Makalah Tenggelam
Makalah Tenggelam
Makalah Tenggelam
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tenggelam (drowning) adalah proses terjadinya gagguan pernapasan
akibat jalan napas terendam air (Submersion) atau terguyur di seluruh wajah
(Immersion) Aru, Bambang, Dkk. 2010. Masyarakat pesisir merupakan
sekelompok masyarakat yang dipengaruhi oleh laut baik sebagian besar atau
pun seluruh kehidupannya (Wijaya,2012). Pengetahuan mengenai tentang
pertolongan pertama pada korban tenggelam menolong orang tenggelam
membutuhkan respon atau penanganan sesegera mungkin dengan tidak
melupakan faktor keselamatan diri sendiri (safety self). Tehnik penyelamatan
yang baik dan benar tidak hanya mempermudah penolong dalam melakukan
penyelamatan namun juga dapat menjamin keselamatan penolong tersebut.
Berdasarkan data Badan Penangulangan Bencana Daerah (BPBD)
Kabupaten Pesisir Barat, jumlah korban tenggelam diperairan pantai dan
aliran sungai di daerah pesisir sejak 2012 lalu hingga 2014, tahun 2012 silam
korban tenggelam di pantai mencapai 13 orang, di tahun 2013 mencapai 12
orang, tiga diantaranya tenggelam di aliran sungai dan di hingga Desember
tahun 2014 telah tercatat enam orang, dua tenggelam di aliran sungai empat
orang tenggelam dilaut, satu diantaranya hingga kini tidak ditemukan (Radar
Lampung, 2014). Selain itu di Jawa Timur juga banyak kejadian kapal yang
tenggelam atau perahu nelayan yang dihantam ombak sehingga memakan
korban yang jumlahnya tidak sedikit, seperti di Situbondo dalam satu kali
perahu tenggelam saja korbannya berjumlah 21 orang (Detik, 2014).
Berdasarkan gambaran data dari BPBD Lampung jumlah orang yang
tenggelam masih tergolong tinggi walaupun secara matematis data tiap tahun
1
menurun, Indonesia adalah negara maritim yang wilayahnya didominasi
daerah berair, jika dalam satu daerah saja terdapat 13 orang yang meninggal
karena tenggelam, maka secara matematis korban tenggelam yang terhidung
dari sabang sampai merauke sudah tentu banyak sekali.
Mekanisme tenggelam dapat digolongkan menjadi dua, yaitu dengan
aspirasi cairan dan tanpa aspirasi cairan. Mekanisme kematian aspirasi cairan
adalah asfiksia. Proses tenggelam ketika jalan nafas seseorang berada di
bawah permukaan cairan, secara sadar individu akan menahan nafasnya
kemudian diikuti oleh laryngospasme involunter karena cairan yang ada di
orofaring atau laring, selama periode ini individu tidak dapat menghirup udara
sehingga mengalami kekurang oksigen dan penumpukan karbondioksida.
Perubahan terjadi di paru, cairan tubuh, tekanan gas darah, keseimbangan
asam basah, dan konsentrasi elektrolit yang bergantung pada komposisi,
volume cairan yang teraspirasi, dan durasi tenggelam (Santoso, 2010).
Oleh sebab itu, Penanganan dini sangat diperlukan karena drowning
dapat menyebabkan paru seseorang terendam cairan, yang dapat
menyebabkan kondisi yang dapat mengancam jiwa, seperti pneumonia,
aspirasi dan asfiksia. Pasien dengan drowning mengalami kesulitan bernafas,
sehingga hal ini juga dapat menganggu kenyamanan dan nyawa pasien, maka
dari itu perlu penangan yang tepat dan cepat kepada klien dengan sufokasi
sangat diperlukan.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
“Mengetahui Konsep Dasar Gawat Darurat Pada Pasien Tenggelam”
2. Tujuan Khusus
Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan khusus penulisan proposal ini
adalah sebagai berikut:
2
C. Manfaat
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
2. Etiologi
Terdapat beberapa penyebab tenggelam antara lain (Levin dalam Arovah,
2009) :
a. Kemampuan fisik yang terganggu akibat pengaruh obat
b. Ketidakmampuan fisik akibat hipotermia, syok, cedera, atau kelelahan
c. Ketidakmampuan akibat penyakit akut ketika berenang
3. Patofisiologi
Hipoksia merupakan hal utama yang terjadi setelah seorang individu
tenggelam. Keadaan terhambatnya jalan nafas akibat tenggelam
menyebabkan adanya gasping dan kemudian aspirasi, dan diikuti dengan
henti nafas (apnea) volunter dan laringospasme. Hipoksemia d an asidosis
yang persisten dapat menyebabkan korban beresiko terhadap henti jantung
dan kerusakan sistem syaraf pusat. Laringospasme menyebabkan keadaan
paru yang kering, namun karena asfiksia membuat relaksi otot polos, air
dapat masuk ke dalam paru dan menyebabkan edema paru.
