Gerakan Politik Islam
Gerakan Politik Islam
Gerakan Politik Islam
A. Latar Belakang
1
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 39-40
1
Konsep kepatuhan mutlak terhadap kepala negara mengakibatkan
lemahnya kontrol rakyat terhadap kekuasaan. Pada masing-masing sekte
mempunyai ciri khas sendiri terhadap kekuasaan. Disamping itu, ideologi
islam juga ikut terlibat dalam sistem gerakan politik islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian agama dan negara ?
2. Apa pengertian gerakan politik islam ?
3. Bagaimana Sejarah timbulnya Aliran Teologi Islam ?
4. Bagaimana perspektif gerakan politik islam dalam mengatur agama
dan negara?
C. Batasan Masalah
D. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui arti agama dan negara
2. Untuk mengetahui bagaimana gerakan politik islam
3. Untuk mengetahui sejarah timbulnya aliran teologi islam
2
4. Untuk mengetahui perspektif gerakan politik islam dalam
mengatur agama dan negara
3
BAB II
b. Pengertian negara
2
Ayi Sofyan, Etika Politik Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2012) hlm. 43
4
kedamaian dan kesejahteraan manusia dapat terwujud. Ada yang bersifat
fillah ada yang bersifat fi sabilillah. Fillah adalah gerakan Islam yang
berangkat dengan dakwah yang didasari oleh ilmu. Sedangkan sabilillah
adalah gerakan dengan sifat ke arah peperangan. Semua gerakan ini
bertujuan sama akan tetapi gerakan ini harus melihat kapan waktu yang
tepat untuk menggunakan cara fillah dan fisabilillah.
3
Deliar Noer, Mengapa Partai Islam Kalah?, (Jakarta: Alvabet, 1999), cet. 1, hlm. 14
5
serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai
islam sikap dan perilaku serta budaya politik yang memakai kata islam,
menurut Taufik Abdullah bermula dari suatu kepribadian moral dan
doctrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual islam. 4 Politik islam
adalah pertarungan terhadap “penafsiran makna-makna islam dan
penguasaan lembaga- lembaga politik formal dan informal yang
mendukung mendukung pemaknaan islam tersebut.” Pertarungan yang
seperti ini melibatkan “objektivikasi” pengetahuan tentang islam yang
pada gilirannya memunculkan pluralisasi kekuasaan keagamaan. 5
4
M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001),
hlm. 31
5
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga
Postmodernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 12
6
Dalam perkembangan selanjutnya paham teokrasi terbagi kedalam
dua bagian. Pertama, paham teokrasi langsung, menurut paham ini bahwa
pemerintahan diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula,
adanya negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan, oleh karena itu
yang memerintah adalah Tuhan pula. Kedua, paham teokrasi tidak
langsung bahwa yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan raja
atau kepala negara yang memiliki otoritas atas nama Tuhan. Kepala negara
atau raja diyakini memerintah atas kehendak Tuhan. Dalam pemerintahan
teokrasi tidak langsung ini sistem dan norma-norma dalam negara
dirumuskan berdasarkan firman-firman Tuhan karena negara menyatu
dengan agama. Jadi agama dan negara tidak dapat dipisahkan meminjam
istilah Nurcholis Madjid. Paradigma yang digunakan dalam paham tekrasi
ini adalah integralistik, yakni pemahaman hubungan antara agama dan
negara merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya
merupakan dua lembaga yang menyatu (integreted) dengan pengertian
bahwa negara merupakan suatu lembaga politik sekaligus sebagai lembaga
agama. 6
6
Nurcholis Madjid, “Agama Dan Negara Dalam Islam: Telaah Krisis Atas Fiqh Siyasah Sunni,” in
Konstekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), 15.
7
Abd al-Ḥasan’Ali b. Muḥammad b. Ḥabib al-Baḥri al-Baghdādi al-Mawardi, AlAḥkam al-
Sultaniyah wa al-Walayat al-Diniyyah (Beirut: Al-Kutub al-Ilmiyah, n.d.), 3.
