0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
44 tayangan61 halaman

Full Anestesi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 61

LAPORAN KASUS

GENERAL ANESTESI PADA EKSISI TUMOR MAMAE

Disusun Oleh:

Muhammad Khalil Akbar (1102014169)

Nabila Nurramdani Ohoirat (1102014182)

Yovi Sofiah (1102013314)

Pembimbing:

dr. Dublianus, Sp.An

dr. Tati Maryati, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI

PERIODE 8 APRIL – 11 MEI 2019

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA CILEGON

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wa Rahmatullahii wa Barakatuuh

Salam sejahtera bagi kita semua


Puji dan syukur senantiasa penulis ucapkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga laporan
kasus dengan judul “GENERAL ANESTESI PADA EKSISI TUMOR
MAMAE” yang disusun dalam rangka memenuhi persyaratan kepaniteraan klinik
bagian Anestesiologi di RSUD Kota Cilegon ini dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. dr. Dublianus, Sp.An dan dr. Tati, Sp.An selaku dokter pembimbing dalam
kepaniteraan klinik bagian Anestesiologi ini.
2. Staff dan Paramedik yang bertugas di kamar operasi RSUD Kota Cilegon
yang telah membantu penulis dalam kegiatan klinik sehari-hari.
Penulis sadar masih banyaknya kekurangan dari laporan kasus ini. Maka
dari itu, penulis menerima kritik serta saran yang bersifat membangun sehingga
laporan kasus ini dapat lebih baik lagi. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat
dan menambah pengetahuan dalam bidang Anestesi khususnya dan bidang
kedokteran yang lain pada umumnya. Aamiin Ya Rabbal Alamin.

Cilegon, 4 Mei 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... ii

DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1

BAB II LAPORAN KASUS..............................................................................................2

BAB III LAPORAN ANESTESI.......................................................................................7

BAB IV ANALISA KASUS............................................................................................13

BAB V ANASTESIA UMUM (GENERALANESTESI)………………………...16


BAB VI MANAJEMEN JALAN NAFAS DAN ALAT BANTU
PERNAFASAN…………………………………………………………………………………………..39
BAB VII KESIMPULAN ...............................................................................................58

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................59

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi adalah pemberian obat yang memiliki tujuan untuk


menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Secara garis besar, anestesi
dibagi menjadi dua yaitu anestesi umum dan anestesi lokal. Anestesi umum
bekerja pada susunan saraf pusat dan bekerja dengan cara meniadakan nyeri
secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Sedangkan
anestesi lokal bekerja pada serabut saraf perifer dan hanya menimbulkan efek
analgesia.

Anestesi dibagi menjadi dua (2) berdasarkan cara penggunaannya, yaitu


secara inhalasi dan intravena. Terlepas dari cara penggunaannya, anestetik yang
ideal harus memiliki tiga efek utama yang dikenal sebagai “Trias Anestesia” yaitu
efek hipnotik, efek analgesia dan efek relaksasi otot.

Pelaksanaan anestesi pada setiap tindakan operasi dimulai dari tahap pra
anestesi, yaitu meliputi persiapan fisik serta mental pasien, perencanaan anestesi,
menentukan prognosis dan persiapan pada hari operasi. Sedangkan
penatalaksanaan anestesi terdiri dari tahap premedikasi, masa pemeliharaan
anestesi, pemulihan serta perawatan pasca operasi.

1
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. A
TTL / Umur : 29 Agustus 1964 (53 Tahun)
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Limk Tunjung Putih 002/002
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 21 April 2019
No RM : 283440

B. ANAMNESIS
a. Keluhan utama : Pasien mengeluh terdapat benjolan pada payudara kanan
yang disertai dengan rasa nyeri.
b. Riwayat sebelumnya : Pasien datang ke Poliklinik Bedah Umum RSUD
Cilegon dengan keluhan adanya benjolan yang semakin membesar pada
payudara kanan sejak ± 1 tahun yang lalu. 2 minggu SMRS pasien
merasakan nyeri pada payudara kanannya sehingga ia datang ke dokter di
RS Krakatau Steel dan dilakukan pemeriksaan USG. Dari hasil
pemeriksaan USG tersebut pasien disarankan untuk melakukan
pengangkatan pada payudara kanannya. Mendengar kabar tersebut pasien
khawatir dan memutuskan untuk mencari second opinion dan datang ke
RSUD Kota Cilegon. Di RSUD Kota Cilegon setelah dilakukan
pemeriksaan USG didapatkan hasil tumor pada payudara kanan dan
direncanakan untuk dilakukan biopsi terlebih dahulu. Pasien tidak
memiliki riwayat alergi pada makanan maupun obat-obatan. Pasien
menyangkal memiliki riwayat penyakit sistemik seperti diabetes mellitus,

2
hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, riwayat asma. Pasien juga
tidak memakai gigi palsu dan tidak ada gigi goyang. Pasien sudah puasa
sejak pukul 24.00 malam untuk persiapan operasi.
c. Riwayat penyakit dahulu:
- Riwayat operasi (-)
- Riwayat penggunaan zat anestesi (-)
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat Alergi Obat (-)
- Riwayat Diabetes Mellitus (-)
d. Riwayat Penyakit keluarga
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat Alergi Obat (-)
- Riwayat Diiabetes Mellitus (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
b. Kesadaran : Composmentis
c. Tanda-tanda Vital
 Tekanan Darah : 130 / 80 mmHg
 Nadi : 85 x/ menit
 Pernapasan : 20 x/ menit
 Suhu : 36,7OC
 BB : 74 kg
 TB : 149 cm
d. Status Generalis
 Kepala
- Bentuk : Normocephal
- Rambut : Warna hitam, tidak rontok