Efek fisiologis aspirasi pun berbeda antara tenggelam di air tawar dan
air laut. Pada tenggelam di air tawar, plasma darah mengalami hipoktonik,
sedangkan pada air laut adalah hipertonik. Aspirasi air tawar akan cepat
diabsorbsi dari alveoli sehingga menyebabkan hipervolemia intravaskular,
hipotonis, dilusi elektrolit serum, dan hemolisis intravaskular. Aspirasi air
laut menyebakan hipovolemia, hemokonsentrasi dan hipertonis.
Aspirasi air yang masuk kedalam paru dapat menyebabkan vagotonia,
vasokontriksi paru, dan hipertensi. Air segar dapat menembus membran
alveolus dan menggangu stabilitas alveolus dengan menghambat kerja
surfaktan. Selain itu, air segar dan hipoksemi dapat menyebabkan lisis
eritrosit dan hiperkalemia. Sedangkan, air garam dapat menghilangkan
surfaktan, dan menghasilkan cairan eksudat yang kaya protein di alveolus,
intertitial paru, dan membran basal alveolar sehingga menjadi keras dan sulit
5
mengembang. Air garam juga dapat menyebabkan penurunan volume darah
dan peningkatan konsentasi elektrolit serum.
Hipoksia merupakan salah satu akibat dari tenggelam, dan merupakan
faktor yang penting dalam menentukan kelangsungan hidup korban
tenggelam. Karena itu, ventilasi, perfusi, dan oksigenasi yang cepat
dibutuhkan untuk meningkatkan tingkat survival korban.
6
Tanda dan gejala neardrowning berbeda-beda pada setiap individu
tergantung pada durasi dari tenggelamnya. Manifestasi klinis yang biasa
muncul antara lain (Raoof, 2008) :
a. Asimtomatik
b. Simtomatik
c. Pasien sadar namun gelisah dan sesak nafas.Insufisiensi pulmonar dapat
berkembang cepat bersamaan dengan takipnea, takikardia, batuk dengan
sputum berwana pink serta berbusa, dan sianosis.
d. Cardiopulmonary arrest : Pasien mengalami apnea, bradikardi,
ventricular tachycardia/fibrilation, asistole, dan nampak seperti tidak
sadar.
7
l. Organ dalam mayat mengalami kongesti
5. Komplikasi
Menurut Flags (2008) dan Szpilman (2012), setelah kejadian near-drowning,
seorang pasien beresiko terjadinya komplikasi seperti :
a. Hipoksia atau iskemik injuri cerebral
b. ARDS (acute respiratory distress syndrome)
c. Kerusakan pulomal sekunder akibat respirasi
d. Cardiak arrest
e. Anoksia
f. Shock
g. Myoglubinuria
h. Insufisiensi ginjal
i. Infeksi Sistemik dan intravaskuler koagulasi juga dapat terjadi selama 72
jam pertama setelah resusitasi.
