SPO Nanoteknologi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH SISTEM PENGHANTAR OBAT

NANOTEKNOLOGI meliputi Mikroemulsi, Nanoemulsi, Nanokapsul dan


Nanosfer

Disusun Oleh :
Kelompok 3

Fitriah 1704019026 ( Nanoteknologi Mikroemulsi


Rezki Amysha 1604015064 (nanoteknologi nanoemulsi)
Juwairiyah 1604015041 (Nanoteknologi nanokapsul)

Kelas 7H
Hari/Tgl Selasa /10 November 2019
Tugas Sistem Penghantar Obat
Dosen:

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR HAMKA
JAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Dasar Teori
Penelitian dan penerapan di bidang teknologi nano telah berkembang pesat dalam
dekade terakhir (Duncan 2011). Teknologi terbaru tersebut sudah merambah ke berbagai
sektor kehidupan, seperti tekstil, pangan, komestik, kesehatan, kemasan pangan, dan
berbagai produk konsumen lainnya (Wardana 2014).
Menurut Hoerudin dan Irawan (2015) perkembangan teknologi nano yang pesat
merupakan tantangan dan peluang bagi suatu negara untuk ikut berperan dalam pasar
dunia atau hanya akan menjadi tujuan pasar. Saat ini di banyak negara maju, seperti
Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, penelitian dan pengembangan penerapan teknologi
nano di bidang pertanian dan pengolahan pangan semakin berkembang pesat.
Irawan et al. (2014) melaporkan bahwa sejumlah negara telah membangun riset
teknologi nano nasionalnya dengan serius, misalnya Amerika Serikat yang mendirikan
National Nanotechnology Initiative (NNI). Selain pengembangan penelitian di tingkat
nasional, jaringan penelitian teknologi nano antarnegara dan kawasan juga berkembang
pesat. Dua organisasi besar dunia, yaitu Food and Agriculture Organization (FAO) dan World
Health Organization (WHO) (2009) meyakini bahwa teknologi nano sangat potensial untuk
pengembangan produk inovatif pertanian, perlakuan air, produksi pangan, pengolahan,
pengawetan, dan pengemasan, sehingga berpotensi meningkatkan nilai tambah dan daya
saing produk, serta keuntungan bagi petani, industri pangan, dan konsumen.
Dalam hal ini, teknologi nano merupakan suatu pendekatan teknologi mutakhir yang
sangat memberi harapan bagi kemajuan di berbagai bidang, termasuk pertanian dan
pengolahan pangan. Namun, teknologi ini juga menimbulkan berbagai pertanyaan
menyangkut dampaknya terhadap lingkungan, kesehatan, keamanan pangan, etika, serta isu
kebijakan dan pengaturan. Tidak hanya di negara-negara maju, di beberapa negara
berkembang seperti Korea, Cina, Thailand, Malaysia, dan Vietnam, teknologi nano juga
berkembang dengan pesat. Hasil-hasil studi sebelumnya menunjukkan bahwa untuk negara
berkembang penerapan teknologi nano pada subsektor pertanian dan pengolahan pangan
memiliki urgensi dan potensi dampak yang tinggi, terutama untuk peningkatan
produktivitas, kualitas air, sistem penghantar obat, pengolahan dan penyimpanan pangan,
serta deteksi dan pengendalian hama beserta vektornya (Rochman 2011;
SalamancaBuentello et al. 2005). Lebih lanjut dikatakan bahwa penerapan teknologi nano
untuk pertanian dan pengolahan pangan diharapkan dapat menciptakan pertanian presisi
(precision farming) di mana input pertanian hanya diberikan sesuai kebutuhan tanaman
atau ternak untuk efisiensi biaya produksi sekaligus meningkatkan kuantitas dan kualitas
produk pertanian dan pengolahan pangan.
Dibandingkan dengan di negara-negara maju, sampai saat ini penelitian dan
pengembangan teknologi nano di Indonesia masih belum banyak dilakukan, khususnya
dalam bidang pertanian dan pengolahan pangan, padahal penerapan teknologi nano akan
mendukung upaya pencapaian swasembada pangan dan pengembangan produk lokal yang
berdaya saing tinggi (Hoerudin dan Irawan 2015). Potensi pengembangan teknologi nano di
Indonesia didukung oleh ketersediaan material nano yang sangat besar potensinya untuk
industri besar berbasis teknologi nano yang memiliki daya saing tinggi dengan
memanfaatkan kekayaan alam yang dimiliki, termasuk potensi kekayaan alam pertanian dan
pangan yang melimpah.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui macam-macam nanoteknologi
2. Untuk mengetahui perbedaan antara nanoemulsi, makroemulsi, nano kapsul, dan
nano
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Nanoteknologi
Nanoteknologi merupakan teknologi yang dapat diterapkan di berbagai bidang.
Dibidang kosmetik fokus kepada sistem koloid (colloidal system) termasuk