3
- Wajah : Simetris, edema (-)
- Mata : Conjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-),
Pupil Isokor RCL (+/+), RCTL (+/+)
- Telinga : Bentuk normal, hiperemis (-), sekret (-/-), serumen
(-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
- Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-), sekret (-/-),
napas cuping hidung (-), mukosa hiperemis (-)
- Mulut :Bibir lembab, cyanosis (-), mukosa hiperemis (-),
oral hygine baik, uvula di tengah, dinding, posterior
faring dan palatum molle terlihat (Mallampati I),
tonsil tenang T1 – T1
 Leher
- Inspeksi : Bentuk normal, simetris, benjolan (-)
- Palpasi : Pembesaran KGB (-), Trakea di median, JVP
normal, leher pendek (-)
 Thorax
- Jantung : Pulsasi iktus kordis samar terlihat, pulsasi iktus
kordis teraba, thrill (-), batas jantung normal,
Bunyi Jantung I – II regular, murmur (-), gallop (-)
- Paru : Bentuk normal, massa (-), sikatrik (-), hematom (-)
pergerakan napas kanan kiri simetris, nyeri tekan
(-), krepitasi (-), fremitus taktil dan vokal kanan
kiri simetris, sonor pada kedua lapang paru,
Vesiculer (+/+), Wheezing (-/-), Rhonki (-/-)
 Abdomen : Perut datar,massa(-), hematom (-), sikatrik (-),
supel, nyeri tekan (-), hepar lien ginjal normal,
timpani seluruh abdomen, Asites (-), bising usus
(+) normal.
 Ekstrimitas : Akral hangat, tidak ada edema, CRT < 2”
 Punggung : Tidak ada deformitas tulang punggung (kifosis,
lordosis, skoliosis), tidak tampak adanya inflamasi

4
e. Status Lokalis
Regio Mammae Dextra
Peau de orange (+), nipple retraction (+), hiperemis (+), nyeri tekan (+)

D. STATUS FISIK
Pasien normal (dengan penyakit yang akan dioperasi) sehingga dapat
dikategorikan pasien memiliki status fisik ASA I.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


DARAH RUTIN
Hemoglobin 14,0 g/dL 12 – 16
Hematokrit 39,6 % 37 – 43
Eritrosit 4,80 x 10^6/ uL 4,0 – 5,0 x 10^6
Leukosit 7,551 x 10^3/ uL 5 – 10 x 10^3
Trombosit 276 x 10^3/uL 150 – 450 x 10^3
HEMOSTASIS
Masa Pendarahan 2 menit 1–6
Masa Pembekuan 12 menit 5 – 15 menit
KIMIA KLINIK
SGOT (AST) 17 U/L < 31
SGPT (ALT) 24 U/L < 33
Ureum Darah 23 mg/dL 10 – 50
Kreatinin Darah 1,11 mg/dL 0,60 – 1,20
GDS 113 mg/dL < 200
Albumin 4,20 g/dL 3.5 – 5.2
Asam Urat 4,4 mg/dL 2.4 – 5.7
Natrium (Na) Darah 143,3 mEq/L 135 – 147
Kalium (K) Darah 4,02 mEq/L 3.30 – 5.40
Klorida (Cl) Darah 106,1 mEq/L 94,0 – 111,0
IMUNOSEROLOGI
Anti HCV Non reaktif Non reaktif
HBsAG Non reaktif Non reaktif
Anti HIV Penyaring Non reaktif Non reaktif

5
Rapid

USG
Tumor mammae dextra susp. maligna

F. KESAN ANESTESI
Pasien seorang perempuan berusia 53 tahun dengan diagnosis Tumor
Mammae Dextra dengan klasifikasi ASA I.

G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan meliputi :
 Informed Consent mengenai tindakan eksisi dan biopsi
 Konsul bagian anestesi
 Informed Consent mengenai pembiusan (anestesi) : dilakukan eksisi pada
mammae dextra dengan general anestesi dengan klasifikasi ASA I.
 Persiapan Operasi (cek lab, puasa)
 Intravena fluid drip (IVFD) RL 500 cc (selama puasa sampai mulai
tindakan)

H. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka disimpulkan:
Diagnosis preoperasi : Tumor Mammae Dextra
Status Operatif : ASA I
Jenis Operasi : Eksisi + Biopsi
Jenis Anestesi : General Anestesi (Laringeal Mask Airway / LMA)
BAB III
LAPORAN ANESTESI

A. Preoperatif
 Informed consent mengenai rencana tindakan eksisi dengan anestesi
umum / general.

6
 Dari anamnesis pasien tidak memiliki riwayat yang akan mempengaruhi
atau mempersulit anestesi. [gigi palsu/goyang (-), asma (-), alergi (-),
diabetes mellitus (-), hipertensi (-), penyakit ginjal (-), penyakit jantung
(-), penyakit paru (-)]
 Pasien dipuasakan selama 8 jam.
 Pemasangan intravena fluid drip pada tangan kanan dengan cairan Ringer
Laktat (RL) 500 cc, mengalir dengan baik.
 Keadaan umum
- Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
- Kesadaran : Composmentis
- Tinggi badan : 149 Cm
- Berat badan : 74 Kg
 Tanda vital
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Nadi : 85 x/menit
- Pernapasan : 20 x/menit
- Suhu : 36.5 oC

B. Premedikasi Anestesi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi umum diberikan premedikasi untuk
antimual yaitu injeksi ondansetron 4 mg secara bolus Intravena (IV).

C. Tindakan Anestesi
Pasien memasuki ruang operasi pada pukul 12.15 WIB, kemudian pasien
diposisikan berbaring di meja operasi dengan posisi terlentang / supine.
Dipersiapkan untuk pemantauan pasien selama operasi dengan menyalakan
layar monitor kemudian dilakukan pemasangan manset untuk monitor
tekanan darah dan pemasangan alat oksimetri untuk pemantau saturasi
oksigen dan denyut nadi. Setelah itu memastikan apakah IV line baik dan
lancar. Sebelumnya medikasi anestesi sudah dipersiapkan.
Kemudian dilakukan induksi anestesi pada pukul 12.20 WIB dengan
pemberian fentanyl 150 microgram bolus intravena, dilanjutkan dengan
pemberian propofol 200 mg bolus intravena. Pantau tekanan darah, nadi dan
saturasi oksigen melalui monitor serta memeriksa reflex bulu mata

