fungsional. Semua data yang disajikan dalam
penelitian ini diperoleh melalui langkah observasi, wawancara, dokumentasi, serta
studi kepustakaan yaitu membaca buku-buku yang terkait dengan objek penelitian.
Hasil pengamatan menunjukkan tari Rejang Muani diperkirakan berasal dari
sebuah desa yang bernama Desa Darmaji, Karangasem. Diperkirakan tari Rejang
Muani sudah ada di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan sekitar 350 tahun yang
lalu. Tarian ini ditarikan oleh penari laki-laki atau sekaa truna (belum menikah atau
beristri). Tarian ini memiliki penyajian yang sangat sederhana yaitu penari tidak
memakai riasan wajah serta hanya menggunakan pakaian adat ke pura, dan ragam
gerak tarinya juga sederhana, yaitu dilakukan secara berulang-ulang ke arah pojok
kanan dan kiri. Gerak tersebut dilakukan hanya sembilan kali, hal tersebut karena
sangat terkait dengan penjor Nawa Sanga yang juga hanya terdiri dari sembilan
cabang. Penjor tersebut merupakan salah satu syarat dan harus ada pada setiap
pementasan tari Rejang Muani, karena merupakan simbol dari Dewata Nawa Sanga
(lambang para dewa disembilan arah mata angin).
Fungsi tari Rejang Muani adalah sebagai sarana upacara atau tari wali serta
sebagai pengikat solidaritas masyarakat setempat. Sebagai sarana ritual, tari Rejang
Muani selalu dipentaskan hanya dalam kaitannya dengan upacara Dewa Yadnya di
Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan. Fungsi kedua yaitu sebagai pengikat
solidaritas masyarakat, dapat dilihat dari kegiatan masyarakat dalam mempersiapkan
kebutuhan upacara maupun perlengkapan dalam pementasan tari Rejang Muani.

Kata Kunci: tari Rejang Muani, Bentuk, Fungsi

ix  
 
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………… i


HALAMAN PERSETUJUAN ………………………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………. iii
MOTTO ……………………………………………………………… iv
KATA PENGANTAR ……………………………………………….. v
ABSTRAK …………………………………………………………... ix
DAFTAR ISI ………………………………………………………… x
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………… xii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………… xiv

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah …………………………………... 1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………… 6
1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………….. 6
1.4 Manfaat Hasil Penelitian ………………………………….. 6
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ………………………………… 7

BAB II KAJIAN SUMBER DAN LANDASAN TEORI


2.1 Kajian Sumber …………………………………………….. 9
2.2 Landasan Teori ……………………………………………. 14
2.2.1 Teori Estetika ……………………………………….. 14
2.2.2 Teori Fungsional ……………………………………. 15

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Rancangan Penelitian ……………………………………... 18
3.2 Lokasi Penelitian ………………………………………….. 20

x  
 
3.3 Jenis dan Sumber Data ……………………………………. 25
3.4 Instrumen Penelitian ………………………………………. 26
3.5 Teknik Penentuan Informan ………………………………. 28
3.6 Teknik Pengumpulan Data ………………………………... 29
3.6.1 Observasi ……………………………………………. 30
3.6.2 Wawancara ………………………………………….. 32
3.6.3 Studi Kepustakaan ………………………………….. 38
3.6.4 Dokumentasi ………………………………………… 39
3.7 Analisis Data ……………………………………………… 39
3.8 Hasil Penyajian Analisis Data …………………………….. 40

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN TARI REJANG MUANI


4.1 Proses Upacara ……………………………………………. 47
4.2 Bentuk Pertunjukan Tari Rejang Muani di Pura Puseh 63
Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli ……………..
4.2.1 Penari tari Rejang Muani ……………………………. 65
4.2.2 Ragam Gerak tari Rejang Muani ……………………. 67
4.2.3 Tata Rias dan Busana tari Rejang Muani ………….... 70
4.2.4 Musik Iringan tari Rejang Muani ………………….... 76
4.2.5 Tempat Pementasan tari Rejang Muani …………… 78
4.3 Fungsi Tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman 80
Lumbuan, Kabupaten Bangli ………………………………
4.3.1 Fungsi wali tari Rejang Muani …………………….... 82
4.3.2 Fungsi sosial tari Rejang Muani ……………………. 83

BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ………………………………………………... 86
5.2 Saran-saran ………………………………………………... 87
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….. 89

xi  
 
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 : Pelinggih Pahlawan ………………………………………………… 49


2 : Tempat sesajen di bawah Penjor Nawa Sanga ……………………... 50
3 : Penari pada saat mengadakan persembahyangan sebelum menari …. 52
4 : Sekaa truna mencari bambu untuk penjor Nawa Sanga ………….. 59
5 : Sekaa truna mencari bambu untuk penjor Nawa Sanga ………….. 60
6 : Sekaa truna muncuk membawa bambu untuk bahan penjor Nawa 61
Sanga ………………………………………………………………..
7 : Penjor Nawa Sanga ………………………………………………… 62
8 : Penari sebelum menarikan tari Rejang Muani ……………………… 66
9 : Penari melakukan gerakan menghadap ke arah pojok kiri …………. 68
10 : Penari melakukan gerakan menghadap ke arah pojok kanan ………. 69
11 : Pakaian adat ke pura sekaa truna dan pemuda Desa Pakraman 72
Lumbuan …………………………………………………………….

12 : Pakaian adat ke pura sekaa truna dan pemuda Desa Pakraman 73


Lumbuan …………………………………………………………….
13 : Selendang tari Rejang Muani ……………………………………….. 74
14 : Penggunaan selendang tampak dari depan dan belakang …………... 75
15 : Musik pengiring tari Rejang Muani ………………………………… 77
16 : Tempat pementasan tari Rejang Muani …………………………….. 79
17 : Papan nama Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli ……….. 102
18 : Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli ……………………. 102
19 : Pementasan tari Mabuang …………………………………………... 103
20 : Pelinggih utama …………………………………………………….. 103

xii  
 
21 : Pelinggih utama …………………………………………………….. 104
22 : Pelinggih utama …………………………………………………….. 104
23 : Pelinggih utama …………………………………………………….. 105
24 : Peta Pulau Bali ……………………………………………………… 106
25 : Peta Kabupaten Bangli ……………………………………………... 107

xiii  
 
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 : Daftar Informan ………………………………………. 93


2 : Glosarium …………………………………………….. 95
3 : Daftar Pertanyaan …………………………………….. 100
4 : Notasi Gending ……………………………………….. 101
5 : Foto-foto ……………………………………………… 102
6 : Peta Pulau Bali dan Kabupaten Bangli………………... 106
7 : Surat Ijin Penelitian …………………………………... 108
8 : Surat Keterangan …………………………………….. 109
9 : Kartu Bimbingan Tugas Akhir ……………………….. 110

xiv  
 
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kabupaten Bangli merupakan salah satu Kabupaten di Bali yang

mempunyai berbagai macam kesenian yang patut dilestarikan. Salah satu bentuk

kesenian yang masih banyak ditemui di Bangli adalah seni tari wali. Adapun

jenis-jenis tari wali tersebut antara lain tari Baris, tari Sanghyang, tari Rejang, dan

tari Barong. Tari-tarian tersebut tersebar di masing-masing desa di Kabupaten

Bangli, yang mempunyai kaitan sangat erat dengan upacara keagamaan, sebagai

wujud rasa bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Masyarakat Bangli

sampai sekarang masih tetap memegang teguh tradisi dan religi yang diwariskan

secara turun-temurun oleh nenek moyangnya, sehingga tarian tersebut sampai

sekarang masih tetap lestari.

Secara umum, seni tari dapat digolongkan menjadi dua yaitu tari upacara

dan tari tontonan atau hiburan. Tari upacara mencakup tari-tarian wali dan bebali,

sedangkan tari tontonan atau hiburan mencakup tari balih-balihan (Dibia, 1999:9).

Tari wali merupakan bagian dari tradisi yang ada di dalam suatu kehidupan

masyarakat Bali, yang sifatnya turun-temurun dari generasi ke generasi

selanjutnya. Tari-tarian ini biasanya dipentaskan dalam suatu rangkaian upacara

tertentu dan tarian tersebut disucikan oleh masyarakat pendukungnya. Pementasan

tari wali tidak terlalu mengutamakan faktor keindahan, karena tujuan utamanya

1  
 
adalah sebagai tari persembahan kepada sang pencipta. Seni tari wali merupakan

bagian penting dalam pelaksanaan upacara keagamaan pada kehidupan

masyarakat Bali, terutama bagi mereka yang beragama Hindu.

Bagi masyarakat Bali, agama merupakan salah satu kunci kehidupan seni

di Bali. Hal itu dapat dilihat pada suatu upacara keagamaan, seni tari memiliki

fungsi sebagai sarana dalam upacara tersebut, dan hampir tidak ada satupun

upacara keagamaan yang selesai tanpa ikut sertanya sebuah sajian tari-tarian

(Bandem, 1996:9). Pelaksanaan upacara keagamaan yang menghadirkan seni tari

membuat masyarakat Hindu Bali merasa terlindungi dari kekuatan-kekuatan yang

tak kasat mata. Kegiatan dalam melaksanakan upacara keagamaan dilakukan oleh

masyarakat Hindu Bali secara tulus ikhlas dan tanpa pamrih, yang biasa disebut

dengan ngayah. Tari Rejang merupakan salah satu dari sekian jenis tari wali yang

mampu menghadirkan kekuatan-kekuatan di luar nalar manusia.

Tari Rejang sudah tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat Bali,

karena hampir semua upacara keagamaan selalu mengikut sertakan tarian ini. Tari

Rejang merupakan salah satu tari tradisional yang mempunyai gerak-gerak tari

yang sangat sederhana, dan penuh dengan rasa pengabdian kepada leluhur. Tarian

ini pada umumnya ditarikan oleh penari perempuan yang dilakukan secara

berkelompok. Tari Rejang biasanya ditarikan di halaman utama pura pada waktu

berlangsungnya suatu upacara keagamaan. Para penari mengenakan pakaian

upacara, menari dengan berbaris melingkari pura atau pelinggih yang kadang kala

juga dilakukan dengan berpegangan tangan (Bandem, 1983:122). Sampai

sekarang, tari Rejang masih banyak dapat ditemui di beberapa daerah di Bali,

2  
 
karena sebagian besar masyarakat masih memfungsikan tarian tersebut sebagai

sarana dalam upacara keagamaan.

Adapun jenis-jenis tari Rejang yang masih dilestarikan oleh masyarakat

Bali, diantaranya adalah tari Rejang Renteng, tari Rejang Dewa, tari Rejang

Bengkol, tari Rejang Oyodpadi, tari Rejang Nyanying dan lain sebagainya

(Bandem, 1983:122). Tari Rejang di masing-masing daerah memiliki perbedaan,

keunikan dan ciri khas tersendiri, sehingga di Bali terdapat beragam jenis tari

Rejang. Peran masyarakat pendukung sangat berpengaruh akan perkembangan

dan kelestarian dari kesenian itu sendiri. Tari-tarian tersebut dijaga dengan baik

oleh masyarakat pendukungnya, bahkan terkadang bisa menjadi ciri khas dari

daerahnya. Salah satu tari Rejang yang sampai sekarang masih dijaga

kelestariannya adalah tari Rejang Muani yang terdapat di daerah Bangli.

Tari Rejang Muani hanya dipentaskan ditempat dan waktu tertentu, serta

berkaitan dengan upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan

Bangli. Tarian ini dipentaskan di jeroan pura (halaman utama pura), serta tari

Rejang Muani hanya boleh dipentaskan pada Hari Raya Galungan nadi, Hari

Raya Kuningan nadi, serta Ngusaba kepitu. Tari Rejang Muani dipentaskan

selama empat hari berturut-turut pada Hari Raya Galungan nadi, sedangkan pada

Hari Raya Kuningan nadi dipentaskan selama tiga hari berturut-turut, dengan

waktu penyajian pementasan tari Rejang Muani pada saat malam hari.

Sejak dahulu tari Rejang Muani diiringi oleh gamelan Gong Gede yang

diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Desa Pakraman Lumbuan,

Bangli. Tari Rejang Muani digunakan sebagai persembahan dan pemujaan,

3  
 
dengan tujuan agar masyarakat setempat diberikan perlindungan, keselamatan,

kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Selain sebagai sarana ritual, tarian ini juga

dijadikan sebagai pengikat rasa kebersamaan dan persaudaraan masyarakat,

sehingga tari Rejang Muani masih tetap berkembang dengan baik dan dilestarikan

oleh masyarakat setempat. Tari Rejang Muani tergolong unik jika dibandingkan

dengan tari Rejang lainnya. Keunikannya terdapat pada penari, tata busana yang

dipakai, serta kaitannya dengan sebuah penjor yang memiliki sembilan buah

cabang dan oleh masyarakat setempat disebut dengan Penjor Nawa Sanga.

Pada umumnya tari Rejang ditarikan oleh penari-penari putri di dalam

mengikuti upacara persembahyangan (Bandem, 1983:122). Berbeda halnya

dengan tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten

Bangli, sesuai dengan namanya, tarian ini ditarikan oleh sekelompok penari laki-

laki (muani) yaitu sekaa truna yang berasal dari Desa Pakraman Lumbuan sendiri.

Sekaa truna merupakan kelompok pemuda yang belum menikah atau beristri.

Dalam pelaksanaan tarian ini, mereka menunjukkan rasa bakti kehadapan Ida

Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, melalui gerakannya yang

sangat sederhana.

Tari Rejang biasanya memakai pakaian adat tradisional Bali sesuai

dengan daerahnya masing-masing, dan menggunakan selendang panjang yang

diikatkan dipinggang atau di dada penari. Pada tata busana tari Rejang Muani

(laki-laki) juga menggunakan sebuah selendang, namun cara pemakaiannya

berbeda dengan tari Rejang pada umumnya. Selendang yang dipakai tidak

diikatkan dipinggang, melainkan selendang tersebut diikat pada dada penari dan

4  
 
selanjutnya disilangkan ke lehernya. Selendang tersebut disimpan disebuah kotak

di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan saja, serta tidak boleh dipinjamkan

sembarangan. Selendang tersebut tidak mempunyai ukuran dan warna yang

khusus, namun mempunyai makna sebagai penghormatan kepada para leluhur.

Keunikan lainnya dari tarian ini adalah sangat terkait dengan Penjor

Nawa Sanga yang selalu dipersembahkan pada setiap pementasan tari Rejang

Muani. Penjor Nawa Sanga dilambangkan sebagai Dewata Nawa Sanga (lambang

para dewa di sembilan arah mata angin) dan sebagai tanda terima kasih

masyarakat atas kesejahteraan, kemakmuran yang telah dilimpahkan. Penjor

tersebut memiliki cabang sebanyak sembilan buah serta menggunakan sampian

yang sesuai dengan jumlah cabangnya (bertingkat sembilan). Kaitan tari Rejang

Muani dengan penjor tersebut dapat dilihat pada gerak tariannya yang hanya

diulang sembilan kali sesuai dengan jumlah cabang pada Penjor Nawa Sanga.

Pembuatan Penjor Nawa Sanga dapat dikatakan sangat rumit, karena sekaa truna

harus mencari bahan-bahan penjor tersebut sendiri, sedangkan sekaa truni juga

harus mampu mambuat sampian dan lamak sendiri. Pembuatan penjor tersebut

diibaratkan sebagai ujian untuk bisa menopang tanggung jawab yang besar

sebagai anggota sekaa truna-truni.

Berdasarkan uraian di atas, dari sekian banyak tari Rejang yang sudah

pernah diteliti, tidak menunjukkan bahwa tari Rejang Muani yang ada di Pura

Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli pernah diteliti sebelumnya. Selain itu

perlu kiranya dilakukan suatu penelitian yang lebih mendalam, mengingat tari

Rejang Muani merupakan warisan budaya yang harus dipelihara dan dilaksanakan

5  
 
dengan baik oleh masyarakat setempat, karena erat kaitannya dengan upacara

Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut,

Kabupaten Bangli.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, permasalahan yang

muncul dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah bentuk pertunjukan tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa

Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli ?

2. Apakah fungsi tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan,

Kabupaten Bangli, bagi masyarakat pendukungnya?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan memperoleh gambaran secara jelas mengenai bentuk

pertunjukan tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan,

Kabupaten Bangli.

2. Untuk mengetahui fungsi tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman

Lumbuan, Kabupaten Bangli.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, baik

secara teoritis maupun praktis bagi pembaca maupun masyarakat luas yang

6  
 
khususnya berkecimpung dalam dunia seni pertunjukan. Adapun manfaat dari

hasil penelitian tentang tari Rejang Muani adalah :

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi

dan menambah pengetahuan mengenai seni tari upacara, khususnya tari Rejang

Muani yang masih berkembang dengan baik di Desa Pakraman Lumbuan,

Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini merupakan wujud dari upaya, untuk turut serta

melestarikan tari tradisional yang sampai sekarang masih dilestarikan oleh

masyarakat pendukungnya, yang pada penelitian ini adalah tari Rejang Muani

yang ada di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan. Selain itu, penelitian ini juga

diharapkan dapat bermanfaat bagi seniman muda sebagai generasi penerus dan

dapat dijadikan sebagai acuan bagi peneliti berikutnya, khususnya dalam bidang

pengkajian yang terkait dengan penelitian tari Rejang Muani.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian tari Rejang Muani yang bertempat di Pura Puseh Desa

Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli, hanya terfokus pada kajian pementasan

tari Rejang Muani pada waktu Hari Raya Galungan nadi dan Hari Raya Kuningan

nadi. Sebagai salah satu bentuk tari wali yang sampai sekarang masih tetap

dipelihara dan difungsikan pada upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa

7  
 
Pakraman Lumbuan Bangli, tentunya tari Rejang Muani diyakini mengandung

banyak hal-hal penting bagi masyarakat setempat.

Supaya pembahasan tulisan terarah dan untuk menghindari terjadinya

penafsiran yang terlalu melebar dalam topik yang dibahas, maka ruang lingkup

penelitian ini akan dibatasi. Penelitian tari Rejang Muani difokuskan pada bentuk

pertunjukan dan fungsi tarian tersebut bagi masyarakat Desa Pakraman Lumbuan,

Bangli. Pada pembahasan tentang bentuk pertunjukan dipaparkan mengenai

penari, gerak, tata rias dan busana, musik iringan serta tempat pementasan tari

Rejang Muani. Pada pembahasan fungsi tari Rejang Muani dijelaskan mengenai

apa yang benar-benar dirasakan dari keberadaan tarian tersebut di dalam

kehidupan masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten

Bangli.