nanoemulsi, nanosuspensi dan nanopartikel. Produk nanopartikel mulai
dikembangkan pada awal tahun 1990 sebagai alternatif sistem pembawa untuk
emulsi, liposom, dan polimer nanopartikel (Pardeike 2009). Pada perkembangannya
penerapan produk nano semakin luas ke bidang kosmetik seperti krim nanopartikel.
Beberapa metoda pembuatan nanopartikel untuk krim antara lain high speed
homogenization (HSH, ultrasound, high pressure homogenization (HPH), solvent
emulsification (SE), solvent injection/solvent displacement dan membrane contractor
(Muller dkk 2007). Penerapan nanopartikel dibidang kosmetik akan lebih baik apabila
menggunakan bahan-bahan alam seperti asam lemak essensial seperti fatty acid atau
fatty alcohol. Pada umumnya kosmetik dan produk-produk perawatan diri terdiri dari
empat bahan utama yang berperan sebagai surfaktan, emulsifier, agen penstabil
produk dan sebagai emollient atau pelembab (Hambali, Z. et al. 2005). Menurut
Ahlin et al. krim nanopartikel dapat dibuat dari trimiristin, tripalmitin, tristearin,
trigliserida dan gliserol dan emulsifiernya menggunakan poroxamer, witepsol dan
dynason. Krim merupakan kosmetik yang dipakai sehari-hari yang berfungsi
melindungi kulit dari sinar UV (daerah tropis sinar UV lebih kuat) dan juga sebagai
pelembab. Krim yang baik adalah krim yang terbuat dari bahan-bahan alam yang
tidak memiliki efek samping. Pada umumnya krim dibuat dengan cara pencampuran
bahan dengan sistem homogenisasi menggunakan Peningkatan Stabilitas Emulsi
Krim Nanopartikel Dwinna Rahmi dkk 31 mixer. Kestabilan campuran dipengaruhi
oleh kehomogenan campuran. Pada penelitian ini, dianalisa pengaruh ukuran partikel
terhadap kestabilan emulsi serta menentukan pengaruhnya kepada sifat
mempertahankan kelembaban kulit (Hambali, Z. et al. 2005).
Teknologi nano direkomendasikan untuk obat herbal karena berbagai alasan seperti
adanya efek samping pada formula yang dipasarkan saat ini, terdapat faktor ketidakpatuhan
pasien karena pada formulasi yang tersedia menggunakan dosis besar dan kurang efektif,
formulasi yang ada tidak memiliki spesifitas target untuk berbagai penyakit kronis (Ansari, et
al., 2012) dengan adanya teknologi nano bioavailabilitas dan absorbsi bahan aktif dapat
meningkat karena adanya peningkatan luas permukaan partikel dan kelarutan, selain itu
dalam ukuran nano partikel memiliki waktu tinggal yang lebih lama karena dijerap oleh
mukosa usus (Dewandari, et al., 2013).
Pemilihan sistem penghantaran yang tepat merupakan hal yang sangat penting
karena dapat mempengaruhi bioavailabilitas dari suatu obat. Bentuk sediaan dengan
penghantaran yang buruk dapat menurunkan bioavailabilitas dan menyebabkan obat
tidak dapat menghasilkan efek terapi secara optimal. Dalam perkembangan terakhir,
formulasi mikroemulsi telah menarik banyak perhatian untuk meningkatkan
bioavailabilitas dari obat yang sukar larut dalam air atau sebaliknya (Talegaonkar S et
al. 2008).
Nanopartikel pada sediaan farmasi dapat berupa sistem obat dalam matriks seperti
nanosfer dan nanokapsul, nanoliposom, nanoemulsi, dan sebagai sistem yang
dikombinasikan dalam perancah (scaffold) dan penghantaran transdermal.
1. Mikroemulsi
Mikroemulsi merupakan sistem yang stabil secara termodinamika dan transparan,
merupakan dispersi dari minyak dan air yang distabilkan oleh lapis tipis (film)
molekul ampifilik (surfaktan dan kosurfaktan) (Talegaonkar S et al., 2008).
Mikroemulsi menyebabkan penghantaran obat lebih baik dibandingkan emulsi
konvensional karena dapat meningkatkan kelarutan dari obat-obat yang sukar larut
dalam air sebab ukuran partikelnya yang lebih kecil (Shalviri A et al., 2011). Secara
umum, mikroemulsi tersusun dari fase minyak, fase air, surfaktan dan kosurfaktan
(Dizaj SM, 2013). Studi membuktikan bahwa tipe asam lemak atau komponen dalam
fase minyak dapat mempengaruhi kestabilan dari mikroemulsi. Berdasarkan
penelitian terdahulu, minyak yang kaya trigliserida rantai menengah (medium chain
triglyceride (MCT)) lebih stabil dibandingkan minyak yang mengandung trigliserida
rantai panjang (long chain triglyseride (LCT)). Minyak yang mengandung MCT juga
dapat menghasilkan mikroemulsi yang lebih jernih dibandingkan dengan mikroemulsi
yang mengandung LCT (Khor YP et al. 2014).
Gambar Mikroemulsi o/w (m/a), w/o (a/m), dan Bikontinyu.