7
memastikan pasien sudah dalam fase hipnotik. Kemudian dilakukan
pemasangan sungkup wajah dan disambung dengan selang yang sudah dialiri
dengan gas O2 2 lpm, N2O 2 lpm dan isofluran 2 vol % selama beberapa
waktu, lalu dilanjutkan dengan pemasangan Laryngeal Mask Airway (LMA)
ukuran no 4 yang telah diberikan gel dan difiksasi dengan mengembangkan
balon pada LMA dan dengan micropore di daerah mulut. Setelah itu LMA
dihubungkan dengan mesin anestesi melalui selang. Lakukan pemompaan
pada ambubag hingga terjadi pernapasan spontan untuk menjaga saturasi
oksigen tetap normal dan stabil.
Pemeliharaan anestesi dilakukan dengan kombinasi inhalasi O2, N2O, dan
isoflurane. Inhalasi N2O : O2 diberikan dengan perbandingan 50 : 50, yaitu
masing-masing 2L/menit. Isoflurane diberikan dengan volume 2%. Bila
anestesi terlalu dalam maka isoflurane diturunkan begitu pula sebaliknya,
kombinasi dinaikkan dan diturunkan perlahan-lahan sesuai keadaan pasien.
Selama anestesi diperhatikan monitor tanda-tanda vital, vital sign diset
otomatis dan dicatat setiap 5 menit selama operasi.

D. Pemantauan Selama Tindakan Anestesi


Melakukan pemantauan keadaan pasien terhadap tindakan anestesi.
Pemantauan dilakukan pada fungsi kardiovaskuler, fungsi respirasi, dan
cairan. Fungsi kardiovaskuler dengan pemantauan terhadap tekanan darah dan
frekuensi nadi setiap 5 menit. Fungsi respirasi dengan inspeksi pernapasan
spontan pasien dan saturasi oksigen. Cairan dengan melihat input cairan
infus.

Lampiran Monitoring Tindakan Operasi

Jam Tindakan Tekanan Nadi Saturasi


Darah O2

8
12.15 Pasien masuk kamar 167/91 79 98 %
operasi, dibaringkan pada
meja operasi dan
dilakukan pemasangan
manset di lengan kiri atas
dan oksimetri di jari
telunjuk kanan.
Injeksi Ondansetron 4 mg
secara IV bolus.
12.20 Dilakukan induksi 106/60 65 97%
anestesi secara bolus.
(fentanyl 150 mikrogram,
propofol 200 mg)
Pasang sungkup dan
dilanjutkan pemasangan
LMA no.4 dengan
oksigen 2 lpm, N2O 2
lpm, dan isoflurane
volume 2%.
12.30 Operasi dimulai 134/75 55 96%
Kondisi terkontrol
12.35 Kondisi terkontrol 110/60 53 95%

12.40 Kondisi terkontrol 115/65 58 93%

12.45 Kondisi terkontrol 117/62 57 93%

12.50 Kondisi terkontrol 108/63 57 92%

12.55 Kondisi terkontrol 112/68 61 95%

13.00 Kondisi terkontrol 122/73 62 95%

9
13.05 Tramadol 100 mg 126/70 66 95%
diberikan secara drip
13.08 Operasi Selesai 116/73 69 95%
Pronalges supp diberikan
100 mg

E. Post Operatif
Operasi berakhir pada jam 13.08 WIB.
Setelah tindakan pembedahan selesai, isoflurane diturunkan secara
bertahap sampai mencapai 0% vol, N2O diturunkan hingga 0L/menit, dan O2
dinaikan hingga 6L/menit. Sebelum pasien sadar dilakukan ekstubasi LMA,
micropore yang memfiksasi dilepas kemudian setelah jalan napas bersih
balon cuff LMA dikempiskan dan LMA dikeluarkan lalu dipasang
orofaringeal tube / guedel. Lalu persiapan pasien ke ruangan pemulihan /
recovery room.
Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan, dilakukan bantuan oksigenasi
melalui canule O2 3 liter/menit melalui guedel dan dilakukan pemantauan
keadaan umum, tingkat kesadaran, dan tanda vital hingga stabil didapatkan
monitoring tekanan darah yaitu 116/73 mmHg, SpO2 96% dan pasien sadar
beberapa saat di ruang pemulihan. Saat berada di ruang pemulihan dilakukan
penilaian aldrete score, hingga nilai >8, maka pasien dipindahkan ke ruang
perawatan (bangsal).

Aldrete Score / Post Anesthesia Recovery (PAR) Score


Gerakan
Dapat menggerakan semua ekstrimitas atau dengan 2
perintah

10
Dapat menggerakkan 2 ekstrimitasnya sendiri atau dengan 1
perintah
Tidak dapat menggerakkan ekstrimitas sendiri atau dengan 0
perintah
Pernapasan
Dapat bernapas dalam dan kuat serta batuk 2
Dispneu atau napas terbatas 1
Apneu atau napas dengan bantuan 0
Sirkulasi
TD sama dengan nilai awal atau berbeda kurang lebih 20% 2
dari preanestesi
TD berbeda kurang lebih 20% - 50% dari preanestesi 1
TD berbeda kurang lebih dari 50% dari preanestesi 0
Kesadaran
Sadar Penuh 2
Tidak sadar, reaksi terhadap rangsangan 1
Tidak sadar, tidak ada reaksi terhadap rangsangan 0
Warna Kulit
Merah Muda 2
Pucat 1
Sianosis 0

F. Laporan Anestesi
 Tindakan operasi : Eksisi
 Tindakan anestesi : General Anestesi/ Anestesi Umum
 Lama operasi : 12.30 - 13.08 (38 menit)
 Lama Anestesi : 12.20 – 13.20 (60 menit)
 Jenis Anestesi : General Anestesi dengan teknik “Semi Close
Circuit System dengan Laringeal Mask Airway no. 4” (SCCS LMA no.4)
menggunakan O2, N2O 2L/menit, dan isoflurane 2 vol%.
 Pernapasan : Spontan
 Cairan durante Op : Asering 1000 cc
 Premedikasi : Ondancetron 4 mg IV
 Induksi : Fentanyl 150 mikrogram IV, Propofol 200 mg IV
 Maintenance : O2 2L/menit, N2O 2L/menit, Isoflurane 2 vol %
 Medikasi : Tramadol 100 mg IV

11
BAB IV
ANALISA KASUS

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang


maka pasien didiagnosis tumor mammae dengan ASA I, yaitu pasien normal dan
hanya menderita penyakit yang akan dioperasi tanpa penyakit sistemik lainnya.
Persiapan sebelum operasi adalah memastikan keadaan pasien baik, mumpuni
untuk dilakukan anestesi, melihat apakah ada penyulit dalam anestesi atau
mempertahankan jalan napas, dan memasang akses intravena dan infus, serta
mempuasakan pasien 6-8 jam sebelum operasi untuk meminimalkan risiko
aspirasi lambung kejalan napas selama proses anestesi.