8  
 
BAB II

KAJIAN SUMBER DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Sumber

Sumber tertulis sangat diperlukan dalam sebuah tulisan ilmiah karena

dapat mendukung dan menegaskan suatu pernyataan. Melalui studi kepustakaan

yang telah dilakukan, sangat memberikan tambahan pengetahuan dan informasi

terkait dengan objek penelitian. Penelitian tentang tari Rejang telah banyak

dilakukan oleh peneliti sebelumnya, namun dari hasil-hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa objek penelitian tentang tari Rejang Muani di Pura Puseh

Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli belum ada yang mengkaji.

Kajian sumber dan landasan teori dapat diambil dari berbagai macam

sumber bacaan. Walaupun demikian, sumber yang terbesar haruslah dari buku-

buku, sedangkan sumber terkecil adalah yang diambil adalah dari internet. Hal

tersebut dikarenakan kualitas informasi dari internet tidak diteliti sebelumnya oleh

para ahli (Raco, 2010:74-75). Buku-buku yang dipilih sebagai kajian sumber

dalam penelitian ini adalah buku yang memiliki topik bahasan terkait dengan

penelitian yang dilakukan. Selain buku-buku dapat juga menggunakan jurnal,

tulisan-tulisan ilmiah, majalah ilmiah, dan yang terakhir adalah sumber dari

internet.

Pada studi kepustakaan diperoleh buku-buku sebagai data sekunder, yang

bermanfaat sebagai perbandingan bahwa tari Rejang Muani belum ada yang

9  
 
meneliti, serta dijadikan acuan atau referensi untuk memperkuat data-data yang

diperoleh dari informan dalam penelitian mengenai tari Rejang Muani. Adapun

buku-buku yang dimaksud, sebagai berikut.

Buku Filsafat Seni Sakral dalam Kebudayaan Bali oleh I Made

Yudabakti dan I Wayan Watra (2007). Buku ini sangat mendukung dalam

penelitian yang dilakukan, terutama pada halaman 64-65 terdapat pembahasan

yang menyebutkan bahwa fungsi kesenian Bali pada umumnya mempunyai

fungsi yang sangat sakral karena dalam penciptaan karya seni Bali, pada awalnya

hanya untuk kepentingan keagamaan semata. Seni tari Wali yaitu seni tari yang

dipertunjukkan di pura-pura dan di tempat-tempat yang ada hubungannya dengan

upacara agama. Pada umumnya kesenian wali tidak memakai lakon, misalnya

seperti tari Rejang, tari Pendet, tari Sanghyang, dan tari Baris upacara. Sesuai

dengan ungkapan tersebut, tari Rejang Muani yang dipentaskan di Pura Puseh

Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli merupakan

sebuah tarian yang dalam pementasannya tidak memakai lakon. Tari Rejang

Muani merupakan warisan budaya masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli,

yang dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai sarana

upacara keagamaan di desa setempat. Pembahasan ini sekiranya menjadi acuan

dalam penelitian tari Rejang Muani, khususnya dalam konteks keagamaan. Selain

itu dapat pula memperkuat data-data yang diperoleh dari informan dan dapat

memberikan informasi yang terkait dengan fungsi dari pertunjukan tari Rejang

Muani. Pada buku ini dijelaskan mengenai tari Rejang, namun penelitian tentang

tari Rejang Muani belum ada dibahas dalam buku ini, sehingga buku ini dapat

10  
 
dijadikan perbandingan bahwa penelitian yang dilakukan benar-benar belum ada

yang meneliti sebelumnya.

Buku Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali oleh I Wayan Dibia

(1999) pada halaman 3-4, menyebutkan bahwa pada tahun 1971 sesuai Keputusan

Seminar Seni Sakral dan Profan Bidang Tari di Denpasar, secara umum seni

pertunjukan Bali dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu tari upacara atau

seni wali dan bebali, dan seni tontonan atau hiburan yang biasa disebut seni balih-

balihan. Seni wali dan bebali meliputi jenis-jenis kesenian yang pada umumnya

memiliki nilai-nilai religius, sangat disakralkan (disucikan dan dikeramatkan),

karena melibatkan benda-benda sakral. Pementasan kesenian upacara ini tidak

boleh sembarangan, melainkan harus pada waktu dan tempat tertentu serta

berkaitan dengan pelaksanaan upacara ritual. Pagelaran kesenian ini lebih

ditujukan untuk kepentingan upacara daripada maksud untuk menghibur

penonton. Seni balih-balihan meliputi jenis-jenis kesenian yang lebih

menonjolkan nilai-nilai hiburan, yang pertunjukannya lebih bersifat dan

bersuasana sekuler. Kesenian ini dapat dipentaskan kapan dan di mana saja tanpa

ada batasan waktu, tempat, serta peristiwa-peristiwa yang terlalu mengikat.

Berdasarkan penggolongan seni tari, tari Rejang Muani yang dipentaskan di Pura

Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli, termasuk sebagai tari wali,

karena masyarakat setempat hanya menarikan tarian ini dalam konteks upacara di

pura saja. Isi dari buku ini dapat menjadi acuan di dalam meneliti tari Rejang

Muani yang merupakan sebuah tari wali, terutama pada bagian pembahasan

fungsinya.

11  
 
Buku Kaja dan Kelod Tarian Bali dalam Transisi oleh I Made Bandem

& Fredrik Eugene deBoer (2004), hasil terjemahan dari I Made Marlowe

Makaradhwaja Bandem, pada halaman 1-3, menyebutkan bahwa tari wali

dipentaskan atau digelar dalam hubungannya dengan ritual keagamaan, dan tari-

tarian ini hanya dipentaskan dalam konteks upacara keagamaan, serta

dipersembahkan dalam konteks jadwal dari kalender Bali. Ungkapan tersebut

terdapat kesamaannya dengan tari Rejang Muani di Desa Pakraman Lumbuan,

Bangli, yang dipentaskan pada saat upacara piodalan di Pura Puseh yakni pada

Hari Raya Galungan nadi atau Kuningan nadi, dan Ngusaba kepitu di Pura

Puseh Desa Pakraman Lumbuan Bangli. Perhitungan dalam menentukan

pementasan tari Rejang Muani, dilakukan dengan melihat hari baik pada kalender

Bali. Buku ini sangat relevan karena dapat memperkuat data yang diperoleh

terkait mengenai tari Rejang Muani yang hanya dipentaskan dalam konteks

upacara keagamaan dan pada waktu tertentu saja.

Buku Ensiklopedi Tari Bali oleh I Made Bandem (1983), pada bagian

halaman 122, menyebutkan bahwa tari Rejang adalah sebuah tari tradisional yang

gerak-gerak tarinya sangat sederhana (polos) dan penuh dengan rasa pengabdian

kepada para leluhur. Tari ini dilakukan oleh para wanita di dalam mengikuti

persembahyangan, dengan cara berbaris, melingkar, dan sering pula berpegangan

tangan. Tari Rejang biasanya memakai pakaian adat atau pakaian upacara,

memakai hiasan bunga-bunga emas di kepalanya sesuai dengan pakaian adat

daerah masing-masing. Berbeda halnya dengan tari Rejang Muani yang tidak

ditarikan oleh sekelompok penari putri, namun tarian ini ditarikan oleh

12  
 
sekelompok penari putra yaitu sekaa truna (orang laki-laki yang belum beristri/

menikah) yang berasal dari Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut,

Kabupaten Bangli. Tarian ini juga tidak memakai bunga-bunga emas dikepalanya

serta busana yang digunakan sangat sederhana. Buku ini sangat mendukung dalam

penelitian, karena dapat bermanfaat untuk memperkuat pemaparan bentuk

pertunjukan dari tari Rejang Muani, baik dari gerak, penari (jenis kelamin), serta

tata rias dan busananya.

Buku Metode Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa oleh R.M

Soedarsono (2001), menguraikan tentang metode penelitian yang dipergunakan

dalam membedah sebuah penelitian seni pertunjukan dan seni rupa. Buku ini

sangat mendukung dalam penelitian, terutama pada halaman 170-174 terdapat

pembahasan mengenai fungsi seni pertunjukan, yang terdiri dari fungsi primer dan

sekunder. Buku tersebut memberikan pengetahuan mengenai fungsi seni

pertunjukan, sehingga buku ini dapat dijadikan pedoman dalam menjawab

pembahasan mengenai fungsi tari Rejang Muani bagi masyarakat pendukungnya.

Skripsi “Tari Rejang Ayunan di Desa Pupuan” oleh Luh Mas Suastri

(1985), menyebutkan bahwa tari Rejang Ayunan ditarikan oleh sekelompok sekaa

truna dengan perbendaharaan gerak yang sangat sederhana, yang penuh rasa

pengabdian kepada para leluhur. Penelitian tentang tari Rejang Ayunan dengan

tari Rejang Muani sama-sama ditarikan oleh sekaa truna dengan gerak yang

sederhana dengan rasa pengabdian kepada leluhur. Walaupun penelitian ini sama-

sama membahas tari Rejang yang ditarikan oleh penari laki-laki, namun kedua

tarian ini mempunyai perbedaan pada gerak, tata busana, iringan musik serta

13  
 
penyajiannya, sehingga dapat dibuktikan bahwa kedua penelitian tersebut tidak

sama. Hasil penelitian ini bisa dijadikan perbandingan dan membuktikan bahwa

tari Rejang Muani mempunyai keunikan tersendiri yang dapat menjadi ciri khas

dan tarian ini berbeda dari tari-tari Rejang lainnya.

Buku-buku dan hasil penelitian yang dijadikan sebagai kajian sumber,

belum ada yang menyinggung atau membahas tentang bentuk pertunjukan dan

fungsi tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan Bangli.

Kontribusi buku-buku dan hasil penelitian sebelumnya, bisa dijadikan sebagai

bahan pertimbangan dan perbandingan bahwa belum ada yang melakukan

penelitian terkait tari Rejang Muani, sehingga perlu diadakannya suatu penelitian

sebagai bentuk keikutsertaan dalam melestarikan tarian ini dan menambah jumlah

jenis penelitian tentang tari Rejang.

2.2 Landasan Teori

Landasan teori bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang

latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Dalam penelitian

tentang tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli,

dipergunakan dua buah teori untuk mengkaji atau membedah permasalahan yang

telah dirumuskan. Adapun teorinya adalah sebagai berikut.

2.2.1 Teori Estetika

A.A.M Djelantik (2004:15) dalam bukunya yang berjudul Estetika

Sebuah Pengantar, menyatakan bahwa semua benda atau peristiwa kesenian

14  
 
mengandung tiga aspek dasar, yakni wujud atau rupa (appearance), bobot atau isi

(content), penampilan atau penyajian (presentation). Pembagian mendasar atas

pengertian wujud, yakni semua wujud terdiri dari bentuk (form) dan susunan atau

struktur (structure). Bobot mempunyai tiga aspek, yaitu suasana (mood), gagasan

(idea), dan pesan (message). Penampilan mengacu pada pengertian bagaimana

suatu kesenian (seni tari) ditampilkan kepada penonton. Dalam menampilkan

sebuah kesenian, ada tiga unsur yang berperan, yaitu bakat (talent), keterampilan

(skill), dan sarana atau media. Dalam penelitian ini, teori estetika dari Djelantik

sangat relevan digunakan untuk mengkaji unsur-unsur yang ada dalam tari Rejang

Muani, yaitu wujud, bobot, dan penampilan yang berhubungan dengan tari Rejang

Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan Bangli, seperti gerak, penari

( jenis kelamin ), tata rias dan busana, musik iringan, dan sebagainya.

2.2.2 Teori Fungsional

Teori fungsional yang digunakan dalam penelitian tentang tari Rejang

Muani adalah pernyataan oleh Soedarsono (2001:170-177) dalam bukunya yang

berjudul Metode Penelitian: Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Dinyatakan oleh

Soedarsono bahwa fungsi seni pertunjukan bagi masyarakat pendukungnya, dapat

dibagi menjadi dua yaitu fungsi primer dan fungsi sekunder. Fungsi primer dari

seni pertunjukan adalah apabila seni tersebut jelas siapa penikmatnya, karena seni

tersebut dipertunjukkan kepada penikmat atau penonton. Apabila seni pertunjukan

tersebut bertujuan bukan sekedar untuk dinikmati tetapi untuk kepentingan yang

lain, maka seni pertunjukan tersebut berfungsi sebagai fungsi sekunder.

15  
 
Ada tiga fungsi primer atau utama dari seni pertunjukan yaitu: 1) Sebagai

sarana ritual dan penikmatnya adalah kekuatan-kekuatan yang tak kasat mata, 2)

Sebagai sarana hiburan pribadi yang penikmatnya adalah pribadi yang melibatkan

diri dalam pertunjukan, 3) Sebagai presentasi estetis yang pertunjukannya harus

dipresentasikan atau disajikan kepada penonton. Sebagai fungsi sekunder yaitu 1)

Sebagai pengikat solidaritas sekelompok masyarakat, 2) Sebagai pembangkit rasa

solidaritas bangsa, 3) Sebagai media komunikasi, 4) Sebagai media propaganda

keagamaan, 5) Sebagai media propaganda pemerintah, 6) Sebagai media politik,

7) Sebagai media meditasi, 8) Sebagai sarana terapi, 9) Sebagai perangsang

produktivitas dan lain sebagainya. Dikaitkan dengan pernyataan Soedarsono,

fungsi primer pada tari Rejang Muani adalah sebagai sarana ritual, sedangkan

fungsi sekundernya adalah pengikat solidaritas masyarakat Desa Lumbuan Bangli.

Pernyataan di atas senada dengan I Wayan Dibia (1999:9) yang

menyebutkan bahwa tari Bali apabila dilihat dari fungsinya dalam berbagai aspek

kehidupan ritual dan sosial masyarakat setempat, secara umum dapat digolongkan

menjadi dua yaitu tari upacara dan tari tontonan atau hiburan. Tari upacara

mencakup tari-tarian wali dan bebali, sedangkan tari tontonan atau hiburan

mencakup tari balih-balihan. Dikaitkan dengan ini, tari Rejang Muani di Pura

Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli tergolong

dalam tari upacara yaitu sebagai tari wali.

Sejalan dengan teori tersebut, penciptaan sebuah karya seni selalu

memiliki tujuan dan fungsi. Fungsi kesenian ditengah-tengah masyarakat dapat

dilihat dari keterlibatan kesenian tersebut untuk keperluan tertentu di dalam

16  
 
kehidupan masyarakat pendukungnya. Seni tari dapat berkembang dengan baik

karena selalu difungsikan oleh masyarakat pendukungnya, sedangkan apabila

sebuah tarian tidak difungsikan maka tarian tersebut akan lenyap dengan

sendirinya. Teori fungsional oleh Soedarsono dan pernyataan oleh Dibia, akan

diterapkan guna membedah fungsi tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa

Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli.

17  
 
BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan suatu cara yang digunakan oleh peneliti di

dalam mengumpulkan data-data terkait dengan penelitian yang dilakukan. Metode

dalam sebuah penelitian sangatlah penting, karena dapat tercapai atau tidaknya

suatu tujuan penelitian tergantung pada ketepatan metode yang digunakan.

Dengan pemilihan metode yang tepat, maka akan dapat menghasilkan data-data

yang akurat. Penelitian Tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman

Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli menggunakan jenis penelitian

kualitatif.

Sebagaimana Lexy J. Moleong (2014:4-6) menyebutkan penelitian

kualitatif adalah suatu penelitian yang bersifat deskriptif melalui tulisan, bahasa,

dan kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang dapat memberikan

penjelasan dan gambaran lengkap bagi pembacanya. Berdasarkan ungkapan di

atas, selanjutnya akan dijelaskan bagaimana metode penelitian tersebut dilakukan.

3.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian dapat diartikan sebagai suatu proses perencanaan

untuk melaksanakan penelitian, yang bertujuan memberikan suatu rencana untuk

menjawab permasalahan atau pertanyaan dalam penelitian. Rancangan penelitian

digunakan sebagai dasar atau patokan di dalam melakukan suatu penelitian,

sehingga mempunyai manfaat yang besar bagi kelancaran sebuah penelitian.


18  
 
Penyusunan rencana penelitian ini dimaksudkan untuk menentukan arah fokus dan

tujuan penelitian itu sendiri.

Penelitian tentang salah satu jenis tari wali ini bertempat di Pura Puseh

Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Penelitian tari

Rejang Muani difokuskan pada bentuk dan fungsi pertunjukan tarian tersebut bagi

masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Penelitian ini menggunakan

rancangan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif

bertujuan untuk memberikan gambaran tentang tari Rejang Muani secara lengkap

dan sesuai dengan data-data yang diperoleh di lapangan. Data yang diperoleh pada

penelitian ini dikumpulkan dari mengamati pementasan tari Rejang Muani yang

berlangsung setiap enam bulan sekali, dan dari hasil wawancara dengan informan

kunci maupun informan tambahan.

Untuk mengadakan suatu penelitian, tentunya perlu adanya teknik

pengumpulan data yang dapat membantu peneliti untuk mendapatkan data-data

yang dibutuhkan. Berkaitan dengan penelitian tentang tari Rejang Muani, maka

dalam penelitian ini akan dilakukan teknik pengumpulan data melalui langkah

observasi, wawancara, mengkaji dokumentasi, serta mencari buku-buku yang

terkait dengan tari Rejang Muani. Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh data

yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya sesuai dengan

tujuan dari penelitian ini.

Setelah mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini,

dimana data tersebut masih merupakan data mentah, sehingga perlu untuk diolah

dan disusun sesuai dengan keperluan, yakni untuk menjawab permasalahan yang

19  
 
telah dirumuskan. Penelitian tentang tari Rejang Muani mengutamakan data

langsung yang diperoleh peneliti sendiri di lapangan. Peneliti akan melakukan

analisis data sejak awal sampai akhir penelitian ini. Data-data yang sudah

dianalisis, kemudian akan di sajikan dalam hasil penyajian analisis data sesuai

ketentuan yang ada pada pedoman penulisan karya ilmiah. Hasil penelitian

kualitatif adalah berupa gambaran umum apa adanya di lapangan, tanpa adanya

angka-angka seperti dalam penelitian kuantitatif, walaupun tidak menutup

kemungkinan diperlukan sebagai pendukung penelitian ini.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian menjadi hal yang paling penting dalam suatu

penelitian, maka lokasi yang dipilih pada penelitian ini adalah Desa Pakraman

Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Lokasi penelitian tari Rejang

Muani bertempat di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli.

Letak lokasi penelitian sangat strategis, mudah dijangkau, sehingga tidak

mempersulit penelitian yang dilakukan.