Kelebihan Mikroemulsi
Mikroemulsi adalah sistem pembawa obat potensial untuk berbagai rute administrasi.
Ini adalah keuntungan sediaan mikroemulsi dibandingkan dengan sediaan lain :
a. Termodinamika stabil dan membutuhkan energi minimum untuk pembentukan.
b. Kemudahan manufaktur dalam skala besar
c. Dapat meningkatkan solubilisasi dan bioavailabilitas.
d. Dapat dikendalikan sehingga dibuat target dari obat tersebut (Ghosh et al. 2006).
Mikroemulsi biasanya ditandai dengan diagram fase terner, yang mana terdapat
tiga komponen mikroemulsi yaitu minyak, air dan surfaktan. Setiap co-surfaktan yang
digunakan biasanya dikelompokkan bersama dengan surfaktan pada rasio tetap dan
diperlakukan sebagai pseudo-komponen (Lawrence and Rees. 2000).
Kekurangan Mikroemulsi
a. Menggunakan surfaktan dan kosurfaktan dalam konsentrasi tinggi untuk
menyetabilkan nanodroplet.
b. Kapasitas melarut yang terbatas untuk zat-zat yang mudah melebur.
c. Surfaktan tidak boleh toksik untuk aplikasi farmasetik.
d. Stabilitas mikroemulsi dipengaruhi oleh parameter lingkungan, macam ph dan
temperatur. Parameter tersebut dapat berubah-ubah selama penyampaian
mikroemulsi kepada pasien.
Hal Yang Penting Untuk Memproduksi Mikroemulsi
1. Tegangan antar muka yang rendah antara fase air dan minyak. [ < 10-3 mN/m]
2. Konsentrasi surfaktan yang cukup (10-40%) untuk menutupi permukaan yang baru
dibuat dalam mikroemulsi
3. Fluiditas rendah dan viskositas rendah yang mencukupi dari permukaan selaput
secara spontan membentuk tetesan mikro dengan radius kelengkungan kecil (50-
500Ā) (Bagweet.al. 2001)

Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Mikroemulsi


a. Packing rasio: (hydrophile–lipophile balance ) HLB dari surfaktan menentukan
jenis mikroemulsi melalui pengaruhnya terhadap pembentuk film pada fase
terdispersi atau fasedalam. (Carlfors et al, 1991)
b. Sifat dari fase surfaktan, minyak dan suhu: Jenis mikroemulsi tergantung pada
sifat surfaktan. Surfaktan berisi kelompok kepala hidrofilik dan lipofilik kelompok
ekor. Bagian kepala cenderung menempel pada fase air sedangkan ekor pada fasa
minyak. Ketika surfaktan yang digunakan berkonsentrasi tinggi atau surfaktan
dengan adanya garam, derajat disosiasi gugus polar menjadi sistem yang lebih
rendah dan berkemungkinan menghasilkan w/o (atau a/m) Pengenceran dengan air
dapat meningkatkan disosiasi dan mengarah ke sistem o/w. Surfaktan ionik sangat
dipengaruhi oleh suhu. Hal ini menyebabkan peningkatan surfaktan kontra-ion
disosiasi. Komponen minyak juga mempengaruhi kelengkungan sehingga akan
mempengaruhi konsentrasi surfaktan.. Pendeknya rantai minyak dapat menembus
sebagian besar kelompok lipofilik dan menghasilkan peningkatan kelengkungan
negatif. Suhu sangat penting dalam menentukan terjadinya tipe emulsi. Pada suhu
rendah, mereka hidrofilik dan bentuk normal o/w (m/a) sistem. Pada suhu tinggi,
mereka lipofilik dan membentuk w / o (a/m) sistem (Rao et.al. 2009). Pada suhu
menengah, mikroemulsi berdampingan dengan kelebihan air dan fase minyak dan
struktur bentuk bicontinuous.
c. Panjang rantai, jenis dan sifat kosurfaktan: Alkohol banyak digunakan sebagai
kosurfaktan dalam mikroemulsi. Penambahan kosurfaktan rantai yang lebih
pendek memberikan efek kelengkungan positif alkohol membengkak kepala
daerah lebih dari wilayah ekor sehingga, menjadi lebih hidrofilik dan o/w (m/a)
tipe disukai, sedangkan kosurfaktan rantai punya w/o jenis oleh alkohol bengkak
di daerah rantai dari kepala daerah (Rao et.al. 2009).
Pembentukan Mikroemulsi
Mikroemulsi adalah termodinamika stabil, sehingga dapat menyiapkan hanya
dengan pencampuran minyak, air, surfaktan dan kosurfaktan dengan agitasi ringan
atau panas ringan. Zat minyak atau fasa internal diagitasi atau diaduk sampai
terbentuk skala mikro dan dengan penambahan surfaktan dapat terjamin stabil fasa
intermediatenya dalam skala tersebut sehingga sediaan tersebut tidak mengalami
pemecahan (Rao et.al. 2009).
Salah satu menjelaskan mekanisme pembentukan mikroemulsi film campuran
(mixed film), yang menyatakan bahwa mikroemulsi dapat terbentuk karena adanya
pembentukan lapisan film campuran pada daerah antar muka dan tegangan antar
muka yang dihasilkan sangat rendah. Namun ada juga yang menyatakan bahwa
sistem mikroemulsi adalah sistem yang secara alami merupakan sistem fase tunggal
(teori stabilitas) (Swarbrick 1995).
Sistem mikroemulsi umumnya lebih sulit diformulasikan daripada emulsi biasa,
karena pembentukkan sistem ini merupakan proses yang sangat spesifik yang
melibatkan interaksi spontan diantara molekul-molekul penyusun. Struktur asosiasi
yang dihasilkan dari komponen-komponen ini pada suhu tertentu tidak hanya
tergantung dari struktur kimia penyusun tetapi dari konsentrasi yang digunakan juga
(Eka 2010).
Tipe dari mikroemulsi tergantung dari surfaktan, kosurfaktan, dan minyak.
Walaupun tidah ada petunjuk yang tepat, pada pemillihan komponen mikroemulsi
umumnya terdapat observasi berdasarkan pengalaman. Surfaktan yang dipilih untuk
minyak:
1) Tegangan interfasial yang rendah sampai nilai yang paling rendah
2) mempunyai sifat hidrofilik-lipofil untuk memperbaiki bagian interfasial untuk tipe
mikroemulsi M/A atau A/M. (Eka 2010)
Evaluasi Mikroemulsi
Stabilitas dan ketahanan suatu mikro emulsi dapat diuji melalui beberapa tahapan
evaluasi. Evaluasi yang dilakukan untuk sediaan mikroemulsi antara lain pemeriksaan
organoleptik, penentuan tipe mikro emulsi, ukuran global, viskositas sediaan, pH
sediaan, dan uji stabilitas dengan metode freeze-thaw. Evaluasi organoleptik
dilakukan dengan mengamati terjadinya pemisahan fase atau pecahnya emulsi, bau
tengik dan perubahan warna. Penentuan tipe mikroemulsi dapat dilakukan dengan 2
cara, yaitu uji kelarutan zat warna dan uji pengenceran (Martin 1993). Uji kelarutan
zat warna dilakukan dengan menggunakan zat warna larut air seperti metilen
biru atau biru brilian CFC yang diteteskan pada permukaan emulsi. Jika zat warna
larut dan berdifusi homogen pada fase eksternal yang berupa air, maka tipe emulsi