Menjelang operasi pasien dalam keadaan tampak sakit ringan dan kesadaran
composmentis. Jenis anestesi yang dilakukan adalah general anestesi atau anestesi
umum dengan teknik semi closed circuit system dengan LMA no.4. Pasien telah
direncanakan untuk tindakan eksisi.

Sebelum operasi dimulai, pasien dipersiapkan terlebih dahulu yaitu memastikan


infus berjalan dengan baik dan lancar, hal ini dimaksudkan karena pada saat
operasi dan anestesi sebagian besar obat dimasukkan secara intravena. Kemudian
pemasangan alat-alat pemantauan tanda vital seperti tensi dan oksimetri yang
bertujuan untuk memantau tekanan darah, denyut nadi, dan saturasi oksigen.
Karena beberapa obat anestesi dapat mempengaruhi perubahan tekanan darah
(hipertensi atau hipotensi) dan depresi pernapasan yang keduanya dapat
mempengaruhi saturasi atau kandungan oksigen dalam tubuh pasien. Kemudian
untuk memastikan pasien dalam keadaan tenang dan kooperatif.

Pasien diberikan obat premedikasi yaitu berupa ondansetron sebanyak 4 mg


secara bolus intravena. Hal ini bertujuan untuk mencegah rangsangan muntah
pada pasien dan memperkecil risiko aspirasi muntah ke dalam jalan napas.
Ondansetron adalah antagonis selektif reseptor 5-HT3 baik pada sistem saraf
pusat maupun saraf tepi yang memiliki efek terhadap saluran pencernaan.
Serotonin 5-hydroxytriptamin merupakan zat yang akan dilepas jika terdapat

12
toksin dalam saluran cerna, berikatan dengan reseptornya dan akan merangsang
saraf vagus menyampaikan rangsang ke CTZ (chemoreseptor trigger zone) dan
pusat muntah dan kemudian terjadi mual dan muntah.

Kemudian dilakukan induksi anestesi kepada pasien dengan menggunakan


fentanyl dan propofol. Propofol berkerja sebagai sedasi atau hipnotik. Dosis
induksi (2mg/kgBB) menyebabkan pasien tidak sadar secara cepat tanpa
menimbulkan efek analgesik, namun pemulihan kesadaran berlangsung secara
cepat juga karena memiliki masa kerja yang singkat. Fentanyl bekerja sebagai
analgesic, memiliki sifat analgesik narkotik yang poten. Dapat digunakan sebagai
tambahan dalam general anestesi maupun sebagai induksi anestesi. Fentanyl
memiliki kerja cepat dan efek durasi kerja kurang lebih 30 menit setelah dosis
tunggal IV 100 mcg. Fentanyl bergantung dari dosis dan kecepatan pemberian,
bisa menyebabkan rigiditas otot, euphoria, miosis, dan bradikardi.

Pada pasien ini dilakukan intubasi menggunakan LMA, karena dengan


pemasangan LMA jalan napas dapat terjaga dengan bebas, anestesi inhalan dapat
dikontrol dengan mudah, dan tidak sesulit pemasangan ETT. LMA digunakan
dalam operasi yang memiliki durasi yang tidak telalu lama dan tidak memerlukan
banyak perubahan posisi pasien. Saturasi oksigen bisa ditingkatkan, jalan napas
terjaga bebas, dosis obat anestesi dapat dikontrol dengan mudah.

Maintenance anestesi yang digunakan adalah N2O dan O2 dengan perbandingan


50:50 (N2O 2L/menit, O2 2 L/menit) serta isoflurane vol 2%. Berdasarkan
kepustakaan disebutkan bahwa anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan
dapat mengembalikan kesadaran dengan segera setelah pemberian dihentikan
serta mempunyai batas keamanan yang cukup besar dan efek samping minimal.
Hal ini tidak dapat dicapai bila diberikan obat anestesi tunggal, oleh karena itu
perlu anestesi dalam bentuk kombinasi. General anestesi umumnya diberikan
secara intravena dan inhalasi.

Pada akhir operasi pasien diberikan Tramadol 100 mg intravena drip. Tramadol
adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiate, tramadol mengikat secara

13
stereospesifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga menghentikan sensasi
dan respon terhadap nyeri. Selain itu juga menghambat pelepasan
neurotransmitter dari saraf aferen yang bersifat sensitif terhadap rangsang,
akhirnya impuls nyeri terhambat.

Ekstubasi LMA dilakukan sebelum pasien sadar, balon cuff dikempiskan dan
LMA dikeluarkan, dilanjutkan dengan pemasangan guedel. Terapi cairan pada
pasien ini adalah dengan pemberian asering 1000 cc, kemudian pasien dibawa ke
ruang pemulihan untuk dipantau tanda vital hingga mumpuni untuk dibawa
kembali ke ruangan.

