0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
46 tayangan31 halaman

Gerakan Politik Islam

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1/ 31

BAB I

A. Latar Belakang

Diantara faktor yang melatar belakangi munculnya aliran teologi


islam adalah persoalan politik. Awal mula perpecahan bisa kita lihat sejak
kematian Utsman Bin Affan r.a.. Sejarah menggambarkan Utsman sebagai
orang yang lemah dan tak sanggup menentang ambisi keluarganya yang
kaya dan berpengaruh untuk menjadi gubernur. Tindakan-tindakan yang
dijalankan Utsman ini mengakibatkan reaksi yang tidak menguntungkan
bagi dirinya. 1

Dinamika gerakan politik islam sangatlah menarik untuk dikaji.


Mengapa dikatakan menarik, karena salah satu munculnya gerakan-
gerakan politik islam salah satunya yaitu untuk orientasi kekuasaan,
disamping membahas kajian tentang teologi dari masing-masing aliran.

Ciri umum pemikiran politik ketatanegaraan islam pada masa


klasik dan pertengahan ditandai oleh pandangan mereka yang bersifat
khalifat sentris. Kepala negara aau khalifah memegang peranan penting
dan memiliki kekuasaan yang sangat luas. Raykat dituntut untuk mematuhi
kepala negara,bahkan di kalangan sebagian pemikir Sunni terkadang
sangat berlebihan.

Selain itu, masing-masing politik juga mempunyai dasar pemikiran


atau landasan yang mendukung, seperti Al-Qur’an dan hadits. Diantaranya
ada yang menekankan ketaatan terhadap kepala negara demi menjaga
stabilitas politik umat islam itu sendiri, sehingga keadaan negara akan
aman dan penegakan islam berjalan dengan baik. Hal ini membawa
pengaruh besar terhadap perkembangan gerakan politik islam. Terutama
gerakan politik yang muncul pada masa kekhalifahan.

1
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 39-40

1
Konsep kepatuhan mutlak terhadap kepala negara mengakibatkan
lemahnya kontrol rakyat terhadap kekuasaan. Pada masing-masing sekte
mempunyai ciri khas sendiri terhadap kekuasaan. Disamping itu, ideologi
islam juga ikut terlibat dalam sistem gerakan politik islam.

Agama islam merupakan sebuah solusi yang diyakini oleh


kalangan masyarakat baik yang bersifat spiritual maupun fisik material.
Oleh karena itu agama selalu dilibatkan oleh para pemeluknya untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapinya, sehingga agama juga menjadi
salah satu alasan dalam orientasi politik.

Menurut Amin Abdullah menyatakan bahwa “Agama lebih-lebih


teologi tidak lagi terbatas hanya sekedar menerangkan hubungan antara
manusia dan Tuhan-Nya tetapi secara tidak terelelakkan juga melibatkan
kesadara berkelompok (Sosiologis), kesadaran pencarian asal usul agama
(Antropologis) bahkan ajaran agama tertentu dapat diteliti sejauh memberi
dorongan yang kuat untuk memperoleh derajat kesejahteraan hidup yang
optimal (ekonomi)

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian agama dan negara ?
2. Apa pengertian gerakan politik islam ?
3. Bagaimana Sejarah timbulnya Aliran Teologi Islam ?
4. Bagaimana perspektif gerakan politik islam dalam mengatur agama
dan negara?
C. Batasan Masalah

Hubungan agama dan negara dalam perspektif gerakan politik islam.

D. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui arti agama dan negara
2. Untuk mengetahui bagaimana gerakan politik islam
3. Untuk mengetahui sejarah timbulnya aliran teologi islam

2
4. Untuk mengetahui perspektif gerakan politik islam dalam
mengatur agama dan negara

3
BAB II

A. Agama dan Negara


a. Pengertian agama

Defenisi agama secara etimologi berasal dari bahasa sansekerta


yang terdiri dari dua suku kata yaitu : “a” artinya tidak, dan “gama” berarti
kacau. Jadi agama artinya tidak kacau. Agama merupakan suatu sistem
kepercayaan kepada Tuhan yang dianut oleh sekelompok manusia untuk
berinteraksi kepada pencipta-Nya.2

Agama ditujukan pada manusia untuk mencapai kebahagiaan


didunia dan akhirat. Agama meliputi segala aspek yang ada di tatanan
masyarakat dan agama. Baik itu dalam ekonomi, sosial, dan budaya.
Konsep agama merupakan hal yang paling dominan dalam berjalannya
negara, begitu pula dengan ilmu politik.

b. Pengertian negara

Menurut Miriam Budiarjo mengartikan bahwa negara sebagai


sebuah organisasi yang terdapat dalam suatu teritori atau kawasan di mana
pada nantinya organisasi tersebut mampu mewujudkan kekuasaannya
secara legal terhadap kekuasaan lain yang ada dalam wilayah tersebut
mampu menetapkan tujuan yang ingin dicapai dari proses kehidupan
bersama.

Jadi, negara merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama.


Negara mempunyai syarat-syarat tertentu dan mempunyai wilayah, daerah,
tujuan, dan penduduk.

B. Pengertian Gerakan Politik Islam

Pada dasarnya gerakan islam bertujuan untuk tegaknya agama


islam dan menerapkan nilai-nilai islam didalam kehidupan sehari-hari agar

2
Ayi Sofyan, Etika Politik Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2012) hlm. 43

4
kedamaian dan kesejahteraan manusia dapat terwujud. Ada yang bersifat
fillah ada yang bersifat fi sabilillah. Fillah adalah gerakan Islam yang
berangkat dengan dakwah yang didasari oleh ilmu. Sedangkan sabilillah
adalah gerakan dengan sifat ke arah peperangan. Semua gerakan ini
bertujuan sama akan tetapi gerakan ini harus melihat kapan waktu yang
tepat untuk menggunakan cara fillah dan fisabilillah.

Jadi, Gerakan islam merupakan sebuah aktivitas umat muslim


untuk memperjuangkan agama islam dalam bentuk aspirasi-asprasi
masyarakat maupun agama. Gerakan islam biasanya dilakukan pada
gerakan non-politik maupun politik. Gerakan non-politik seperti organisasi
massa, aktivitas dakwah, lembaga-lembaga sosial, dan sebagainya.
Gerakan islam dibentuk guna memperkuat tali islam agar tidak mudah
untuk dihancurkan oleh musuh islam. Selain itu, gerakan ini juga didasari
oleh pemikir-pemikir islam dan metode yang dilakukan oleh Rasulullah
SAW. 3

C. Hubungan Gerakan Islam dan Ideologi Islam, Dalam Hubungannya


Dengan Kekuasaan

Islam merupakan agama yang universal, agama yang membawa


misi rahmatan lil ‘alamin serta membawa konsep ummat manusia
mengenai persoalan yang terkait dengan suatu sistem seperti politik,
perekonomian, penegakan hukum, dan sebagainya. Kemudian dalam bidan
politik misalnya, islam mendudukkannya sebagai sarana penjagaan urusan
umat. Islam dan politik integrative terwujud pada beberapa pemikir dan
politisi muslim yang hadir dari masa ke masa dengan pemikiran dan pola
perjuangannya yang berbeda-beda, salah satu diantaranya adalah Hasan al-
Banna.