adalah M/A (o/w). Jika zat warna tampak sebagai tetesan di fase internal, maka tipe
adalah A/M (w/o). Hal yang terjadi sebaliknya adalah jika digunakan zat warna larut
minyak (Sudan III) (Priyanka, 2009).Uji pengenceran dilakukan dengan cara
mengencerkan mikro emulsi dengan air. Jika emulsi tercampur baik dengan air, maka
tipe mikro emulsi adalah M/A (o/w). Sebaliknya jika air yang ditambahkan
membentuk globul pada emulsi maka tipe emulsi adalah A/M (w/o). (Martin, 1993).
2. Nanoemulsi
Nanoemulsi adalah sistem emulsi yang transparent, tembus cahaya dan
merupakan disperse minyak air yang distabilkan oleh lapisan film dari
surfaktan atau molekul surfaktan, yang memiliki ukuran droplet 50 nm-500 nm
(Shakeelet al.,2008). Ukuran droplet nanoemulsi yang kecil membuat nanoemulsi
stabil secara kinetik sehingga mencegah terjadinya sedimentasi dan kriming
selama penyimpanan (Solanset al., 2005). Nanoemulsi telah diterapkan dalam
berbagai industri farmasi, diantaranya yaitu untuk penghantar transdermal,
bahan atau unsur yang potensial dalam beberapa produk perawatan tubuh, dan
pembawa yang baik pada obat sehingga dapat meningkatkan bioavailabilitas obat
dalam tubuh (Gutierrezet al.,2008).
Sumber : Chen et al 2011
Berdasarkan sistem pembentukannya, nanoemulsi terbentuk atas dua tipe yakni
nanoemulsi minyak dalam air (O/W) dan nanoemulsi air dalam minyak (W/O).
Nanoemulsi dengan tipe (O/W) terbentuk atas surfaktan, kosurfaktan, dan fase
minyak yang membawa obat atau zat aktif yang bersifat hidrofobik. Bagian
hidrofobik pada ekor surfaktan akan mengelilingi fase minyak sedangkan bagian
kepala yang bersifat hidrofilik akan berada pada bagian luar.
Sediaan nanoemulsi memiliki keuntungan sebagai berikut (Tardos, 2005):
1. Selama penyimpanan sediaan tidak terjadi creaming atau sedimentasi. Karena
ukuran partikel yang sangat kecil menyebabkan penurunan gaya gravitasi
dan Gerak Brown.
2. Mencegah terjadinya flokulasi karena ukuran tetesannya kecil, dan juga
memungkinkan sistem untuk tetap tersebar tanpa pemisahan, serta dapat
mencegah koalesens.
3. Sediaan nanoemulsi sangat cocok untuk penghantaran obat atau bahan aktif
secara topikal/melewati kulit. Karena luas permukaan yang besar dari sistem
emulsi akan mempercepat penetrasi.
4. Dapat melewati permukaan kulit yang kasar sehingga mempercepat
penetrasi.
5. Karena sifatnya yang transparan dan fluiditasnya, dapat memberikan
estetika yang menarik dan menyenangkan ketika digunakan.
6. Ukuran tetesan yang kecil memudahkan penyebaran dan penetrasi
mungkin dapat ditingkatkan karena tegangan permukaan dan tegangan antar
muka yang rendah.
7. Sediaan nanoemulsi dapat meningkatkan absorbsi, bioavailabilitas obat,
membantu mensolubilisasikan zat aktif yang hidrofob.
Kekurangan Nanoemulsi
a. Diperlukan konsentrasi besar dari surfaktan dan kosurfaktan untuk menstabilkan
ukuran partikel.
b. Kapasitas pelarut yang terbatas dalam melarutkan zat yang memiliki titik lebur
tinggi.
c. Surfaktan yang digunkana haruslah aman dan tidak beracun. d. Stabilitas
nanoemulsi dapat dipengaruhi oleh parameter lingkungan seperti suhu dan pH.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan nanoemulsi antara lain:
1. Zat Pengemulsi
Zat pengemulsi yang digunakan dalam pembuatan nanoemulsi harus dapat
dicampurkan dengan bahan formulatif lainnya dan tidak boleh menganggu stabilitas
atau efikasi dari zat terapeutik, harus stabil dan tidak boleh terurai dalam preparat,
tidak toksik, dan memiliki bau serta rasa yag lemah. Zat pengemulsi harus memiliki
kemampuan untuk membentuk emulsi dan menjaga stabilitas dari emulsi yang
terbentuk agar tercapai shelf life dari produk yang dihasilkan.
2. Sistem HLB (Hidrophile-Lipophile-Balance)
Untuk mendapatkan suatu emulsi yang stabil, zat pengemulsi yang digunakan
harus memiliki harga HLB yang sama dengan HLB minyak mineral dan bergantung
pada tipe emulsi yang dibuat berdasarkan tujuan dari pemakaiannya. Zat aktif
permukaan yang menghasilkan emulsi W/O memiliki harga HLB yang berkisar
antara 3 sampai 6, sedangkan zat yang menghasilkan emulsi O/W memiliki harga
HLB dengan kisaran 8 sampai 18. HLB berisi informasi mengenai keseimbangan
hidrofil-lipofil yang dihasilkan dari ukuran dan kekuatan gugus hidrofil dan lipofil.
Adapun harga HLB yang ditetapkan untuk beberapa surfaktan dapat ditunjukkan pada
Tabel.
Aktivitas dan Harga HLB Surfaktan