14
BAB V
ANASTESIA UMUM (GENERAL ANESTESI)
4.1 Definisi
Anestesia berasal dari bahasa Yunani yang berarti “hilangnya rasa”, yaitu
hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang disertai maupun yang tidak disertai
hilang kesadaran, diperkenalkan oleh Oliver W. Holmes pada tahun 1846. Obat
yang digunakan dalam menimbulkan anestesia disebut sebagai anestetik.
Anestetik umum (general anestesi) adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Anestetik umum (general anestesi)
bekerja di susunan saraf pusat. Anestesi umum dapat menyebabkan amnesia
anterogard, yaitu hilangnya ingatan seseorang pada saat dilakukan pembiusan dan
operasi.
Dahulu dikenal istilah “Trias Anestesia”, yaitu hipnosis, analgesia dan
arefleksia. Sekarang anestesia umum tidak hanya mempunyai ketiga komponen
tersebut namun lebih luas. Secara umum komponen yang ada dalam anestesia
umum adalah hipnosis (hilangnya kesadaran), analgesia (hilangnya rasa sakit),
arefleksia (hilangnya refleks-refleks motorik tubuh, memungkinkan imobilisasi
pasien), relaksasi otot (memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi
intubasi trakeal), amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur).

4.2. Stadium Anestesi


Gambaran klasik tentang tanda dan tingkat anestesi (tanda Guedel) berasal
dari pengamatan atas efek pembiusan dengan eter yang berlangsung lambat,
walaupun tak lagi banyak digunakan karena anestesi modern cenderung
memperlihatkan masa induksi yang singkat.
Semua zat anestetik menghambat SSP secara beratahap, yang mula-mula
dihambat adalah fungsi yang kompleks, dan yang paling akhir dihambat ialah
medulla oblongata tempat pusat vasomotor dan pernafasan. Adapun pembagian
stadium anestesi menurut Guedel dapat dibagi menjadi:
4.2.1. Stadium I

15
Stadium I (Analgesia/Disorientasi) dimulai dari saat pemberian zat
anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih
dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi. Tindakan pembedahan
ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada
stadium ini. Stadium ini berakhir ditandai oleh hilangnya refleks bulu
mata.
4.2.2. Stadium II
Stadium II (Eksitasi/Delirium) dimulai dari akhir stadium I dan
ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss
cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot
meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak
mata.
4.2.3. Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan
hingga hilangnya pernapasan spontan. Stadium ini ditandai oleh hilangnya
pernapasan spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat
digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah. Stadium ini
dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu :
a. Tingkat I : Dari napas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.
Ditandai dengan napas teratur, napas torakal sama dengan abdominal.
Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+),
lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah menghilang, tonus
otot menurun.
b. Tingkat II : Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan
paralisis otot interkostal. Ditandai dengan pernapasan teratur, volume
tidak menurun dan frekuensi napas meningkat, mulai terjadi depresi
napas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks
cahaya menurun, refleks kornea menghilang dan tonus otot makin
menurun.
c. Tingkat III : Dari permulaan paralisis otot interkostal sampai paralisis
seluruh otot interkostal. Ditandai dengan pernapasan abdominal lebih

16
dorninan dari torakal, pupil makin melebar dan refleks cahaya
menghilang, lakrimasi negafif, refleks laring dan peritoneal
menghilang, tonus otot makin menurun.
d. Tingkat IV : Dari paralisis semua otot interkostal sampai paralisis
diafragma. Ditandai dengan paralisis otot interkostal, pernapasan
lambat, iregular dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralisis
diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil
melebar, refleks cahaya negatif, refleks spincter ani negatif.
4.2.4. Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan
segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien
meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti
terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan.

Gambar Tingkatan Stadium Anestesi Umum


4.3 Metode anestesi umum dilihat dari cara pemberian obat
I. Parenteral
Anestesia umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun
intramuskular biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk

17
induksi anestesia. Anestesi Intravena merupakan salah satu teknik anastesia
umum yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anastesia parenteral
langsung ke dalam pembuluh darah vena. Obat induksi disuntikkan secara
bolus intravena dengan kecepatan antara 30-60 detik. Contoh obat induksi
intravena: Thiopental, Propofol, dan Ketamin. Sedangkan obat induksi yang
dapat digunakan secara intramuskular yaitu Ketamin.
Teknik anestesi umum intravena terdiri atas anestesi intravena klasik,
anestesi intravena total dan anestesi-anelgesia neurlept.
1. Anestesi Intravena Klasik
a. Pemakaian kombinasi obat ketamin dengan sedatif
(misalnya diazepam atau midazolam)
b. Komponen trias anestesi yang dipenuhi: hipnotik &
anestesi
c. Indikasi: pada operasi kecil dan sedang yang tidak
memerluan relaksasi lapangan operasi yang optimal dan
berlangsung singkat.
d. Kontraindikasi:
i. pada pasien yang rentan terhadap obat-obat
simpatomimetik, misalnya penderita DM,
hipertensi, tirotoksikosis, dan phaecromositoma.
ii. pasien dengan hipertensi intrakranial
iii. pasien glaukoma
iv. operasi di daerah jalan napas dan intraokuler
2. Anestesi Intravena Total
a. Pemakaian kombinasi obat anestesia intravena yang
berkhasiat hipnotik, analgetik, dan relaksasi otot secara
berimbang.
b. Komponen trias anestesia yang dipenuhi: hipnotik,
analgesia dan relaksasi otot.
c. Indikasi: pada operasi yang memerlukan relaksasi lapangan
operasi yang optimal.

18
d. Kontraindikasi: tidak ada kontraindikasi yang absolut,
pilihan obat disesuaikan dengan penyakit pasien.

3. Anestesi - Analgesia Neurolept


a. Pemakaian kombinasi obat neuroleptik dengan analgetik
opiat secara intravena.
b. Komponen trias anestesia yang dipenuhi: sedasi atau
hipnotik ringan dan analgesia ringan.
c. Indikasi: - tindakan diagnostik endoskopi, misalnya
laringoskopi, bronkoskopi, esofagoskopi, dll.
- sebagai sumplemen tindakan anestesi lokal.
d. Kontraindikasi: penderita parkinson, penderita penyakit
paru obstruktif, bayi dan anak (kontraindikasi relatif).
II. Perektal
Metode ini sering digunakan pada anak, terutama untuk induksi anestesia
maupun tindakan singkat. Biasanya digunakan Thiopental atau Midazolam.