7
Lain halnya dengan paham sekularisme, dalam praktik
pemerintahannya paham ini membedakan dan memisahkanya antara
agama dan negara. Dalam negara sekuler tidak ada hubungan antara sistem
kenegaraan dengan agama karena negara mengatur urusan hubungan
manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan urusan agama
adalah urusan manusia dengan Tuhan (private). Maka dari itu kedua
(agama dan negara) tersebut tidak bisa disatukan karena negara urusan
publik, sedang agama adalah urusan privat, sehingga sistem dan norma
hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama
atau firman-firman Tuhan. Sekalipun paham ini memisahkan antara agama
dan negara, akan tetapi pada lazimnya negara sekuler membebaskan warga
negaranya untuk memeluk agama apa saja yang mereka yakini dan negara
tidak intervensif dalam urusan agama.
8
Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang
kemudian menghasilkan masyarakat negara sedangkan agama dipandang
sebagai realisasi fantastik manusia, dan agama merupakan keluhan
makhluk tertindas. Oleh karena itu, agama harus ditekan, bahkan dilarang.
Nilai yang tertinggi dalam negara adalah materi, karena manusia sendiri
pada hakekatnya adalah materi. Dari tiga paradigma tersebut tampaknya
Nurcholis Madjid menawarkan paradigma baru untuk membangun
hubungan antara agama dan negara di Indonesia, yaitu paradigma
“Simbiotik Multikulturalistik”, dalam konsep ini agama bukan negara, dan
negara bukan agama tetapi agama tidak lepas atau pisah dengan negara
dan juga sebaliknya. Walaupun agama dan negara tidak satu dan juga tidak
pisah, tetapi tampaknya agama selalu berhubungan (mutualistik), saling
membutuhkan antara satu dengan yang lain (agama dan negara). Dalam
konteks ini agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam
melestarikan dan mengembangkan agama. Demikian juga sebaliknya,
negara juga memerlukan agama, karena agama akan membantu negara
dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas.
Jadi, jikalau gerakan islam selaras dengan ideologi islam yaitu al-
Qur’an dan as-sunnah, maka gerakan islam itu akan mudah untuk bergerak
dikalangan masyarakat dan diterima oleh masyarakat dengan penanaman
nilai-nilai islam dan ajaran yang disampaikan oleh gerakan islam tersebut.
8
Ma’arif, Islam Dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante, hlm. 25
9
Salah satu tujuan islam juga terdapat pada kekuasaan, karena untuk
mensyi’arkan agama juga akan lebih mudah jikalau ada andil yang
dipegang termasuk kekuasaan wilayah islam serta mengembangkan
peradaban keilmuan dikalangan masyarakat.
Dengan adanya transit ini Mekkah menjadi kaya, dagang dikota itu
dikuasai oleh Quraisy dan sebagai orang-orang yang berpengaruh dalam
masyarakat pemerintahan Mekkah juga berada ditangan mereka.
10
Kekuasaan sebenarnya terletak dalam tangan kaum pedagang
tinggi.kaum pedagang tinggi ini, untuk menjaga kepentingan-kepentingan
mereka, dan mereka mempunyai perasaan solidaritas kuat yang kelihatan
efeknya dalam perlawanan mereka terhadap nabi Muhammad SAW,
sehingga beliau dan pengikut-pengikutnya terpaksa meninggalkan Mekkah
lalu pergi ke Yastrib di tahun 622 M. sebagaimana diketahui bahwa nabi
itu bukanlah termasuk golongan orang kaya ataupun golongan bangsa
Quraisy, keadaan ekonominya sederhana sekali, sehingga dimasa kecilnya
Nabi bekerja sebagai gembala domba.
11
politik belum dapat dijatuhkan. di Madinah sebaliknya, Nabi Muhammad
di samping menjadi kepala agama juga menjadi kepala pemerintahan.
Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di Madinah.
Sebelum itu di Madinah tidak ada kekuasaan politik.
9
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983), hlm. 87-90
12
Kemudian setelah wafatnya Abu Bakar Ash-Shiddiq digantikan oleh Umar
Bin Khattab dan Umar Bin Khattab digantikan oleh Ustman Bin Affan.