Politik islam merupakan penghadapan islam dengan kekuasaan dan


Negara yang melahirkan sikap dan perilaku politik (political behavior)

3
Deliar Noer, Mengapa Partai Islam Kalah?, (Jakarta: Alvabet, 1999), cet. 1, hlm. 14

5
serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai
islam sikap dan perilaku serta budaya politik yang memakai kata islam,
menurut Taufik Abdullah bermula dari suatu kepribadian moral dan
doctrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual islam. 4 Politik islam
adalah pertarungan terhadap “penafsiran makna-makna islam dan
penguasaan lembaga- lembaga politik formal dan informal yang
mendukung mendukung pemaknaan islam tersebut.” Pertarungan yang
seperti ini melibatkan “objektivikasi” pengetahuan tentang islam yang
pada gilirannya memunculkan pluralisasi kekuasaan keagamaan. 5

Untuk mengurai paradigma hubungan agama dan gerakan politik


islam yang lebih mengarah kepada negara, tidak bisa dilepaskan dari
pembahasan bentuk-bentuk negara di dunia. Dalam sejarah perkembangan
pemikiran politik di dunia dikenal tiga bentuk negara di dunia, yaitu
bentuk negara teokrasi, sekuler, dan komunis.

Sistem teokrasi mendasarkan kekuasaan pemerintah pada


kedaulatan Tuhan (sovereignity of God), bentuk negara teokrasi ini
mempunyai landasan filosofis bahwa dalam suatu pemeritahan, di mana
Tuhan dianggap sebagai raja atau penguasa yang tidak bisa diganggu
gugat, dan hukumannya dijadikan sebagai undang-undang dasar negara.
Dengan demikian, teori teokrasi ini dapat digambarkan bahwa hubungan
agama dan negara bersifat integral, artinya agama adalah negara dan
negara adalah agama, kedua variabel itu tidak bisa dipisahkan. Karena
pemerintahan menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman-firman
Tuhan. Segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan bernegara
dilakukan atas titah Tuhan sehingga urusan kenegaraan atau politik
diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan.

4
M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001),
hlm. 31
5
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga
Postmodernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 12

6
Dalam perkembangan selanjutnya paham teokrasi terbagi kedalam
dua bagian. Pertama, paham teokrasi langsung, menurut paham ini bahwa
pemerintahan diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula,
adanya negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan, oleh karena itu
yang memerintah adalah Tuhan pula. Kedua, paham teokrasi tidak
langsung bahwa yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan raja
atau kepala negara yang memiliki otoritas atas nama Tuhan. Kepala negara
atau raja diyakini memerintah atas kehendak Tuhan. Dalam pemerintahan
teokrasi tidak langsung ini sistem dan norma-norma dalam negara
dirumuskan berdasarkan firman-firman Tuhan karena negara menyatu
dengan agama. Jadi agama dan negara tidak dapat dipisahkan meminjam
istilah Nurcholis Madjid. Paradigma yang digunakan dalam paham tekrasi
ini adalah integralistik, yakni pemahaman hubungan antara agama dan
negara merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya
merupakan dua lembaga yang menyatu (integreted) dengan pengertian
bahwa negara merupakan suatu lembaga politik sekaligus sebagai lembaga
agama. 6

Jadi, paradigma ini kemudian melahirkan konsep tentang agama


dan negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan
menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Dengan demikian paradigm
integral di sini dapatdikenal sebagai paham islam yaitu din wa dawlah
yang sumber hukum positifnya adalah hukum agama. Argumentasi ini
dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad Saw. ketika di Madinah, di
mana nabi membangun sistem pemerintahan dalam sebuah negara kota
(city-state). Di Madinah, Muhammad Saw. berperan sebagai kepala
pemerintahan sekaligus sebagai kepala agama.7

6
Nurcholis Madjid, “Agama Dan Negara Dalam Islam: Telaah Krisis Atas Fiqh Siyasah Sunni,” in
Konstekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), 15.
7
Abd al-Ḥasan’Ali b. Muḥammad b. Ḥabib al-Baḥri al-Baghdādi al-Mawardi, AlAḥkam al-
Sultaniyah wa al-Walayat al-Diniyyah (Beirut: Al-Kutub al-Ilmiyah, n.d.), 3.

7
Lain halnya dengan paham sekularisme, dalam praktik
pemerintahannya paham ini membedakan dan memisahkanya antara
agama dan negara. Dalam negara sekuler tidak ada hubungan antara sistem
kenegaraan dengan agama karena negara mengatur urusan hubungan
manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan urusan agama
adalah urusan manusia dengan Tuhan (private). Maka dari itu kedua
(agama dan negara) tersebut tidak bisa disatukan karena negara urusan
publik, sedang agama adalah urusan privat, sehingga sistem dan norma
hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama
atau firman-firman Tuhan. Sekalipun paham ini memisahkan antara agama
dan negara, akan tetapi pada lazimnya negara sekuler membebaskan warga
negaranya untuk memeluk agama apa saja yang mereka yakini dan negara
tidak intervensif dalam urusan agama.

Karena bentuk negara sekuler penggunaan paradigma sekularistik,


maka mereka berpandangan bahwa ada pemisahan (disparitas) antara
agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang
berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing,
sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain
melakukan intervensi. Berdasarkan pada pandangan yang dikhotomi ini,
maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul dari
kesepakatan bersama.

Sedang paham Komunis memandang bahwa hakikat hubungan


agama dan negara berdasarkan pada filosofi materialisme-dialektis dan
materialisme-historis. Paham ini menimbulkan paham atheis yang
dipelopori oleh Karl Marx yang memandang bahwa agama sebagai candu
masyarakat, karena manusia bukan ditentukan oleh agama tetapi yang
paling menentukan keberadaan manusia adalah manusia itu sendiri. Dalam
hal ini agama dianggap sebagai suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum
menemukan dirinya sendiri.