III. Perinhalasi
Anestesi inhalasi adalah anestesi dengan menggunakan gas
ataucairan anestetika yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat
anestetika melalui udara pernapasan. Merupakan salah satu teknik
anastesia umum yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi
obat-obatan anastesia inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang
mudah menguap melalui alat/mesin anastesia langsung ke udara inspirasi.
Teknik anestesi umum inhalasi:
• Sungkup muka (face mask)
Teknik ini banyak dilakukan untuk tindakan singkat antara 1/2 – 1
jam, keadaan umum baik (ASA I-II). Persiapan yang dilakukan sebelum
penggunaan sungkup muka adalah keadaan lambung yang kosong. Pasien
harus dipuasakan terlebih dahulu selama 6-8 jam, dengan tujuan

19
meminimalkan risiko refluks/regurgitasi dan aspirasi isi lambung ke sistem
pernafasan.

• LMA (Laringeal Mask Airway)


Manajemen saluran nafas dengan memasukkan LMA ke dalam
hipofaring akan mengurangi resiko aspirasi dan regurgitasi dibandingkan
dengan sungkup muka. Pemasangan LMA dapat dilakukan jika ada
kesulitan pada saat melakukan intubasi.
• Intubasi endotrakea (endotracheal tube)
Manajemen saluran nafas dengan memasukkan pipa endotrakea ke
dalam percabangan trakea (carina) melalui oral atau nasal. Indikasi
pemasangan adalah pasien yang sulit mempertahankan saluran nafas dan
kelancaran dalam proses bernafas (misalnya pada: penurunan kesadaran,
trauma pada wajah dan leher), mencegah aspirasi, ventilasi mekanis jangka
lama.
Pada anestesi umum inhalasi, pemakaian N20 harus selalu
dikombinasikan dengan O2 dengan perbandingan 70:30, 60:40 atau 50:50,
tergantung kondisi pasien. Obat induksi inhalasi yang dapat digunakan
yaitu Halotan, Sevofluran dan Isofluran.

4.4 Pilihan cara anastesia


Pemilihan prosedur anestesi berdasarkan hal-hal dibawah ini:
1. Usia
- Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum
- Pada dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dilakukan dengan
anestesi lokal atau umum
2. Status fisik
- Riwayat penyakit dan anestesia terdahulu. Untuk mengetahui apakah
pernah dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat mengetahui apakah
ada komplikasi anestesia dan pasca bedah.

20
- Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari
penggunaan anestesia umum.
- Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan gangguan jiwa
sebaikmya dilakukan dengan anestesia umum.
- Pasien obesitas, bila disertai leher pendek dan besar, sering timbul
gangguan sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi
anestesia. Pilihan anestesia adalah regional, spinal, atau anestesi
umum endotrakeal.
3. Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi memerlukan
anestesis umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama
pembedahan.demikian juga pembedahan yang berlangsung lama.
4. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan
keterampilan dan kebutuhan dokter bedah antara lain teknik hipotensif
untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian
adrenalin pada bedah plastik dan lain-lain.
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi.
6. Keinginan pasien
Cara kerja obat anastesi
Apabila obat anestesi inhalasi, dihirup bersama-sama udara inspirasi
masuk kedalam saluran pernapasan, didalam alveoli paru akan berdifusi
masuk ke dalam sirkulasi darah. Demikian pula yang disuntikkan secara
intramuskuler, obat tersebut akan diabsorbsi masuk ke dalam sirkulasi darah.
Setelah masuk kedalam sirkulasi darah obat tersebut akan menyebar ke dalam
jaringan. Dengan sendirinya jaringan yang kaya pembuluh darah seperti otak
atau organ vital akan menerima obat lebih banyak dibandingkan jaringan yang
pembuluh darahnya sedikit seperti tulang atau jaringan lemak.

4.5 Keuntungan dan kerugian anestesia umum


1. Keuntungan anestesia umum

21
 Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis
berlangsung.
 Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat
ansietas dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan
trauma psikologis.
 Memungkinkan dilakukannya prosedur yang membutuhkan waktu lama.
 Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien.

2. Kerugian anestesia umum


 Sangat memengaruhi fisiologi, hampir semua regulasi tubuh menjadi
tumpul dibawah anestesi umum.
 Memerlukan pemantauan yang lebih holistik.
 Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat, misalnya
perubahan kesadaran.
 Risiko komplikasi pascabedah lebih besar
 Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama.

4.6 Indikasi anestesi umum


 Infant dan anak usia muda
 Dewasa yang memilih anestesi umum
 Pembedahan luas
 Penderita sakit mental
 Pembedahan lama
 Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan
 Riwayat penderita toksik/alergi obat anestesi lokal
 Penderita dengan pengobatan antikoagulan

4.7 Kontraindikasi Anestesi Umum


Adapun kontraindikasi dalam anestesi umum meliputi:

22
 Mutlak: dekompensasio kordis derajat III-IV dan AV blok derajat
II total (tidak ada gelombang P).
 Relatif: hipertensi berat atau tidak terkontrol (diastolik>110
mmHg), diabetes melitus tidak terkontrol, infeksi akut, sepsis, dan
glomerulonefritis akut.
Kontraindikasi mutlak ialah pasien sama sekali tidak boleh diberikan
anestesi umum sebab akan menyebabkan kematian, apakah kematian DOT
(death on the table) meninggal di meja operasi atau selain itu. Kemudain
kontraindikasi relatif adalah pada saat tersebut tidak dapat dilakukan anestesi
umum tetapi ditunda dan ditunggu perbaikan kondisi pasien hingga stabil
kemudian baru dapat diberikan anestesi umum.

