Kasus 1 PBL Sistem Integumen-Kelompok 1
Kasus 1 PBL Sistem Integumen-Kelompok 1
Kasus 1 PBL Sistem Integumen-Kelompok 1
Oleh
Kelompok 1 Kelas A
Nurul Niken Kasim 841417001
Felia Pandeirot 841417003
Sitti Juniarti J. Paramata 841417004
Nur ain A. Humalanggi 841417014
Yuditia Audina 841417019
Salim Dalanggo 841417021
Irmayani Hulopi 841417022
Adriani Yusuf 841417028
Faradila Mohamad 841417030
Sukmawati Passi 841417038
Cindy Pratiwi Ismail 841417042
Sukri Nasaru 841417069
Muhammad Rizaldi Kaharu 841417116
Candra Resianto 841417167
1
BAB I
SEVEN JUMP
KASUS 1
“BINTIL KEMERAHAN”
3
e) Nadi
Nadi adalah suatu gelombang yang teraba pada arteri bila darah di pompa
keluar jantung. Denyut ini mudah diraba di suatu tempat dimana ada arteri
melintas. (Sandi, 2016).
f) Pernapasan
Pernapasan adalah proses keluar dan masuknya udara ke dalam & ke luar
paru. Pernapasan adalah proses ganda, yaitu terjadinya petukaran gas dalam
jaringan atau “pernafasan dalam” dan yang terjadi di dalam paru-paru yaitu
“pernafasan luar”. Dari hasil pengukuran frekuensi pernafasan biasa disebut
eupnea, sedangkan jumlah pernafasan yang melebihi rata-rata disebut
tachyonea dan lebih rendah dari rata-rata jumlah pernafasan biasa disebut
bradypena.
Tabel klasifikasi pernafasan
RR Klasifikasi
<12 Bradipnea
14-20 Eupnea
>20 >20
Takipnea (napas cepat)
BINTIL
KEMERAHAN
Nama Penyakit
Manifestasi Klinis Pityriasis Acne
Dermatitis
Rosea Vulgaris
Bintil kemerahan -
Nyeri -
Gatal -
Pustule -
Demam -
7
merangsang serabut saraf dan menyebabkan nyeri. Peradangan memang
akan menimbulkan rasa tidak nyaman, tetapi hal ini penting dalam
proses penyembuhan (Yuliana elin, 2014)
9
peniliti waktu 24 jam sudah memadai untuk kesemuanya, sehingga
ditetapkan sebagai standar.
3) Kemudian bahan tes dilepas dan kulit pada tempat tempelan tersebut
dibaca tentang perubahan atau kelainan yang terjadi pada kulit. Pada
tempat tersebut bisa kemungkinan terjadi dermatitis berupa: eritema,
papul, oedema atau fesikel, dan bahkan kadang-kadang bisa terjadi
bula atau nekrosis.
Setelah 48 jam bahan tadi dilepas. Pembacaan dilakukan 1525 menit
kemudian, supaya kalau ada tanda-tanda akibat tekanan, penutupan dan
pelepasan dari Unit uji temple yang menyerupai bentuk reaksi, sudah
hilang (Djuanda, 2017).
11
BAB II
KONSEP MEDIS
A. DEFINISI
Dermatitis merupakan inflamasi kullit dan muncul dalam beberapa bentuk,
yaitu atopik, seboreik, numular, kontak, neurodermatitis, setempat (licben
simplex cbronicus), dan stasis. Dermatitis adalah peradangan pada kulit
(inflamasi pada kulit) yang disertai dengan pengelupasan kulit arid an
pembentukan sisik. Jadi dermatitis adalah peradangan kulit yang ditandai oleh
rasa gatal. (Paramita,dkk.2011)
B. ETIOLOGI
1. Tidak diketahui
2. Hal-hal yang mempermudah : respons terhadap keringat, stres psikologis,
dan suhu dan kelembaban ekstrem
3. Alergi makanan (telur, kacang, susu, dan gandum) pada sekitar 10% dari
kasus yang menyerang anak-anak
4. Predisposisi genetik yang diperburuk dengan alergi makanan, infeksi, zat
kimia yang mengiritasi, suhu dan kelembaban, dan emosi.
5. Penyebab sekunder: iritasi yang terlihat mengubah struktur epidermal,
sehingga menyebabkan peningkatan aktivitas imunoglobulin (Ig) E
(Paramita,dkk.2011)
C. KLASIFIKASI
Berikut beberapa tipe dermatitis.