Lalu setelah Utsman wafat maka digantikan oleh Ali Bin Abi
Thalib yang menjadi khalifah yang keempat. Tetapi segera ia mendapat
tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khilafah, yaitu
Talhah dan Zubeir yang mendapat sokongan dari Aisyah, kemudian
setelah pertempuran yang terjadi di Iral pada tahun 656 Talhah dan Zubeir
mati terbunuh dan Aisyah dikirim ke Mekkah kembali.
13
tidak mau tunduk kepapda Ali sebagai khalifah. Tidak heran jika putusan
ini ditolak Ali dan tidak mau melepaskan jabatannya sampai ia mati
terbunuh pada tahun 661 M.
Mereka memandang Ali telah berbuat dosa dan bersalah, maka dari
itu mereka meninggalkan barisan Ali. Dan golongan ini disebut dengan
golongan Khawarij. Karena memandang Ali seperti demikian, maka Ali
mempunyai dua musuh yaitu Mu’awiyah dan Khawarij. Ali lebih fokus
untuk menghancurkan Khawarij, dan setelah mereka kalah, Mu’awiyah
tetap berkuasa di Damaskus. Dan setelah Ali wafat, maka Mu’awiyah
dengan mudah mendapatkan kekuasaan. Maka Mu’awiyah menggantikan
kekhalifahan Ali pada tahun 661 M.
14
Setelah peristiwa tersebut, maka menimbulkan tiga aliran teologi
yaitu yang pertama yaitu aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang
yang melakukan dosa besar adalah kafir, dan mereka wajib dibunuh. Yang
kedua yaitu aliran Murji’ah yang berpendapat bahwa orang yang berbuat
dosa besar mereka tetaplah mukmin, dan bukalah kafir. Untuk
mengampuni atau tidak itu adalah hak prerogratif Allah SWT. Yang ketiga
yaitu aliran Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat-pendapat
sebelumnya. Mereka berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa
besar adalah bukan orang kafir dan bukan pula orang mukmin,
sebagaimana istilah almanzila bain al manzilatain (posisi diantara dua
posisi)10
E. Khawarij
10
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 2012), hal. 4-9
15
Ali, Khawarij mengalami kekalahan besar, tetapi akhirnya Abd al-Rahman
Ibn Muljam membunuh Ali.
11
Harun Nasution, ibid, hlm. 14
16
beribadah melampaui batas normal sampai mencapai tingkatan
ekstrem dan fanatik.
12
Nashir As-Sa’wi, Al-Khawarij, hlm. 183
17
sejatinya ia bertujuan baik, tapi justru terjerumus pada hal yang
sebaliknya (keburukan).
13
As-Sa’wi, Al-Khawarij, hlm. 188
18
5. Bersikap keras terhadap kaum muslimin
F. Murji’ah
Hal ini dibuktikan dengan adanya sikap tidak mau melibatkan diri
dalam pertikaian dan perselisihan yang terjadi antar sesame muslim. Dan
inilah yang menjadi dasar golongan Murji’ah sebagai aliran teologi baru
yang lahir setelah Khawarij dan Syi’ah.
14
Ali Muhammad Ash-Shallabi, Khawarij dan Syi’ah (Sejarah, Ideologi, dan Penyimpangannya
menurut Pandangan Ahlussunnah wal Jamaah) (Jakarta: Ummul Qura, 2016) hlm. 87
19
kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan karena itu
tidak akan masuk neraka sama sekali.
