0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
4 tayangan5 halaman

Bahan Analisa GPT

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 5

Pendahuluan Gereja Keuskupan Ruteng menjadikan tahun 2019 sebagai “Tahun Diakonia” atau Tahun

Pelayanan. Tugas pelayanan mengarahkan semua tenaga pastoral dan umat Keuskupan Ruteng untuk
bergerak bukan hanya pada satu sektor pastoral tetapi juga pada sektor lain, bukan hanya eksklusif
internal Gereja Katolik melainkan juga lintas batas. Bergerak passing-over keagamaan dalam ruang
publik tidak mudah. Gereja membutuhkan pengetahuan-pengetahuan dasar hal ikhwal agama dan
keagamaan orang lain yang berada di sekeliling Gereja, seperti agama Islam. Dalam konteks pluralitas,
konsep kesalingterhubungan (interconnectedness) antar aneka perbedaan sangat perlu dilakukan. Tema
“Islam dan politik” bukanlah tema baru, kendatipun demikian realita kebangkitan agama1 (termasuk
Islam) era pasca reformasi di Indonesia memotivasi saya untuk coba “bertolak lebih ke dalam” lagi
tentang dinamika Islam dalam dunia politik. Fakta dalam sejarah bangsa Indonesia, partai-partai
berhaluan agamis terutama dalam komunitas Muslim (PKS, PPP, PBB, PAN, PKB) lebih eksis
dibandingkan partai-partai dari komunitas agama lain. Apakah salah bila segmen agama turutserta
dalam pentas politik? Jawabannya tentu panjang, namun satu hal yang tidak bisa dielakan adalah bahwa
agama Abrahamik pada dasarnya berciri politis.2 Ketiganya (Yahudi, Kristen dan Islam) punya kepedulian
yang besar terhadap politik. Pembicaraan tentang Islam dan politik/tata negara dapat dibaca dalam
banyak referensi,3 namun pada edisi ini, saya memfokusksan referensi tulisan ini pada seorang tokoh
Muslim, Munawir Sadjali (selanjutnya disebut Sjadzali), yang pada era delapanpuluhan popular dengan
garis pemikiran yang moderat tentang Islam dan negara.4 Melalui tulisannya “Islam dan tata Negara”,
Sjadzali mengungkap perjalanan sejarah politik Islam. Saya akan menguraikan pemikirannya dalam lima
(5) persoalan pokok yaitu 1). hal kegelisahan akademik Sjadzali perihal Islam dan politik/tata negara 2)
Bagaimana sejarah politik dalam dunia Islam; 3). Bagaimana ajaran tentang politik dalam Islam; 4).
Bagaimana perkembangan pemikiran tentang politik di kalangan pemikir-pemikir Islam; 5). Apakah
pemikiran-pemikiran politik Islam relevan dengan konteks NKRI yang berdasarkan Pancasila. Kegelisahan
Akadamik Sjadzali Sjadzali adalah seorang politisi hebat, diplomat dan cendikiawan Islam. Ia lahir di
Klaten 1925. Masa mudanya dikenal sebagai “anak Mimbar” di ruang-ruang agama dan keagamaan
sekaligus seorang politisi yang eksilen. Pada era Orde baru (era Soeharto), Sjadzali dipercayakan
menahkodai departemen agama selama dua (2) periode (1983-1993). Kedudukan seperti ini
meneguhkan pontesinya sebagai seorang politisi beragama yang mumpuni. Posisi Sjadzali sejajar dengan
panggilan Quranik, bahwa partisipasi politik dan partisipasi dalam kegiatankegiatan kemanusiaan lainnya
dipandang sebagai suatu” bentuk ibadah atau pengabdian kepada Tuhan”.5 Oleh karena itu, berbicara
tentang politik dalam Islam berarti berbicara tentang pengabdian seorang Muslim kepada Tuhan. Al-
Quran dan sebagian kisah hidup Nabi Muhammad telah menujukkan hal itu. Selama Nabi Muhammad
hidup, iklim politik dunia Islam relatif aman sebab dikendalikan langsung oleh Nabi. Seperti kegelisahan