1. Dermatitis atopik (ekzema atopik atau infantil), merupakan respons
inflamatorik kronis atau rekuren yang umumnya berkaitan dengan
penyakit atopik lain, misalnya asma bronkial dan rinitis alergik. Dermatitis
ini biasanya menyerang bayi dan anak-anak berusia 1 bulan sampai 1
tahun, umumnya yang memiliki riwayat kuat mengalami penyakit atopik
dan keluarganya. Anak-anak ini biasanya memperoleh gangguan atopik
lain saat mereka bertambah usia. Biasanya, bentuk dermatitis ini akan
menjadi parah dan mereda berulang-ulang sebelum akhirnya sembuh saat
masa remaja. Akan tetapi, dermatitis ini bisa bertahan sampai pasien
dewasa. (Paramita,dkk.2011)
13
4. Dermatitis numular, bentuk dermatitis subakut yang ditandai dengan
inflamasi berbentuk koin, bersisik, dan berpetak vesikular, biasanya sangat
gatal.(paramita,dkk.2011)
E. PATOFISIOLOGI
Pada dermatitis kontak iritan kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel
yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi maupun fisik. Bahan
iritan merusak lapisan tanduk, dalam beberapa menit atau beberapa jam
bahan-bahan iritan tersebut akan berdifusi melalui membran untuk merusak
lisosom, mitokondria dan komponen-komponen inti sel. Dengan rusaknya
membran lipid keratinosit maka fosfolipase akan diaktifkan dan
membebaskan asam arakidonik akan membebaskan prostaglandin dan
leukotrin yang akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan transudasi
dari faktor sirkulasi dari komplemen dan system kinin. Juga akan menarik
neutrofil dan limfosit serta mengaktifkan sel mast yang akan membebaskan
histamin, prostaglandin dan leukotrin. PAF akan mengaktivasi platelets yang
15
akan menyebabkan perubahan vaskuler. Diacil gliserida akan merangsang
ekspresi gen dan sintesis protein. Pada dermatitis kontak iritan terjadi
kerusakan keratisonit dan keluarnya mediator- mediator. Sehingga perbedaan
mekanismenya dengan dermatis kontak alergik sangat tipis yaitu dermatitis
kontak iritan tidak melalui fase sensitisasi.Ada dua jenis bahan iritan yaitu :
iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada
pajanan pertama pada hampir semua orang, sedang iritan lemah hanya pada
mereka yang paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang. Faktor
kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan dan oklusi,
mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut.
Pada dermatitis kontak alergi, ada dua fase terjadinya respon imun tipe IV
yang menyebabkan timbulnya lesi dermatitis ini yaitu :
a. Fase Sensitisasi
Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada
fase ini terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka,
oleh bahan kontaktan yang disebut alergen kontak atau pemeka. Terjadi
bila hapten menempel pada kulit selama 18-24 jam kemudian hapten
diproses dengan jalan pinositosis atau endositosis oleh sel LE
(Langerhans Epidermal), untuk mengadakan ikatan kovalen dengan
protein karier yang berada di epidermis, menjadi komplek hapten protein.
Protein ini terletak pada membran sel Langerhans dan berhubungan
dengan produk gen HLA-DR (Human Leukocyte Antigen-DR). Pada sel
penyaji antigen (antigen presenting cell). Kemudian sel LE menuju
duktus Limfatikus dan ke parakorteks Limfonodus regional dan terjadilah
proses penyajian antigen kepada molekul CD4+ (Cluster of
Diferantiation 4+) dan molekul CD3. CD4+berfungsi sebagai pengenal
komplek HLADR dari sel Langerhans, sedangkan molekul CD3 yang
berkaitan dengan protein heterodimerik Ti (CD3-Ti), merupakan
pengenal antigen yang lebih spesifik, misalnya untuk ion nikel saja atau
ion kromium saja.Kedua reseptor antigen tersebut terdapat pada
permukaan sel T. Pada saat ini telah terjadi pengenalan antigen (antigen
recognition). Selanjutnya sel Langerhans dirangsang untuk mengeluarkan
IL-1 (interleukin-1) yang akan merangsang sel T untuk mengeluarkan IL-
2. Kemudian IL-2 akan mengakibatkan proliferasi sel T sehingga
terbentuk primed me mory T cells, yang akan bersirkulasi ke seluruh
tubuh meninggalkan limfonodi dan akan memasuki fase elisitasi bila
kontak berikut dengan alergen yang sama. Proses ini pada manusia
berlangsung selama 14-21 hari, dan belum terdapat ruam pada kulit. Pada
saat ini individu tersebut telah tersensitisasi yang berarti mempunyai
resiko untuk mengalami dermatitis kontak alergik.
b. Fase elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua
dari antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di
dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang
akan merangsang sel T untuk mensekresi Il-2. Selanjutnya IL-2 akan
merangsang INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan
merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion
molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta
sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag
untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan
permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam
kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula yang akan tampak
sebagai dermatitis. Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi
melalui beberapa mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi antigen
oleh enzim dan sel, kerusakan sel Langerhans dan sel keratinosit serta
pelepasan Prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat
stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2R sel T
serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu sel mast dan
basofil juga ikut berperan dengan memperlambat puncak degranulasi
setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang
molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme
17
lain, seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya
menekan atau meredakan peradangan (paramita,dkk.2011).