Desa Pakraman Lumbuan berjarak sekitar 10 kilometer dari ibukota

Kabupaten, dengan jarak tempuh sekitar 30 menit. Adapun yang menjadi batas-

batas Desa Pakraman Lumbuan adalah sebagai berikut.

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Penglumbaran Kangin

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Alis Bintang

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Banjar Tanggahan Peken

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Pengiyangan Kangin

20  
 
Tari-tarian wali masih banyak tersebar di wilayah Kecamatan Susut,

Kabupaten Bangli, yang salah satunya adalah di Desa Pakraman Lumbuan,

sehingga sangat memungkinkan untuk dijadikan sebagai tempat penelitian. Hal

tersebut dikuatkan pula karena mengingat belum banyaknya data-data tertulis dan

belum ada yang melakukan penelitian, khususnya tentang tari Rejang Muani.

Berkenaan dengan hal tersebut, sehingga muncul keinginan peneliti untuk

mengadakan penelitian tentang salah satu bentuk tari wali yang ada di Pura Puseh

Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli.

Mata pencaharian sebagian besar masyarakat Desa Pakraman Lumbuan,

Bangli adalah pada bidang kerajinan anyaman bambu dan kerajinan kayu. Usaha

dalam bidang kerajinan ini merupakan salah satu usaha rumah tangga, yang

menjadi andalan masyarakat untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Masyarakat

bergerak dalam bidang kerajinan, karena bakat dari masyarakat setempat yang

didapat secara turun-temurun dan banyaknya wisatawan yang berkunjung ke Bali.

Selain itu, sektor pertanian dan peternakan juga banyak digeluti oleh masyarakat

Desa Pakraman Lumbuan. Jenis pertanian yang menjadi mata pencaharian

masyarakat adalah sebagai petani sawah, sedangkan pada sektor peternakannya

mereka memelihara ayam, bebek, babi dan sapi. Adapun mata pencaharian

lainnya adalah sebagai pedagang, penjual jasa, pegawai negeri sipil/ PNS dan

sebagainya (Wawancara dengan I Putu Artawa, pada tanggal 26 Oktober 2013,

pukul 17.00 WITA di Desa Pakraman Lumbuan).

Khususnya dalam bidang kesenian, sebagian masyarakat Desa

Pakraman Lumbuan, Bangli menggeluti profesi dibidang seni sebagai pekerjaan

21  
 
sampingan mereka. Sebagian masyarakat Desa Pakraman Lumbuan yang

menyukai seni khususnya seni pertunjukan. Mereka sering ikut serta dalam acara

ngayah ataupun melakukan pementasan di Desa Pakraman Lumbuan maupun di

luar desa mereka, bahkan ada beberapa orang yang biasa menari atau menabuh

keluar Bali. Mereka menekuni aktivitas sebagai seorang seniman untuk

menyalurkan hobby dalam bidang berkesenian. Sebagian besar dari mereka

belajar secara otodidak, yaitu tidak memiliki pelatih yang membinanya secara

khusus, dengan kata lain dapat dikatakan mereka belajar sendiri baik dari

menonton secara langsung maupun dari video-video yang ada. Dalam bidang seni

tari, mereka lebih berkiprah ke dalam kesenian Arja pada pementasan Calonarang.

Selain itu, kesenian yang sampai sekarang tetap dijaga dan dilestarikan oleh

masyarakat Desa Pakraman Lumbuan adalah kesenian Tantri. Kesenian ini juga

biasa dipentaskan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, karena dalam

pementasan kesenian ini mengikut sertakan sesuhunan atau barong yang ada di

Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Belakangan ini, kesenian Tantri

juga pernah diikut sertakan pada Pesta Kesenian Bali pada tahun 2013, namun

pada pementasan tersebut tidak mengikut sertakan sesuhunan yang ada di Pura

Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, karena sangat disakralkan oleh

masyarakat setempat dan tidak boleh dipertunjukkan sebagai hiburan.  

Masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten

Bangli memiliki beberapa organisasi kesenian, di antaranya sekaa tabuh, sekaa

pesantian, sekaa truna-truni dan organisasi pemuda-pemudi, serta Sanggar Tari

yang diberi nama Sanggar Upih Lumbang. Organisasi kesenian tersebut,

22  
 
tercangkup dalam sebuah Pasraman Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Pasraman

ini dibuat berdasarkan acuan dari Provinsi dan mendapat bantuan BKK (Bantuan

Keuangan Khusus).

Sekaa truna-truni merupakan salah satu organisasi tradisional yang

telah ada sejak zaman dahulu. Organisasi ini mempunyai tugas untuk membantu

(ngayah) di desa adat, dalam menyelenggarakan kegiatan agama dan budaya.

Pada masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, mereka bisa ikut bergabung

menjadi anggota dalam organisasi sekaa truna-truni mulai setelah tamat dari SD

(Sekolah Dasar). Di desa ini, menurut tradisi yang ada, antara sekaa truna-truni

dengan anggota muda-mudi terdapat perbedaan. Perbedaannya itu terletak pada

kedudukan mereka di masing-masing rumah. Maksudnya adalah apabila mereka

yang menjadi krama pengarep (mereka yang bertugas untuk menyungsung Pura

Kahyangan Tiga) nantinya akan ikut dalam organisasi sekaa truna-truni dan

muda-mudi. Sedangkan mereka yang merupakan krama pengerob (mereka yang

membantu krama pengarep untuk ngayah), nantinya mereka hanya menjadi

anggota muda-mudi. Masyarakat Desa Pakraman Lumbuan biasanya menyebut

sekaa truna-truni dengan truna muncuk dan daha truni. (Wawancara dengan I

Putu Artawa, pada tanggal 26 Oktober 2013, pukul 17.00-19.00 WITA di Desa

Pakraman Lumbuan).

Truna muncuk dan daha truni merupakan krama Desa Pakraman

Lumbuan yang mempunyai angkul-angkul (gerbang rumah) atau sebagai krama

pengarep. Sekaa truna-truni biasanya berjumlah sesuai dengan banyaknya jumlah

krama desa (masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli). Pada satu rumah

23  
 
(angkul-angkul) bisa terdapat satu pasang (truna-truni), truna saja, ataupun truni

saja yang bergabung kedalam organisasi sekaa truna-truni. Hal tersebut

disesuaikan dengan umur mereka yaitu direkrut setelah tamat SD. Berbeda halnya

dengan muda-mudi, mereka akan bergabung dalam organisasi pemuda-pemudi

setelah kelas 2 SMP. Jumlah anggota muda-mudi akan lebih banyak daripada

anggota sekaa truna-truni, karena dalam satu rumah tersebut bisa terdapat 2 atau

lebih krama pengerob. Semua remaja yang bukan menjadi truna muncuk dan

daha truni akan masuk organisasi hanya sebagai anggota muda-mudi saja. Lain

halnya dengan remaja yang menjadi truna muncuk dan daha truni, mereka juga

akan ikut serta menjadi anggota muda-mudi. Jadi remaja-remaja tersebut

mempunyai dua peran serta tanggung jawab, yaitu sebagai sekaa truna-truni dan

sebagai anggota muda-mudi.

Menurut I Putu Artawa salah satu tokoh masyarakat di Desa Pakraman

Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, beliau mengatakan bahwa pada

zaman dahulu truna muncuk dan daha truni memiliki tanggung jawab yang lebih

berat daripada remaja yang hanya menjadi anggota muda-mudi saja. Tanggung

jawab yang paling berat adalah pada waktu membuat penjor Nawa Sanga untuk

upacara di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan. Namun sekarang ini, semua

keperluan untuk upacara keagamaan tidak lagi hanya dipersiapkan oleh sekaa

truna-truni, namun anggota muda-mudi juga ikut membantu dalam pelaksanaan

upacara tersebut. Hal ini dilakukan karena jumlah sekaa truna-truni lebih sedikit

dibandingkan jumlah dari anggota muda-mudi, sedangkan pekerjaan yang harus

mereka lakukan sangat banyak.

24  
 
3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian tari Rejang Muani di Pura

Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli adalah

jenis data kualitatif, yakni data tentang jalannya pertunjukan tari Rejang Muani

dan informasi-informasi terkait. Jenis data menurut cara memperolehnya dapat

dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data

yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti secara langsung dari objek penelitian.

Data primer dapat berupa hasil wawancara dan observasi. Sedangkan data

sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan dari studi-studi

sebelumnya dan yang sudah diterbitkan. Data sekunder atau data tidak langsung

dapat berupa dokumen-dokumen atau hasil penelitian sebelumnya yang ada

hubungannya dengan objek penelitian. Data primer diperoleh melalui teknik

pengumpulan data dengan melakukan observasi dan wawancara, sedangkan data

sekunder diperoleh dari studi kepustakaan, dengan membaca buku-buku yang ada

relevansinya dengan penelitian yang dilakukan.

Data merupakan informasi yang diperoleh langsung dari sumber

informasi, namun masih bersifat mentah sehingga perlu adanya pengolahan data

untuk bisa disajikan kedalam bentuk hasil penelitian. Sumber data adalah

mengenai asal atau darimana data tersebut diperoleh. Sumber data ada dua yaitu

sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer dalam

penelitian ini adalah proses dan jalannya pertunjukan tari Rejang Muani di Pura

Puseh Desa Pakraman Lumbuan, dan para informan yang juga ikut serta

memberikan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Sedangkan sumber

25  
 
data sekunder adalah buku-buku hasil penelitian yang telah ada, seperti buku

Ensiklopedi Tari Bali, Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali, Kaja and Kelod

Balinese Dance in Transition, Evolusi Tari Bali, Etnologi Tari Bali, Filsafat Seni

Sakral dalam Kebudayaan Bali, Estetika Sebuah Penghantar,Seni Pertunjukan

Indonesia di Era Globalisasi, Metode Penelitian: Seni Pertunjukan dan Seni

Rupa, dan buku-buku lainnya yang menunjang dalam penelitian ini.

3.4 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan suatu alat yang dipilih dan digunakan

oleh peneliti, untuk mempermudah dalam mengumpulkan data-data yang

diperlukan dalam suatu penelitian. Instrumen penelitian menjadi salah satu hal

yang sangat penting dalam penelitian, karena perolehan informasi yang relevan

sangat ditentukan oleh tepat tidaknya dalam memilih instrumen penelitian.

Instrumen penelitian dan teknik pengumpulan data dapat memberikan pengaruh

besar terhadap kualitas data yang diperoleh. Dengan pemilihan instrumen

penelitian dan teknik pengumpulan data yang tepat, maka akan menghasilkan

suatu penelitian yang bermutu dan berkualitas. Instrumen penelitian dalam hal ini

dipilih sesuai dengan kebutuhan penelitian tari Rejang Muani di PuraPuseh Desa

Pakraman Lumbuan, Bangli.

Sebagaimana pernyataan yang dikemukakan oleh Patilima (2011:7-8)

menyebutkan bahwa instrumen penelitian adalah si peneliti sendiri. Peneliti harus

mempunyai pengetahuan dan kemampuan yang tinggi apabila ingin berhasil

dengan baik dalam suatu penelitian. Sesuai dengan pernyataan tersebut, instrumen

26  
 
utama dalam penelitian tari Rejang Muani adalah peneliti sendiri. Peneliti

melakukan penelitian tari Rejang Muani dengan mengamati pementasan tarian

tersebut, secara langsung di lapangan atau tempat objek penelitian yakni di Desa

Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, untuk mencari data-

data yang diperlukan dan mampu menjawab sebagaimana permasalahan yang

telah dirumuskan.

Untuk mendukung dalam mencari, menggali data-data yang terkait

dengan tari Rejang Muani, akan digunakan alat bantu berupa pedoman

wawancara. Pedoman tersebut berisi tentang pertanyaan-pertanyaan yang telah

disusun sebelumnya untuk ditanyakan atau diajukan kepada informan. Tujuan dari

pedoman wawancara tersebut adalah untuk melancarkan proses wawancara,

sehingga tidak ada informasi yang tertinggal dan tidak membuat jenuh kedua

pihak, sehingga dapat diperoleh informasi yang lebih banyak terkait tujuan

penelitian.

Agar proses wawancara dapat berjalan dengan lancar dan tidak adanya

data-data yang terlupakan, maka dalam penelitian ini juga dibutuhkan alat bantu

seperti tape recorder, handycam, camera, dan alat tulis yang digunakan untuk

mencatat hal-hal yang terkait dengan penelitian ini. Instrumen penelitian tersebut

digunakan pada saat pengumpulan data melalui langkah observasi dan wawancara

secara langsung kepada informan yang terkait dengan penelitian tari Rejang

Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Kamera dan alat perekam

video dapat digunakan sebagai bukti bahwa kesenian tersebut memang ada dan

selalu dipentaskan sampai sekarang. Hasil rekaman tersebut dapat menjadi

27  
 
dokumentasi pribadi, yang dapat digunakan apabila masih ada data-data yang

kurang jelas dan kurang lengkap.

3.5 Teknik Penentuan Informan

Pada penelitian tentang tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman

Lumbuan, Bangli, diperlukan berbagai informasi dari para informan untuk

mendapatkan data-data yang dibutuhkan. Informasi tersebut diperoleh dari orang-

orang yang mengetahui dan mampu memberikan informasi seluas-luasnya tentang

bentuk dan fungsi tari Rejang Muani.

Penentuan informan dalam penelitian tari Rejang Muani di Pura Puseh

Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli adalah

menggunakan teknik purposive. Burhan Bugin (2011, 107-108) mengatakan

teknik purposive yaitu menentukan informan sesuai dengan kriteria terpilih yang

relevan dengan masalah penelitian. Informan yang ditunjuk sudah ditetapkan

sebelum pengumpulan data dilakukan. Selanjutnya dilakukan penentuan informan

secara snow ball yaitu penentuan informan berdasarkan teknik bola salju bergulir.

Lebih jelasnya yang disebut teknik snow ball adalah dari informan kunci

mengarahkan kelanjutan penelitian ke informan selanjutnya secara terus-menerus

hingga data yang diperlukan dianggap sudah memadai.

Berdasarkan pernyataan tersebut di atas, maka dalam penelitian tari

Rejang Muani, diawal sudah menentukan orang-orang atau informan yang akan

ditemui sebelum melakukan pengamatan ataupun wawancara. Adapun para

informan yang dimaksud adalah orang-orang yang ada kaitannya langsung dengan

28  
 
objek penelitian antara lain; Bendesa Adat Lumbuan, pemangku Pura Puseh, jero

nyarikan Pura Puseh, para penari, penabuh, dan beberapa masyarakat setempat.

Setelah ditentukannya informan sesuai dengan tujuan dan kebutuhan

data-data yang diperlukan dalam mengkaji tari Rejang Muani, maka penelitian

akan diawali dengan mencari informan pangkal yaitu Bendesa Adat Lumbuan.

Dari Bendesa tersebut diharapkan memperoleh informasi-informasi tentang kapan

tari Rejang Muani dipentaskan. Selanjutnya menentukan informan kunci, yaitu

informan yang dianggap mengetahui dan memiliki pengetahuan tentang hal-hal

yang terkait dengan tari Rejang Muani. Dalam penelitian ini, informan kunci

adalah pemangku dan jero nyarikan Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan,

Bangli. Selain itu, untuk mendapatkan tambahan informasi terkait, dilakukan juga

wawancara dengan Bendesa Adat Lumbuan. Informasi yang diperoleh dari

informan pangkal dan informan kunci, kemudian didukung oleh informasi yang

diberikan oleh informan tambahan seperti para penari, penabuh, dan beberapa

masyarakat setempat yang ikut menyaksikan pementasan tari Rejang Muani di

Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah langkah-langkah atau cara yang

digunakan untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam sebuah

penelitian. Dalam mengumpulkan data, harus memilih teknik yang tepat agar

penelitian menjadi akurat, serta merupakan faktor penting demi keberhasilan

penelitian yang dilakukan. Teknik pengumpulan data dalam sebuah penelitian

29  
 
sangat menentukan terhadap proses dan hasil penelitian yang akan dilaksanakan

tersebut. Kesalahan dalam memilih teknik pengumpulan data akan berakibat

langsung terhadap proses dan hasil sebuah penelitian. Data kualitatif diperoleh

dari hasil pengumpulan data dan informasi dengan menggunakan berbagai teknik

pengumpulan data. Pada proses pengumpulan data terkait dengan penelitian tari

Rejang Muani, digunakan empat metode yaitu metode observasi, wawancara,

studi kepustakaan, dan dokumentasi.

3.6.1 Observasi

Observasi atau pengamatan merupakan teknik pengumpulan data yang

mengharuskan peneliti melakukan pengamatan secara langsung ke lapangan, dan

mengamati hal-hal yang berkaitan dengan rumusan permasalahan dan yang sangat

relevan dengan data yang dibutuhkan (Patilima, 2011:63-64). Pada penelitian ini,

peneliti telah mengetahui aspek apa saja yang akan diamati yang relevan dengan

masalah dan tujuan penelitian, sehingga dalam melakukan observasi peneliti dapat

membatasi dan memfokuskan penelitian pada masalah yang telah diajukan.

Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang

objek penelitian, khususnya bentuk pertunjukan tari Rejang Muani. Tahap

observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengamati dari persiapan,

proses upacara, sampai jalannya pementasan tari Rejang Muani di Pura Puseh

Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Dalam observasi terlebih dahulu mengadakan

sosialisasi atau pendekatan terhadap masyarakat Desa Pakraman Lumbuan supaya

mempermudah mendapatkan data-data yang diperlukan. Untuk menghindari

30  
 
hilangnya data, dapat dilakukan dengan langsung mencatat, dan merekam segala

sesuatu yang terjadi di lapangan. Dengan demikian akan banyak memperoleh

informasi-informasi yang berkaitan dengan obyek penelitian.

Pada teknik ini, yang menjadi fokus pengamatan adalah mengenai bentuk

pertunjukan tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli.

Selain itu, peneliti juga mencari informasi tentang apakah fungsi tarian tersebut

bagi masyarakat setempat. Sebelum melakukan observasi, terlebih dahulu peneliti

meminta ijin serta memperkenalkan diri kepada Bendesa Adat serta masyarakat

Desa Pakraman Lumbuan untuk meneliti tari Rejang Muani. Setelah ijin diterima,

selanjutnya peneliti matur piuning di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan pada

tanggal 27 Maret 2013 yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan

kelancaran dalam melakukan penelitian ini. Pengamatan yang dilakukan pada saat

menonton secara langsung yaitu tanggal 27 Maret 2013 tepatnya pada Hari Raya

Galungan nadi, bertempat di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan

Susut, Kabupaten Bangli. Dalam pengamatan ini diketahui secara jelas mengenai

bentuk pertunjukan tari Rejang Muani, baik dari penari (jenis kelamin), gerak-

gerak tarinya, tata rias dan busana yang dipakai, serta musik pengiringnya.