kaum cerdik cendekia Islam lainnya, Sjadzali melihat persoalan mendasar membicarakan Islam dan
politik berawal dari situasi pasca kematian Nabi Muhammad SAW. Literatur Muslim menyebutkan
bahwa situasi politik setelah Nabi wafat, agak gaduh. Para sahabat nabi tidak memiliki pegangan yang
detail perihal hidup berpolitik untuk mengatur pemerintahan. Tidaklah heran, setelah Nabi Muhammad
SAW wafat, muncul dua kelompok sahabat yaitu kelompok Anshar dan Muhajirin. Kedua kelompok ini
segera melakukan pertemuan, yang bertujuan untuk menentukan siapa pemimpin yang layak untuk
menggantikan nabi. Adu argumentasi mewarnai pertemuan sebab masing-masing kelompok telah
mempersiapkan orang yang dianggap mampu untuk menggantikan Rassullah. Dengan cara yang
berbeda-beda, muncullah pemimpin agama dan politik setelah Nabi berturut-turut antara lain Abu Bakar
Siddiq, yang dipandang sebagai peletak dasar bagi pendirian sebuah negara dengan model khilafah
dalam sejarah Islam, demikian selanjutnya Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Kisah perjalanan masa kepemimpinan keempat tokoh di atas beserta seluruh proses politik terutama
mekanisme pergantian pemimpin politik yang berbeda-beda dalam setiap ordenya, menjadi perdebatan
internal Islam dalam hal politik/ketatanegaraan. Perdebatan hebat internal Islam membawa mereka
pada perbedaan pendapat dan akhirnya membentuk kelompok-kelompok/golongan. Golongan yang
sangat kuat pengaruhnya setelah era al-Khilafah alRasyudin adalah golongan Islam Syiah dan Islam
Sunni. Bahkan sejarah politik Islam banyak diwarnai oleh pemikiran politik Syiah dan Sunni ini. Golongan
Islam Syi’ah lebih populer dianggap lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Ali dan
Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa at-Tahkim atau arbitasi. Dan
Abu Zahroh memperkuat pendapat ini dengan mengatakan bahwasannya Syi’ah adalah mazhab politik
pertama yang lahir dalam Islam. Mazhab mereka dimulai pada akhir pemerintahan Utsman sampai pada
akhir 153 Hironimus Bandur – Konektivitas Pemikiran Politik Islam ... masa Ali.6 Selanjutnya, kaum Sunni
merupakan kelompok Muslim yang mengembangkan pemahamana agama berdasarkan pada tradisi
Nabi Muhammad SAW, di samping berdasar pada Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pertama.
Sunni lebih dikenal dengan sebutan Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Ahlussunnah memiliki makna orang-orang
yang mengikuti sunah Nabi, dan wal Jama’ah berarti mayoritas umat. Dengan demikan makna kata
Ahlussunah wal Jamaah adalah orang-orang yang mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas
sahabat, baik dalam syariat (hukum agama Islam) maupun aqidah (kepercayaan).7 Kedua golongan ini
sama-sama mengakui al-quran sebagai kalam Allah SWT, namun mungkin berbeda dalam haluan politik.
Fraksi politik kedua golongan tersebut diawali dengan kemelut politik sejak pengangkatan Ali bin Abi
Thalib menjadi khalifah dan disusul kemudian dengan penolakan Muawiyah bin Abu Sufyan terhadap
eksistensi kekhalifahan Ali. Hal ini telah menimbulkan ketegangan politik yang akut dari kedua belah
pihak yang akhirnya terjadinya perang Siffin. Perang Siffin inilah yang oleh sementara kalangan
sejarawan disebut al-fitnah al-kubra dan berpengaruh besar dalam mewarnai perjalanan panjang
sejarah politik umat Islam dari generasi ke generasi sesudahnya.