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
a. Darah : Hb, leukosit, hitung jenis, trombosit, elektrolit, protein total,
albumin, globulin
b. Urin : pemerikasaan histopatologi
2. Penunjang (pemeriksaan Histopatologi)
Pemeriksaan ini tidak memberi gambaran khas untuk diagnostik
karena gambaran histopatologiknya dapat juga terlihat pada dermatitis
oleh sebab lain. Pada dermatitis akut perubahan pada dermatitis berupa
edema interseluler (spongiosis), terbentuknya vesikel atau bula, dan pada
dermis terdapat dilatasi vaskuler disertai edema dan infiltrasi
perivaskuler sel-sel mononuclear. Dermatitis sub akut menyerupai bentuk
akut dengan terdapatnya akantosis dan kadangkadang parakeratosis. Pada
dermatitis kronik akan terlihat akantosis, hiperkeratosis, parakeratosis,
spongiosis ringan, tidak tampak adanya vesikel dan pada dermis dijumpai
infiltrasi perivaskuler, pertambahan kapiler dan fibrosis. Gambaran
tersebut merupakan dermatitis secara umum dan sangat sukar untuk
membedakan gambaran histopatologik antara dermatitis kontak alergik
dan dermatitis kontak iritan.
Pemeriksaan ultrastruktur menunjukkan 2-3 jam setelah paparan
antigen, seperti dinitroklorbenzen (DNCB) topikal dan injeksi ferritin
intrakutan, tampak sejumlah besar sel langerhans di epidermis. Saat itu
antigen terlihat di membran sel dan di organella sel Langerhans. Limfosit
mendekatinya dan sel Langerhans menunjukkan aktivitas metabolik.
Berikutnya sel langerhans yang membawa antigen akan tampak didermis
dan setelah 4-6 jam tampak rusak dan jumlahnya di epidermis
berkurang. Pada saat yang sama migrasinya ke kelenjar getah bening
setempat meningkat. Namun demikian penelitian terakhir mengenai
gambaran histologi, imunositokimia dan mikroskop elektron dari tahap
seluler awal pada pasien yang diinduksi alergen dan bahan iritan belum
berhasil menunjukkan perbedaan dalam pola peradangannya.(Adhi
Djuanda, 2015)
G. PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya penatalaksanaan yang baik adalah mengidentifikasi
penyebab dan menyarankan pasien untuk menghindarinya, terapi individual
yang sesuai dengan tahap penyakitnya dan perlindungan pada kulit.(Widi Ari,
2016)
1. Pencegahan
Merupakan hal yang sangat penting pada penatalaksanaan dermatitis kontak
iritan dan kontak alergik. Di lingkungan rumah, beberapa hal dapat
dilaksanakan misalnya penggunaan sarung tangan karet di ganti dengan
sarung tangan plastik, menggunakan mesin cuci, sikat bergagang panjang,
penggunaan deterjen.
2. Pengobatan
a) Pengobatan topical
Obat-obat topikal yang diberikan sesuai dengan prinsip-prinsip
umum pengobatan dermatitis yaitu bila basah diberi terapi basah
(kompres terbuka), bila kering berikan terapi kering. Makin akut
penyakit, makin rendah prosentase bahan aktif. Bila akut berikan
kompres, bila subakut diberi losio, pasta, krim atau linimentum (pasta
pendingin ), bila kronik berikan salep. Bila basah berikan kompres, bila
kering superfisial diberi bedak, bedak kocok, krim atau pasta, bila
kering di dalam, diberi salep. Medikamentosa topikal saja dapat
diberikan pada kasus-kasus ringan. Jenis-jenisnya adalah :
19
1) Kortikosteroid
Kortikosteroid mempunyai peranan penting dalam sistem imun.
Pemberian topikal akan menghambat reaksi aferen dan eferen dari
dermatitis kontak alergik. Steroid menghambat aktivasi dan
proliferasi spesifik antigen. Ini mungkin disebabkan karena efek
langsung pada sel penyaji antigen dan sel T. Pemberian steroid
topikal pada kulit menyebabkan hilangnya molekul CD1 dan HLA-
DR sel Langerhans, sehingga sel Langerhans kehilangan fungsi
penyaji antigennya. Juga menghalangi pelepasan IL-2 oleh sel T,
dengan demikian profilerasi sel T dihambat. Efek imunomodulator
ini meniadakan respon imun yang terjadi dalam proses dermatitis
kontak dengan demikian efek terapetik. Jenis yang dapat diberikan
adalah hidrokortison 2,5 %, halcinonid dan triamsinolon asetonid.
Cara pemakaian topikal dengan menggosok secara lembut. Untuk
meningkatan penetrasi obat dan mempercepat penyembuhan, dapat
dilakukan secara tertutup dengan film plastik selama 6-10 jam
setiap hari. Perlu diperhatikan timbulnya efek samping berupa
potensiasi, atrofi kulit dan erupsi akneiformis.
2) Radiasi ultraviolet
Sinar ultraviolet juga mempunyai efek terapetik dalam dermatitis
kontak melalui sistem imun. Paparan ultraviolet di kulit
mengakibatkan hilangnya fungsi sel Langerhans dan menginduksi
timbulnya sel panyaji antigen yang berasal dari sumsum tulang
yang dapat mengaktivasi sel T supresor. Paparan ultraviolet di kulit
mengakibatkan hilangnya molekul permukaan sel langehans (CDI
dan HLA-DR), sehingga menghilangkan fungsi penyaji antigennya.
Kombinasi 8-methoxy- psoralen dan UVA (PUVA) dapat menekan
reaksi peradangan dan imunitis. Secara imunologis dan histologis
PUVA akan mengurangi ketebalan epidermis, menurunkan jumlah
sel Langerhans di epidermis, sel mast di dermis dan infiltrasi
mononuklear. Fase induksi dan elisitasi dapat diblok oleh UVB.