Disamping itu pula, dilakukan pengumpulan data berupa foto-foto dan video yang

dapat memperkuat hasil penelitian.

Observasi kedua dilakukan pada tanggal 2 Nopember 2013 tepatnya Hari

Raya Kuningan nadi yang bertempat di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan,

Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Pada kesempatan ini dapat mengamati lebih

dalam serta bersosialisasi dengan masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli.

31  
 
Pada pengamatan ini, dilakukan juga dengan pengambilan foto-foto dan video

untuk membandingkan apakah terdapat perbedaan pementasan tari Rejang Muani

yang sekarang dengan pementasan sebelumnya.

Observasi ketiga dilakukan pada tanggal 22 Mei 2014, pada Hari Raya

Galungan nadi, yang bertempat di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan,

Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Pada kesempatan ini mencari dokumentasi

sebagai pelengkap dan mendukung pernyataan-pernyataan yang diungkapkan

dalam tulisan ini.

3.6.2 Wawancara

Wawancara merupakan salah satu teknik untuk mengumpulkan data dan

informasi. Pada teknik ini, peneliti dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan

secara lebih bebas dan tanpa terikat oleh suatu susunan pertanyaan yang sudah

dipersiapkan sebelumnya, kendatipun peneliti tentunya sudah menyimpan

cadangan masalah yang perlu ditanyakan kepada informan (Patilima, 2011:68-73).

Pengumpulan data melalui teknik wawancara, penulis harus mendatangi

dan mengadakan wawancara secara langsung kepada beberapa informan terpilih

yang mengetahui permasalahan dan berasal dari daerah obyek penelitian.

Persiapan yang harus dilakukan oleh seorang peneliti sebelum menemui informan

adalah terlebih dahulu menyiapkan kelengkapan wawancara dan merencanakan

apa saja yang akan dilakukan. Supaya wawancara efektif, efisien dan dapat

berjalan dengan lancar, maka peneliti harus menentukan atau menyusun fokus

penelitian. Pada pelaksanaan wawancara, peneliti membawa pedoman dengan

32  
 
garis-garis besar yang akan ditanyakan kepada informan. Tujuannya adalah

supaya informan tidak merasa canggung di dalam memberikan jawaban, proses

wawancara tidak kaku, dan hubungan antara pewawancara dengan informan tidak

terlalu formal, sehingga dengan demikian informan lebih terbuka mengungkapkan

apa adanya, namun proses wawancara tetap terarah dan diperoleh data yang sesuai

dengan permasalahan yang telah ditentukan.

Teknik wawancara digunakan untuk memperoleh informasi lebih lengkap

dari informan pangkal, informan kunci, maupun informan tambahan tentang hal-

hal terkait. Untuk memperoleh keterangan-keterangan tentang penelitian tersebut,

telah dipersiapkan beberapa pertanyaan yang sesuai dengan tujuan penelitian,

sehingga wawancara dapat berjalan dengan lancar dan terarah.

Pada pelaksanaan wawancara, dapat menggunakan alat perekam yang

dipakai sebagai bukti pernyataan dari informan, serta dapat digunakan untuk

mempermudah dalam memaparkan informasi tersebut kedalam sebuah tulisan.

Selain rekaman, hasil wawancara juga dicatat dalam sebuah buku milik pribadi

peneliti. Wawancara tidak hanya dilakukan secara langsung, namun dilakukan

juga wawancara melalui telepon dan pesan singkat melalui handphone. Cara ini

dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara peneliti dengan informan.

Wawancara melalui SMS dan telepon dilakukan untuk menanyakan hal-hal yang

kurang dan penting terkait dengan objek penelitian. Hal ini dilakukan karena

kurang tersedianya waktu untuk bertemu dengan informan, karena informan

memiliki kesibukan yang tidak memungkinkan untuk bertemu secara langsung.

Wawancara yang dilakukan sebaiknya diulang berkali-kali dan membutuhkan

33  
 
waktu yang lebih lama bersama informan, tentunya untuk menggali informasi

sebanyak-banyaknya dan guna mendapatkan data yang lengkap. Dalam penelitian

ini, telah dilakukan beberapa kali wawancara dengan beberapa informan yang

mengetahui hal-hal berkaitan dengan tari Rejang Muani, diantaranya:

1. Tanggal 10 Februari 2013 wawancara dengan I Dewa Gede Raka Wiguna

selaku penari tari Rejang Muani dan salah satu sekaa truna Desa Pakraman

Lumbuan, pada pukul 15.25-17.00 Wita, mengenai keberadaan tari Rejang

Muani apakah masih selalu dipentaskan, keunikan tarian ini, serta beberapa

informasi lain seperti bagaimana gerakannya, tata busana dan tata rias,

struktur pertunjukan, penarinya serta kapan dipentaskan. Wawancara dengan

informan dilakukan melalui telepon, pesan singkat (SMS) serta BBM

(blackberry messenger).

2. Tanggal 27 Maret 2013 wawancara dengan pemangku di Pura Puseh Desa

Pakraman Lumbuan, pada pukul 19.00-20.00 Wita, bertempat di Pura Puseh.

Pada wawancara ini didapatkan data-data mengenai proses upacara yang

berlangsung di pura tersebut, serta rangkaian pelaksanaan tari-tarian wali di

Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli.

3. Tanggal 27 Maret 2013 wawancara dengan I Wayan Sudana selaku nyarikan

Desa Pakraman Lumbuan, bertempat di Pura Puseh, pada pukul 20.00-24.00

Wita. Dalam wawancara ini dikatakan bahwa tari Rejang Muani sudah ada

sejak dahulu yang merupakan warisan dari leluhurnya. Beliau juga

menegaskan bahwa masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, belum


34  
 
pernah tidak menarikan tarian ini, karena mereka mempunyai kewajiban

untuk tetap melestarikannya serta tarian ini diperuntukkan masyarakat

sebagai sarana dalam upacara agama di Pura Puseh Desa Pakraman

Lumbuan. Beliau juga memaparkan mengenai fungsi tari Rejang Muani serta

sesajen-sesajen yang digunakan, dan proses upacara dari awal hingga akhir di

Pura Puseh. Dalam wawancara ini, beliau juga mengatakan bahwa tari

Rejang Muani ditarikan oleh sekaa truna karena masyarakat Desa Pakraman

Lumbuan mempunyai anggapan bahwa sekaa truna tersebut masih dianggap

suci. Bapak I Wayan Sudana juga menyebutkan pada pementasan tari Rejang

Muani memakai selendang yang oleh masyarakat Desa Pakraman Lumbuan

disimpan di Pura Puseh, karena tari Rejang Muani hanya dipentaskan di pura

itu saja.

4. Tanggal 26 Oktober 2013 wawancara dengan I Putu Artawa selaku Bendesa

Adat dan wawancara dengan I Nyoman Sukari selaku masyarakat Lumbuan,

bertempat di rumah beliau di Desa Pakraman Lumbuan, Bangli pada pukul

17.00-19.00 Wita. Pada kesempatan ini, selain untuk memperoleh monografi

desa, juga dilakukan wawancara untuk memperoleh lebih banyak lagi

informasi mengenai tari Rejang Muani. Dalam wawancara ini beliau

mengatakan bahwa tari Rejang Muani mempunyai hubungan yang erat

dengan penjor Nawa Sanga yang selalu ada setiap pementasan tarian tersebut.

Apabila tidak ada penjor itu, maka tari Rejang Muani dan tari Mabuang tidak

bisa dipentaskan dan upacara belum dikatakan selesai, namun masyarakat

belum pernah melakukan hal tersebut. Adapun urutan tari wali tersebut adalah
35  
 
pertama tari Baris Tombak, tari Rejang Daha, tari Mabuang dan terakhir tari

Rejang Muani. Beliau banyak memberikan informasi yang sangat menunjang

dalam penelitian ini.

5. Tanggal 2 Nopember 2013 wawancara dengan Sang Kompiang Martahadi,

bertempat di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, pada pukul

19.00-24.00 Wita. Wawancara mengenai musik pengiring tari Rejang Muani

yaitu gamelan serta gending yang digunakan untuk mengiringi tarian tersebut.

6. Tanggal 2 Nopember 2013 wawancara dengan I Putu Artawa dan I Wayan

Sudana, bertempat di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, pada

pukul 19.00-24.00 Wita. Dalam wawancara ini bertepatan dengan pementasan

tari Rejang Muani, dan sebelum pementasannya tersebut dilakukan

wawancara kepada Bendesa Adat dan nyarikan di Pura Puseh Desa

Pakraman Lumbuan, Bangli. Beliau menyatakan bahwa 350 tahun lalu, pada

masa Kerajaan Panji Sakti, dan terjadi bencana di sebuah desa yang bernama

Desa Darmaji, sehingga penduduk desa tersebut mengungsi ke Desa

Pakraman Lumbuan. Diperkirakan tari Rejang Muani sudah ada sejak saat itu,

dan ada kemungkinan masyarakat tersebutlah yang membawanya.

Masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, tidak menemukan bukti-bukti

tertulis yang menyebutkan kapan muculnya tari Rejang Muani. Beliau juga

memberikan informasi bahwa sebelum pementasan tarian ini, sekaa truni

terlebih dahulu harus menghaturkan sesajen di pelinggih pahlawan yang

bertempat di jaba pura. Tujuannya adalah untuk menghormati dan

36  
 
mengucapkan terima kasih kepada para pahlawan atas jasanya

memperjuangkan kemerdekaan, sehingga masyarakat Desa Pakraman

Lumbuan, Bangli bisa melaksanakan yadnya sampai saat ini.

7. Tanggal 6 Maret 2014 wawancara dengan I Dewa Gede Raka Wiguna selaku

penari tari Rejang Muani dan salah satu sekaa truna Desa Pakraman

Lumbuan, pada pukul 16.00-18.00 Wita, mengenai gerak tari pada tari Rejang

Muani.

8. Tanggal 12 April 2014 wawancara dengan I Dewa Gede Raka Wiguna selaku

penari tari Rejang Muani dan salah satu sekaa truna Desa Pakraman

Lumbuan, pada pukul 14.00-16.00 Wita. Pada wawancara ini didapatkan

data-data mengenai tata rias dan busana serta data-data yang dirasakan masih

kurang lengkap.

9. Tanggal 27 April 2014 wawancara dengan I Putu Artawa selaku Bendesa

Adat Lumbuan, pada pukul 08.00-09.30 Wita, bertempat di Desa Pakraman

Lumbuan. Pada wawancara ini mencari data-data yang kurang lengkap seperti

pengertian dan penetapan Hari Raya Galungan nadi dan Hari Raya Kuningan

nadi secara pasti.

10. Tanggal 27 April 2014 wawancara dengan I Nengah Kariani, selaku

masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, pada pukul 08.00-09.30 Wita,

bertempat di Desa Pakraman Lumbuan. Wawancara dilakukan untuk

37  
 
mendapatkan data mengenai sesajen atau sarana upacara apa yang

dipersembahkan dibawah penjor Nawa Sanga.

3.6.3 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan menjadi salah satu teknik pengumpulan data yang

tidak bisa dipisahkan dari suatu penelitian. Hal tersebut dikarenakan teori-teori

yang mendasari permasalahan yang akan diteliti dapat ditemukan dengan adanya

studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan cara yang dilakukan oleh

peneliti untuk memperoleh data yang relevan dengan objek penelitian. Dengan

melakukan studi kepustakaan, peneliti dapat memanfaatkan semua informasi

tentang penelitian-penelitian sebelumnya yang sejenis atau yang ada kaitannya

dengan obyek penelitian. Studi kepustakaan harus dilakukan oleh peneliti untuk

memperoleh data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara

membaca literatur, jurnal, majalah ilmiah maupun hasil-hasil penelitian yang ada

kaitannya dengan objek penelitian.

Studi kepustakaan yang dilakukan dalam penelitian tari Rejang Muani

adalah mengumpulkan data dari buku-buku sumber yang sudah ditentukan yang

menyangkut tentang penelitian kesenian sejenis. Terkait dengan itu, data

kepustakaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku seni

pertunjukan, jurnal, dan hasil penelitian tentang tari Rejang. Buku-buku tersebut

dapat menjadi suatu acuan di dalam meneliti tari Rejang Muani. Data-data yang

diperlukan banyak diperoleh dari perpustakaan Institut Seni Indonesia (ISI)

Denpasar maupun ditempat-tempat lain seperti perpustakaan UNHI Denpasar,

38  
 
Perpustakaan Daerah. Data yang didapatkan dipilah-pilah dan dikelompokkan

sehingga diperoleh data yang akurat sesuai dengan tujuan penelitian.

3.6.4 Dokumentasi

Dokumentasi merupakan cara pengumpulan data yang dilakukan dengan

cara pengambilan gambar atau foto, rekaman audio visual oleh peneliti sendiri,

maupun mengumpulkan dokumen yang terkait dengan obyek penelitian. Hasil

penelitian akan semakin kuat apabila didukung oleh foto-foto, video, karya tulis

akademik dan seni yang telah ada. Dalam penelitian ini, dokumentasi juga

diperoleh dari foto-foto dan rekaman video yang dimiliki oleh masyarakat Desa

Pakraman Lumbuan, Bangli. Melalui foto-foto dan rekaman video tersebut dapat

dijadikan acuan untuk meneliti tari Rejang Muani, sehingga dapat diketahui

apakah ada perubahan dari dahulu sampai sekarang ini.

3.7 Analisis Data

Analisis data merupakan bagian yang sangat penting dalam suatu

penelitian, hal ini dikarenakan dengan menganalisis maka data tersebut dapat

memiliki makna yang berguna untuk menjelaskan dan memecahkan masalah

sesuai dengan tujuan penelitian.

Pada analisis data kualitatif, data yang muncul berwujud kata-kata dan

bukan rangkaian angka. Data itu dikumpulkam melalui teknik pengumpulan data

dengan langkah observasi, wawancara, studi kepustakaan dan dokumentasi, dan

selanjutnya diproses melalui perekaman, pencatatan, serta pengetikan (Patilima,

39  
 
2011:100). Dalam analisis data, semua data yang didapatkan dilapangan,

dikumpulkan terlebih dahulu dan memilih mana yang penting akan digunakan,

sehingga dapat membuat kesimpulan yang dapat dipahami dengan mudah oleh

diri sendiri maupun orang lain.

Analisis data merupakan upaya yang dilakukan dengan jalan

mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,

menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang

dapat diceritakan kepada orang lain berdasarkan data-data yang diperoleh

dilapangan (Moleng, 2014:248).

Analisis data didasarkan pada fakta-fakta yang diperoleh apa adanya di

lapangan, sehingga diperoleh gambaran umum mengenai bentuk pertunjukan dan

fungsi tari Rejang Muani di Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut,

Kabupaten Bangli sesuai dengan tujuan penelitian. Tahap analisis data ini

sewaktu-waktu dapat berubah, karena disesuaikan dengan data-data baru yang

diperoleh dari lapangan selama penelitian berlangsung. Pada analisis data, data-

data yang sudah terkumpul diolah dan disederhanakan ke dalam bentuk yang lebih

mudah dibaca dan dipahami oleh pembaca, sedangkan data-data yang tidak

diperlukan bisa dibuang, sehingga didapatkan data-data sesuai dengan tujuan

penelitian.

3.8 Hasil Penyajian Analisis Data

Data yang sudah dianalisis kemudian dipaparkan atau disusun sesuai

dengan ketentuan yang ada dalam pedoman penulisan karya ilmiah. Hasil

40  
 
penelitian yang didapatkan seperti hasil dari observasi ke lapangan, wawancara

dengan informan, catatan-catatan, foto-foto pertunjukan, serta buku-buku yang

terkait dengan tari Rejang Muani akan disajikan dengan mengikuti aturan yang

telah ditentukan oleh Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar

dalam bentuk skripsi, sesuai dengan Buku Pedoman Tugas Akhir Fakultas Seni

Pertunjukan tahun 2013. Format penulisannya merupakan aturan yang sudah

ditetapkan untuk mencapai gelar Sarjana Seni (S-1). Berdasarkan pada format

yang ada, maka skripsi ini akan disajikan dalam 5 bab yaitu:

BAB I 1.
: Pendahuluan, di dalamnya akan membahas latar belakang masalah

yang memaparkan gambaran umum mengenai tari Rejang Muani di

Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli serta alasan peneliti

untuk mengkaji tarian tersebut. Dalam bab ini, juga memaparkan

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan ruang

lingkup penelitian yang digunakan untuk membatasi agar tidak terjadi

penafsiran yang terlalu melebar mengenai topik yang akan dibahas.

2.
BAB II 3.
: Kajian Pustaka dan Landasan Teori. Kajian Pustaka memaparkan

tentang sumber-sumber data tertulis, berupa buku-buku yang ada

hubungannya dengan objek penelitian. Sumber-sumber tersebut

dijadikan suatu perbandingan bahwa penelitian ini belum pernah

dilakukan, sehingga masih original. Pada landasan teori berisi tentang

teori-teori yang digunakan untuk mengkaji dan menjelaskan

permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian tari Rejang Muani.

41  
 
BAB III 4.
: Metode Penelitian, berisi tentang metode atau cara yang digunakan

untuk memperoleh data di lapangan, mulai dari rancangan penelitian,

lokasi penelitian, jenis dan sumber data yang digunakan, instrumen

penelitian, teknik penentuan informan, teknik pengumpulan data,

analisis data dan hasil penyajian analisis data.

5.
BAB IV 6.
: Hasil dan Pembahasan, didalamnya berisi tentang temuan penelitian

yang meliputi bentuk pertunjukan dan fungsi tari Rejang Muani bagi

masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten

Bangli. Pada bentuk pertunjukannya terdiri dari penari, gerak, tata rias

dan busana, musik iringan dan tempat pertunjukan tari Rejang Muani.

Selain bentuk pertunjukan, dalam bab ini dijelaskan juga fungsi tari

Rejang Muani dalam upacara Dewa Yadnya dan fungsi tarian tersebut

bagi masyarakat Desa Pakraman Lumbuan sebagai pendukung tarian

ini.

7.
BAB V : Penutup, berisi tentang uraian kesimpulan dan saran-saran.

Pada akhir tulisan ini akan dilampirkan daftar pustaka atau referensi dan lampiran-

lampiran lainnya.