4.8 Tahapan Tindakan Anestesia Umum (General Anastesia)


Manajemen Perioperatif atau Perianestesia
Keseluruhan prosedur anestesia dimulai sejak periode pra-anestesia atau
prabedah dan diakhiri pada periode pasca-anestesia atau pascabedah. Ketiga
periode ini dikenal dengan periode perioperatif. Perioperative medicine
muncul pertama kali pada pertemuan tahunan American Society of
Anesthesiologists (ASA) tahun 1992 dan dibahas lagi tahun 1994. Tujuan
utama perioperative medicine adalah untuk mempersiapkan pasien seoptimal
mungkin serta meminimalkan komplikasi anestesia dan atau pembedahan
yang akan dijalani. Disamping itu hal ini dapat menghindari masalah-masalah
medikolegal.
1. Evaluasi Pra-anestesia
Tujuan evaluasi pra anestesi antara lain:
- Mengetahui status fisik pasien pra-operatif.
- Mengetahui dan menganalisis jenis operasi.
- Memilih jenis atau teknik anestesi yang sesuai.
- Memprediksi kemungkinan penyulit yang dapat terjadi selama bedah
atau pasca bedah.
- Mempersiapkan obat untuk menanggulangi penyulit yang diprediksi.

23
Waktu dilakukannya evaluasi pra anestesia pada kasus bedah elektif :
- Evaluasi awal dilakukan beberapa hari sebelum operasi.
- Evaluasi ulang dilakukan sehari menjelang operasi.
- Evaluasi ulang dilakukan lagi pada pagi hari menjelang pasien dikirim
ke kamar operasi.
- Evaluasi terakhir dilakukan dikamar persiapan bedah untuk
menentukan status fisik ASA.

1. Anamnesis
a. Identitas pasien
b. Anamnesa khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah (yang
akan dilakukan tindakan bedah) yang mungkin dapat
menimbulkan gangguan fungsi organ.
c. Anamnesa umum meliputi:
- Riwayat penyakit sistemik yang diderita atau pernah
diderita yang bisa mempengaruhi anestesia atau
dipengaruhi oleh anestesia
- Riwayat penggunaan obat-obatan yang mungkin dapat
berinteraksi dengan obat-obat anestesia
- Riwayat operasi/ anestesia terdahulu untuk melihat
apakah pernah mengalami komplikasi anestesia
- Kebaisaan buruk: merokok, mengkonsumsi alkohol,
pengguna obat terlarang (sedatif & narkotik)
- Riwayat alergi terhadap obat-obatan atau lainnya.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan atau penilaian: status kesadaran frekuensi napas,
tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan untuk
menilai status gizi atau BMI.

24
b. Pemeriksaan keadaan psikis: gelisah, takut, kesakitan.
c. Pemeriksaan keadaan gigi geligi (gigi palsu, gigi goyang, gigi
menonjol, dll), tindakan buka mulut, dan penilaian lidah. hal-hal
ini penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan
meyulitkan laringoskopi intubasi.
d. Skor Mallampati
Skor Mallampati adalah suatu perkiraan kasar dari ukuran relatif
lidah terhadap rongga mulut yang digunakan untuk memperkirakan
tingkat kesulitan intubasi. Skor Mallampati ditentukan dengan melihat
anatomi dari rongga mulut, khususnya berdasarkan visibilitas dari
dasar uvula, arkus tonsilaris anterior dan posterior, dan palatum mole.
Semakin tinggi skor mallampati, semakin tinggi pula tingkat kesulitan
untuk dilakukan intubasi.
Tabel 1.Klasifikasi skor mallampati

Kelas 1 tonsil, palatum mole, dan uvula terlihat jelas seluruhnya


palatum durum dan palatum mole masih terlihat, sedangkan
Kelas 2
tonsil dan uvula hanya terlihat bagian atas
Hanya palatum mole dan palatum durum yang terlihat,
Kelas 3 sedangkan dinding posterior faring dan uvula tertutup
seluruhnya oleh lidah
Hanya palatum durum yang terlihat, sedangkan dinding
Kelas 4 posterior faring, uvula, dan palatum mole tertutup seluruhnya
oleh lidah

e. Pasien sesak nafas dapat dilihat dari posisi berbaring (setengah


duduk atau menggunakanbantal yang tinggi), frekuensi nafas, jenis
pernafasan dan tingkat saturasi HbO2 dari pulse oxymeter.
Pengamatan dan pemeriksaan ini penting karena terkadang pasien
mengaku tidak sesak.
f. Pemeriksaan fisik umum dilakukan secara sistematik untuk
semua sistem organ tubuh pasien.

25
3. Pemeriksaan Laboratorium, radiologi, dan lainnya
a. Persiapan rutin: dilakukan kepada pasien yang dipersiapkan
untuk operasi kecil dan sedang. Hal yang diperiksa meliputi:
- Darah: Hb, HCT, eritrosit, leukosit, trombosit, masa
perdarahan (BT), dan masa pembekuan (CT)
- Urin: pemeriksaan fisik, kimiawi dan sedimen urin.
b. Pemeriksaan khusus: dilakukan kepada pasien yang
dipersiapkan untuk operasi besar dan pasien yang menderita
penyakti sistemik tertentu dengan indikasi tegas. Hal-hal yang
diperiksa adalah:
- Pemeriksaan laboratorium lengkap: fungsi hati, fungsi
ginjal, analisis gas darah, elektrolit, hematologi dan faal
hemostasis sesuai indikasi.
- Pemeriksaan radiologi: foto thoraks dan pemeriksaan lain
sesuai indikasi
- EKG terutama untuk pasien >35 tahun
- Pemeriksaan spirometri pada penderita PPOK
c. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital
apabila ditemukan gangguan fungsi organ yang bersifat kronis
maupun akut yang dapat mengganggu kelancaran atau dapat
diperberat oleh anestesi dan pembedahan.
4. Status Fisik
Setelah semua data terkumpul, dokter anestesiologis akan
menentukan status fisik pasien. Status fisik (physical status)
menggambarkan tingkat kebuguran pasien untuk menjalani anestesia.
Klasifikasi status fisik yang disusun oleh American Society of
Anesthesiologists (ASA) telah dikenal dan digunakan secara luas di dunia.
Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko anestesia, karena
dampak samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping
pembedahan.