8
Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang
kemudian menghasilkan masyarakat negara sedangkan agama dipandang
sebagai realisasi fantastik manusia, dan agama merupakan keluhan
makhluk tertindas. Oleh karena itu, agama harus ditekan, bahkan dilarang.
Nilai yang tertinggi dalam negara adalah materi, karena manusia sendiri
pada hakekatnya adalah materi. Dari tiga paradigma tersebut tampaknya
Nurcholis Madjid menawarkan paradigma baru untuk membangun
hubungan antara agama dan negara di Indonesia, yaitu paradigma
“Simbiotik Multikulturalistik”, dalam konsep ini agama bukan negara, dan
negara bukan agama tetapi agama tidak lepas atau pisah dengan negara
dan juga sebaliknya. Walaupun agama dan negara tidak satu dan juga tidak
pisah, tetapi tampaknya agama selalu berhubungan (mutualistik), saling
membutuhkan antara satu dengan yang lain (agama dan negara). Dalam
konteks ini agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam
melestarikan dan mengembangkan agama. Demikian juga sebaliknya,
negara juga memerlukan agama, karena agama akan membantu negara
dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas.

Dalam konteks ini Ibn Taimiyah mengatakan bahwa adanya


kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban
agama yang paling besar karena tanpa kekuasaan negara, maka agama
tidak bisa berdiri tegak. Statemen tersebut tentu meligitimasi bahwa antara
agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling
membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma
ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai
oleh hukum agama (sharī’ah).8

Jadi, jikalau gerakan islam selaras dengan ideologi islam yaitu al-
Qur’an dan as-sunnah, maka gerakan islam itu akan mudah untuk bergerak
dikalangan masyarakat dan diterima oleh masyarakat dengan penanaman
nilai-nilai islam dan ajaran yang disampaikan oleh gerakan islam tersebut.

8
Ma’arif, Islam Dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante, hlm. 25

9
Salah satu tujuan islam juga terdapat pada kekuasaan, karena untuk
mensyi’arkan agama juga akan lebih mudah jikalau ada andil yang
dipegang termasuk kekuasaan wilayah islam serta mengembangkan
peradaban keilmuan dikalangan masyarakat.

D. Sekte Teologi Awal Mula Dimulainya Gerakan Islam

Sedikit aneh rasanya jika dikatakan dalam islam, sebagai agama,


persoalan yang pertama kali timbul adalah dalam bidang politik dan bukan
dalam bidang teologi. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat
menjadi persoalan teologi.

Awal mula dimulainya gerakan islam terlebih dahulu dimulai dari


sejarah islam itu sendiri. Ketika nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan
ajaran-ajaran islam yang beliau terima dari Allah SWT di Mekkaah, kota
ini mempunyai sistem kemasyarakatan yang terletak dibawah pimpinan
suku bangsa Quraisy.

Di pertengahan kedua dari abad keenam Masehi, jalan dagang


Timur-Barat, berpindah dari Teluk Persia-Euprhat di Utara dan Laut
Merah-Perlembahan Neil di Selatan, ke Yaman-Hijaz-Syiria. Peperangan
yang senantiasa terjadi antara kerajaan Byzantindan Persia membuat jalan
Utara tak selamat dan tak menguntungkan bagi pedagang.

Dengan pindahnya perjalanan dagang Timur-Barat ke semenanjung


Arabia, Mekkah yang terletak di tengah-tengah garis perjalanan dagang
itu, menjadi kota dagang. Pedagang-pedagangnya pergi ke selatan
membeli barang-barang yang dating dari Timur, yang kemudian mereka
bawa ke Utara untuk dijual di Syiria. (Qs. Quraisy)

Dengan adanya transit ini Mekkah menjadi kaya, dagang dikota itu
dikuasai oleh Quraisy dan sebagai orang-orang yang berpengaruh dalam
masyarakat pemerintahan Mekkah juga berada ditangan mereka.

10
Kekuasaan sebenarnya terletak dalam tangan kaum pedagang
tinggi.kaum pedagang tinggi ini, untuk menjaga kepentingan-kepentingan
mereka, dan mereka mempunyai perasaan solidaritas kuat yang kelihatan
efeknya dalam perlawanan mereka terhadap nabi Muhammad SAW,
sehingga beliau dan pengikut-pengikutnya terpaksa meninggalkan Mekkah
lalu pergi ke Yastrib di tahun 622 M. sebagaimana diketahui bahwa nabi
itu bukanlah termasuk golongan orang kaya ataupun golongan bangsa
Quraisy, keadaan ekonominya sederhana sekali, sehingga dimasa kecilnya
Nabi bekerja sebagai gembala domba.

Suasana masyarakat di Yastrib berlainan dengan suasana di


Mekkah. Kota ini bukanlah kota pedagang, melainkan kota petani.
Masyarakatnya tidak homogeny, tetapi terdiri dari bangsa Arab dan bangsa
Yahudi. Bangsa arab terdiri dari dua suku bangsa, Al-Khazraj dan Al-
‘Aus. Antara kedua suku bangsa ini senantiasa terdapat persaingan untuk
menjadi kepala dalam masyarakat Madinah. Keadaan disana tidak menjadi
aman dan untuk mengatasi persoalan dan pertengkaran mereka yang
terlalu berlarut-larut itu, mereka menginginkan seorang hakam, yaitu
pengantara yang netral.

Seketika pemuka-pemuka kedua suku bansga ini pergi naik haji ke


Mekah, mereka mendengar dan mengetahui kedudukannya Nabi
Muhammad dan dalam satu perjumpaan dengan mengetahui beliau mereka
meminta supaya Nabi pindah ke Yastrib. Melihat kerasnya tantangan yang
beliau hadapi dari pihak pedagang di Mekkah, beliau akhirnya berhijrah ke
Yastrib. Di kota ini, yang setelah Nabi pindah ke sana diberi nama
Madinah al-Nabi, beliau bertindak sebagai pengantara antara kedua suku
bangsa yang bertentangan itu. Lambat laun dari pengantara itu Nabi
kemudian diangkat menjadi kepala masyarakat Madinah.

Selama di Mekkah Nabi Muhammad hanya menjadi kepala agama


dan tak mempunyai fungsi pemerintahan karena pada masa itu kekuasaan

11
politik belum dapat dijatuhkan. di Madinah sebaliknya, Nabi Muhammad
di samping menjadi kepala agama juga menjadi kepala pemerintahan.
Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di Madinah.
Sebelum itu di Madinah tidak ada kekuasaan politik.

ketika beliau wafat pada tahun 632 M daerah kekuasaan Maadinah


bukan hanya terbatas pada kota itu saja, tetapi boleh dikatakan meliputi
seluruh Semenanjung Arabia. Negara islam waktu itu merupakan
kumpulan suku-suku bangsa Arab yang mengikat tali persekutuan dengan
nabi dalam berbagai bentuk, dengan masyarakat Madinah dan mungkin
sebagai masyarakat Mekkah sebagai intinya.

Islam merupakan sistem agama dan telah merupakan sistem politik


dan Nabi Muhammad juga sudah merupakan ahli negara. Jadi tidak
mengherankan jikalau ketika wafatnya nabi Muhammad masyarakat
Madinah itu sibuk untuk mencari siapa pengganti beliau untuk menjadi
kepala negara yang baru lahir itu, sehingga penguburan nabi menjadi soal
kedua bagi mereka. Lalu timbullah soal khilafah, soal pengganti nabi
sebagai kepala negara, jikalau sebagai nabi atau rasul itu tentu tidak bisa
digantikan.