Pada era modern inipun, perbedaan pendapat seputar politik Islam masih terjadi. Munawir Sjadzali
dalam buku “Islam dan Tata Negara” menguraikan situasi ini secara amat mendalam dan bahkan
mengubungkannya dengan konteks negara Indonesia, yang berdasarkan Pancasila. Menurut Munawir,
dalam pembicaraan tentang Islam dan tata negara ditemukan 3 (tiga) aliran pendirian9 (sekurang-
kurangnya dalam pergumulan Sjadzali). Aliran pertama cenderung berpendirian tradisional dan anti
barat. Aliran pertama ini berpendirian bahwa Islam adalah satu agama yg sempurna dan yg lengkap; di
dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik (integralistik). Yang termasuk
dalam aliran pertama ini adalah tokoh-tokoh seperti Muhammad Rasyid Rida, Sayid Quthb, dan
Maududi. Aliran kedua, cenderung berpikir sekularistik. Bagi pengikut aliran ini, Islam adalah agama
yang tidak ada urusan dengan kenegaraan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul
biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia utk kembali
kepada kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan nabi tidak
pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara. Tokoh aliran kedua ini adalah Ali
Abd Raziq. Dan yang terakhir adalah aliran ketiga, yang cenderung berpikir simbiotik. Aliran ketiga ini
justru menolak pandangan dua aliran terdahulu. Aliran ini berpendapat bahwa dalam Islam tidak
terdapat sistem ketatanegaraan kecuali tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Yang termasuk dalam
aliran ini adalah Dr. Mohammad Husein Haikal.10 Sjadzali dalam uraian-uraiannya berupaya melerai
anggapan yang tampak ekstrem satu dengan yang lainnya dengan mengajukan argumentasi yang
simbiotik. Dalam konteks pluralitas Indonesia, pemahaman politik atau tata negara hendaknya diberi
kualifikasi khusus dalam bingkai NKRI yang berdasarkan Pancasila. Sjadzali menampilkan kajian ulang
atas pelbagai persoalan di atas dengan menelusuri aspek sejarah, ajaran dan pemikirannya.

Al-Quran dan Sistem Politik Sjadzali memulai pembahasannya tentang Islam dan ketatanegaraan dengan
memberikan batasan tentang arti politik atau sistem politik. Hal ini penting agar tidak terjadi kekacauan
dalam alur berpikir seputar sistem politik terutama dalam hubungan dengan pembicaraan tentang Islam
dan ketatanegaraan. Menurut Sjadzali, sistem politik adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain
ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan negara; siapa pelaksanan kekuasaan negara
tersebut, apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan kepada siapa kewenangan melaksanakan
kekuasaan itu diberikan; dan kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertanggungjawab.11 Batasan ini
akan menjadi titik pijak penelusuran seputar hubungan antara Islam dan tata negara. Untuk
menguraikan tentang Islam dan tata negara, Sjadzali mengambil sumber utamanya dari Al-Quran.
Mengapa harus diambil dari Al-Quran? Al-Quran bagi kaum Muslim adalah firman Tuhan (kalam
Allah).12 Kesan utama yang ditinggalkan Al-Quran kepada para pembacanya bukanlah Tuhan yang selalu
mengawasi dan menghukum, bukan juga hakim seperti yang dibayangkan para fukaha melainkan suatu
kehendak yang terpadu dan terarah yang menciptakan ketertiban di alam semesta: keagungan,
kesiagaan, keadilan serta kebijaksanaan Tuhan.13 Dan betapa kaum Muslim meyakini bahwa ajaran Al-
Quran bersifat universal dan selalu sesuai untuk segala zaman.14 Al-Quran adalah Kitab Suci yang berisi
ajaran, terutama ajaran yang bertujuan untuk membina sikap moral yang benar bagi tindakan manusia
dan sekaligus sumber ajaran darimana manusia dapat menangani pelbagai persoalan umat manusia.