Melalui mekanisme yang diperantarai TNF maka jumlah HLA- DR
+ dari sel Langerhans akan sangat berkurang jumlahnya dan sel
Langerhans menjadi tolerogenik. UVB juga merangsang ekspresi
ICAM-1 pada keratinosit dan sel Langerhans.
3) Siklosporin A
Pemberian siklosporin A topikal menghambat elisitasi dari
hipersensitivitas kontak pada marmut percobaan, tapi pada
manusia hanya memberikan efek minimal, mungkin disebabkan
oleh kurangnya absorbsi atau inaktivasi dari obat di epidermis atau
dermis.
4) Antibiotika dan antimikotika
Superinfeksi dapat ditimbulkan oleh S. aureus, S. beta dan alfa
hemolitikus, E. koli, Proteus dan Kandida spp. Pada keadaan
superinfeksi tersebut dapat diberikan antibiotika (misalnya
gentamisin) dan antimikotika (misalnya clotrimazole) dalam bentuk
topikal.
5) Imunosupresif
Obat-obatan baru yang bersifat imunosupresif adalah FK 506
(Tacrolimus) dan SDZ ASM 981. Tacrolimus bekerja dengan
menghambat proliferasi sel T melalui penurunan sekresi sitokin
seperti IL-2 dan IL-4 tanpa merubah responnya terhadap sitokin
eksogen lain. Hal ini akan mengurangi peradangan kulit dengan
tidak menimbulkan atrofi kulit dan efek samping sistemik. SDZ
ASM 981 merupakan derivat askomisin makrolatum yang berefek
anti inflamasi yang tinggi. Pada konsentrasi 0,1% potensinya
sebanding dengan kortikosteroid klobetasol-17- propionat 0,05%
dan pada konsentrasi 1% sebanding dengan betametason 17-valerat
0,1%, namun tidak menimbulkan atrofi kulit. Konsentrasi yang
diajurkan adalah 1%. Efek anti peradangan tidak mengganggu
respon imun sistemik dan penggunaan secara topikal sama
efektifnya dengan pemakaian secara oral.
21
b) Pengobatan sistemik
Pengobatan sistemik ditujukan untuk mengontrol rasa gatal dan atau
edema, juga pada kasus-kasus sedang dan berat pada keadaan akut
atau kronik. Jenis-jenisnya adalah :
1) Antihistamin
Maksud pemberian antihistamin adalah untuk memperoleh efek
sedatifnya. Ada yang berpendapat pada stadium permulaan tidak
terdapat pelepasan histamin. Tapi ada juga yang berpendapat
dengan adanya reaksi antigen-antobodi terdapat pembebasan
histamin, serotonin, SRS-A, bradikinin dan asetilkolin.
2) Kortikosteroid
Diberikan pada kasus yang sedang atau berat, secara peroral,
intramuskular atau intravena. Pilihan terbaik adalah prednison dan
prednisolon. Steroid lain lebih mahal dan memiliki kekurangan
karena berdaya kerja lama. Bila diberikan dalam waktu singkat
maka efek sampingnya akan minimal. Perlu perhatian khusus pada
penderita ulkus peptikum, diabetes dan hipertensi. Efek
sampingnya terutama pertambahan berat badan, gangguan
gastrointestinal dan perubahan dari insomnia hingga depresi.
Kortikosteroid bekerja dengan menghambat proliferasi limfosit,
mengurangi molekul CD1 dan HLA- DR pada sel Langerhans,
menghambat pelepasan IL-2 dari limfosit T dan menghambat
sekresi IL-1, TNF-a dan MCAF.
3) Siklosporin
Mekanisme kerja siklosporin adalah menghambat fungsi sel T
penolong dan menghambat produksi sitokin terutama IL-2, INF-r,
IL-1 dan IL-8. Mengurangi aktivitas sel T, monosit, makrofag dan
keratinosit serta menghambat ekspresi ICAM-1.
4) Pentoksifilin
Bekerja dengan menghambat pembentukan TNF-a, IL-2R dan
ekspresi ICAM-1 pada keratinosit dan sel Langerhans. Merupakan
derivat teobromin yang memiliki efek menghambat peradangan.
5) FK 506 (Trakolimus)
Bekerja dengan menghambat respon imunitas humoral dan selular.
Menghambat sekresi IL-2R, INF-r, TNF-a, GM-CSF . Mengurangi
sintesis leukotrin pada sel mast serta pelepasan histamin dan
serotonin. Dapat juga diberikan secara topikal.
6) Ca++ antagonis
Menghambat fungsi sel penyaji dari sel Langerhans. Jenisnya
seperti nifedipin dan amilorid.
7) Derivat vitamin D3
Menghambat proliferasi sel T dan produksi sitokin IL-1, IL-2, IL-6
dan INF-r yang merupakan mediator-mediator poten dari
peradangan. Contohnya adalah kalsitriol.