Aktivitas HLB
Antibusa 1 sampai 3
Pengemulsi (w/o) 3 sampai 6
Zat pembasah 7 sampai 9
Pengemulsi (0/w) 8 sampai 18
Pelarut 15 sampai 20
Detergen 13 sampai 15
Sumber : Ansel 2011
Metode Pembentukan Nanoemulsi
Nanoemulsi ini dapat dibuat dengan teknis mekanikal yang berbeda. Salah
satu metode pembuatan nanoemulsi adalah teknik energi tinggi seperti
ultrasonikasi, mikrofluidisasi, dan homogenizer bertekanan tinggi. Pembuatan
nanoemulsi dengan energi tinggi ini bergantung pada pembentukan ukuran
globul yang kecil dengan adanya surfaktan atau campuran surfaktan dengan
masukan energi yang tinggi. Selama pembuatan, beberapa parameter
seperti tekanan homogenizer, jumlah siklus homogenizer, dan suhu
homogenizer dapat berubah yang nantinya akan mempengaruhi ukuran globul
nanoemulsi yang sangat penting dalam stabilitas fisik sistem tersebut. Metode
dengan energi tinggi tidak dapat digunakan pada beberapa kasus terutama untuk
molekul yang labil. Pada kasus tersebut, digunakan teknik emulsifikasi
dengan menggunakan energi rendah seperti emulsifikasi spontan atau suhu
inverse fase (Fanun, 2010). Metode emulsifikasi spontan sering digunakan
karena mudah dibuat dalam skala
laboratorium, tidak membutuhkan peralatan yang rumit atau temperatur yang
tinggi, dan secara umum, dapat menghasilkan ukuran globul yang kecil (Fanun,
2010).
Evaluasi Nanoemulsi
Karakteristik sifat fisik nanoemulsi dapat diketahui dengan beberapa
pengujian, diantaranya organoleptis yang meliputi bentuk, warna, bau,
kejernihan, homogenitas, dan pemisahan fase, tipe nanoemulsi,
pengukuran pH, persen transmitan, viskositas, serta ukuran droplet.
a. Uji Organoleptis
Pengujian organoleptis adalah pengujian yang didasarkan pada proses
pengindraan. Evaluasi organoleptis sediaan nanoemulsi dilakukan dengan
mengamati warna, bau, kejernihan, homogenitas, dan pemisahan fase (Lawrence
et al., 2000). Nanoemulsi yang stabil ditandai dengan tidak terjadinya pemisahan
fase, jernih, homogen, dan tidak berbau tengik.
b. Uji Tipe Nanoemulsi
Tipe nanoemulsi yang terbentuk dapat diketahui dengan melakukan pengenceran
atau dilution test. Prinsip uji ini ialah dengan mengencerkan sistem yang
terbentuk dengan fase minyak atau fase airnya. Terdapat tiga tipe emulsi yakni
tipe minyak dalam air (M/A), tipe air dalam minyak (A/M), dan tipe emulsi
ganda (M/A/M) dan (A/M/A). Nanoemulsi memiliki tipe M/A apabila sistem
terlarut dalam fase airnya, sedangkan tipe A/M apabila sistem terlarut dalam
fase minyaknya. Metode pengujian lainnya yakni dengan metode
konduktivitas dimana air sebagai medium dipers memiliki
konduktivitas lebih besar dibanding minyak, sehingga akan dapat menghantarkan
arus listrik. Metode pewarnaan juga dapat digunakan dalam mengetahui tipe
nanoemulsi. Prinsip metode ini yakni dengan menggunakan pewarna larut air
dan pewarna larut minyak untuk melihat kelarutan pewarna tersebut dalam
medium dispers (Troy, 2006).
c. Uji pH
Sediaan nanoemulsi yang ditujukan untuk pemakaian secara topikal harus
didesain agar tidak menimbulkan iritasi. Oleh karena itu, pH sediaan harus berada
pada pH 4,5-6,5 yang merupakan pH kulit (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1995).
d. Uji Persen Transmitan
Pengujian persen transmitan dilakukan untuk mengukur kejernihan nanoemulsi
yang terbentuk. Pengukuran persen transmitan merupakan satu faktor penting
dalam melihat sifat fisik nanoemulsi yang terbentuk. Pengukuran
dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 650 nm dan menggunakan akuades sebagai blangko. Jika hasil
persen transmitan sampel mendekati persen transmitan akuades yakni 100 %,
maka sampel tersebut memilii kejernihan atau transparansi yang mirip
dengan air (Thakkar et al.,2011).
e. Uji Viskositas
Viskositas menunjukkan sifat dari cairan untuk mengalir. Makin kental
suatu cairan, maka semakin besar kekuatan yang diperlukan agar cairan dapat
mengalir. Besarnya viskositas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu,
ukuran molekul, konsentrasi larutan, serta gaya tarik menarik antar molekul (Martin
et al.,2008).
f. Uji Ukuran Droplet
Pengujian ukuran droplet dilakukan untuk mengetahui apakah droplet yang
terbentuk memenuhi kriteria droplet nanoemulsi yaitu 50-500 nm. Pengujian
ukuran droplet menggunakan PSA (Particle Size Analyzer) dengan tipe dynamic
light scattering. Prinsip dasar alat ini adalah sampel yang akan ditembak dengan
sinar laser dan akan terjadi penghamburan cahaya. Penghamburan cahaya tersebut
akan dideteksi pada sudut tertentu secara cepat. Hasil pengukuran droplet dinyatakan
sebagai diameter dari droplet yang terdapat pada medium dispers (Volker,
2009).
Stabilitas Fisik Nanoemulsi
a. Uji Sentrifugasi
Uji ini dilakukan dengan melakukan sentrifugasi pada kecepatan 3750 rpm
selama lima jam untuk mengamati kemungkinan terjadinya ketidakstabilan yang
disebabkan oleh gaya gravitasi. Selain itu uji ini diperlukan untuk mengetahui
efek guncangan pada saat produk akan didistribusikan. Bila sampel tidak
mengalami perubahan atau pemisahan fase, maka sediaan dinyatakan lolos uji.
b. Uji Frezee-thaw cycle
Uji ini dilakukan dengan menyimpan nanoemulsi pada suhu rendah yakni -1OC