42  
 
BAB IV

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN TARI REJANG MUANI

Tari Rejang Muani merupakan sebuah tari wali yang memiliki bentuk

pertunjukan sederhana, namun memiliki fungsi penting bagi masyarakat Desa

Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Pada bab ini akan

dipaparkan tentang bentuk, dan fungsi dari pertunjukan tari Rejang Muani, namun

terlebih dahulu dijelaskan mengenai asal mula tarian ini. Mengenai asal-mula tari

Rejang Muani tidak ditemukan secara pasti, karena tidak adanya data-data yang

tertulis baik dalam bentuk lontar maupun prasasti-prasasti yang ada. Walaupun

demikian, tentang asal mula munculnya dapat diperoleh dari wawancara dengan

para informan, sehingga mendapatkan data-data terkait meskipun tidak begitu

lengkap.

Seni tari tradisional merupakan sebuah seni yang diterima secara turun-

temurun oleh masyarakat pendukungnya. Seni tersebut sangat erat kaitannya

dengan adat, kepercayaan, dan kebiasaan masyarakat. Sebagian besar kemunculan

seni tradisi ini tidak diketahui secara pasti, karena tidak adanya data-data tertulis

maupun peninggalan-peninggalan yang dapat dijadikan sebagai bukti kapan

munculnya tari-tarian tradisi tersebut. Begitupula dengan tari Rejang Muani yang

ada di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, sampai saat ini belum dapat

dikaji secara mendalam mengenai asal mula tarian ini, karena minimnya sumber

informasi yang didapatkan mengenai hal tersebut. Narasumber yang benar-benar

43  
 
mengetahui secara pasti tentang awal munculnya tari Rejang Muani sudah banyak

yang meninggal, serta tidak adanya bukti tertulis, sehingga yang didapatkan hanya

melalui wawancara dengan informan sebagai generasi penerusnya saja. Namun

para informan yang memberikan informasi sekarang ini, telah mendapatkan

keterangan-keterangan terkait secara lisan secara turun-temurun dari para tetua

sebelumnya.

Beberapa informasi yang diperoleh dari narasumber yang dapat

dipercaya hanya dari Jero Nyarikan, yang merupakan salah satu tokoh masyarakat

di Desa Pakraman Lumbuan Bangli dan beliau ini merupakan generasi yang

ketujuh. Menurut Jero Nyarikan Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, I Wayan

Sudana di jeroan Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, tanggal 2 Nopember

2013 pukul 19.00 sd 22.00 WITA, tari Rejang Muani diperkirakan sudah ada di

Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan sekitar 350 tahun yang lalu. Tarian ini

disimbolkan sebagai penghantar persembahan masyarakat Desa Pakraman

Lumbuan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Senada dengan pernyataan tersebut, I

Putu Artawa selaku Bendesa Adat juga menegaskan kembali bahwa tari Rejang

Muani sudah ada sejak dahulu dan hanya dipentaskan pada saat upacara di Pura

Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa tari Rejang Muani merupakan

sebuah tarian yang sudah lama berada di Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, dan

dianggap penting bagi masyarakat setempat karena selalu dilibatkan pada saat

upacara di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Artawa juga

mengatakan bahwa beliau mengetahui cerita tentang asal mula tari Rejang Muani

44  
 
dari orang-orang tua terdahulu. Lebih lanjut dikatakan beliau pernah mendengar

cerita, bahwa pada masa kerajaan Panji Sakti, pernah terjadi bencana di sebuah

desa yang disebut Desa Darmaji, sehingga banyak penduduk dari Desa Darmaji

yang mengungsi ke beberapa daerah di Bali dengan membawa seni dan budaya

yang mereka miliki. Salah satu yang menjadi tempat pengungsian mereka adalah

ke Desa Pakraman Lumbuan. Jika diperhatikan dari jarak tempuh Desa Darmaji

dengan Desa Pakraman Lumbuan memang tidak terlalu jauh, sehingga sangat

memungkinkan penduduk untuk mengungsi ke Desa Pakraman Lumbuan. Seperti

yang disebutkan oleh Koentjaraningrat bahwa bersamaan dengan penyebaran dan

migrasi kelompok-kelompok manusia turut pula tersebarnya unsur-unsur

kebudayaan yang mereka miliki (2009:199). Masyarakat Desa Lumbuan meyakini

bahwa tari Rejang Muani berasal dari Karangasem, yang terbawa ketika penduduk

Desa Darmaji mengungsi ke Desa Pakraman Lumbuan. Sampai sekarang

hubungan persaudaraan antara masyarakat Desa Pakraman Lumbuan dengan

masyarakat Desa Darmaji terjalin sangat baik. Dalam bidang kesenian, kedua desa

tersebut selalu mengadakan kerjasama khususnya dalam bidang seni pertunjukan.

Tidak hanya sebatas pada bidang kesenian saja, apabila terdapat upacara

keagamaan di Desa Darmaji, masyarakat Desa Pakraman Lumbuan akan ikut serta

mengadakan persembahyangan ke desa tersebut.

Dari pernyataan di atas disebutkan bahwa pada mulanya masyarakat

Desa Pakraman Lumbuan, Bangli berasal dari sebuah desa kecil yaitu Desa

Darmaji, Karangasem, desa ini terletak di lereng Gunung Agung. Untuk

menyelamatkan diri dari bencana yang terjadi di desanya, mereka mengungsi ke

45  
 
tempat yang baru, yaitu ke sebuah desa yang sekarang disebut dengan Desa

Pakraman Lumbuan, Bangli. Desa ini pada mulanya masih merupakan daerah

hutan dan belum ditemukan adanya bangunan-bangunan. Mereka merasa

mendapat perlindungan di daerah tersebut, sehingga mereka tinggal menetap di

Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, dan akhirnya mereka mendirikan organisasi

sosial. Setelah terbentuknya organisasi sosial secara teratur, maka sebagai

penuangan rasa baktinya, masyarakat mendirikan tempat suci untuk

persembahyangan atau memohon agar diberkahi keselamatan. Mereka mendirikan

Pura Puseh sebagai tanda tentang asal-mula berdirinya Desa Pakraman Lumbuan.

Di pura inilah masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli melaksanakan

pagelaran tari Rejang Muani beserta tari-tarian wali lainnya.

Tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan Bangli,

diciptakan oleh masyarakat setempat sebagai tari persembahan (upacara) kepada

sang pencipta, yang didasari oleh keinginan masyarakat itu sendiri. Penampilan

dan keberadaan seni tari wali pada umumnya selalu dikaitkan dengan upacara

keagamaan, karena seni pada zaman dahulu hanya difungsikan sebagai tari

upacara. Pementasan tari upacara/ wali dijadikan sebagai media persembahan dan

pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tujuan

persembahan tari Rejang Muani kepada sang pencipta adalah menuntun Ida

Bhatara Bhatari turun kedunia untuk hadir dalam upacara Dewa Yadnya atau

upacara yang diadakan di Pura tersebut. Selain itu tari ini bertujuan untuk

menolak Bala sehingga keharmonisan dan keselamatan dunia tetap terjaga yaitu

dunia atas, tengah dan bawah. Maksudnya adalah tetap menjaga hubungan

46  
 
harmonis kepada Tuhan, sesama manusia, dan dengan alam lingkungan sekitar.

Alam lingkungan adalah kekuatan yang tak kasat mata namun diyakini kekuatan

tersebut akan membantu kehidupan manusia, sepanjang kekuatan tersebut

dipergunakan dengan baik. Masyarakat mengharapkan dengan persembahan tarian

tersebut, maka akan diberikan perlindungan, keselamatan, kesejahteraan,

kekuatan, dan kebahagiaan bagi masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten

Bangli. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai proses upacara dalam pertunjukan

tari Rejang Muani.

4.1 Proses Upacara

Penelitian tari Rejang Muani yang dilakukan lebih difokuskan pada

pementasan tarian ini pada Hari Raya Galungan nadi serta Hari Raya Kuningan

nadi. Pada bagian ini, akan dipaparkan secara terperinci mengenai proses upacara

sebelum dipentaskan tari Rejang Muani. Adapun proses upacara di Pura Puseh

Desa Pakraman Lumbuan yang dilengkapi dengan tari Rejang Muani adalah

sebagai berikut.

Proses upacara diawali dengan masyarakat melakukan sembahyang

bersama dan nunas tirta pengelukatan (air suci) di Pura Puseh Desa Pakraman

Lumbuan Bangli untuk memohon keselamatan melalui persembahan sarana

upakara. Setelah persembahyangan selesai, maka dilanjutkan dengan melakukan

tradisi ngelawang, yakni keliling di wilayah desa tersebut. Ngelawang merupakan

suatu istilah dalam bahasa Bali yang berarti pertunjukan berpindah-pindah dari

satu rumah ke rumah yang lain, ataupun dari satu desa ke desa yang lain. Dalam

47  
 
tradisi ngelawang, seluruh masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli ikut

terlibat di dalamnya. Masyarakat laki-laki akan terlibat sebagai penabuh yaitu

sekaa truna-truni, anggota muda-mudi, beserta orang-orang tua juga ikut serta

menjadi penabuh. Untuk masyarakat perempuan akan ikut serta sebagai pengiring

maupun membawa upakara/ banten. Dalam tradisi ngelawang ini menggunakan

Barong Macan dan Barong Ketet. Kedua barong tersebut merupakan sesuhunan

di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Pada tradisi ini, tidak lepas juga

dari peran anak-anak, karena anak-anak di Desa Pakraman Lumbuan juga

diikutsertakan sebagai pembawa payung atau tedung agung, umbul-umbul, kober,

dan bandrang. Tradisi ngelawang hanya dilakukan sekali saja, tepatnya pada hari

pertama saat upacara berlangsung (Hari Raya Galungan nadi atau Hari Raya

Kuningan nadi). Tradisi ini dimulai dari sore hari sekitar pukul 17.00 WITA dan

selesai hingga malam hari sekitar pukul 20.00 WITA. Tujuan dari tradisi

ngelawang ini tiada lain untuk mengusir roh-roh jahat, dan sekaligus melindungi

penduduk dari wabah penyakit yang diakibatkan oleh roh-roh jahat (bhuta kala)

tersebut. Setelah selesai melakukan ngelawang, masyarakat kembali lagi ke Pura

Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli melanjutkan upacara keagamaan

berikutnya. Rentetan upacara wali tersebut dipimpin oleh pemangku.

I Wayan Dibia dalam bukunya yang berjudul Pragina Penari, Aktor,

Pelaku Seni Pertunjukan Bali, menyebutkan bahwa di dalam suatu seni,

khususnya seni tari Bali, tidak pernah lepas dengan upakara (banten) baik

sebelum dimulai ataupun sesudah selesai pementasan (2004:136-140).

Sebagaimana tari Rejang Muani, juga selalu melibatkan upacara bebantenan jika

48  
 
tarian ini dipentaskan. Upacara diawali dengan menghaturkan banten/ sesajen

pada sebuah pelinggih pahlawan yang berada di jaba sisi pura (halaman pura

paling luar). Tujuannya adalah untuk memberikan penghormatan kepada para

pahlawan atas jasa-jasanya mempertahankan dan membela tanah kelahirannya,

sehingga masyarakat setempat bisa tetap hidup seperti sekarang ini. Selain itu

juga, atas jasa-jasa beliau masyarakat Desa Pakraman Lumbuan bisa

melaksanakan upacara keagamaan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan,

Bangli. Hal tersebut menjadi keyakinan masyarakat setempat, bahwa sebelum

mereka mempersembahkan sesajen pada pelinggih pahlawan, maka mereka

belum berani untuk memulai upacara di jeroan pura. Persembahan sesajen pada

pelinggih pahlawan, dilakukan oleh sekaa truni dan dipimpin oleh seorang

pemangku. Persembahan tersebut dilakukan oleh sekaa truni, karena sekaa truna

mempunyai kewajiban untuk menjadi penabuh dalam mengiringi upacara

keagamaan tersebut.

Foto 4.1 Pelinggih Pahlawan


Dokumentasi: Mawan, 2014
49  
 
Setelah semuanya selesai, dilanjutkan dengan mempersembahkan sesajen

dibawah penjor Nawa Sanga dan juga pada pelinggih utama, dengan tujuan untuk

memohon keselamatan bagi penari dan masyarakat pendukungnya. Hal tersebut

juga bertujuan untuk memohon ijin kepada penghuni yang berada ditempat yang

akan digunakan untuk pertunjukan, sehingga upacara tersebut dapat berjalan

dengan lancar, serta dapat mengubah status tempat pertunjukan dari tempat biasa

menjadi tempat yang sakral.

Foto 4.2 Tempat sesajen di bawah Penjor Nawa Sanga


Dokumentasi: Mawan, 2014

Sesajen yang dipersembahkan dibawah penjor tersebut berupa segehan

telung dasa telu (33), banten sorohan yang didalamnya berisi daksina (pejati),

suci sari, tumpeng pitu, metaled pras, sayut, canang raka, canang ajuman,

prangkatan. Sesajen tersebut dipersembahkan pada setiap pementasan tari-tarian

wali di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli.

Penjor Nawa Sanga dilambangkan sebagai persembahan kepada

penguasa alam atas, sedangkan sesajen yang diletakkan dibawah penjor

50  
 
dipersembahkan kepada penguasa alam bawah. Adapun sesajen yang

dipersembahkan dibawah penjor Nawa Sanga berisi tetabuhan (arak, tuak), yang

bertujuan untuk nyomia (mensucikan) bhuta kala, agar tidak mengganggu selama

upacara keagamaan berlangsung. Mereka mempunyai keyakinan bahwa dengan

mempersembahkan sesajen dilengkapi dengan tetabuhan, maka para dewata

penguasa alam bawah di Desa Pakraman Lumbuan akan berkenan untuk

memberikan perlindungan dan keselamatan bagi masyarakat setempat. Hal ini

adalah upaya dalam menjaga keharmonisan dan keseimbangan hidup mereka

dengan alam lingkungannya. Sesajen yang dipersembahkan dibawah penjor Nawa

Sanga ditujukan kepada para bhuta kala di ke sembilan arah mata angin, yang

bertujuan untuk nyomia para bhuta kala sebagai penguasa alam bawah dengan

mempersembahkan atau menuang arak, tuak, pada sesajen dibawah penjor Nawa

Sanga yaitu pada awal dan akhir pementasan masing-masing tari-tarian wali yakni

tari Baris Tombak, tari Rejang Daha, tari Mabuang dan tari Rejang Muani.

Selesai menghaturkan sesajen di bawah penjor Nawa Sanga dan

pelinggih utama, maka semua sekaa truna-truni beserta pemuda-pemudi yang

akan ikut menari duduk berkumpul bersama-sama di depan pelinggih utama untuk

melakukan persembahyangan. Selanjutnya pemangku memerciki tirta kepada

semua penari, dengan tujuan untuk memohon keselamatan dan persembahan tari

wali dapat berjalan dengan lancar. Penari sudah menggunakan selendang yang

harus dipakai dalam pementasan tari wali tersebut, sebelum mereka mengadakan

persembahyangan. Selendang yang digunakan disimpan di Pura Puseh Desa

51  
 
Pakraman Lumbuan, Bangli, karena tari Rejang Muani sendiri hanya ditarikan di

pura itu saja.

Foto 4.3. Penari pada saat mengadakan persembahyangan sebelum menari.


Dokumentasi: Dian Arista, 2012

Setelah rangkaian atau prosesi ritual selesai, maka pertunjukan tari wali

dapat dimulai. Adapun rangkaian dari tari upacara yang diselenggarakan di Pura

Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli adalah: diawali dengan pementasan tari

Baris Tombak, tarian ini ditarikan oleh 4 orang penari laki-laki yaitu sekaa truna.

Sesuai dengan nama tariannya, semua penari ini membawa sebuah properti

tombak (seperti tongkat yang ujungnya runcing). Setelah pertunjukan tarian

tersebut selesai, maka dilanjutkan dengan menarikan tari Rejang Daha. Tarian ini

dibawakan oleh sekaa truni dan merupakan sebuah tari kelompok dengan jumlah

penari sekitar 35 orang. Pada pementasan tarian ini, dipimpin oleh seorang sekaa

truna dengan memikul tegen-tegenan. Tegen-tegenan merupakan sarana upacara

yang terdiri dari ayam dan bebek, dimasukkan kedalam kisa (anyaman yang

52  
 
terbuat dari daun kelapa berbentuk sangkar kecil). Kisa tersebut kemudian

diikatkan pada masing-masing ujung cabang pohon dadap, dan selanjutnya

dipikul di atas pundak.

Persembahan tari wali dilanjutkan dengan pementasan tari Mabuang,

tarian ini dipentaskan oleh 8 orang penari laki-laki (sekaa truna). Tari Mabuang

merupakan sebuah tarian yang dipersembahkan kepada bhuta kala, dengan tujuan

agar tidak diganggu serta dapat membawa kemakmuran dan kedamaian bagi

masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Setelah ketiga tari-tarian wali

tersebut dilaksanakan, kemudian dilanjutkan dengan pementasan tari Rejang

Muani. Tari Rejang Muani dipentaskan sebagai tari terakhir dari sekian tari wali

yang dipertunjukkan. Tidak ada makna secara khusus kenapa tari Rejang Muani

dipentaskan terakhir, masyarakat hanya mengikuti dan menjaga tradisi mereka

yang didapatkan secara turun-temurun. Berakhirnya pementasan tari Rejang

Muani, maka dengan itu selesai juga pementasan tari-tarian wali yang

dipersembahkan di Pura Puseh Desa Pakranan Bangli. Setelah semua

persembahan tari wali selesai, kemudian dilanjutkan dengan semua masyarakat

setempat melakukan persembahyangan bersama di depan pelinggih utama (jeroan

pura). Dari pengamatan peneliti, halaman utama atau jeroan pura sangat luas,

sehingga mampu menampung semua masyarakat yang akan melakukan

persembahyangan, sehingga masyarakat tidak ada yang melakukan

persembahyangan dari jaba tengah pura (halaman pura yang kedua).