8) SDZ ASM 981
Merupakan derivay askomisin dengan aktifitas anti inflamasi yang
tinggi. Dapat juga diberikan secara topical, pemberian secara oral
lebih baik daripada siklosporin
H. KOMPLIKASI
1. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
2. Infeksi sekunder khususnya oleh Stafilokokus aureus
3. Hiperpigmentasi atau hipopigmentasi post inflamasi
4. Jaringan parut muncul pada paparan bahan korosif atau ekskoriasi
(Paramita,dkk.2011)
23
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Anamnesa
1) Identitas pasien
Nama : Tidak terkaji
Jenis Kelamin : Wanita
Umur : 56 tahun
Pekerjaan : Tidak terkaji
Status perkawinan : Tidak terkaji
Agama : Tidak terkaji
Pendidikan : Tidak terkaji
Alamat : Tidak terkaji
Keluarga yang dapat dihubungi : Tidak terkaji
Diagnosa Medis : Dermatitis
2) Riwayat Kesehatan
a) Keluhan utama
Pasien datang ke poliklinik dengan keluhan bintil kemerahan di
paha kiri sejak 2 minggu yang lalu.
b) Riwayat penyakit saat ini
Pasien mengeluh bintil kemerahan di paha kiri sejak 2 minggu
yang lalu. Awalnya timbul satu bintil kecil seperti bekas gigitan
nyamuk, kemudia semakin hari semakin besar dan jumlahnya
menjadi banyak. Bintil kemerahan dirasakan nyeri dan kadang-
kadang terasa gatal. Saat dilakukan pemeriksaan fisik
didapatkan kemerahan pada paha dan di tengahnya terdapat
pustule dan jumlahnya banyak dengan ukuran diameter
bervariasi antara 1-2 cm, berbentuk seperti kubah atau kerucut.
Pasien juga mengatakan nyeri dengan skala 7. Nyeri dirasakan
terus menerus dan teraba hangat.
c) Riwayat penyakit terdahulu
Tidak terkaji
d) Riwayat kesehatan keluarga
Tidak terkaji
e) Riwayat psikososial
Tidak terkaji
b. Pemeriksaan Fisik
1) Tanda - Tanda Vital
a) Kesadaran : Tidak terkaji
b) GCS : Tidak terkaji
c) Suhu badan : 39o C
d) Denyut nadi : 90 x/menit
e) Tekanan darah : 130/80 mmHg
f) Pernafasan : 24 x/menit
2) Metode Review Of System (ROS)
a) Sistem Pernapasan
Berdasarkan hasil pengkajian tanda-tanda vital didapatkan
frekuensi nafas 24 x/menit.
b) Sistem Kardiovaskuler
Berdasarkan hasil pengkajian tanda-tanda vital didapatkan
tekanan darah pasien 130/80 mmHg dan frekuensi nadi 90
x/menit.
c) Sistem Integumen
Adanya kemerahan pada paha dan di tengahnya terdapat pustule
dan jumlahnya banyak dengan ukuran diameter bervariasi antara
1-2 cm, berbentuk seperti kubah atau kerucut.
25
c. DATA PES / ANALISA DATA
NO PROBLEM ETIOLOGI SYMPTOM
1 DS : Dermatitis Nyeri Akut
a. Klien mengeluh nyeri
b. Klien mengatakan nyeri Pelepasan mediator
dirasakan terus menerus kimia
c. Kadang-kadang terasa
gatal Histamin
DO : Pruritus
a. Hasil pengkajian nyeri
skala 7 (1-10). Refleks menggaruk
b. Terdapat kemerahan pada
paha dan ditengahnya Timbul rasa nyeri
terdapat pustule dan
jumlahnya banyak dengan Nyeri dipersepsi
ukuran diameter bervariasi
antara 1-2 cm, berbentuk
seperti kubah atau kerucut.