dan pada suhu ruangan 270C dengan lama penyimpanan pada masing-masing
suhu selama 24 jam dan dilakukan 4 siklus. Ini bertujuan untuk
menginduksi ketidakstabilan karena kondisi penyimpanan yang ekstrim.
Uji ini dilakukan untuk mengamati perubahan dalam stabilitas seperti
pemisahan fase, inverse, agregasi, creaming, coalesense, maupun Oswald
ripening dari sedaiaan nanoemulsi.
3. Nanokapsul
Nanokapsul merupakan suatu sistem dimana polimer membentuk dinding yang
melingkupi inti tempat dimana senyawa obat dijerat (Mohanraj et al., 2008). Nanokapsul
adalah teknologi untuk melindungi zat dalam ukuran kecil yang mengacu pada
kemasan bioaktif pada kisaran nano yaitu 10-9 nm (Elzhilarsi et al., 2012).
Enkapsulasi adalah proses dimana satu atau lebih material dilapisi oleh material
lain, baik yang dilapisi maupun yang melapisi kebanyakan meruapakan cairan, tapi
bisa juga merupakan beberapa partikel gas (Risch, 1995). Menurut Ezhilarasi (2012)
mikrokapsul adalah partikel dengan diameter 3-800 µm sedangkan nanopartikel
adalah partikel dengan ukuran diameter mulai dari 10-1.000 nm. Nanokapsul
memungkinkan bahan aktif untuk lepas secara berkala melalui lapisan enkapsulasi,
sehingga hal ini dapat meningkatkan efisiensi penggunaan bahan aktif (Won et al.,
2008).
Nanokapsul telah banyak diterapkan di bidang farmasi dan kesehatan. Di industri
pangan, penerapan teknologi nanokapsul akan memberikan beberapa keunggulan
diantaranya dalam hal peningkatan rasa, warna, tekstur, flavor, konsistensi produk,
absorpsifitas dan ketersediaan komponen bioaktif dari senyawa inti yang dienkapsulasi.
Nanokapsul pada sistem emulsi berbasis minyak dalam air telah banyak dilakukan terhadap
komponen bioaktif yang bersifat lipofilik seperti minyak jeruk (Akhtar dan Dickinson, 2007),
minyak jahe (Toure et al., 2007), minyak alpukat (Bae dan Lee, 2008), asam linoleat
terkonjugasi (Choy et al., 2010) dan kurkumin (Gomez-Estaca et al., 2010). Namun,
nanokapsul pada sistem dispersi untuk komponen bioaktif yang bersifat hidrofilik yang larut
dalam air masih jarang dilakukan.
Senyawa aktif dapat terletak tepat di tengah-tengah kapsul dan bertindak sebagai
intinya (Gambar a), atau tersebar diseluruh kapsul atau tidak terpusat pada satu titik saja
(Gambar b).
Contoh nanokapsul
Produk nanokapsul dapat dihasilkan melalui beberapa teknik, salah satunya adalah
spray drying. Pada teknik spray drying, pemilihan enkapsulan untuk mendapatkan ukuran
nano sangat mempengaruhi dan menentukan keberhasilan proses nanoenkapsulasi. Selain
itu enkapsulan yang digunakan harus bersifat food grade dan memenuhi kategori GRAS.
Diantara enkapsulan yang memenuhi kriteria tersebut adalah kitosan (KS) dan maltodekstrin
(MD).
a. Kitosan
Kitosan merupakan polimer alami yang diperoleh dari deasetilasi kitin, bersifat tidak
toksik, tidak mengiritasi, mukoadhesif, biokompatibel, biodegradabel, antibakteri dan
bersifat sebagai antioksidan. Kitosan juga mempunyai kemampuan sebagai penstabil,
pengental, penyerap dan pengkelat dalam proses koagulasi dan flokulasi. Kitosan mudah
larut dalam larutan asam organik encer dan bersifat polikationik yang berinteraksi dengan
ion pembawa membentuk crosslinking sehingga menghasilkan kestabilan dispersi yang lebih
baik. Kitosan telah digunakan sebagai enkapsulan untuk melindungi core yang sensitif
antara lain senyawa obat yang larut lemak (Ribeiro et al., 1999), vitamin D2 (Shi dan Tan,
2002), astasantin (Higuera-Ciapara et al., 2004), vitamin C (Desai dan Park, 2005), ampisilin
(Anal et al., 2006), dan ekstrak minyak zaitun (Kosaraju et al., 2006).
b. Maltodekstrin
Maltodekstrin sering juga digunakan sebagai enkapsulan untuk melindungi komponen
bioaktif dari oksidasi. Maltodekstrin mempunyai kelarutan tinggi, tidak mempunyai rasa dan
aroma (Saloko et al., 2012). Beberapa penelitian tentang maltodektrin yang digunakan
untuk melindungi core antara lain pada vitamin C pada jus buah dan meningkatkan stabilitas
produk bubuk aserola (Desobry et al., 1997; Tax et al., 2003; Righetto dan Netto, 2005).
Bahkan maltodekstrin dapat meningkatkan kandungan fenol dan antosianin tepung ubi jalar
ungu jika dibandingkan dengan yang tidak dienkapsulasi dengan maltodektrin (Ahmed et al.,
2010).
Metode nanokapsul
Pembuatan nanoenkapsulasi telah dilakukan dengan berbagai metode, yaitu metode
spray drying (Lianget al., 2012), freeze drying (Choi et al., 2010) dan spray freeze drying
(Ilyasoglu et al., 2013).
Keuntungan nanokapsul
Peningkatan rasa, warna, tekstur, flavour, dan stabilitas komponen bioaktif di dalamnya
(Greiner, 2009)
4. Nanosfer
Nanosfer adalah suatu sistem matriks dimana obat secara fisik terdispersi secara
seragam (Mohanraj et al., 2008). Nanosphere merupakan suatu partikel matriks yang
dimana seluruh massa padat dan molekul dapat teradsorpsi pada permukaan bola atau
dienkapsulasi dalam partikel (Rao dan Kurt, 1991).
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H., Allen, L., Popovich, N., 2011, Ansel’s PharmaceuticalDosage Forms and
Drug Delivery Systems, 9thEdition, pp 398,Lippincott Williams & Wilkins,
Baltimore.
Depkes RI, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.