Tari Rejang Muani hanya dipentaskan di Pura Puseh Desa Pakraman

Lumbuan, Bangli dan tidak boleh dipentaskan di pura lainnya. Pementasannya

53  
 
merupakan rangkaian dari upacara Dewa Yadnya, yang sampai sekarang selalu

dilaksanakan oleh masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Apabila tarian

ini tidak dipentaskan maka upacara tersebut dikatakan belum selesai atau belum

lengkap, oleh karena itu dari dulu sampai sekarang tari Rejang Muani selalu

dipentaskan oleh masyarakat setempat. Masyarakat merasa mempunyai kewajiban

untuk tetap mempertunjukkan tarian tersebut serta tetap mempertahankan tradisi

yang mereka miliki. Hal tersebut diungkapkan oleh Artawa pada saat wawancara

di jeroan Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, tanggal 2 Nopember

2013 pukul 19.00 Wita, bahwa apabila Galungan nadi tarian ini dilaksanakan

selama 4 hari berturut-turut sedangkan jika Kuningan nadi hanya dipentaskan

selama 3 hari. Pada Ngusaba kepitu tarian ini dipentaskan selama 7 hari berturut-

turut dengan rangkaian pertunjukan yang sama. Tari Rejang Muani merupakan

sebuah karya seni religius (sebagai sarana pelengkap upacara) sehingga harus

selalu dipentaskan dan tetap dipertahankan karena masyarakat masih

mengganggap pentingnya tarian tersebut dalam upacara Dewa Yadnya di Pura

Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Berdasarkan pernyataan tersebut,

nyatalah masyarakat setempat masih sangat percaya dan mempunyai keyakinan

untuk tetap mempertunjukkan tari Rejang Muani disetiap piodalan di Pura Puseh

Desa Pakraman Lumbuan, Bangli.

Sesuai dengan ruang lingkup penelitian ini, difokuskan pada pementasan

tari Rejang Muani ketika Hari Raya Galungan nadi dan Kuningan nadi. Sebagai

sebuah tari wali, tari Rejang Muani dipentaskan setiap 6 bulan (210 hari) sekali

bertepatan dengan Hari Raya Galungan atau Kuningan secara bergantian. Hari

54  
 
Raya Galungan atau Kuningan oleh masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli

disebut dengan Hari Raya Galungan nadi atau Hari Raya Kuningan nadi.

Pengertian nadi disini adalah tarian tersebut ditarikan bergilir atau sering disebut

dengan jungkat-jungkit, sehingga tarian tersebut bisa selalu dipentaskan setiap

enam bulan sekali. Umumnya, apabila tarian ini sekarang dipentaskan pada waktu

Hari Raya Galungan nadi, maka enam bulan yang akan datang tari Rejang Muani

dipentaskan pada saat Hari Raya Kuningan nadi. Namun tidak selamanya tarian

ini dipentaskan secara bergiliran yaitu sekarang Galungan dan yang akan datang

Kuningan dan seterusnya. Hal tersebut dikarenakan sewaktu-waktu pada perayaan

Hari Raya Galungan atau Hari Raya Kuningan akan pernah jatuh berdekatan

dengan rahinan purnama.

Masyarakat Desa Pakraman Lumbuan mengenal adanya istilah

ngemanisin dalam perayaan rahinan purnama, sehingga perayaannya dilakukan

selama dua hari yaitu ketika rahinan purnama sesuai kalender Bali dan keesokan

harinya (manis purnama). Oleh karena itu, apabila rahinan purnama jatuhnya

berdekatan dengan Hari Raya Galungan atau Hari Raya Kuningan, maka tari

Rejang Muani tidak dipertunjukkan secara bergiliran atau jungkat-jungkit. Sebagai

satu contoh, apabila tari Rejang Muani sekarang dipentaskan pada Hari Raya

Galungan nadi, dan seharusnya enam bulan kemudian dipentaskan pada Hari

Raya Kuningan nadi, namun rahinan purnama jatuhnya berdekatan dengan Hari

Raya Galungan, maka tarian tersebut kembali dipentaskan pada Hari Raya

Galungan dan tetap disebut dengan Hari Raya Galungan nadi. Misalnya rahinan

purnama jatuhnya pada penyajaan Galungan, maka tetap dipentaskan pada Hari

55  
 
Raya Galungan, karena upacara keagamaan pada saat rahinan purnama dilakukan

selama dua hari dengan sarana upakara yang sama. Jika pada Hari Raya Galungan

atau Hari Raya Kuningan tidak berdekatan dengan jatuhnya rahinan purnama,

maka tari Rejang Muani tetap dipertunjukkan secara bergiliran atau jungkat-

jungkit.

Terkait dengan pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa pementasan

tari Rejang Muani dilakukan setiap Hari Raya Galungan nadi atau Kuningan nadi.

Tari Rejang Muani selalu dipentaskan setiap 6 bulan sekali (210 hari sesuai

kalender Bali). Dari keterangan masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, dari dulu

sampai sekarang setiap 6 bulan sekali selalu bertemu dengan Hari Raya Galungan

nadi atau Kuningan nadi, sehingga masyarakat setempat selalu bisa menyuguhkan

tarian ini pada setiap upacara Dewa Yadnya tepatnya pada Hari Raya Galungan

ataupun Hari Raya Kuningan.

Masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, biasanya melaksanakan

upacara agama tersebut selama empat hari berturut-turut pada Hari Raya

Galungan nadi, sedangkan pada Hari Raya Kuningan nadi, upacara dilaksanakan

selama tiga hari berturut-turut. Lebih lanjut, untuk rangkaian pementasan tari wali

di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli selalu sama, yaitu diawali

dengan tari Baris Tombak, selanjutnya tari Rejang Daha, setelah itu tari Mabuang

dan terakhir dipentaskan tari Rejang Muani. Untuk proses upacaranya terdapat

perbedaan pada hari pertama dan hari terakhir saja. Pada saat hari pertama (Hari

Raya Galungan nadi dan Kuningan nadi) masyarakat melakukan tradisi

ngelawang, yakni keliling di wilayah desa tersebut. Dalam tradisi ini, sesuhunan

56  
 
yang berupa Barong Macan dan Barong Ketet yang diarak oleh masyarakat untuk

keliling di Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Dengan kata lain, proses upacara

pada hari pertama diawali dari melakukan tradisi ngelawang dan setelah itu

dilanjutkan dengan mempersembahkan sesajen pada pelinggih pahlawan.

Perbedaan pada hari kedua dan ketiga adalah prosesi upacara diawali dengan

menghaturkan sesajen pada pelinggih pahlawan, karena masyarakat tidak lagi

melaksanakan tradisi ngelawang. Begitu pula dengan hari terakhir, prosesi diawali

dengan menghaturkan sesajen pada pelinggih pahlawan, dan setelah

terselenggaranya tari-tarian wali tersebut maka masyarakat melakukan

sembahyang bersama. Pada hari terakhir, terdapat upacara yang disebut dengan

nyineb sesuhunan (upacara berakhir). Upacara ini dilakukan dengan membawa

senjata penawa sanga serta sesuhunan Pura Puseh mengitari penjor Nawa Sanga

dengan arah berlawanan jarum jam sebanyak 3 kali. Mengitari penjor tersebut ke

arah kiri sebanyak 3 kali putaran yakni berputar melawan arah jarum jam, oleh

masyarakat Desa Pakraman Lumbuan disimbolkan sebagai penutup upacara

keagamaan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut,

Kabupaten Bangli.

Tari Rejang Muani mempunyai kaitan dengan Penjor Nawa Sanga, yang

juga hanya dipersembahkan pada Hari Raya Galungan nadi ataupun Hari Raya

Kuningan nadi. Apabila upacara keagamaan yang dilaksanakan selain Hari Raya

Galungan nadi atau Hari Raya Kuningan nadi, serta Ngusaba kapitu, maka tari

wali yang ditampilkan hanya tari Baris Tombak dan tari Rejang Daha saja, serta

57  
 
tidak mempersembahkan penjor Nawa sanga. Hal tersebut dikarenakan kedua

tarian itu tidak mempunyai kaitan dengan penjor Nawa Sanga.

Penjor Nawa Sanga merupakan salah satu syarat dalam pementasan tari

Rejang Muani, serta menjadi syarat bisa terselenggarakan upacara agama tersebut.

Terdapat 3 tempat pemasangan penjor dalam upacara agama tersebut, yaitu di

jeroan pura menggunakan satu penjor dengan 9 buah cabang, di jaba tengah pura

memakai satu penjor dengan 7 buah cabang, sedangkan di jaba sisi menggunakan

satu penjor dengan 5 buah cabang. Dari ketiga tempat tersebut, yang ada

kaitannya dengan tari Rejang muani hanya penjor yang mempunyai 9 buah

cabang yang disebut dengan penjor Nawa Sanga.

Penjor dilambangkan sebagai simbol gunung dan tanda terima kasih

manusia atas keselamatan, kemakmuran, dan kesejahteraan yang dilimpahkan.

Kaitan penjor Nawa Sanga dengan tari Rejang Muani adalah karena penjor

tersebut dipersembahkan di jeroan pura yang juga merupakan tempat pementasan

tari Rejang Muani, serta mempunyai kaitan dengan gerak pada tarian tersebut.

Begitu erat kaitannya dengan tari Rejang Muani, sehingga antara keduanya tidak

bisa dipisahkan, dengan kata lain, penjor Nawa Sanga tersebut harus ada pada

setiap pertunjukan tari Rejang Muani. Penjor Nawa Sanga hanya dipersembahkan

di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, sedangkan pada upacara

keagamaan di pura-pura lain daerah sekitarnya tidak menggunakan penjor Nawa

Sanga. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, tari Rejang Muani hanya

dipentaskan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli saja, karena

58  
 
kaitannya dengan penjor Nawa Sanga yang juga hanya dipersembahkan di pura

itu saja.

Penjor Nawa Sanga dibuat oleh sekaa truna-truni (sekelompok laki-laki

dan perempuan yang belum menikah). Dalam pembuatan penjor dapat dikatakan

cukup sulit, karena sekaa truna harus mencari bahan-bahan untuk penjor itu

sendiri. Adapun bahan-bahan yang diperlukan adalah ambu muncukan (daun

pohon enau yang masih muda), tiing jlepung (bambu jlepung), tiing jajang

(bambu jajang), biu kayu (pisang kayu) dengan jumlah genap (12 biji, 16 biji, 18

biji dan seterusnya), sampian dan lamak.

Foto 4.4 Sekaa truna mencari bambu untuk membuat penjor Nawa Sanga
Dokumentasi: STT Eka Dharma Jati, 2012

Menurut masyarakat setempat, pembuatan penjor tersebut diibaratkan

sebagai ujian untuk ikut menjadi anggota organisasi desa. Jika sudah mampu

mencari bahan-bahan tersebut, berarti mereka sudah siap untuk menopang beban

yang berat dalam organisasi. Dalam mencari bahan-bahan tersebut, biasanya


59  
 
mereka akan membagi diri 2 orang atau 3 orang secara bergiliran untuk mencari

bahan-bahan tersebut. Walaupun dalam pencarian bahan-bahannya dilakukan

secara membagi diri, namun dalam pembuatan penjor tersebut mereka

mengerjakannya secara bersama-sama.

Foto 4.5 Sekaa truna mencari bambu untuk membuat penjor Nawa Sanga
Dokumentasi: STT Eka Dharma Jati, 2012

Dikatakan pula oleh Bendesa Adat Pakraman Lumbuan, Bangli, apabila

mereka yang baru pertama kali menjadi truna muncuk, mereka akan mendapat

bagian untuk mengangkat bambu pada bagian pangkal, dengan posisi bambu

terlentang, dan ketika bambu diberdirikan mereka juga tetap mendapat bagian

mengangkat bambu pada bagian pangkal. Apabila mereka sudah mampu

mengangkat bambu tersebut, berarti mereka sudah siap untuk memikul tanggung

jawab yang berat. Kegiatan tersebut menjadi kegiatan rutin sekaa truna dan

pemuda Desa Pakraman Lumbuan, Bangli setiap enam bulan sekali. Mereka

60  
 
melakukannya dengan tulus ikhlas dan tidak pernah mengeluh dalam mencari

bahan-bahan untuk penjor Nawa Sanga yang memang sulit untuk dicari.

Foto 4.6. Sekaa truna muncuk membawa bambu untuk bahan penjor Nawa Sanga.
Dokumentasi: STT Eka Dharma Jati, 2011

Penjor Nawa Sanga tidak hanya di buat oleh sekaa truna saja, namun

sekaa truni juga terlibat untuk turut ikut serta membantunya. Sekaa truni bertugas

untuk membuat lamak yaitu jejahitan (rangkaian janur) berbentuk segi empat

panjang yang dipasang pada sanggah penjor. Lamak yang dipasang pada penjor

Nawa Sanga memiliki panjang sekitar 7-8 meter. Lamak tersebut melambangkan

alam semesta, karena berisi hiasan berbentuk seperti air, gunung, tumbuh-

tumbuhan, manusia, matahari dan lain sebagainya. Sekaa truni juga bertugas

untuk membuat sampian penjor yang mempunyai tingkat sesuai dengan jumlah

cabangnya. Penjor yang berada di jaba sisi bertingkat 5, jaba tengah bertingkat 7,

sedangkan yang ada di jeroan pura bertingkat 9. Pada sampian penjor tersebut

diisi banten canang sari sebagai lambang bumi. Pada penjor Nawa Sanga yang
61  
 
dipersembahkan di jeroan pura, menggunakan sampian yang bertingkat 9. Hal itu

dikarenakan penjor tersebut sebagai lambang dari sembilan dewa di penjuru arah

mata angin. Adapun dewa-dewa yang berstana di sembilan penjuru arah mata

angin adalah arah Utara yaitu Dewa Wisnu; arah Selatan yaitu Dewa Brahma;

arah Barat yaitu Dewa Mahadewa; arah Timur yaitu Dewa Iswara; arah Tengah

yaitu Dewa Siwa; arah Timur Laut yaitu Dewa Sambhu; arah Tenggara yaitu

Dewa Mahesora; arah Barat Daya yaitu Dewa Rudra; arah Barat Laut yaitu

Sangkara.

Foto 4.7 Penjor Nawa Sanga


Dokumentasi: Mawan, 2014

Sekaa truna dapat mencari bahan-bahan untuk pembuatan penjor Nawa

Sanga di sekitar daerah Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Bagi masyarakat

setempat yang memiliki bahan-bahan untuk pembuatan penjor seperti tiing, ambu

muncukan, biu kayu, dan lain sebagainya, mereka akan memberikan bahan-bahan

tersebut secara suka rela kepada sekaa truna-truni. Menurut masyarakat setempat,

62  
 
yang susah untuk didapatkan di antara bahan-bahan tersebut adalah ambu

muncukan dan biu kayu yang berjumlah genap tersebut. Untuk mencari ambu

muncukan, sekaa truna harus memanjat pohon enau sampai di ujung, karena

bahan itu terdapat di ujung pohon tersebut. Untuk mencari biu kayu, sekaa truna

harus memanjat dan melihat satu persatu pohon pisang dan hanya memetik buah

dengan jumlah yang sudah ditetapkan saja, yaitu berjumlah 12 biji, 16 biji, 18 biji

dan seterusnya. Pembuatan penjor Nawa Sanga memang terbilang sangat susah,

namun dengan rasa tanggung jawab yang dimiliki oleh sekaa truna-truni, maka

setiap pementasan tari Rejang Muani penjor tersebut selalu bisa terwujud.

Sesuai pernyataan di atas dapat diketahui bahwa, tari Rejang Muani

belum pernah dipentaskan tanpa persembahan penjor Nawa Sanga, karena hal

tersebut merupakan tanggung jawab yang harus selalu dilaksanakan oleh

masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli untuk tetap mempertahankan tradisi

yang mereka miliki. Dari awal muncul tarian ini selalu disajikan dalam konteks

upacara keagamaan (Dewa Yadnya), sebagai tari wali yang dipersembahkan

kepada para Dewata. Untuk pembahasan selanjutnya akan dibahas mengenai

bentuk pertunjukan dari tari Rejang Muani.

4.2 Bentuk Pertunjukan tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman

Lumbuan, Bangli

Tari Bali dapat dikelompokkan menjadi: 1) bentuk tunggal (solo), yaitu

sebuah tarian yang dipentaskan oleh satu orang; 2) bentuk berpasangan (duet),

yaitu sebuah tarian yang dipentaskan oleh dua orang penari; 3) bentuk trio, yaitu

63  
 
tarian yang dipentaskan oleh tiga orang penari; 4) bentuk kwartet (tari kelompok

kecil) yaitu sebuah tarian yang dipentaskan oleh empat orang atau dibawah 10

orang; 5) bentuk kelompok besar (massal), yaitu sebuah tarian yang dipentaskan

secara berkelompok dengan lebih dari 10 orang penari. Dilihat dari koreografinya,

Tari Rejang Muani termasuk ke dalam bentuk pertunjukan tari kelompok

(massal), yang ditarikan dengan melibatkan penari dalam jumlah yang banyak.

Tarian ini ditarikan oleh sekelompok penari laki-laki yang menggunakan tata rias

dan busana sangat sederhana. Begitu pula dengan musik iringannya dan tempat

pementasan juga sangat sederhana, yaitu dipentaskan di halaman jeroan pura

dengan tata lampu yang seadanya saja ( tidak memakai tata cahaya secara khusus).

Dalam pertunjukan tari Rejang Muani yang tergolong sangat sederhana tentu saja

memiliki isi atau makna tersendiri yang penting bagi masyarakat pendukungnya.

Djelantik (2004:15) menyatakan bahwa semua benda atau peristiwa

kesenian mengandung tiga aspek dasar, yakni: wujud atau rupa (appearance),

bobot atau isi (content), penampilan atau penyajian (presentation). Pembagian

mendasar atas pengertian wujud, yakni semua wujud terdiri dari bentuk dan

susunan atau struktur. Terkait dengan pernyataan tersebut maka untuk mengetahui

wujud dalam tari Rejang Muani dapat dilihat dari komponen penari, gerak, tata

rias dan busana, tempat pementasan atau pertunjukan, serta musik iringan tarian

tersebut. Tari Rejang Muani memiliki bentuk pertunjukan yang sangat sederhana.

Adapun komponen pendukung tari Rejang Muani adalah sebagai berikut:

64  
 
4.2.1 Penari tari Rejang Muani

Penari merupakan salah satu bagian penting yang mendukung jalannya

pertunjukan sebuah tarian. Pertunjukan tari tidak dapat berlangsung apabila tidak

ada penari, karena penarilah yang melakukan gerak tarinya. Tari Rejang Muani di

Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli merupakan sebuah tari kelompok

dengan jumlah penari yang banyak. Tari Rejang pada umumnya ditarikan oleh

penari perempuan, namun berbeda dengan tari Rejang Muani yang terdapat di

Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Tarian ini ditarikan oleh sekaa

truna (sekelompok laki-laki yang belum menikah/ beristri), dengan jumlah penari

sekitar 30 sampai 40 orang penari. Jumlah penarinya tidak harus ditentukan,

namun berapapun bisa ikut menarikan tari Rejang Muani, karena hal itu

tergantung dari jumlah sekaa truna yang hadir mengikuti upacara tersebut. Penari

tari Rejang Muani dalam setiap pementasannya dapat berubah-ubah, hal tersebut

dipengaruhi oleh banyak dan sedikitnya sekaa truna yang mengikuti upacara

piodalan tersebut. Artinya, siapapun bisa ikut menarikan tarian ini, asalkan

mereka adalah orang laki-laki dan sudah ikut kedalam organisasi pemuda.