2 DS : Dermatitis Hipertermia
-
Pelepasan mediator
DO : kimia
LAMPIRAN PATHWAY
Faktor penyebab:
Reaksi alergi
Eksogen & endogen
Produksi IgE
Inflamasi
DERMATITIS
Prostaglandin Histamin
27
3. Rencana Intervensi Keperawatan
1 Nyeri Akut b.d Agen pencedera Setelah dilakukan intervensi Intervensi : Rasional intervensi :
fisiologis (inflamasi) d.d Mengeluh keperawatan selama 3 x 24 jam Manajemen Nyeri Manajemen Nyeri
nyeri maka Tingkat Nyeri Menurun
dengan kriteria hasil : Observasi : Observasi :
Kategori : Psikologis 1. Keluhan nyeri 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, 1. Untuk mengetahui keadaan umum
Subkategori : durasi, frekuensi, kualitas, klien dan untuk mengetahui
Nyeri dan Kenyamanan intensitas nyeri secara lebih jelas nyeri yang
dirasakan
Definisi : 2. Identifikasi skala nyeri 2. Untuk mengetahui nyeri yang
Pengalaman sensorik atau dirasakan klien sehingga
emosional yang berkaitan dengan memudahkan dalam melakukan
kerusakan jaringan aktual atau intervensi
fungsional, dengan onset mendadak 3. Identifikasi respon nyeri non verbal 3. Untuk memonitor ekspresi wajah
atau lambat dan berintensitas ringan klien saat nyeri terjadi
hingga berat yang berlangsung 4. Identifikasi faktor yang 4. Agar dapat memberikan tindakan
kurang dari 3 bulan. memperberat dan memperingan keperawatan yang tepat sesui
nyeri dengan manajemen nyeri
Penyebab : 5. Monitor efek samping penggunaan 5. Untuk melihat efek samping dari
1. Agen pencedera fisiologis analgetik analgesik tersebut
(inflamasi)
Terapeutik : Terapeutik
Gejala dan Tanda Mayor : 6. Berikan teknik nonfarmakologis 6. Untuk mengatasi dan mengatasi
Subjektif : untuk mengurangi rasa nyeri nyeri klien
1. Mengeluh nyeri 7. Kontrol lingkungan yang 7. Agar suhu ruangan dapat terjaga
memperberat rasa nyeri dengan baik demi kenyamana
Objektif : klien
- 8. Pertimbangkan jenis dan sumber 8. Agar tidak terjadi komplikasi
nyeri dalam pemilihan strategi pada saat meredahkan nyeri
Gejala dan Tanda Minor : meredakan nyeri
Objektif :
- Edukasi : Edukasi :
9. Jelaskan penyebab, periode, dan 9. Agar pasien dapat mengetahui
Kondisi Klinis Terkait : pemicu nyeri penyebab terjadinya nyeri
1. Infeksi tersebut
10. Jelaskan strategi meredakan nyeri 10. Agar nyeri dapat di hilangkan
meskipun tanpa menggunakan
obat tertentu
11. Anjurkan memonitor nyeri secara 11. Agar pasien dapat mengukur
mandiri nyerinya sendiri
12. Anjurkan menggunakan analgetik 12. Anageltik diberikan untuk
29
secara tepat membantu menghambat
stimulus nyeri ke pusat presepsi
nyeri di orteks serebri sehingga
13. Ajarkan teknik nonfarmakalogis nyeri dapat berkurang
untuk mengurangi rasa nyeri 13. Untuk mengatasi dan
menghilangkan rasa nyeri
Kolaborasi :
14. Kolaborasi pemberian analgetik, Kolaborasi :
jika perlu 14. Pengunaan anagelsik yang
berlebihan dapat menutupi
gejala.
Observasi : Observasi :
1. Identifikasi karakteristik nyeri 1. Untuk mengetahui secara jelas
(mis. pencetus, kualitas, lokasi, nyeri yang dirasakan pasien
intensitas, frekuensi, durasi)
2. Identifikasi riwayat alergi obat 2. Untuk mencegah terjadinya efek
3. Identifikasi kesesuaian jenis yang tidak diinginkan
analgesik (mis. narkotika, no- 3. Jenis analgesik yang diberikan
narkotik, atau NSAID) dengan dengan tepat dapat mempercepat
angkat keparahan nyeri menurunnya nyeri yang
dirasakan
4. Monitor efektifitas analgesik 4. Untuk mengetahui respon
terhadap analgesik yang
diberkan
Terapeutik Terapeutik
5. Diskusikan analgesik yang 5. Untuk membantu mempercepat
disukai untuk mencapai analgesia proses penyembuhan
optimal, jika perlu
6. Tetapkan target efektifitas 6. Pemberian obat yang benar dan
analgesik dan efek yang tidak tepat dapat mempercepat
diinginkan meredakan nyeri
7. Dokumentasi respon terhadap 7. Mendokumentasikan tindakan
efek analgesik dan efek yang yang diberikan dapat
tidak diinginkan mempermudah intervensi yang
diberikan selanjunya
Edukasi Edukasi
8. Jelaskan efek terapi dan efek 8. Agar pasien tidak kekurangan
31
samping obat informasi mengenai efek
samping yang akan timbul
Kolaborasi Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian dosis dan 9. Untuk mencapai efek yang
jenis analgesik, sesuai indikasi optimal untuk meredakan nyeri
Observasi : Observasi :
1. Identifikasi kemungkinan alergi, 1. Untuk memudahkan tenaga
interaksi, dan kontraindikasi obat medis dalam mengidentifikasi
2. Verifikasi order obat sesuai jenis alergi obat tersebut
dengan indikasi 2. Untuk menjamin pasien
3. Periksa tanggal kadaluarsa obat mendapatkan pasien pengobatan
4. Monitor efek teraupetik obat yang sesuai
5. Monitor efek local, efek sistemik 3. Untuk menjamin keamanan dan
dan efek samping obat potensi penuh obat tersebut
4. Untuk mengetahui efek obat
yang diberikans
5. Prinsip pemberian obat harus
tepat, aman rasional dan efektif
Terapeutik Terapeutik
6. Lakukan perinsip 6 benar (pasien, 6. Untuk menghindari kesalahan
obat, dosis, waktu, rute, dalam pemberian obat
dokumentasi)
7. Cuci tangan dan pasang sarung 7. Menghindari kontaminasi dari
tangun bakteri dan mikroorganisme
8. Bersihkan kulit 8. Membebaskan daerah
penyuntikan agar bersih dan
dingin
9. Oleskan obat topical pada kulit 9. Untuk meringankan da
atau selaput lendir yang utuh meredakan produksi kulit yang
(kecuali penggunaan obat untuk berlebih
mengobati lesi)
Edukasi Edukasi
10. Jelaskan jenis obat, alasan 10. Agar mempermudah keluarga
pemberian, tindakan yang pasien dan pasien dalam
diharapkan, dan efek samping menggunakan obat supaya
sebelumpemberian mengetahui efek dan jenis obat
11. Ajarkan pasien dan keluarga tersebut
33
tentang cara pemberian obat 11. Agar pasien dapat
secara mandiri melakukannya secara mandiri
Observasi : Observasi :
1. Identifikasi gejala yang tidak 1. Membantu mengidentifikasi
menyenangkan (mis. nyeri, gatal) tindakan yang tepat untuk
2. Identifikasi pemahaman tentang mengatasi ketidaknyamanan
kondisi, situasi dan perasaanya) pasien.