Aneka persoalan dimaksud mencakup persoalan ekonomi, sosial, politik dan seterusnya. Dalam
hubungan dengan politik, Alquran telah membicarakannya ketika manusia pertama (nabi Adam) hendak
diciptakan (QS.Al-Baqarah ayat 30). Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa manusia tidak bisa
menyangkal diri dari politik,15 sebab ia bertindih tepat di atas sebuah polis. Politik dilihat sebagai
sebuah panggilan fitrah kemanusiaan. Partisipasi politik dan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan
kemanusiaan lainnya dalam perspektif alquran dipandang sebagai suatu” bentuk ibadah atau
pengabdian kepada Tuhan”.16 Oleh karena itu, berbicara tentang politik dalam Islam berarti berbicara
tentang pengabdian seorang Muslim kepada Tuhan. Al-quran dan sebagian kisah hidup Nabi
Muhammad telah menujukkan hal itu. Selama Nabi Muhammad hidup, iklim politik dunia Islam relatif
aman sebab dikendalikan langsung oleh Nabi. Persoalan mulai muncul setelah Nabi Muhammad SAW
wafat. Situasi politik menjadi agak gaduh. Para sahabat nabi tidak memiliki pegangan yang detail perihal
hidup berpolitik, mengatur pemerintahan. Tidaklah heran, setelah Nabi Muhammad SAW wafat, muncul
dua kelompok sahabat yaitu kelompok Anshar dan Muhajirin. Kedua kelompok ini segera melakukan
pertemuan, yang bertujuan untuk menentukan siapa pemimpin yang layak untuk menggantikan nabi.
Adu argumentasi mewarnai pertemuan sebab masing-masing kelompok telah mempersiapkan orang
yang dianggap mampu untuk menggantikan Rassullah. Dengan cara yang berbeda-beda, muncullah
pemimpin agama dan politik setelah Nabi berturut-turut antara lain Abu Bakar Siddiq, yang dipandang
sebagai peletak dasar bagi pendirian sebuah negara dengan model khilafah dalam sejarah Islam,
demikian selanjutnya Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Kisah perjalanan masa
kepemimpinan keempat tokoh di atas beserta seluruh proses politik terutama mekanisme pergantian
pemimpin politik yang berbeda-beda dalam setiap ordenya, menjadi perdebatan internal Islam dalam
hal politik. Perdebatan hebat internal Islam membawa mereka pada perbedaan pendapat dan akhirnya
membentuk kelompok-kelompok/golongan. Golongan yang sangat kuat pengaruhnya setelah era al-
Khilafah alRasyudin adalah golongan Islam Syiah dan Islam Sunni. Bahkan sejarah politik Islam banyak
diwarnai oleh pemikiran politik Syiah dan Sunni ini. Golongan Islam Syi’ah lebih populer dianggap lahir
setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Ali dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang
lazim disebut sebagai peristiwa at-Tahkim atau arbitasi. Dan Abu Zahroh memperkuat pendapat ini
dengan mengatakan bahwasannya Syi’ah adalah mazhab politik pertama yang lahir dalam Islam.
Mazhab mereka dimulai pada akhir pemerintahan Utsman sampai pada akhir masa Ali.17 Selanjutnya,
kaum Sunni merupakan paham yang berdasarkan pada tradisi Nabi Muhammad SAW, di samping
berdasar pada Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pertama. Sunni lebih dikenal dengan
sebutan Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Ahlussunnah memiliki makna orang-orang yang mengikuti sunah
Nabi, dan wal Jama’ah berarti mayoritas umat. Dengan demikan makna kata Ahlussunah wal Jamaah
adalah orang-orang yang mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat, baik dalam
syariat (hukum agama Islam) maupun aqidah (kepercayaan).18 Kedua golongan ini sama-sama mengakui
al quran sebagai kalam Allah SWT, namun mungkin berbeda dalam haluan politik. Fraksi politik kedua
golongan tersebut diawali dengan kemelut politik sejak pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah
dan disusul kemudian dengan penolakan Muawiyah bin Abu Sufyan terhadap eksistensi kekhalifahan Ali.