Problem politis pertama yang mereka hadapi adalah menentukan


siapa pemegang estafet kepemimpinan umat islam untuk menggantikan
Rasulullah SAW. Sahabat Muhajirin dan Anshar saling berargumen bahwa
masing-masing dari mereka yang lebih berhak. Sebagian sahabat yang
didukung oleh Bani Hasyim berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib karena
kedudukan beliau dalam islam terlebih lagi beliau adalah menantu dan
karib Rasulullah SAW yang terdekat.9

Lalu diadakanlah musyawarah masyarakat untuk pengganti Nabi.


Lalu terpilihlah Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai pengganti nabi dengan
pertimbangan-pertimbangan yang sudah dimusyawarahkan masyarakat.

9
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983), hlm. 87-90

12
Kemudian setelah wafatnya Abu Bakar Ash-Shiddiq digantikan oleh Umar
Bin Khattab dan Umar Bin Khattab digantikan oleh Ustman Bin Affan.

Utsman merupakan golongan pedagang Quraisy yang kaya.


Keluarganya terdiri dari orang aristokrat Mekkah yang mempunyai
pengetahuan administrasi yang bermanfaat juga untuk orang lain baik di
Semenanjung Arab maupun yang dibawah kekuasaan islam. Akan tetapi
kepemimpinan Utsman Bin Affan ini cenderung nepotisme karena
mengangkat kaum keluarganya menjadi perangkat-perangkat
pemerintahan dimasanya.

Lalu setelah Utsman wafat maka digantikan oleh Ali Bin Abi
Thalib yang menjadi khalifah yang keempat. Tetapi segera ia mendapat
tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khilafah, yaitu
Talhah dan Zubeir yang mendapat sokongan dari Aisyah, kemudian
setelah pertempuran yang terjadi di Iral pada tahun 656 Talhah dan Zubeir
mati terbunuh dan Aisyah dikirim ke Mekkah kembali.

Tantangan yang kedua yaitu dengan Mu’awiyah yang menjadi


Gubernur Damaskus dan keluarga dekat Utsman. Sebagaimana peristiwa
sebelumnya, Mu’awiyah tidak mau mengakui Ali sebagai khalifah. Ia
menuntut Ali supaya menghukum pembunuh Utsman, akan tetapi tidak
mengambil tindakan keras bahkan Ali juga dituduh terlibat dalam
pembunuhan Utsman Bin Affan.

Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan ini di


Siffin, tentara Ali dapat mendesak tentara Mu’awiyah sehingga yang
tersebut akhir ini bersiap-siap untuk lari. Tetapi ‘Amr Ibn al-‘As yang
terkenal sebagai orang licik meminta utk berdamai dengan mengangkat al-
Qur’an ke atas. Dari pihak Ali yaitu Abu Musa al-Asy’ari.

Bagaimanapun peristiwa ini merugikan bagi Ali dan


menguntungkan bagi Mu’awiyah. Yang legal menjadi khilafah adalah Ali
bin Abi Thalib, sedangkan Mu’awiyah hanyalah Gubernur Damaskus yang

13
tidak mau tunduk kepapda Ali sebagai khalifah. Tidak heran jika putusan
ini ditolak Ali dan tidak mau melepaskan jabatannya sampai ia mati
terbunuh pada tahun 661 M.

Sikap Ali yang menerima tipu muslihat ‘Amr al-‘As untuk


mengadakan arbitrase sungguhpun dalam keadaan terpaksa dan tidak
disetujui oleh sebagian tentaranya, mereka berpendapat bahwakeputusan
hanya dating dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada
dalam al-Qur’an. La hukma illa lillah (tidak ada hukumselain dari hukum
Allah atau la hakama illa lillah (tiada pengantara selain dari Allah), itulah
semboyan mereka.

Mereka memandang Ali telah berbuat dosa dan bersalah, maka dari
itu mereka meninggalkan barisan Ali. Dan golongan ini disebut dengan
golongan Khawarij. Karena memandang Ali seperti demikian, maka Ali
mempunyai dua musuh yaitu Mu’awiyah dan Khawarij. Ali lebih fokus
untuk menghancurkan Khawarij, dan setelah mereka kalah, Mu’awiyah
tetap berkuasa di Damaskus. Dan setelah Ali wafat, maka Mu’awiyah
dengan mudah mendapatkan kekuasaan. Maka Mu’awiyah menggantikan
kekhalifahan Ali pada tahun 661 M.

Dari masalah-masalah tersebut maka timbullah persoalan-persoalan


teologi. Timbullah persoalan tentang siapa yang kafir dan siapa yang
bukan kafir, siapa yang islam dan siapa yang keluar dari islam.

Khawarij memandang Ali, Mu’awiyah, Amr bin al-‘As dan Abu


Musa Al-Asy’ari dan yang lainnya yang terlibat dalam persoalan sengketa
itu adalah kafir. Yang mereka pandang kafir dalam arti bahwa mereka
telah keluar dari islam dan mereka harus dibunuh karena mereka telah
murtad.

Setelah beberapa waktu perlahan Khawarij menjadi pecah dengan


beberapa sekte. Dan konsep kafir telah mengalami perubahan. Yang
dipandang kafir adalah orang yang berbuat dosa besar.

14
Setelah peristiwa tersebut, maka menimbulkan tiga aliran teologi
yaitu yang pertama yaitu aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang
yang melakukan dosa besar adalah kafir, dan mereka wajib dibunuh. Yang
kedua yaitu aliran Murji’ah yang berpendapat bahwa orang yang berbuat
dosa besar mereka tetaplah mukmin, dan bukalah kafir. Untuk
mengampuni atau tidak itu adalah hak prerogratif Allah SWT. Yang ketiga
yaitu aliran Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat-pendapat
sebelumnya. Mereka berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa
besar adalah bukan orang kafir dan bukan pula orang mukmin,
sebagaimana istilah almanzila bain al manzilatain (posisi diantara dua
posisi)10

Jadi, bendera islam pada masa itu telah menjadi Khawarij,


Murji’ah, Mu’tazillah, Sunni bahkan Syi’ah. Dan sebagaimana golongan
yang memiliki pimpinan sendiri-sendiri, maka umat islam pun telah
berimam kepada para pemimpinnya sendiri sesuai dengan ajaran dan
keyakinan yang telah dianut dan diajarkan oleh pemimpinnya. Sehingga
yang terjadi pada saat ini adalah fanatisme mazhab yang berlebihan
dengan memunculkan persoalan-persoalan bid’ah dan saling menyalahkan
antar golongan dengan label kafir, musyri, bid’ah, dan lain sebagainya.