Masyarakat Desa Lumbuan tidak mengharuskan semua sekaa truna

untuk ikut dalam pementasan tarian ini, tetapi biasanya mereka mempunyai

kesadaran sendiri, bahwa mereka mempunyai kewajiban untuk ikut serta

melaksanakan tarian ini, sehingga pada pementasannya selalu ditarikan oleh sekaa

truna dengan jumlah yang banyak. Belakangan ini, tidak hanya sekaa truna saja

yang ikut serta menarikan tari Rejang Muani, namun muda-mudi juga ikut

berperan serta untuk menarikan tarian tersebut. Mereka melakukannya dengan

65  
 
tulus ikhlas serta memang tidak ada persyaratan secara khusus selain batasan

umur dalam menarikan tari Rejang Muani.

Dalam pemilihan penari, untuk ikut menarikan tari Rejang Muani

terdapat batasan umur yaitu 12 tahun keatas, namun tidak ada upacara ritual

secara khusus dalam pemilihan penari, yang terpenting adalah penarinya orang

laki-laki dan masih ikut serta dalam organisasi sekaa truna maupun organisasi

pemuda Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Masyarakat setempat mempunyai

keyakinan bahwa orang laki-laki dianggap masih suci, karena mereka tidak

mengalami datang bulan seperti perempuan. Karena dari dulu sudah ditemui

seperti itu, maka masyarakat tidak berani mengubah atau menggantinya,

masyarakat hanya bisa memelihara dan tetap menjaga keberlangsungan tarian

tersebut. Keyakinan itu diperkuat lagi bagaimana masyarakat setempat juga

berpandangan bahwa hanya orang laki-lakilah yang pada umumnya mampu dan

mempunyai kewajiban dalam membuat penjor Nawa Sanga.

Foto 4.8 Penari sebelum menarikan tari Rejang Muani


Dokumentasi: Dian Arista, 2013
66  
 
4.2.2 Ragam Gerak tari Rejang Muani

Gerak merupakan bahan baku utama atau unsur pokok dalam sebuah tari,

sebagai media untuk mengkomunikasikan maksud-maksud dari sebuah tarian.

Gerak memiliki peranan besar pada suatu tarian, karena apabila gerakan

dirangkai, ditata dan disatukan, maka akan terciptalah sebuah tarian. Gerak-gerak

pada tari Rejang sangat sederhana (polos), dan penuh rasa pengabdian kepada

leluhur. Tari Rejang Muani merupakan sebuah tarian tradisi yang diwariskan

secara turun-temurun oleh masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Gerak

pada tarian ini sangat sederhana yang merupakan ciri dari tarian kuno, karena

tujuannya untuk pengabdian penuh kepada leluhur. Gerak-gerak tarinya tidak

terlalu mementingkan faktor keindahan sehingga masyarakat setempat tidak sulit

dalam mempelajarinya, dan yang lebih dipentingkan adalah rasa pengabdian dan

rasa tulus ikhlas.

Setiap pertunjukan tari Rejang Muani, para penari tidak mendapat

pelatihan secara khusus, dikarenakan mereka sudah terbiasa melihat tarian ini,

serta gerakannya hanya terdiri dari satu gerak dengan arah hadap yang berbeda.

Disamping gerak tarinya mudah untuk dipelajari, para penari mempunyai

tanggung jawab atau kewajiban untuk tetap melestarikan tradisi yang mereka

miliki. Hal tersebutlah yang membuat tarian ini selalu bisa dipentaskan berkaitan

dengan upacara keagamaan (Dewa Yadnya) di Pura Puseh Desa Pakraman

Lumbuan Bangli. Adapun gerak pada tari Rejang Muani adalah sebagai berikut:

Pertama, gerak menghadap arah pojok kiri yaitu kaki kanan berada di

depan kaki kiri (kaki kiri sebagai tumpuan atau kaki disilang), posisi badan

67  
 
dicondongkan ke arah pojok kiri, dengan melihat arah bawah (pandangan ke

bawah), kedua tangan direntangkan ke samping, dengan jari-jari menghadap

kebawah.

Foto 4.9 Penari melakukan gerakan menghadap ke arah pojok kiri


Dokumentasi : Dian Arista, 2013

Kedua, gerak menghadap arah pojok kanan yaitu kaki kiri berada di

depan kaki kanan (kaki kanan sebagai tumpuan atau kaki disilang), posisi badan

dicondongkan kearah pojok kanan dengan melihat ke arah bawah (pandangan

kebawah), kedua tangan direntangkan ke samping, dengan jari-jari kedua tangan

menghadap kebawah. Lebih jelasnya untuk gerakan tarian ini, dapat dilihat pada

gambar di bawah ini.

68  
 
Foto 4.10 Penari melakukan gerakan menghadap ke arah pojok kanan
Dokumentasi : Dian Arista, 2013

Adapun gerak yang digunakan untuk menghubungkan kedua gerak pada

tari Rejang Muani adalah dengan gerak ngelangsut. Ngelangsut merupakan salah

satu istilah dalam tari Bali, yang mempunyai arti gerakan menghadap ke arah

pojok kiri yang seketika berbalik ke arah pojok kanan dengan salah satu kaki

diangkat (kaki kiri), begitu pula sebaliknya. Salah satu contohnya apabila penari

bergerak menghadap ke arah pojok kiri, maka untuk bergerak ke arah samping

kanan mereka harus menggunakan gerakan ngelangsut untuk berpindah arah

hadap.

Dilihat dari geraknya, tarian ini memang mempunyai gerak yang

monoton dan terbilang sangat sederhana karena hanya terdiri dari satu gerak saja.

Penari melakukan gerak yang sama baik ke arah pojok kiri maupun ke arah pojok

kanan. Kesederhanaan gerak pada tarian ini tidak mengurangi makna yang

terkandung dalam tari Rejang Muani tersebut. Gerakan pada tari Rejang Muani

69  
 
dimulai dari penari bergerak menghadap ke arah pojok kiri, kemudian penari

bergerak menghadap pojok kanan. Gerakan tersebut diulang sebanyak sembilan

kali secara bergantian (pojok kiri-pojok kanan) dan berakhir dengan penari

bergerak menghadap ke pojok kiri. Gerak tersebut diulang sebanyak sembilan kali

merupakan kaitannya dengan penjor Nawa Sanga yang juga memiliki sembilan

buah cabang, yang diyakini sebagai lambang dari sembilan dewa di penjuru arah

mata angin. Hal ini dimaksudkan bahwa tari Rejang Muani dipersembahkan

kepada penguasa kesembilan penjuru mata angin, walaupun pada pementasan

tarian ini penari tidak menari ke sembilan arah mata angin. Gerakan pada tarian

tersebut menjadikan tarian ini unik dan berbeda dengan tari Rejang lainnya.

4.2.3 Tata Rias dan Busana tari Rejang Muani

Tata rias merupakan salah satu faktor penting dalam sebuah tarian, dan

juga tata rias dapat mempertegas garis muka, serta dapat memberikan perubahan-

perubahan sehingga mewujudkan gambaran peran yang akan dibawakan dalam

suatu pertunjukan. Secara umum tata rias memang sangat berpengaruh dalam

suatu pementasan, namun berbeda dengan tari Rejang Muani yang dipentaskan di

Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli ini sama sekali tidak menggunakan

alat-alat kosmetika. Menurut salah satu anggota masyarakat Desa Pakraman

Lumbuan, mengatakan bahwa tari Rejang Muani merupakan peninggalan dari

zaman dahulu, dan memang demikian keberadaannya tanpa memakai riasan

wajah.

70  
 
Berkaitan dengan tata rias pada tari Rejang Muani, sebagai tarian yang

lahir pada zaman dahulu, yang masyarakat pada waktu itu menciptakan sebuah

tari terpusat untuk persembahan kepada sang pencipta. Masyarakat tidak berani

untuk mengubah bentuk tarian tersebut, mereka hanya mempunyai kewajiban

untuk tetap melestarikan tari-tarian tradisional supaya tidak mengalami

kepunahan. Walaupun dalam pementasan tari Rejang Muani tidak menggunakan

alat-alat kosmetika, namun tarian ini sangat berarti bagi masyarakat Desa

Pakraman Lumbuan dalam melaksanakan upacara agama di Pura Puseh Desa

Pakraman Lumbuan, Bangli.

Selain tata rias, sebenarnya tata busana juga merupakan salah satu hal

yang perlu diperhatikan dalam penampilan, serta busana merupakan faktor

pendukung yang penting dalam tari Bali. Tata busana akan memberikan kesan

yang indah serta busana atau pakaian dapat menunjukkan kepada penonton

tentang tokoh atau lakon yang dibawakan. Pada umumnya, setiap tarian biasanya

menggunakan tata busana tersendiri, yang dapat memberikan ciri khas pada tarian

tersebut, sehingga dengan melihat busana yang dipakai, penonton sudah

mengetahui tarian apa yang ditampilkan. Sebagian besar tari-tarian tradisional

masih tetap mempertahankan tata busana yang memang mereka terima dari

warisan leluhurnya. Pada tari tradisional lebih mengutamakan rasa pengabdian,

sehingga tidak terlalu memperhitungkan busana yang dipakai. Sungguh berbeda

dengan perkembangan jaman sekarang, dimana busana tarinya terkadang lebih

ditonjolkan.

71  
 
Seperti halnya tari Rejang Muani yang dipentaskan di Pura Puseh Desa

Pakraman Lumbuan, Bangli, tarian ini menggunakan tata busana yang sangat

sederhana. Tata busana yang dipakai yaitu penari hanya menggunakan pakaian

adat ke pura. Mereka memakai baju warna putih, kain warna putih, udeng putih,

dan menggunakan saput berwarna biru muda atau kuning dan menggunakan

selendang. Saput berwarna biru muda/ kuning merupakan salah satu kostum dari

sekaa truna yang dipakai bersama supaya kelihatan seragam atau kompak. Tidak

ada aturan secara pasti kapan harus menggunakan saput berwarnan kuning

maupun biru, karena hanya merupakan kostum dari sekaa truna dan pemuda Desa

Pakraman Lumbuan Bangli dan tidak ada pengaruhnya terhadap persembahan tari

wali tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada foto dibawah ini:

Udeng putih

Baju putih

Saput warna biru

Kamen warna putih

Foto 4.11 Pakaian adat ke pura sekaa truna dan pemuda Desa Pakraman
Lumbuan
Dokumentasi: Raka Wiguna, 2011
72  
 
Foto diatas merupakan pakaian adat ke pura sekaa truna dan pemuda

dengan memakai saput berwarna biru. Adapun pakaian adat ke pura sekaa truna

maupun pemuda Desa Pakraman Lumbuan, Bangli yang memakai saput berwarna

kuning dapat dilihat pada foto dibawah ini:

Udeng putih

Baju putih

Saput warna kuning

Kamen warna putih

Foto 4.12 Pakaian adat ke pura sekaa truna dan pemuda Desa Pakraman
Lumbuan
Dokumentasi: Raka Wiguna, 2014

Semua perlengkapan tersebut dibebankan kepada penari, hanya saja para

penari tidak membawa selendang dari rumahnya masing-masing, karena

selendang yang digunakan dalam pementasan tari Rejang Muani sudah disediakan

di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Selendang yang digunakan

berwarna merah muda atau dadu, merupakan perpaduan dari warna putih dan

merah. Warna dari selendang yang dipakai pada pementasan tari Rejang Muani

tersebut tidak selamanya seperti itu, artinya dalam kurun waktu tertentu warnanya

bisa berubah atau diganti. Walaupun warna selendang yang dipakai berubah-ubah,
73  
 
namun tetap tidak mengurangi makna dari tarian tersebut, karena selendang yang

dipakai disimbolkan sebagai pemberian rasa penghormatan kepada para leluhur.

Foto 4.13 Selendang pada tari Rejang Muani


Dokumentasi: Mawan, 2014

Tidak ada upacara secara khusus pada waktu penggantian selendang,

pergantian selendang dilakukan apabila selendang yang sebelumnya sudah dalam

keadaan rusak dan sudah tidak layak pakai. Cara penggunaan selendang pada tari

Rejang Muani berbeda dengan penggunaan selendang pada tari Rejang lainnya,

misalnya tari Rejang Dewa yang penggunaan selendangnya adalah di dada penari

dan terurai panjang di sebelah kanan. Adapun cara penggunaan selendang pada

tarian ini adalah di slempang, yaitu diikatkan di dada penari dan selanjutnya

disilangkan ke lehernya. Penggunaan selendang seperti itu memang sudah

didapatkan secara turun-temurun dan sampai sekarang masyarakat Desa Pakraman

Lumbuan tetap melestarikan tradisi yang mereka miliki. Selendang yang

digunakan tersebut disimpan di sebuah Bale (tempat) yang disebut dengan Bale

74  
 
Pesanekan bersamaan dengan disimpannya pakaian tari lainnya, seperti pakaian

topeng. Agar lebih jelasnya penggunaan selendang pada tarian ini dapat dilihat

pada foto dibawah ini.

Foto 4. 14 Penggunaan selendang tampak dari depan dan belakang


Dokumentasi: Mawan, 2014

Pada pementasan tari Rejang Muani dari dulu memang hanya memakai

pakaian adat ke pura, namun hanya saja biasanya terdapat perubahan pada saput

yang digunakan oleh penari. Biasanya selang beberapa waktu sekaa truna akan

mengganti warna saputnya dengan warna yang berbeda tergantung dengan selera

mereka. Seperti halnya dengan warna selendang, walaupun warna saput yang

dipakai juga mengalami perubahan, namun tidak mengurangi fungsi tarian ini

sebagai tari wali.

Tata rias dan tata busana dalam sebuah tarian merupakan dua serangkai

yang tidak dapat dipisahkan untuk penyajian suatu tarian. Tata rias dan tata

busana sangat berkaitan erat dengan warna, karena warna dalam seni pertunjukan
75  
 
berkaitan dengan tokoh yang dibawakan. Pada tari Rejang Muani, yang

merupakan sebuah tari upacara yang dalam pementasannya tidak memakai lakon

sehingga tidak ada penokohan di dalam tarian ini. Warna yang terdapat pada

busana atau pakaian tarian ini, menggunakan warna putih, kuning, biru dan merah

muda. Warna putih memberi kesan muda dan memiliki arti simbolis kesucian.

Warna kuning mempunyai makna keseimbangan, keagungan dan kesucian. Warna

biru mempunyai kesan keseimbangan alam, ketentraman, dan memiliki arti

simbolis kesetiaan. Warna merah muda atau dadu memiliki makna penyatuan

antara gunung dan matahari, keseimbangan alam. Warna-warna dari tata busana

yang digunakan merupakan simbolis warna-warna para Dewata Nawa Sanga.

Pada pementasan tari Rejang Muani memang memakai pakaian adat ke

pura saja, dari awal muncul dan sampai sekarang masih memakai pakaian seperti

itu, Meskipun sekarang ini sudah zaman globalisasi, namun masyarakat Desa

Pakraman Lumbuan, Bangli tetap mempertahankan tradisi mereka. Pada tata

busana tarian ini, hanya mengalami perkembangan pada saput yang digunakan.

Walapun mengalami perubahan, namun tidak terlalu signifikan, karena perubahan

tersebut hanya terletak pada warnanya saja.

4.2.4 Musik Iringan tari Rejang Muani

Seni musik tidak bisa lepas dari seni pertunjukan, khususnya seni tari

yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Hal ini dikarenakan musik berfungsi

sebagai iringan yang mengikuti irama gerak tari, sebagai pembentuk suasana,

sebagai ilustrasi yang memberikan tekanan-tekanan serta menguatkan gerak-gerak

76  
 
tertentu. Pada pementasan tari Rejang Muani, musik iringan berfungsi sebagai

pembentuk suasana dan sebagai ilustrasi saja, namun walaupun begitu gerak yang

dilakukan tetap mengikuti irama, tempo, maupun angsel dari musik tersebut.

Gamelan Bali hanya menggunakan satu dari dua laras yang ada yaitu

selendro atau pelog. Gong Gede merupakan salah satu gamelan yang

menggunakan laras pelog lima nada. I Wayan Dibia mengatakan bahwa Gong

Gede termasuk barungan ageng (besar) namun langka, yang melibatkan antara

40-50 orang pemain serta hanya ada di beberapa daerah saja. Gamelan ini

biasanya dipakai untuk memainkan tabuh-tabuh lelambatan dan dimainkan untuk

mengiringi tari upacara seperti Rejang, Baris, dan Pendet (1999:116).

Gamelan ini disebut dengan Gong Gede karena terdiri dari berbagai jenis

instrumen perkusi dalam jumlah yang cukup banyak. Gamelan ini merupakan

perangkat gamelan Bali yang terbesar, baik dari jumlah pemainnya atau penabuh,

maupun dari perangkat instrumennya (Sugiartha, 2008:106-107).

Foto 4.15 Musik pengiring tari Rejang Muani


Dokumentasi: Mawan, 2014
77  
 
Gamelan Gong Gede terdiri dari instrumen trompong, reyong, ponggang,

kempli, bende, kempur, gong lanang wadon, gangsa jongkok, jublag, jegogan,

kendang, dan cengceng kopyak. Gamelan Gong Gede tersebut merupakan warisan

leluhur yang hingga sekarang keberadaannya disakralkan dan merupakan salah

satu aset yang berharga yang terdapat di Desa Pakraman Lumbuan, Bangli.

Masyarakat Desa Lumbuan, Bangli memakai Gong Gede untuk

mengiringi upacara di pura-pura (upacara Dewa Yadnya). Tari Rejang Muani

menggunakan musik iringan yang berupa gamelan Gong Gede dengan gending

Gilak Sasak 16 ketukan, dan gamelannya bersamaan munculnya dengan tari

Rejang Muani tersebut ( Wawancara dengan Sang Komang Martahadi pada

tanggal 2 September 2013, di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan pada pukul

19.00-20.00 WITA).

Musik iringan tari Bali pada umumnya menggunakan tempo yang

berbeda-beda dan bervariasi dari pelan, sedang dan cepat ( Dibia, 2013:120).