Hal ini telah menimbulkan ketegangan politik yang akut dari kedua belah pihak yang akhirnya terjadinya
perang Siffin. Perang Siffin inilah yang oleh sementara kalangan sejarawan disebut al-fitnah al-kubra dan
berpengaruh besar dalam mewarnai perjalanan panjang sejarah politik umat Islam dari generasi ke
generasi.19 Bagi Sjadzali sendiri, di dalam Al-Quran terdapat sejumlah ayat yang mengandung petunjuk
dan pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Ayat-ayat tersebut mengajarkan
tentang:20 kedudukan manusia di bumi (Ali Imran: 26; Al-hadid:5; Al-An’aam:165 dan Yunus: 14) dan
tentang prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam kehidupan bermasyarakat seperti: prinsip
musyawarah (Ali Imran: 159 dan Al-Syura: 38), ketaatan kepada pemimpin (Al-Nissa: 59), keadilan (Al-
Nahl: 90 dan Al-Nisssa: 58), persamaan (Al-Hujuraat: 13) dan kebebasan beragama (al-Baqarah: 256;
Yunus: 99; Ali Imran: 64 dan Al-Mumtahanah: 8-9). Sejarah dan Pemikiran tentang Ketatanegaraan Islam
Pemikiran tentang ketatanegaraan oleh banyak pemikir dan akademisi Islam diyakini berawal dari
sejarah Bai’at Aqabah pertama dan Bai’at Aqabah kedua. Dalam Bai’at Aqabah pertama, dikisahkan
bahwa pada suatu musim, tahun keduabelas dari awal kenabian, duabelas orang laki-laki penduduk
Yatrib bertemu dengan nabi di tempat yang disebut, Aqabah, Mina. Dalam pertemuan itu, keduabelas
orang itu mengakui kerasulan nabi, atau masuk Islam, juga berbaiat/berjanji kepada nabi bahwa mereka
tidak mempersekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berbuat Zinah, tidak akan berbohong dan
tidak akan mengkhianati nabi. Momen ini disebut Sjadzali sebagai Bai’at Aqabah Pertama. Selanjutnya
pada musim haji tahun berikutnya, dikisahkan sebanyak tujuh puluh tiga penduduk Yatrib yang sudah
memeluk agama Islam berkunjung ke Mekkah. Mereka mengundang Nabi untuk hijrah ke Yatrib dan
menyatakan lagi pengakuan mereka bahwa Nabi Muhammad adalah nabi dan pemimpin mereka. Nabi
menjumpai mereka di tempat yang sama seperti sebelumnya, yaitu di Aqabah. Di tempat itu mereka
mengucapkan baiat bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah, dan bahwa mereka akan
membela nabi sebagaimana mereka membela istri dan anak mereka. Dalam pada itu, nabi akan
memerangi musuhmusuh yang mereka perangi dan bersahabat dengan sahabat-sahabat mereka. Nabi
dan mereka adalah satu. Inilah yang disebut Baiat Aqabah Kedua.21 Sjadzali mencatat bahwa banyak
pemikir politik Islam menganggap Baiat Aqabah Pertama dan Baiat Aqabah Kedua ini sebagai batu-batu
pertama dari bangunan negara Islam.22 Islam mulai hidup bernegara setelah Nabi hijrah ke Yathrib,
yang kemudian berubah nama menjadi Madinah. Di Madinah untuk pertama kalinya lahir satu
komunitas Islam yang bebas dan merdeka di bawah nabi dan terdiri dari para pengikut nabi yang datang
dari Mekkah (Muhajirin) dan penduduk Madinah yang telah memeluk Islam serta yang telah
mengundang nabi untuk hijrah ke Madinah. Kendati demikian, umat Islam pada waktu itu bukan satu-
satunya komunitas di Madinah, masih ada komunitas lain seperti komunitas Yahudi dan sisa suku Arab
yang belum mau menerima Islam. Tidak lama setelah nabi menetap di Madinah, beliau
mempermaklumkan satu piagam yang mengatur kehidupan dan hubungan 21 Ibid., 9 22 Ibid. 160 •
Jurnal Alternatif - Vol. IX Tahun 2020 antara komunitas-komunitas yang merupakan komponen-
komponen masyarakat yang majemuk di Madinah. Piagam tersebut dalam kalangan Islam lebih populer
disebut sebagai Piagam Madinah. Banyak di antara pemimpin dan pakar ilmu politik Islam beranggapan