Dizaj, S.M. 2013. Preparation and study of vitamin A palmitate microemulsion drug
delivery system and investigation of co-surfactant effect. Journal Of
Nanostructure in Chemistry, 3.

Eka Pramudiana. 2010. Formulasi Dan Uji Stabilitas Fisik Griseofulvin


Dalam Bentuk
Sediaan Mikroemulsi Serta Uji Difusi Secara In Vitro. Fakultas
Farmasi Universitas Padjadjaran. Indonesia.

Fanun, M. 2010. Colloids in drug delivery. Florida: CRC pres.

J. Carlfors, I. Blute,V. Schmidt, 1991. Lidocaine in microemulsion- a dermal


delivery system, J. Disp. Science. Technology

Khor, Y.P, Koh, S.P, Long, K, et al. 2014. A comparative study of the
physicochemical properties of a virgin coconut oil emulsion and commercial
food supplement emulsions. Molecules, 19, 9187-9202.

Martin, A., Swarbrick, J. & Cammarata, A., 2008, Farmasi Fisik, Edisi Ketiga, Penerbit UI
Press, Jakarta.

Martin, A., J. Swarbick, and A Cammarata. 1993. Farmasi Fisik. Edisi III.
Penerjemah:
Yoshita. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Priyanka Utama,. 2009. Formulasi Dan Uji Stabilitas Mikroemulsi


Ketokonazol Sebagai Antijamur Cansida albicans Dan
Tricophyton mentagrophytes. Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran.
Indonesia.

Rahmi Dwinna dkk. 2013. Peningkatan Stabilitas Emulsi Krim Nanopartikel Untuk
Mempertahankan Kelembaban Kulit. Balai Besar Kimia dan Kemasan,
Kementerian Perindustrian RI Jl. Balai Kimia I Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta
Timur.
R.P. Bagwe, J.R.Kanicky, B.J. Palla. P.K. Patanjali and D.O. Shah. 2001.
Improved Drug Delivery Using Microemulsions: Rationale,
Recent Progress and New Horizons. University Of Florida.

Shalviri, A, Sharma, A, Patel, D, et al. 2011. Low-surfactant microemulsions for


enhanced topical delivery of poorly soluble drugs. Journal of Pharmacy &
Pharmaceutical Sciences, 14, 315-324.

Swarbrick, J and J.C. Boylan. 1995. Encyclopedia of Pharmaceutical


Technology. Volume IX. New York. Marcel Dekker. P 375-399.

Talegaonkar, S, Azeem, A, Ahmad, F.J, et al. (2008). Microemulsions: A Novel


Approach to Enhanced Drug Delivery. Recent Patents on Drug Delivery &
Formulation, 2, 238-257.

Troy, D dan Beringer, P. 2006. Remington: the science and practice of pharmacy.
Baltimore: lippincot Williams and walkins

Volker, A., 2009, Dynamic Light Scattering: Measuring the Particle Size
Distribution, http://www.isinstruments.ch/technology/dynamiclightscattering/,

Y. Srinivasa Rao, K. Sree Deepthi and K.P.R. Chowdary, 2009, Microemulsion, a


novel drugcarrier system. International Journal of Drug Delivery
Technology.

Anda mungkin juga menyukai