Teologi merupakan ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap


orang harus tau seluk beluk agamanya secara mendalam untuk
mempelajari agama yang dianutnya. Mempelajari teologi ini akan
memberikan landasan yangkuat untuk sebuah keyakinan yang dianutnya.

E. Khawarij

Nama Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar.


Nama itu diambil karena mereka keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib.
Mereka memilih ‘Abdullah Ibn Abi Wahab Al-Rasidi yang menjadi
pemimpin pengganti Ali bin Abi Thalib. Didalam pertempuran dengan

10
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 2012), hal. 4-9

15
Ali, Khawarij mengalami kekalahan besar, tetapi akhirnya Abd al-Rahman
Ibn Muljam membunuh Ali.

Lalu kaum Khawarij tetap membentuk barisan di zaman Dinasti


Bani Umayah maupun di zaman Dinasti Abbasiyah untuk menghancurkan
kekuasaan yang ada pada masa itu.

Jika ada pemimpin yang bertolak belakang dengan ajaran-ajaran


islam, maka ia wajib dilengserkan dan dibunuh. Pada masa khalifah
sebelumnya yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar Bin Khattab mereka
diangkat dan dipilih. Tetapi ketika kekhalifahan Ustman Bin Affan dan Ali
mereka menganggap bahwa mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran
islam karena persoalan arbitrase tersebut.

Sejak waktu itulah mereka telah dianggap menjadi kafir, begitu


juga dengan Mu’awiyah, ‘Amr Ibn al-‘As Abu Musa al-Asy’ariyah yang
mereka telah melanggar ajaran-ajaran islam.

Kaum khawarij terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Mereka


bersifat bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Mereka tetap jauh dari
Qur’an dan Hadits, mereka mengartikan menurut lafaznya dan harus
dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu pemikiran mereka sempit dan
fanatik, mereka tidak bisa mentolerir penyimpangan ajaran islam
walaupun hanya bentuk islam. 11

Tabiat-tabiat utama kaum khawarij yaitu :

1. Berlebih-lebihan dalam urusan agama

Kaum Khawarij adalah kaum yang paling taat dalam


beragama, mereka benar-benar berpegang teguh dengan ajaran
islam dan juga senantiasa menjalankan segala perintah dan
larangan Allah SWT. Mereka adalah orang yang sering

11
Harun Nasution, ibid, hlm. 14

16
beribadah melampaui batas normal sampai mencapai tingkatan
ekstrem dan fanatik.

Dalam urusan berbuat dosa kecil, mereka


menganggapnya sebagai kafir dan musyrik yang akan kekal di
dalam neraka. Sikap yang berlebihan seperti ini membuat
mereka menjadi melanggar aturan-aturan agama yang bertujuan
baik yaitu untuk perdamaian, tetapi mereka malah mengkafir-
kafirkan dan menuduh sesamanya dengan penuh kebencian dan
kemunafikan, bahkan mereka tidak segan untuk menghalalkan
darah yang bertentangan dengan mereka. 12

Dengan pemahaman yang ekslusif seperti ini membuat


mereka berada dalam kebodohan serta sikap yang fanatik dan
menghilangkan marwah islam yang sudah dikenal sebagai
agama perdamaian yang telah disampaikan oleh Rasulullah
SAW.

2. Bodoh tentang perkara agama

Buruknya pemahaman tentang agama karena kurang


mempertimbangkan nash dengan pemahaman dan pemikiran
mereka.

Kebodohan mereka tentang syariat Allah adalah pemikiran


mereka bahwa at-Tahkim merupakan sebuah kemaksiatan yang
menyebabkan kekafiran, sehingga orang yang terlibat didalam
peristiwa tersebut harus mengakui kekafiran dirinya lalu bertaubat.

Maka dari itu, jelaslah bahwa kebodohan mereka


merupakan salah satu tabiat yang menisbatkan dirinya kepada
islam itu. Jadi kebodohan mereka adalah penyakit yang berbahaya
yang bisa membinasakan pemiliknya tanpa disadari, bahkan

12
Nashir As-Sa’wi, Al-Khawarij, hlm. 183

17
sejatinya ia bertujuan baik, tapi justru terjerumus pada hal yang
sebaliknya (keburukan).

3. Memecah belah tongkat ketaatan

Memecah belah tongkat ketaatan dan mencoba untuk


mencerai beraikan persatuan kaum muslimin. Hal itu terlihat
dengan sikap mereka dengan Ali bin Abi Thalib untuk
memisahkan diri darinya.

Sifat tersebut membuat golongan menjadi terpecah belah


dan adanya golongan yang saling mengkafirkan satu sama lain.
Oleh karena itu, terjadi penyerangan, perselisihan, dan
pemberontakan. 13

4. Mengafirkan pelaku dosa serta menghalalkan darah kaum


muslimin dan harta mereka

Kaum Khawarij memiliki pemikiran-pemikiran tersendiri


yang menjadikan mereka ekstrem terhadap agama mereka dan
menghalalkan darah mereka. Mereka menganggap bahwa selain
dari mereka yang melakukan dosa itu adalah kafir.

Jadi, kebid’ahan kaum Khawarij didasari atas dua perkara :

a. Orang yang perbuatan dan pendapatnya menyelisihi Al-


Qur’an adalah orang kafir
b. Utsman bin Affan dan Ali bin Thalib, serta orang-orang
yang mendukung keduanya adalah orang kafir

Maka kita harus memelihara diri dari sifat yang


mengkafirkan orang-orang yang beriman hanya karena dosa besar
atau kecil dan muncullah bid’ah yang menghalalkan darah dan
menetapkan celaan terhadap mereka untuk memerangi mereka.

13
As-Sa’wi, Al-Khawarij, hlm. 188

18
5. Bersikap keras terhadap kaum muslimin

Kaum Khawarij terkenal sebagai orang yang bersikap


sangat kasar dan kejam terhadap kaum muslimin. Mereka
memperlakukan sesama kaum muslimin dengan bengis bahkan
dalam perebutan kekuasaan, dan menghalalkan darah sesamanya.
Di sisi lain, mereka hanya membiarkan musuh-musuh islam
berdamai dengan mereka, serta tidak menyakiti mereka. 14

F. Murji’ah

Kaum Murji’ah merupakan golongan yang tidak mau ikut campur


dalam pertentangan-pertentangan yang berhubungan dengan penentuan
hukum kafir atau tidak kafirnya seseorang.

Hal ini dibuktikan dengan adanya sikap tidak mau melibatkan diri
dalam pertikaian dan perselisihan yang terjadi antar sesame muslim. Dan
inilah yang menjadi dasar golongan Murji’ah sebagai aliran teologi baru
yang lahir setelah Khawarij dan Syi’ah.