bahwa Piagam Madinah adalah konstitusi atau undang-undang dasar bagi negara Islam yang pertama
dan yang didirikan oleh nabi di Madinah23. Piagam Madinah sendiri berisi 47 poin, dimulai dengan
kalimat “basmalah” dan ditutup dengan nama Muhammad Rasulullah S.A.W. Menurut Sjadzali terdapat
dua poin penting dari perjanjian madinah ini yang bisa dijadikan landasan bagi kehidupan bernegara
pada sebuah masyarakat majemuk di Madinah, yaitu: pertama, semua pemeluk Islam, meskipun berasal
dari banyak suku, tetapi merupakan satu komunitas; kedua, hubungan antara sesama anggota
komunitas Islam dengan anggota komunitas lainnya didasarkan pada prinsip-prinsip a) bertetangga baik,
b) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, c) membela mereka yang teraniaya; d) saling
menasehati; e) menghormati kebebasan beragama.24 Ketatanegaraan Islam Masa Al-Khulafa Al-
Rasyidin Masa al-Khulafa dimaksud adalah masa setelah nabi wafat, Islam dipimpin oleh empat Al-
Khulafa Al-Rasyidin berturut-turut yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan terakhir Ali
bin Abu Thallib. Sjadzali mancatat bahwa dengan wafatnya Ali Bin Abu Thallib maka berakhirlah juga
satu era (era Al-Khulafa al-Rasyidin), dan juga tradisi pengisian jabatan kepala negara melalui
musyawarah. Sedangkan pemimpin berikutnya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan mendapatkan kedudukan
tidak melalui musywarah lagi atau melalui persetujuan tokoh-tokoh masyarakat melainkan lewat
ketajaman pedang dan tipu muslihat. Masa pasca Al-Khulafa al-Rasyidin ini kental dengan sistem
monarhi. Bahkan disebutkan bahwa titik star lahirnya sistem monarchi dalam politik Islam adalah sejak
masa Dinasti Umawiyah dilanjutkan oleh dinasti Abbasyiah.25 Dari masa pasca al-Khulafa al Rasyidin
sampai zaman klasik dan pertengahan. Di bawah pemerintahan Abbasyiah dunia ilmu pengetahuan
mengalami masa keemasan, khusunya dalam dua ratus tahun kekuasaaan dinasti itu. Berkat
kelonggaran dan dukungan para penguasa waktu itu, kegiatan para ilmuwan dari pelbagai cabang ilmu
amat melonjak. Para ahli bahasa Arab dengan penuh gairah menyusun kaidah-kaidah bahasa – nahwu
dan sharaf. Kritik satrapun makin riuh. Pada masa itupula tersusun buku-buku kumpulan Hadits,
termasuk Shahih muslim. Dalam bidang ilmu hukum Islam (Fiqh) mazhab-mazhab bermunculan, dan 4
dari darinya masih tetap bertahan sampai sekarang: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.26 Untuk
menggambarkan pemikiran politik pada masa ini, Sjadzali mengangkat 6 tokoh besar dalam Islam yaitu:
Ibnu Abi Rabi, Farrabi, Mawardi, Ghazalli, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun. Dari pikiran keenam pemikir
Islam zaman itu diratik kesimpulan sebagai berikut:27 Pertama, hanya Farabi satu-satunya yang
mengadakan idealisasi tentang segi-segi dan perangkat kehidupan bernegara, sedangkan para pemikir
lainnya berusaha memberikan sumbangan pikiran dengan bertitik tolak pada realitas sistem monarchi
yang ada, yang mereka terima masing-masing sebagai sistem yang sah. Idealisasi Farrabi menurut
Sjadzali lebih banyak dipengaruhi oleh alam pikir Yunani purba daripada pengaruh Islam Gagasan Farrabi
sebagaimana Plato, tidak mungkin dilaksanakan di masyarakat manusia yang bukan malaikat. Kedua,
teori tentang asal mula negara dari 6 pemikir Islam itu mirip satu sama lain, yaitu tampak adanya
pengaruh alam pikiran Yunani dan aqidah Islam. Namun di antara pemikir itu tidak selalu terdapat.

Anda mungkin juga menyukai