Sesuai dengan pernyataan tersebut, musik pengiring dari tari Rejang Muani

menggunakan tempo yang lambat pada awal pertunjukan dan tempo lebih cepat

pada akhir pertunjukan. Adanya perubahan tempo dari lambat ke lebih cepat

tersebut, merupakan suatu tanda bahwa pementasan tari Rejang Muani akan

berakhir.

4.2.5 Tempat Pementasan tari Rejang Muani

Tempat atau arena pentas umumnya disebut dengan kalangan.

Sebagaimana diketahui bahwa pementasan suatu pertunjukan bisa dilakukan di

78  
 
mana-mana, namun pada tari upacara kalangan merupakan sebuah tempat yang

khusus. Hal tersebut dapat dilihat dari perlakuan masyarakat terhadap tempat

pertunjukkan tersebut. Sebelum digunakan untuk pementasan, terlebih dahulu

kalangan disucikan dengan percikan tirta (air suci) serta mempersembahkan

banten kalangan (banten pejati). Tujuannya adalah untuk menjadikan tempat

tersebut bersih dan terbebas dari gangguan-gangguan makhluk yang tidak kasat

mata.

Foto 4.16 Tempat pementasan tari Rejang Muani


Dokumentasi : Mawan, 2014

Tempat pementasan tari Rejang Muani dilakukan di jeroan pura

(halaman utama pura). Penari keluar dari arah Selatan dan mereka menari di

depan penjor Nawa Sanga, menghadap ke arah Utara atau menari di depan

pelinggih utama. Mereka menari menghadap ke arah benda-benda suci yang

disakralkan oleh masyarakat, sehingga penari dapat tampil dengan penuh

79  
 
konsentrasi dan menari dengan rasa pengabdian yang tulus. Pementasannya

dikelilingi oleh penonton atau masyarakat setempat, sehingga antara penari

dengan penonton menimbulkan hubungan perasaan secara langsung. Para

penonton dapat melihat tarian ini dari segala arah, karena tidak ada pembatas

antara penari dengan penonton. Pementasan tari Rejang Muani dilakukan pada

malam hari dengan disinari lampu seadanya, karena tidak menggunakan tata

lampu secara khusus.

Pertunjukan tari Rejang Muani tidak tampak adanya penggunaan pola

lantai seperti tari Rejang pada umumnya. Tari Rejang pada umumnya biasanya

terdapat pola lantai yang membentuk lingkaran (melingkar), lurus, sejajar atau

berbaris, menghadap arah pojok dan sebagainya. Pada tarian ini hanya

menggunakan pola lantai berbaris yaitu penari hanya bergerak di tempat saja, hal

tersebut dikarenakan pada motif gerak pada tari Rejang Muani tidak terdapat

gerakan untuk berjalan atau berpindah tempat untuk mengubah pola lantai.

Kendatipun pada tari Rejang Muani hanya memakai satu pola lantai, yaitu hanya

berbaris, namun arah hadapnya sewaktu-waktu berubah yakni penari dari

menghadap arah depan berubah menghadap ke arah pojok kanan depan, berubah

lagi ke arah pojok kiri depan, dan kembali menghadap arah depan.

4.3 Fungsi tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan,

Bangli

Seni merupakan bagian dari agama, tujuan utama dari seni tersebut

adalah untuk menghormati kebesaran Tuhan Hyang Maha Esa/ Ida Sang Hyang

80  
 
Widhi Wasa. Hal tersebutlah sebagai penguat sehingga seni bisa bertahan hidup

sampai sekarang ini. Disamping itu, masyarakat pendukung seni terus

memfungsikan seni tersebut dan mengharuskan setiap pelaksanaan upacara

keagamaan untuk mementaskan seni, khususnya seni tari. Yudabakti dan Watra

(2007:64-65) menyatakan bahwa, menurut keputusan Seminar Seni Sakral dan

Profan bidang seni tari yang diadakan oleh Proyek Pemeliharaan dan

pengembangan Kebudayaan Daerah Bali, yang diselenggarakan pada tanggal 24

Maret 1971 di Denpasar. Memutuskan pembagian tari Bali menurut fungsinya

yakni:

1. Seni tari Wali adalah seni tari yang dipentaskan di pura-pura dan ditempat

yang ada hubungannya dengan upacara agama, sebagai pelaksana upacara dan

upacara agama yang pada umumnya tidak memakai lakon.

2. Seni tari Bebali adalah tari yang berfungsi sebagai pengiring upacara dan

upakara di pura-pura, serta pada umumnya mambawakan lakon.

3. Seni tari Balih-balihan adalah segala jenis tari Bali yang mempunyai unsur-

unsur dasar dari seni tari yang luhur yang tidak tergolong tari wali dan bebali

dapat dimasukkan ke dalam kelompok tari balih-balihan.

Berdasarkan pernyataan di atas, pertunjukan yang tergolong dalam seni

upacara, baik seni wali atau bebali pada dasarnya memiliki nilai religius dan

bersifat sakral, serta dalam pertunjukannya didasarkan pada konsep desa, kala,

dan patra (tempat, waktu, dan keadaan). Tujuan pertunjukan lebih difokuskan

pada kepentingan upacara Dewa Yadnya daripada hiburan untuk penonton. Hal

tersebut sangat berbanding terbalik dengan seni tontonan atau balih-balihan, yang

81  
 
cenderung lebih menonjolkan unsur keindahan dan dalam pertunjukannya tidak

terikat oleh batasan tempat, waktu dan keadaan.

Fungsi seni pertunjukan bagi masyarakat pendukungnya dapat dibagi

menjadi dua yaitu, seni sebagai fungsi primer dan fungsi sekunder (Soedarsono,

2004:170-173). Salah satu fungsi primer atau utama dari seni pertunjukan yaitu:

sebagai sarana ritual, sedangkan untuk fungsi sekunder adalah sebagai pengikat

solidaritas sekelompok masyarakat. Berkaitan dengan fungsi pada tari Rejang

Muani bagi masyarakat Desa Lumbuan, Bangli adalah tarian ini memiliki dua

fungsi, yakni sebagai tari wali atau sarana ritual, dan berfungsi sebagai pengikat

solidaritas masyarakat pendukungnya.

4.3.1 Fungsi wali tari Rejang Muani

Jika dimasukkan ke dalam klasifikasi tari Bali, tari Rejang Muani

termasuk ke dalam jenis seni tari wali. Hal ini tersirat dari hubungan yang sangat

erat dengan upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan,

Bangli, dan diyakini tanpa adanya tarian ini upacara tersebut dianggap kurang

sempurna. Pementasan tari Rejang Muani digunakan sebagai media persembahan

dan pemujaan Tuhan Yang Maha Esa, dengan tujuan agar diberikan perlindungan,

keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup pada umatnya.

Tari Rejang Muani wajib dipertunjukkan setiap piodalan di Pura Puseh

Desa Pakraman Lumbuan, Bangli karena tarian ini berfungsi sebagai sarana di

dalam pelaksanaan upacara di pura tersebut. Sesuai dengan fungsinya sebagai

sarana ritual, tari Rejang Muani dipentaskan di jeroan pura (halaman utama pura)

82  
 
dan tidak pernah dipentaskan di luar dari upacara Dewa Yadnya selain di Pura

Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Tanpa pertunjukan tari Rejang Muani,

maka proses upacara dikatakan belum selesai, sehingga dapat dikatakan dengan

tegas oleh masyarakat pendukungnya bahwa tari Rejang Muani merupakan sarana

upacara pada piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Sampai

saat ini, tari-tarian wali masih tetap bertahan dan lestari, karena masyarakat

pendukungnya tidak berani mengubah atau meninggalkan begitu saja. Hal tersebut

dikarenakan masyarakat mempunyai keyakinan, jika tarian tersebut ditinggalkan,

maka akan terjadi malapetaka bagi kehidupan masyarakat Desa Pakraman

Lumbuan, Bangli.

4.3.2 Fungsi sosial tari Rejang Muani

Fungsi tari Rejang Muani tidak hanya semata-mata sebagai tari upacara

keagamaan atau tari wali, namun juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai pengikat

solidaritas masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Di bidang sosial tarian

ini berfungsi sebagai pemersatu masyarakat pendukungnya. Dalam fungsinya

sebagai tari pengikat sosial, dikaitkan dengan tari Rejang Muani bila dilihat dari

asal tempat hidup dan berkembangnya adalah di lingkungan masyarakat. Segala

sesuatu yang berhubungan dengan pertunjukan tari Rejang Muani selalu

melibatkan masyarakat pendukungnya. Tarian ini bisa dijadikan sebagai

pemersatu sosial masyarakat Desa Lumbuan, Bangli, karena ketika pementasan

tari Rejang Muani, masyarakat senantiasa melakukan gotong royong dalam

mempersiapkan segala keperluan untuk pelaksanaan upacara di Pura Puseh Desa

83  
 
Pakraman Lumbuan, Bangli. Begitu juga dalam pelaksanaan upacara yang disertai

pementasan tari Rejang Muani, banyak melibatkan organisasi sosial seperti sekaa

truna-truni, muda-mudi, serta seluruh masyarakat setempat. Semua anggota

masyarakat Desa Pakraman Lumbuan Bangli, dalam menyelenggarakan upacara

tersebut harus melibatkan diri dengan tanpa mendapatkan upah. Kegiatan yang

dilakukan secara sukarela tersebut dalam bahasa Bali disebut dengan ngayah.

Kegiatan ngayah, dapat dilihat dari dimulainya masyarakat menyiapkan

perlengkapan-perlengkapan yang dibutuhkan dalam upacara tersebut. Masyarakat

mempunyai kewajiban dalam mempersiapkan segala sesuatu dalam kegiatan

upacara agama di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, apabila mereka

tidak hadir dalam kegiatan ngayah, maka mereka akan dikenakan sangsi sesuai

dengan aturan atau awig-awig yang sudah disepakati. Biasanyaa mereka akan

dikenakan denda sesuai dengan jumlah ketidak hadirannya. Meskipun mereka

mampu membayar denda, namun dalam kehidupan masyarakat tidak pernah

terlibat pada kegiatan ngayah, maka mereka bisa dikucilkan oleh masyarakat

lainnya.

Dalam pementasan tari Rejang Muani, banyak orang yang ikut terlibat di

dalamnya, khususnya sekaa truna-truni memiliki peran penting dalam

mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan dalam pementasan tarian ini.

Dalam kebersamaan inilah dapat menimbulkan kondisi yang harmonis dan saling

membantu untuk terlaksananya upacara di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan,

Bangli. Sekaa truna-truni secara bersama-sama membuat Penjor Nawa Sanga

yang merupakan syarat dari bisa terlaksananya pementasan tari Rejang Muani.

84  
 
Pembuatan penjor tersebut memerlukan bahan-bahan yang cukup sulit

didapatkan. Bahan-bahan tersebut harus dicari sendiri oleh sekaa truna-truni yang

mendapatkan giliran untuk membawanya. Dalam pembuatan penjor tersebut,

sekaa truna-truni akan membagi diri untuk membawa bahan-bahan yang

diperlukan, hal itu dilakukan supaya semua sekaa truna-truni memahami betapa

berat dan sulitnya dalam mencari bahan-bahan untuk penjor Nawa Sanga. Dari

kegiatan dan usaha itulah timbul rasa kebersamaan sebagai sarana pengikat

solidaritas masyarakat, khususnya bagi truna-truni yang nantinya sebagai generasi

penerus dalam desa setempat. Pada kegiatan gotong royong atau bekerjasama

untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam upacara keagamaan,

tentunya akan terjalin komunikasi antara masyarakat pendukungnya. Dengan

adanya komunikasi yang baik tersebut akan mewujudkan rasa saling menghargai

dan menghormati sesama masyarakat setempat, sehingga dapat menghasilkan

kehidupan yang harmonis diantara mereka.

85  
 
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari uraian yang dipaparkan dalam pembahasan, dapat disimpulkan

bahwa tari Rejang Muani merupakan sebuah tari upacara, yang dipentaskan oleh

masyarakat Desa Lumbuan pada upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa

Pakraman Lumbuan, Bangli. Tarian ini berbentuk tari massal atau kelompok,

yang ditarikan sekitar 30 sampai 40 orang penari laki-laki (sekaa truna).

Tari Rejang Muani memiliki penampilan yang sangat sederhana, hal

tersebut dapat dilihat dari penari tidak memakai riasan wajah, serta busananya

yang hanya menggunakan pakaian adat ke pura saja. Selain itu, gerak-gerak yang

ditampilkan dalam tarian ini juga tergolong sederhana, yaitu hanya berupa gerak

mencondongkan badan kedepan (penghormatan), dibarengi dengan merentangkan

kedua tangan ke arah samping kanan dan kiri. Gerakan tersebut diulang-ulang

sebanyak sembilan kali, karena gerakan tarinya memiliki kaitan dengan penjor

Nawa Sanga yang juga memiliki sembilan buah cabang. Gerak ke pojok kanan

depan dan pojok kiri depan, dihubungkan dengan sebuah gerak yang dalam tari

Bali biasa disebut gerakan nengkleng. Penjor tersebut merupakan lambang dari

para dewa penguasa di kesembilan penjuru arah mata angin. Selain itu, tempat

pertunjukan tarian ini juga sederhana, yakni ditarikan di halaman pura, tanpa

menggunakan dekorasi. Tarian tersebut ditarikan menghadap ke Utara yaitu di

depan atau berhadap-hadapan dengan pelinggih utama dan penjor Nawa Sanga.
86  
 
Dilihat dari fungsinya, tari Rejang Muani memiliki dua fungsi yaitu

pertama sebagai sarana ritual atau sebagai tari wali, yang kedua sebagai pengikat

solidaritas masyarakat Desa Pakraman Lumbuan Bangli. Sebagai sarana ritual, tari

Rejang Muani selalu dipentaskan hanya dalam kaitannya dengan upacara Dewa

Yadnya di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan. Fungsi kedua yaitu sebagai

pengikat solidaritas masyarakat, dapat terlihat dari kegiatan masyarakat dalam

mempersiapkan kebutuhan upacara maupun perlengkapan dalam pementasan tari

Rejang Muani. Dalam mempersiapkan perlengkapan upacara, sekaa truna-truni

memiliki peran yang sangat penting, yaitu dalam membuat penjor Nawa Sanga,

sehingga dengan adanya gotong royong tersebut akan mampu mempererat tali

persaudaraan bagi sekaa truna-truni Desa Lumbuan.

5.2 Saran-saran

Selama melaksanakan penelitian secara langsung di Desa Pakraman

Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, ada beberapa saran yang kiranya

perlu untuk diperhatikan dan dipertimbangkan bersama agar kesenian tari Rejang

Muani mampu bertahan dan tetap lestari, diantaranya:

Mengingat tari Rejang Muani mempunyai peranan yang sangat penting

dalam pelaksanaan upacara keagamaan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan,

maka tarian ini harus tetap dipelihara kelangsungannya. Walaupun tari Rejang

Muani dalam penyajiannya sangat sederhana, tapi kelestarian tarian ini harus tetap

dijaga. Selain itu, tarian ini harus tetap dipertahankan hanya sebagai tari wali,

dengan tidak mengalih fungsikan sebagai tari pertunjukan untuk wisata. Pada

87  
 
musik iringan tari Rejang Muani perlu diadakan regenerasi penabuh, agar

kelestarian musik iringan bisa tetap terjaga. Para penabuh yang lanjut usia harus

membuat kader-kader baru, sehingga yang muda akan dapat melanjutkan

kehidupan pengiring tarian tersebut. Dengan demikian kelestarian dan

keberlangsungan tari Rejang Muani ini akan dapat diupayakan secara

berkelanjutan. Semua masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli harus tetap

melestarikan tari Rejang Muani, karena tari ini merupakan peninggalan budaya

bangsa.

88  
 
DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, I Nyoman Mider. 2012. Arti dan Fungsi Banten. Denpasar: Pustaka
Bali Post

Bandem, I Made. 1983. Ensiklopedi Tari Bali. Denpasar: ASTI Denpasar.

. 1996. Etnologi Tari Bali. Yogyakarta: Kanisius

Bandem, I Made, & Fredrik Eugene de Boer. 2004. Kaja dan Kelod Tarian Bali
dalam Transisi Terjemahan I Made Marlowe Makaradhawaja. Kaja
and Kelod Balinese Dance in Transition. Yogyakarta: Institut Seni
Indonesia Yogyakarta.

Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana

Dibia, I Wayan. 1999. Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali. Bandung:


Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

. 2004. Pragina; Penari, Aktor, dan Pelaku Seni Pertunjukan Bali.


Malang: Sava Media

____________. 2012. Geliat Seni Pertunjukan Bali. Denpasar: Buku Arti

____________. 2013. Puspasari Seni Tari Bali. Denpasar: UPT. Penerbitan ISI
Denpasar.

Djelantik, A.A.M. 2004. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni


Pertunjukan Indonesia.

Hadi, Y. Sumandiyo. 2000. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Yayasan


untuk Indonesia.

_____________. 2007. Sosiologi Tari : Sebuah Pengenalan Awal. Yogyakarta:


Pustaka.

89  
 
Hidayat, Robby. 2009. Pengetahuan Seni Tari. Malang: Universitas Negeri
Malang, Fakultas Sastra, Jurusan Seni dan Desain, Program Studi
Pendidikan Seni Tari.

Koentjaraningrat. 1977. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT


Gramedia.

_____________. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

Moleong, Lexy J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Patilima, Hamid. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Raco, J.R.2010. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik, dan


Keunggulannya. Jakarta: Grasindo

Soedarsono. 1998. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Jakarta:


Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

_________. 2001. Metode Penelitian: Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung:
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Soehardjo, A. J. 2012. Pendidikan Seni : Dari Konsep Sampai Program. Malang:


Universitas Negeri Malang, Fakultas Sastra, Jurusan Seni dan Desain,
bekerjasama dengan Bayu Media Publishing.

Suastri, Luh Mas. 1985. “Tari Rejang Ayunan di Desa Pupuan”. Skripsi Strata I
(S-I) Akademi Seni Tari Indonesia Denpasar.

Sudira, Made Bambang Oka. 2010. Ilmu Seni Teori Dan Praktik. Jakarta: Inti
Prima Promosindo.

Sugiartha, I Gede Arya. 2008. Gamelan Pegambuhan “Tambang Emas”


Karawitan Bali. Denpasar: ISI Denpasar dan Sari Kahyangan.

Widana, I Gusti Ketut. 2012. Penjor Lebay. Denpasar: PT Offset BP Denpasar

90  
 
Yudabakti, I Made & Wayan Watra. 2007. Filsafat Seni Sakral dalam
Kebudayaan Bali. Surabaya: Penerbit Paramita Surabaya.

91  
 

Anda mungkin juga menyukai