6. Pemeriksaan Diagnostik
Pasien dengan drowning harus melakukan X-ray dada dan monitoring
saturasi oksigen.Radiografi dada mungkin menunjukkan perubahan akut,
seperti infiltrasi alveolar bilateral.Selain itu, pemeriksaan sistem saraf pusat,
8
EKG, dan analisis gas darah juga diperlukan (Elzouki, 2012). Berikut
pemeriksaan diagnostic lainnya yaitu:
a. Laboratorium
b. ABG + oksimetri, methemoglobinemia dan carboxyhemoglobinemia
CBC prothrombin time, partial thromboplastin time, fibrinogen, D-dimer,
fibrin
c. Serum elektrolit, glukosa, laktat, factor koagulasi
d. Liver enzymes :
e. Aspartate aminotransferase dan alanine minotransferase,
f. Renal function tests (BUN, creatinine)
g. Drug screen and ethanol level
h. Continuous pulse oximetry and cardiorespiratory monitoring
i. Cardiac troponin I testing
j. Urinalisis
k. Imaging:
l. Foto thoraks : bukti aspirasi, edema pulmo, atelektasis, benda asing,
evaluasi penempatan endotrakea tube
m. CT scan kepala dan servikal bila curiga trauma
n. Extremity, abdominal, pelvic imaging bila ada indikasi
o. Echocardiography jika ada disfungsi miokard
p. EKG
q. Kateter swan-ganz untuk monitor cardiac output dan hemodinamik pada
pasien dg status CV tidak stabil atau pasien yang membutuhkan
pengobatan inotropic multiple dan vasoaktif.
9
7. Penatalaksanaan
a. Bantun Hidup Dasar (BHD)
Penanganan ABC merupakan hal utama yang harus dilakukan,
dengan fokus utama pada perbaikan jalan nafas dan oksigenesasi buatan.
Penilaian pernapasan dilakukan dengan tiga langkah, yaitu :
1) Look yaitu melihat adanya pergerakan dada
2) Listen yaitu mendengar suara nafas
3) Feel yaitu merasakan ada tidaknya hembusan nafas
Penanganan pertama pada korban yang tidak sadar dan tidak
bernafas dengan normal setelah pembersihan jalan napas yaitu kompresi
dada lalu pemberian napas buatan dengan rasio 30:2. Terdapat tiga cara
pemberian napas buatan, yaitu mouth to mouth, mouth to nose, mouth to
neck stoma.
Penanganan utama untuk korban tenggelam adalah pemberian
napas buatan untuk mengurangi hipoksemia. Melakuakn pernapasan
buatan dari mulut ke hidung lebih disarankan karena sulit untuk menutup
hidung korban saat pemberian napas mulut ke mulut. Pemberian napas
buatan dianjurkan hingga 10-15 kali sekitar 1 menit. Kompresi dada
diindikasikan pada korban yang tidak sadar dan tidak bernapas dengan
normal, karena kebanyakan korban tenggelam mengalami henti jantung
akibat hipoksia.
b. Bantuan Hidup Lanjut
Bantuan hidup lanjut pada korban tenggelam yaitu pemberian
oksigen dengan tekanan lebih tinggi, yang dapat dilakukan dengan BVM
(Bag Valve Mask) atau tabung oksigen. Oksigen yang diberikan memiliki
saturasi 100%. Jika setelah pemberian oksigen ini keadaan korban belum
membaik maka dapat dilakukan intubasi trakea.
10
Dalam Raoof (2008), penatalaksanaan pasien dengan near
drowning umumnya terbagi menjadi tiga fase, antara lain perawatan
prehospital, perawatan unit gawat darurat, penatalaksanaan rawat inap.
1) Perawatan pre hospital
Pada fase ini, penatalaksanaan difokuskan pada Airway (A),
Breathing (B), dan Circulation (C).Pasien harus dipindahkan dari air
secepatnya, namun menyelamatkan pernafasan dapat dimulai walau
korban masih berada di air.Cara memindahkan pasien harus benar
dengan meminimalkan gerakan pada leher pasien untuk menghindari
terjadinya cedera medula spinal.Ketika pasien telah berada di
permukaan yang datar, segera dilakukan CPR ketika nadi tidak
teraba.Akan tetapi, nadi mungkin lemah dan sulit teraba pada korban
yang mengalami hipotermia karena bradikardi dan atrial fibrilation
(AF).Heimlich Maneuver tidak banyak menguntungkan bila
digunakan untuk mengeluarkan air yang tertelan, teknik ini
seharusnya hanya digunakan saat penyebab obstruksi jalan nafas
adalah benda asing. Oksigen tambahan (100%) dapat diberikan jika
tersedia.Pasien yang mengalami apneu harus dilakukan intubasi
sesegera mungkin.