2. Mengidentifikasi Pemahaman
tentang kondisi, situasi, dan
perasaannya adalah pemahaman
tentang situasi tertentu yang
dapat mengancam diri pasien
dalam menghadapi kondisi atau
situasi yang sedang dialami.
Terapeutik Terapeutik
3. Berikan posisi yang nyaman 3. Pemberian posisi yang nyaman
4. Berikan kompres dingin untuk menghindari adanya
5. Ciptakan lingkungan yang tekanan pada area yang
nyaman dirasakan sakit/nyeri
6. Dukung keluarga dan pengasuh 4. Untuk mengurangi nyeri pada
terlibat dalam terapi/pengobatan daerah setempat yang dirasakan
7. Diskusikan mengenai situasi dan sakit
pilihan terapi/pengobatan yang 5. Agar pasien selalu merasa
diinginkan nyaman.
6. Agar keluarga juga mampu
membantu dalam proses
pengobatan klien.
7. Melalui diskusi bisa mencapai
terapi dan pengobatan yang
sesuai dengan apa yang
seharusnya dilakukan.
Edukasi Edukasi
8. Jelaskan mengenai kondisi dan 8. Agar pasien dan keluarga
pilihan terapi/pengobatan mengerti menganai tindakan
35
terapi/pengobatan apa yang akan
diberikan.
Kolaborasi Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian analgesik, 9. Kolaborasi ini diperlukan untuk
atipruritus, antihistamis, jika Mempercepat pengobatan
perlu dengan pemberian obat yang
benar dan tepat.
2 Hipertermia b.d Proses penyakit Setelah dilakukan intervensi Intervensi : Rasional Intervensi :
(infeksi) d.d Suhu tubuh diatas nilai keperawatan selama 3 x 24 jam Manajemen Hipertermia Manajemen Hipertermia
normal, kulit merah, kulit terasa maka Termoregulasi membaik
hangat. dengan kriteria hasil : Observasi : Observasi :
1. Suhu tubuh 1. Identifikasi penyebab hipertermia 1. Untuk mengetahui sumber
Kategori : Lingkungan 2. Kulit merah penyebab nyeri
Subkategori : Keamanan dan 2. Monitor suhu tubuh 2. Untuk mencegah terjadinya syok
Proteksi 3. Monitor kadar elektrolit 3. Untuk memantau kadar elektrolit
pada tubuh
Definisi :
Suhu tubuh meningkat di atas
rentang normal tubuh.
Terapeutik : Terapeutik :
Penyebab : 4. Sediakan lingkungan yang dingin 4. Untuk menurunkan suhu pasien
1. Proses penyakit (infeksi) 5. Longgarkan atau lepaskan pakaian 5. Agar pasien tidak merasa
kepansan
Gejala dan Tanda Mayor 6. Berikan cairan oral 6. Untuk mengurangi dehidrasi
Objektif : yang dialami pasien
1. Suhu tubuh diatas nilai normal 7. Lakukan pendinginan eksternal 7. Untuk menurunkan suhu badan
(mis. Selimut hipotermia atau pasien
Gejala dan Tanda Minor kompres dingin pada dahi, leher,
Objektif : dada, abdomen, aksila)
1. Kulit merah 8. Hindari pemberian antipiretik atau 8. Untuk menurunkan suhu tubuh
2. Kulit terasa hangat aspirin
Kolaborasi : Kolaborasi :
10. Kolaborasi pemberian cairan dan 10. Untuk mengatasi dehidrasi yang
elektrolit intravena, jika perlu. terjadi akibat peningkatan suhu
tubuh
37
BAB IV
ARTIKEL PENELITIAN
JURNAL 1 :
The Role and Diagnosis of Allergic Contact Dermatitis in Patients with Atopic
Dermatitis. Am J Clin Dermatol. Author manuscript; available in PMC 2019 June 01.
AD and allergic contact dermatitis (ACD) are both common and burdensome
inflammatory skin disorders. AD is a chronic disease that is caused by a combination of
genetic predisposition, skin-barrier disruption, immune factors, and environmental exposures.
ACD is caused by a delayed-type hypersensitivity response to contact allergens. The incidence
of ACD is not clearly defined, but is thought to be rising.
Patch testing is also indicated in both children and adults when there is a lesional
distribution that is atypical for AD, or one that is localized and suggestive of contact dermatitis
(e.g., eyelids, head and neck, hand and foot, perioral, or periorbital). This is a particularly
important consideration in adults with AD, for whom previous studies have demonstrated
higher rates of lesions affecting the head and neck, or hands and feet (even in the absence of
contact dermatitis).