Mereka menganggap bahwa orang yang berdosa besar itu tetaplah


diakui. Dengan mengucapkan kalimat syahadat yang menjadi dasar utama
dari iman. Oleh karena itu, orang yang berbuat dosa tetaplah mukmin, dan
bukanlah orang kafir. Menentukan mukmin atau kafirnya seseorang
hanyalah kepercayaan atau imannya dan bukan perbuatan atau amalnya.

Pada umumnya kaum Murji’ah dapat dibagi dalam dua golongan


besar, golongan moderat, dan golongan ekstrim.

Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar


bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam
neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada

14
Ali Muhammad Ash-Shallabi, Khawarij dan Syi’ah (Sejarah, Ideologi, dan Penyimpangannya
menurut Pandangan Ahlussunnah wal Jamaah) (Jakarta: Ummul Qura, 2016) hlm. 87

19
kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan karena itu
tidak akan masuk neraka sama sekali.

Menurut Abu Hanifah iman ialah pengetahuan dan pengakuan


tentang Tuhan, tentang rasul-rasul-Nya dan tentang segala apa yang datang
dari Tuhan keseluruhan dan tidak dalam perincian, iman tidak mempunyai
sifat bertambah atau berkurang, dan tidak ada perbedaan antara manusia
dalam hal iman.

Dari dalam bidang politik, mereka mengimplementasikan dengan


sikap politik netral atau non blok, yang berarti kelompok ini lebih memilih
diam dan bungkam.

Dalam golongan Murji’ah ekstrem yang mengukur iman hanyalah


ma’rifat saja kepada Allah. Ma’rifat yang dimaksud tidak perlu lagi
adanya pembuktian lisan maupun perbuatan karena tidak termasuk iman.
Karena itu bagi orang yang mencapai ma’rifat mengganggap kekufuran
secara lisan tidak akan menjadi kafir, ia tetap iman jikalau ia tidak
menyembah selain dari Allah SWT. Percaya pada doktrin trinitas dan
sebagainya imannya akan tetap ada, karena iman dan kufur itu terletak
pada hati, bukan perilaku anggota tubuh seseorang.15

G. Mu’tazilah

Golongan Mu’tazillah berangkat dari adanya aliran Khawarij dan


Murji’ah yang mempermasalahkan orang yang berbuat dosa besar adalah
kafir. Mu’tazilah berpendapat bahwa pelaku dosa besar itu tempatnya
adalah di antara mukmin dan kafir. (al manzilah bainal manzilatain)

Pada fase pertama, Mu’tazilah bersifat sederhana yakni tentang


pelaku dosa besar, lalu muncullah lima ajaran pokok Mu’tazilah, yaitu :

1. Tauhid

15
Sariah, Murji’ah Dalam Perspektif Teologis, hlm. 8

20
2. Keadilan Allah
3. Ancaman atas perbuatan jahat
4. Satu tingkat kedudukan antara kafir dan mukmin
5. Amar ma’ruf nahi munkar

Kelima ajaran pokok inilah yang harus dipegang oleh kaum


Mu’tazilah. Dengan adanya pedoman ini maka aliran ini terus berkembang
seiring berjalannya waktu. Terbukti dengan adanya tokoh-tokoh Bani
Umayyah yang menganut aliran ini. Di sisi lain, Mu’tazilah juga tidak anti
terhadap pemerintahan, sehingga golongan ini tumbuh secara damai tanpa
adanya kekerasan.16

Golongan ini membawa persoalan-persoalan teologi dengan lebih


mendalam yang bersifat filosofis. Lebih banyak memakai akal, maka dari
itu kaum ini dinamakan “kaum rasionalis islam”

Golongan Mu’tazilah mempunyai corak politik, yaitu dalam


membahas praktek-praktek politik yang dilakukan oleh Ustman, Ali,
Mu’awiyah, dan lain sebagainya. Perbedaannya dengan aliran yang lain
adalah Mu’tazilah menambahkan persoalan telogi dan falsafat ke dalam
ajaran dan pemikiran mereka.

Pada pemerintahan Dinasti Abbasiyah, Mu’tazilah lebih


berkembang karena aliran ini menjadi kunci utama pemerintahan ketika
terjadinya penyerangan-penyerangan oleh orang-orang non islam seperti
golongan Majusi, atheist, dan lain sebagainya terhadap islam. Pemikiran
golongan ini menjadi alat atau kunci untuk menolak serangan-serangan
lawannya. Dengan adanya filsafat sebagai revolusi pikiran yang penting
bagi hidup mereka. jadi akhirnya mereka mencintai filsafat karena filsafat
itu sendiri. 17

16
Ahmad Zaeny, Ideologi dan Politik Kaum Mu’tazillah, hlm. 96-97
17
A Hanafi, Pengantar teologi Islam, Al husna Dzikra, Jakarta, 2001, h. 74

21
Adanya ajaran Mu’tazilah salah satunya dari Wasil, yang
mempunyai paham qadariah. Wasil berpendapat bahwa Tuhan bersifat
bijaksana dan adil. Ia tak dapat berbuat jahat dan bersifat dzalim. Tidak
mungkin Tuhan menghendaki supaya manusia berbuat hal yang
bertentangan dengan perintah-Nya. Oleh karena itu, manusia sendirilah
sebenarnya yang mewujudkan perbuatan baik dan perbuatan buruk itu,
iman atau tidaknya, kufur atau tidaknya, manusia akan mendapatkan
balasan yang setimpal dari Allah yang memberikan daya dan kekuatan
kepada manusia. Tidak mungkin Tuhan menurunkan perintah pada
manusia untuk berbuat sesuatu kalau manusia tidak mempunyai daya dan
kekuatan untuk menjalankannya.

Manusia dengan menggunakan akalnya, dapat dan wajib


mengetahui Tuhan. Oleh karena itu, manusia harus memanfaatkan
kemampua berfikirnya dalam menelaah sesuatu untuk kemashlahatan
manusia.

H. Syi’ah

Iran sebagai negara dengan penganut Syiah terbesar di dunia,


bukan hanya menjadikan Islam dengan mazhab Syiah sebagai anutan
teologis dan ritual, tapi ajaran Syiah cukup mendominasi dalam kehidupan
sosial dan pemerintahan bangsa Iran. Awalnya bangsa Iran adalah
penganut Sunni mazhab Hanafi dan Syafi’I, dan selama beberapa waktu
penganut keduanya mengalami pertikaian yang sengit. Mazhab Syiah
mulai dianut secara massif ketika masa penguasaan bangsa Mongol di Iran
sekitar tahun 1219-1353 M.