2) Perawatan di unit gawat darurat
Ketika pasien sudah dipindah ke unit gawat darurat, harus dilakukan
pengkajian ulang secara hati-hati untuk mengetahui adanya tanda-
tanda trauma seperti trauma spinal, trauma dada, atau trauma
abdomen.Pengkajian status neurologi termasuk reflek batang otak dan
GCS diperlukan untuk memastikan prognosis pasien.
Pakaian yang basah harus dilepas, pasien dengan hipotermia harus
dihangatkan dengan menggunakan berbagai cara. Seperti selimut
hangat, bantalan pemanas, mandi air hangat, teknik forced warm
11
air.Kadang-kadang peritoneal lavage dan pleural lavagedengan
larutan hangat juga digunakan.
Oksimetri nadi dan EKG digunakan untuk mendeteksi hipoksia dan
aritmia jantung. Analisis gas darah arteri, serum elektrolit, level
etanol, pemeriksaan urin biasanya dilakukan. Cervical spine imaging,
radiografi dada, CT scan dilakukan jika dicurigai adanya
trauma.Pasien yang sudah terlihat membaik dapat dipulangkan
setelah dilakukan monitoring selama 7 sampai 12 jam.Pasien dengan
distres respiratori berat dan perubahan status mental diperlukan
intubasi dan ventilasi mekanik.
3) Perawatan rawat inap
Tujuan dari penatalaksanaan di rumah sakit ialah untuk mencegah
cedera neurologi sekunder, iskemia yang menetap, hipoksemia,
edema serebral, asidosis, dan abnormalitas elektrolit.Pasien dengan
hipotermia diperlukan resusitasi sampai suhu mencapai 32 atau 35oC.
Pasien dengan hipotensi dilakukan resusitasi cairan dan diberikan
obat inotropik bila perlu. Radiografi dada biasanya menunjukkan
gambaran normal sampai edema pulmonar yang menyebar.
Pneumonia pada pasien diobati dengan antibiotik spektrum luas.
B. Skenario Kasus
12
BAB III
HASIL TINJAUAN
13
DAFTAR PUSTAKA
Dolinak, D., Matshes, E. & Lew, E. O., (2005) . Forensic Pathology: Principles
and Practice. s.l.:Elsevier.
Levin, D. L. et al., (1993) . Drowning and Near-Drowning. Pediatric clinics of
North America, Volume 2.
McCance, K. L., Huether, S. E., Brashers, V. L. & Rote, N. S., (2014) .
Pathophsysiology ,The Biologic Basis for Disease in Adults and
Children, Seventh Edition. Canada: Mosby.
Onyekwelu, E., (2008) . Drowning and Near Drowning. Internal Journal of
Health 8, Volume 2.
Pendit, Brahm. U et al. (2004). Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta : EGC
Putra, A. A. G. A., 2014. Kematian Akibat Tenggelam : Laporan
Kasus, Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RSUP
Sanglah .
Raoof, Suhail. (2008) . Manual of Critical Care. New York: Brooklyn.
Rastogi, P. & Rao, J., (2011). Accidental Mechanical Asphyxia At Work Site By
Mud. J Punjab Acad Forensic Med Toxicol, Volume 11, pp. 52-54.
Somantri, irman, (2007) . Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
sistem pernapasan, Salemba Medika, Jakarta
Santoso, Bhetaria, (2010). Perbedaan Kadar Magnesium Serum antara Tikus
Putih (Rattus Norvegicus) yang Mati Tenggelam di Air Tawar
dengan di Air Laut, Skripsi, Surakarta, Universitas Sebelas Maret
Sorrentino, S., (2010) . Mosby’s Textbok for Long-Term Care Nursing
Assistants. 6th penyunt. s.l.:Mosby.
Tasmono, (2008) . Distribusi Kasus Kematian Akibat Asfiksia di Malang Raya
yang Diperiksa di Instalasi Kedokteran Forensik RSSA Tahun
2006-2007. pp. 36-39.
Wilianto, W., (2012) . Pemeriksaan Diatom pada Korban Diduga
Tenggelam. Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia, Volume 14,
pp. 39-46.
Wilkinson & Ahern. (2011) . Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis
NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC . Ed. 9. Jakarta:
EGC.