Situations in which patch testing is less likely to be helpful include stable and well-
controlled AD, AD flare and/or active dermatitis involving the back and other potential sites of
application for the patch tests, current or recent use of systemic immunosuppressive
medications, recent exposure to ultraviolet therapy or excessive solar radiation, and use of a
limited patch testing series that do not incorporate the full-spectrum of allergens previously
shown to be relevant in AD.
Efforts should be made to first treat and resolve the active dermatitis on the back and
other potential sites of application for the patch tests. Ideally, this should be done using topical
therapy, e.g. corticosteroids and calcineurin inhibitors. If successful, the patient should
discontinue application of topical therapy to the back for 1–2 weeks and then undergo patch
testing. Systemic therapy or phototherapy may be required if the patient has an inadequate
response to topical therapy or immediately experiences a flare of their dermatitis. However,
such therapies may decrease the sensitivity of the patch testing process.
Patch testing should be considered in adolescent- or adult-onset AD, worsening or
more generalized dermatitis, localized or atypical lesional distribution suggestive of contact
dermatitis, refractory AD, prior to systemic immunosuppressive treatment, or when AD
worsens with topical therapy. Patch testing in AD should use an expanded patch-test series,
though more research is needed to determine the optimal screening series in AD patients.
JURNAL 2 :
Karakteristik dan Manajemen Dermatitis Kontak Alergi Pasien Rawat Jalan di Rumah
Sakit Indra Denpasar Periode Januari-Juli 2014, E-Jurnal Medika Volume 6 No.8
Agustus 2017.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Rumah Sakit Indera Denpasar,
didapatkan bahwa jumlah pasien perempuan lebih banyak daripada pasien laki – laki. Hasil ini
sesuai dengan tinjuan pustaka yang mengatakan bahwa frekuensi dermatitis kontak alergi lebih
tinggi pada perempuan. Ada beberapa pendapat yang mendukung jenis kelamin perempuan
merupakan salah satu faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko terjadinya dermatitis
kontak alergi. Salah satunya karena perempuan dimungkinkan lebih sering mengalami kontak
dengan agen penyebab bila dibandingkan dengan laki – laki. Hal ini juga dapat dikaitkan
dengan faktor sosial dan faktor lingkungan.
Sampel pada penelitian ini, sebagian besar termasuk dalam kelompok usia produktif.
Hal ini selaras dengan alasan bahwa orang yang berada dalam rentang usia produktif akan
sering terpapar dengan agen penyebab, baik melalui aktivitas sehari – hari ataupun pekerjaan.
Selain itu rentang usia 41 – 50 tahun merupakan rentang usia terbanyak pada penelitian ini.
Pada penelitian ini juga didapatkan data bahwa tangan merupakan predileksi terbanyak. Hal
ini sesuai dengan tinjauan pustaka yang menyebutkan bahwa kejadian dermatitis kontak baik
iritan maupun alergi paling sering di tangan. Ini dimungkinkan karena tangan merupakan
organ tubuh yang paling sering digunakan untuk melakukan pekerjaan sehari – hari. Pada
39
penelitian ini gejala yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah gatal. Sedangkan untuk
data effloresensi, eritema merupakan effloresensi yang paling banyak dijumpai.
Pada penelitian ini didapatkan satu kasus yang manajemennya agak berbeda bila
dibandingkan dengan tinjauan pustaka, yakni pemberian anti jamur topikal. Perbedaan
manajemen ini dapatlah dijelaskan dengan kondisi pasien tersebut, dimana pasien tersebut
terdiagnosis dermatitis kontak alergi dengan diagnosis banding tinea kruris. Anti-histamin oral
menempati posisi pertama dalam manajemen per-oral. Hal ini mungkin disebabkan oleh
penggunaan anti-histamin oral sebagai terapi simtomatis, yakni untuk menghilangkan rasa
gatal yang sering menjadi keluhan utama pasien.
JURNAL 3 :
Dermatitis kontak iritan atau DKI merupakan peradangan pada kulit akibat efek
sitotosik langsung dari bahan kimia, fisik, atau agen biologis pada sel-sel epidermis tanpa
adanya produksi dati antibody spesifik. Dermatitis kontak iritan disebabkan oleh faktor
endogen dan eksogen. Faktor endogen yang menyebabkan terjadinya DKI antara lain yaitu
genetic, jenis kelamin, umur, etnis, lokasi kulit, dan riwayat atopi. Faktor eksogen meliputi
sifat-sifat kimia iritan (pH, keadaan fisik, konsentrasi, ukuran molekul, jumlah, polarisasi,
ionisasi, bahan pembawa dan kelarutan), karakteristik paparan (jumlah, konsentrasi, durasi,
jenis kontak, paparan simultan terhadap iritan lainnya, dan interval setelah paparan
sebelumnya), faktor lingkungan (suhu, dan kelembapan), faktor mekanik (tekanan, gesekan,
atau abrasi), dan radiasi ultraviolet (UV).
41
DAFTAR PUSTAKA
43