G. Mu’tazilah
1. Tauhid
15
Sariah, Murji’ah Dalam Perspektif Teologis, hlm. 8
20
2. Keadilan Allah
3. Ancaman atas perbuatan jahat
4. Satu tingkat kedudukan antara kafir dan mukmin
5. Amar ma’ruf nahi munkar
16
Ahmad Zaeny, Ideologi dan Politik Kaum Mu’tazillah, hlm. 96-97
17
A Hanafi, Pengantar teologi Islam, Al husna Dzikra, Jakarta, 2001, h. 74
21
Adanya ajaran Mu’tazilah salah satunya dari Wasil, yang
mempunyai paham qadariah. Wasil berpendapat bahwa Tuhan bersifat
bijaksana dan adil. Ia tak dapat berbuat jahat dan bersifat dzalim. Tidak
mungkin Tuhan menghendaki supaya manusia berbuat hal yang
bertentangan dengan perintah-Nya. Oleh karena itu, manusia sendirilah
sebenarnya yang mewujudkan perbuatan baik dan perbuatan buruk itu,
iman atau tidaknya, kufur atau tidaknya, manusia akan mendapatkan
balasan yang setimpal dari Allah yang memberikan daya dan kekuatan
kepada manusia. Tidak mungkin Tuhan menurunkan perintah pada
manusia untuk berbuat sesuatu kalau manusia tidak mempunyai daya dan
kekuatan untuk menjalankannya.
H. Syi’ah
22
Syiah, yaitu Ibnu Muthahhar Hilli, ia kemudian memutukan untuk
mennganut mazhab Syiah dan menjadikan Islam Syiah sebagai agama
resmi negara.18
I. Sunni
18
Abd. Kadir, Syiah dan Politik: Studi Republik Islam Iran, 2015. hlm. 6
23
Muhammad SAW dan sahabat-sahabat beliau. Yang lebih merujuk kepada
Al-Qur’an dan Hadits.
19
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, dkk, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), hlm. 119
24
terdapat dalam al-Qur’an, dari Nabi SAW, ataupun merupakan ijtihad para
shahabat.
25
BAB III
A. Kesimpulan
Agama dan negara adalah dua buah intuisi yang sangat penting
bagi masyarakat khususnya yang ada dalam ranah wilayah keduanya.
Agama sebagai sumber etika moral yang mempunyai kedudukan yang
sangat vital karena berkaitan erat dengan perilaku seseorang dalam
interaksi sosial kehidupannya. Dalam hal ini agama dijadikan sebagai alat
ukur atau pembenaran dalam setiap langkah kehidupan, baik itu interaksi
terhadap sesama maupun kepada sumber agama itu sendiri, pada sisi lain
negara merupakan sebuah bangunan yang mencakup seluruh aturan
mengenai tata kemasyaratan berlaku dan mempunyai kewenangan
memaksa bag setiap masyarakat. Bisa saja aturan yang dibuat oleh negara
sejalan dengan agama, tetapi bisa juga apa yang ditetapkan berlawanan
dengan agama.
26
duniawi dan akhirat. Pemimpin mempunyai kedudukan yang strategis
untuk memperbaiki atau merusak masyarakat. Pemimpin diperintahkan
untuk berbuat adil terhadap seluruh umat manusia baik itu muslim ataupun
non-muslim.
a. Khawarij
b. Murji’ah
c. Mu’tazilah
27
d. Syi’ah
e. Sunni
28
Golongan ini lebih moderat dalam bidang-bidang tertentu.
Mereka menyeimbangkan antara dalil aqli dan naqli yang
ditempatkan dibawah pada tempatnya untuk mencegah sikap
ekstrim yang menjerumuskan pada penyelewengan aqidah maupun
syari’ah dan mu’amalah.
B. Saran
29
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Kadir, 2015. Syiah dan Politik: Studi Republik Islam Iran
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, dkk, 2010. Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka
Setia
Ilmiyah, n.d
Ali Muhammad Ash-Shallabi, 2016. Khawarij dan Syi’ah (Sejarah, Ideologi, dan
Din M. Syamsuddin, 2001. Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: PT. Logos
Wacana Ilmu
Hanafi .A. 2001. Pengantar teologi Islam, Jakarta: Al husna Dzikra
Konstituante
Madjid Nurcholis. 1995. Agama Dan Negara Dalam Islam: Telaah Krisis Atas
Fiqh Siyasah Sunni,” in Konstekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah.
Jakarta: Paramadina
Nasution Harun, 2012. Teologi Islam. Jakarta: UI Press
30
Syalabi Ahmad, 1983. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna
31