Awalnya dari penguasa kedua bangsa Mongol di Iran yaitu Oijeitu


yang awalnya menganut agama Shamanisme namun kemudian masuk
Islam (Sunni). Ketika melihat pertikaian sengit antara penganut Hanafi dan
Syafi’I, membuat Oijeitu marah dan mempertimbangkan untuk kembali
pada agama Shamanisme, namun karena pengaruh salah seorang teolog

22
Syiah, yaitu Ibnu Muthahhar Hilli, ia kemudian memutukan untuk
mennganut mazhab Syiah dan menjadikan Islam Syiah sebagai agama
resmi negara.18

Mazhab Syiah Imamiyah akhirnya benar-benar menjadi mazhab


resmi Negara sejak masa Shah Ismail I dari dinasti Shafawi. Pemimpin-
pemimpin Shafawi menggunakan berbagai cara dakwah persuasif dan
koersif untuk menarik mayoritas masyarakat muslim Persia menjadi Syiah.
Masa pemerintahan Shafawi selama lebih dua abad berkuasa merupakan
masa penerapan ortodoksi agama (dalam hal ini adalah Syiah) dengan
corak sufisme. Pada masa dinasti Shafawi ini hukum benar-benar
diterapkan secara normatif, selain itu wacana pemikiran dan sufisme
(irfan) yang bercorak Syiah cukup berkembang pesat dan di masa inilah
lahir banyak pemikir besar Syiah seperti Mir Damad, Mulla Shadra, Mulla
Hadi Shabzavari, dan lain-lain. Kebijakan pemerintahan Shafawi ini
benar-benar menjadikan ajaran Syiah sebagai ajaran yang berpengaruh
secara luas dalam kehidupan sosial masyarakat Iran dan berpengaruh
hingga masa-masa sesudahnya.

Mazhab Syiah kemudian menemukan momentumnya dalam


sejarah politik Iran yaitu pada saat meletusnya revolusi Islam Iran tahun
1979. Terjadi revolusi total pada semua lini kehidupan sosial dan politik
bangsa Iran. Bangsa Iran mengukir sejarah baru dalam perjalanannya,
yaitu sistem monarki yang telah bertahan lebih dari 25 abad diganti dengan
sistem pemerintahan yang memadukan antara sistem pemerintahan modern
dan sistem politik Islam Syiah, yaitu Imamah.

I. Sunni

Golongan ini sering disebut dengan ahlussunnah wal jama’ah, yang


artinya kau yang menganut I’tiqad sebagai I’tiqad yang dianut oleh nabi

18
Abd. Kadir, Syiah dan Politik: Studi Republik Islam Iran, 2015. hlm. 6

23
Muhammad SAW dan sahabat-sahabat beliau. Yang lebih merujuk kepada
Al-Qur’an dan Hadits.

Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan salah satu dari beberapa


aliran Kalam. Adapun ungkapan Ahl al-Sunnah (sering juga disebut
dengan sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan
khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syi’ah.

Dalam pengertian ini, Mu’tazilah sebagaimana Asy’ariyah masuk


dalam barisan Sunni. Sementara Sunni dalam pengertian khusus adalah
madzhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan dari
Mu’tazilah. Pengertian yang kedua inilah yang dipakai dalam pembahasan
ini. 19

Ahlussunnah Wal Jama’ah merupakan gabungan dari kata ahl


assunnah dan ahl al-jama’ah. Dalam bahasa Arab, kata ahl berarti
“pemeluk aliran/ mazhab” (ashab al-mazhabi), jika kata tersebut dikaitkan
dengan aliran/ madzhab. Kata al-Sunah sendiri disamping mempunyai arti
al-hadits, juga berarti “perilaku”, baik terpuji maupun tercela. Kata ini
berasal dari kata sannan yang artinya “jalan”.

Selanjutnya mengenai definisi al-Sunnah, secara umum dapat


dikatakan bahwa al-Sunnah adalah sebuah istilah yang menunjuk kepada
jalan Nabi SAW dan para shahabatnya, baik ilmu, amal, akhlak, serta
segala yang meliputi berbagai segi kehidupan. Maka, berdasarkan
keterangan di atas, ahl al-Sunnah dapat diartikan dengan orang-orang yang
mengikuti sunah dan berpegang teguh padanya dalam segala perkara yang
Rasulullah SAW dan para shahabatnya berada di atasnya (Ma ana ‘alaihi
wa asha bi), dan orang-orang yang mengikuti mereka sampai hari Qiamat.
Seseorang dikatakan mengikuti al-Sunah, jika ia beramal menurut apa
yang diamalkan oleh Nabi SAW berdasarkan dalil syar’i, baik hal itu

19
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, dkk, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), hlm. 119

24
terdapat dalam al-Qur’an, dari Nabi SAW, ataupun merupakan ijtihad para
shahabat.

Pemikiran politik Sunni sepakat bahwa pemerintahan adalah


sesuatu yang niscaya demi memungkinkan manusia bekerja sama untuk
meraih tujuan hidupnya yang sejati. Yakni suatu kehidupan yang baik
berdasar syariah yang pada gilirannya, akan menghasilkan bagi mereka
tempat yang baik di kehidupan akhirat (Yamani, 2002: 98). Akan tetapi,
Sunni juga membatasi seorang khalifah, atau pengganti Nabi Muhammad
SAW bahwa mereka haruslah laki-laki dan dari keturunan suku Quraisy,
dari kelompok mereka.

Pada pandangan politik kaum Sunni, mereka mengembangkan


strategi pemisahan radikal antara otoritas agama dan otoritas politik.
Otoritas agama membentuk sebagain besar tubuh sosial dan menjadi
politik didukung oleh kekuatan militer. Untuk menjadi Imam (pemimpin),
seseorang tidak perlu, seperti dalam pandangan politik Syi’ah, terbebas
dari kemungkinan melakukan kesalahan (ma’shum) atau memiliki karakter
yang istimewa.

25
BAB III

A. Kesimpulan

Agama dan negara adalah dua buah intuisi yang sangat penting
bagi masyarakat khususnya yang ada dalam ranah wilayah keduanya.
Agama sebagai sumber etika moral yang mempunyai kedudukan yang
sangat vital karena berkaitan erat dengan perilaku seseorang dalam
interaksi sosial kehidupannya. Dalam hal ini agama dijadikan sebagai alat
ukur atau pembenaran dalam setiap langkah kehidupan, baik itu interaksi
terhadap sesama maupun kepada sumber agama itu sendiri, pada sisi lain
negara merupakan sebuah bangunan yang mencakup seluruh aturan
mengenai tata kemasyaratan berlaku dan mempunyai kewenangan
memaksa bag setiap masyarakat. Bisa saja aturan yang dibuat oleh negara
sejalan dengan agama, tetapi bisa juga apa yang ditetapkan berlawanan
dengan agama.

Al-Qur’an mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis


mengenai aktivitas sosial-politik umat manusia. Ajarannya mengandung
prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah,
dan lain-lain. Islam adalah agama universal, agama yang membawa misi
rahmatan lil ‘alamin.

Lalu muncullah gerakan politik islam yang merupakan sebuah


aktivitas umat muslim untuk memperjuangkan agama islam dalam bentuk
aspirasi-asprasi masyarakat maupun agama yang dilakukan melalui jalan
politik dan kekuasaan.

Kenapa salah satu orientasi gerakan politik islam adalah


kekuasaan? Pertama, karena jikalau kekuasaan itu dipegang oleh
pemimpin muslim, maka setiap melakukan tindakan akan merujuk kepada
Al-Qur’an dan As-sunnah. Kedua, pemimpin muslim akan menjadi suri
tauladan yang utama seperti layaknya nabi Muhammad SAW. Ketiga,
pemimpin yang muslim akan memberikan kesejahteraan baik dari aspek

26
duniawi dan akhirat. Pemimpin mempunyai kedudukan yang strategis
untuk memperbaiki atau merusak masyarakat. Pemimpin diperintahkan
untuk berbuat adil terhadap seluruh umat manusia baik itu muslim ataupun
non-muslim.

Dari masing-masing gerakan politik islam, mempunyai cara


tersendiri dalam membuat strategi dan taktik dalam orientasi kekuasaan.
Dari masing-masing gerakan politiknya yaitu :

a. Khawarij

Aliran ini lebih mengutamakan orang-orang yang


berpengaruh dalam sistem pemerintahan untuk merebut
kekuasaannya. Dan jikalau ada pemimpin yang berbuat dosa
besar, maka golongan ini akan menentang keras sistem
pemerintahan dan menganggap orang itu adalah kafir.
Golongan ini termasuk golongan yang keras dalam sistem
pemerintahan jika tidak sesuai dengan al-qur’an.

b. Murji’ah

Aliran ini lebih memilih untuk tidak ikut campur dalam


sistem kekuasaan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
itu menganggap merupakan sebuah ketetapan yang telah
diberikan oleh Allah SWT dan lebih memilih untuk taqlid saja.

c. Mu’tazilah

Aliran ini lebih dominan kepada rasional, akan tetapi


dalam sistem kekuasaan lebih memilih berada diantara
keduanya, ataupun tengah-tengah dengan sikap yang tidak
terlalu ekstrim dan tidak pasrah pula. Golongan ini lebih
bersifat realistis dan berfilsafat materialisme. Filsafat menjadi
pangkal utama dalam berfikir, sehingga hal yang baik dan
buruk yang menentukan akal manusia.

27
d. Syi’ah

Golongan ini merupakan golongan pengikut Ali. Kaum


Syi’ah beri’tiqad bahwa imam itu ialah pengganti Nabi
Muhammad SAW dalam segala hal. Bukan saja untuk
mengepalai negara, tetapi menjadi imam negara, sebagai imam
rohaniyah.

Kekuasaan tertinggi menurut aliran Syi’ah adalah yang


berhak menjadi khalifah adalah yang menjadi ahlul bait nabi
Muhammad SAW. Imam yang diangkat oleh Nabi Muhammad
SAW adalah Ali bin Abi Thalib menurut wasiat yang diberikan
nabi. Oleh karena itu, wasiat ini tidak boleh disanggah menurut
hukum syara’. Siapa yang menyanggah dan menentang maka
harus dilawan dan diperangi, bahkan halal darahnya untuk
dibunuh.

Golongan Syi’ah ini golongan yang sangat mendendam


dengan kekuasaan yang tidak sesuai karena naiknya Yazid bin
Mu’awiyah. Mereka melakukan aksi-aksi dibawah tanah yang
tak dapat dipahami. Mereka mengangkat imam-imamnya
sendiri secara sembunyi-sembunyi.

Mereka membiasakan diri dengan gerakan rahasia di bawah


tanah. Mereka tidak dekat kepada pemimpin yang mereka
anggap bukan sebagai imamnya.

Syi’ah politik adalah mereka yang mencita-citakan


membentuk masyarakat Syi’ah. Syi’ah politik aktivitasnya
menekankan pada penyebaran ide-ide politik dan pembentukan
lapisan intelektual Syi’ah.

e. Sunni

28
Golongan ini lebih moderat dalam bidang-bidang tertentu.
Mereka menyeimbangkan antara dalil aqli dan naqli yang
ditempatkan dibawah pada tempatnya untuk mencegah sikap
ekstrim yang menjerumuskan pada penyelewengan aqidah maupun
syari’ah dan mu’amalah.

Sumber hukum islam yang disepakati oleh seluruh ulama


ada empat, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’, dan al-Qiyas.
Ijma’ dan qiyas sebenarnya bukan sumber hukum, tetapi hanya
dalil hukum. Disamping itu, golongan ini mempunyai cara-cara
yang ditempuh melalui ijtihad untuk menemukan hukum islam itu
sendiri. Cara-cara tersebut dapat berupa istihsan, maslahah al-
mursalah, ‘urf, syar’u, dan lain-lain.

Dalam kekuasaan, golongan ini cenderung moderat dan


bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman dengan adanya
kesepakatan ulama dan berupa ijtihad.

B. Saran

29
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Kadir, 2015. Syiah dan Politik: Studi Republik Islam Iran

Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, dkk, 2010. Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka

Setia

Al-Ḥasan’Ali Abd. b. Muḥammad Ḥabib al-Baḥri al-Baghdādi al-Mawardi, Al

Aḥkam al-Sultaniyah wa al-Walayat al-Diniyyah. Beirut: Al-Kutub al-

Ilmiyah, n.d

Ali Muhammad Ash-Shallabi, 2016. Khawarij dan Syi’ah (Sejarah, Ideologi, dan

Penyimpangannya menurut Pandangan Ahlussunnah wal Jamaah).

Jakarta: Ummul Qura

As-Sa’wi Nashir, Al-Khawarij

Azra Azyumardi. 1996. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme,

Modernisme hingga Postmodernisme, Jakarta: Paramadina,

Din M. Syamsuddin, 2001. Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: PT. Logos
Wacana Ilmu
Hanafi .A. 2001. Pengantar teologi Islam, Jakarta: Al husna Dzikra

Ma’arif, Islam Dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan Dalam

Konstituante

Madjid Nurcholis. 1995. Agama Dan Negara Dalam Islam: Telaah Krisis Atas
Fiqh Siyasah Sunni,” in Konstekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah.
Jakarta: Paramadina
Nasution Harun, 2012. Teologi Islam. Jakarta: UI Press

Noer Deliar, 1999. Mengapa Partai Islam Kalah?. Jakarta: Alvabet

Sariah, Murji’ah Dalam Perspektif Teologis

Sofyan Ayi, 2012. Etika Politik Islam. Bandung: Pustaka Setia

30
Syalabi Ahmad, 1983. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna

Zaeny Ahmad, Ideologi dan Politik Kaum Mu’tazillah

31

Anda mungkin juga menyukai