26
Status fisik menurut klasifikasi ASA:
Kelas I : Pasien sehat yang akan menjalani operasi
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang, tanpa
pembatasan aktivitas
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang membatasi
aktivitas rutin
Kelas IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang menyebabkan
ketidakmampuan melakukan aktivitas rutin, yang
mengancam nyawanya setiap waktu.
Kelas V : Pasien tidak ada harapan, dengan atau tanpa pembedahan
diperkirakan meninggal dalam 24 jam.
Huruf “E” ditambahkan pada nomor status untuk operasi gawat
darurat.

2. Persiapan Pra Anestesia


a. Persiapan di Poliklinik, dirumah atau rawat inap
 Persiapan psikis dengan memberikan penjelasan kepada pasien
dan atau keluarganya agar mengerti perihal rencana anestesi dan
pembedahan sehingga diharapkan pasien dan keluarga bisa
tenang.
 Persiapan fisik dengan memberikan informasi kepada pasien
agar:
- Menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti merokok,
minuman keras, dan obat-obatan tertentu minimal 2 minggu
sebelum anestesia atau minimal dimulai sejak evaluasi
pertama kali di Poliklinik.
- Melepas protesis atau aksesoris, tidak menggunakan
kosmetik

27
 Puasa dengan aturan :
Makanan padat/ susu Cairan jernih tanpa
Usai
formula/ ASI partikel
< 6 bulan 4 jam 2 jam
6 - 36 bulan 6 jam 3 jam
> 36 bulan 8 jam 3 jam

Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia.


Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas
merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani
anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu
sebelum induksi anestesia.
b. Persiapan di ruang persiapan instalasi bedah sentral
 Evaluasi ulang status pasien, catatan medik dan perlengkapan
lainnya
 Konsultasi ditempat jika diperlukan
 Ganti pakaian dengan pakaian khusus kamar operasi
 Memberi premedikasi
 Tindakan lainnya: pemasangan Infus
c. Persiapan diruang operasi
 Meja operasi dan instrumen yang diperlukan
 Mesin anestesi dan sistem aliran gasnya
 Alat dan obat-obatan untuk resusitasi
 Alat pemantau TTV
 Kartu catatan medik anestesia

28
3. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat atau obat-obat 1-2 jam sebelum
induksi anesthesia untuk mendapatkan kondisi yang diharapkan oleh
anestesiologis, dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan
bangun dari anestesi diantaranya :
 Mengurangi kecemasan
 Mengurangi nyeri
 Mengurangi kebutuhan obat-obat anestetik
 Mengurangi sekresi saluran pernafasan
 Menyebabkan amnesia
 Mengurangi kejadian mual-muntah pascaoperasi
 Membantu pengosongan lambung danmengurangi produksi asam
lambung atau meningkatkan ph asam lambung
 Serta mencegah refleks-refleks yang tidak diinginkan.

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada


situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat
membangun kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda
kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam
sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat
diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan
pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan
antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral
ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg
atau ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).

29
Obat-obat yang sering digunakan adalah:
 Analgesik narkotik
Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3μgr/kgBB
 Analgesik non narkotik
Ponstan, Tramol, Toradon
 Hipnotik
Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
 Sedatif
Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB
Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB
Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB
Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
 Anti emetic
Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis 0,001
mg/kgBB
DBP
Narfoz, rantin, primperan
Ondancentron, Granon

4. Periode Intrabedah
A. Induksi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan,
tergantung lama operasinya, untuk operasi yang waktunya pendek mungkin
cukup dengan induksi saja. Tetapi untuk operasi yang lama, kedalaman
anastesi perlu dipertahankan dengan memberikan obat terus-menerus
dengan dosis tertentu, hal ini disebut maintenance atau pemeliharaan,

30
setelah tindakan selesai pemberian obat anastesi dihentikan dan fungsi tubuh
penderita dipulihkan, periode ini disebut pemulihan/recovery.

Persiapan induksi “STATICS” :


S = Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringocope
T = Tubes. Pipa trakea. Usia >5 tahun dengan balon(cuffed)
A = Airway. Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring (nasofaring)
yang digunakanuntuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak
menymbat jalan napas
T = Tape. Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I = Introductor. Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah
dimasukkan
C = Connector. Penyambung pipa dan perlatan anestesia
S = Suction. Penyedot lendir dan ludah

Jenis Induksi dari Cara Pemberian adalah :


 Induksi Intravena
Paling banyak digunakan, dilakukan dengan hati-hati, perlahan- lahan,
lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan
antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan
tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada
pasien yang kooperatif.
Jenis Induksi intravena:
- Tiopental (pentotal, tiopenton)
(1 amp 500 mg atau 1000 mg) sebelum digunakan dilarutkan
dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya
boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan
perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.

31
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan
menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis,
anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak,
tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat melindungi otak
akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesia.

- Propofol (diprivan, recofol)


Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat
isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 10 mg). suntikan intravena
sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat
diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-
2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-12
mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg.
pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan
untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.
- Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia,
hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat
menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.
Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg intravena
dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin
dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml=10mg), 5% (1 ml =
50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).
- Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga
banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung.
Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg
dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

32
 Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5menit
pasien tidur.

 Induksi inhalasi
- N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida).
Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar
dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal
25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga sering
digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada
anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan
salah satu cairan anastetik lain seperti halotan.
- Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan
analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus
simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi
vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi reflex baroreseptor.
Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat
pelepasan insulin sehingga meninggikan kadar gula darah.
- Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih
iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat
dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek
relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan.
- Isofluran (foran, aeran)

33
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi
dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak
digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah
jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi
dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.

- Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi
napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas
sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.
- Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.

 Induksi perektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam.

B. Rumatan Anestesi (Maintainance)


Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai
obat inhalasi atau intravena. Obat intravena bisa diberikan secara
intermitten atau continuous drip. Kadang-kadang dipakai gabungan obat
inhalasi dan intravena agar dosis masing-masing obat dapat diperkecil.
Untuk operasi-operasi tertentu diperlukan anastesi umum sampai
tingkat kedalamannya mencapai trias anastesi, pada penderita yang tingkat
analgesinya tidak cukup dan tidak mendapat pelemas otot, maka bila
mendapat rangsang nyeri dapat timbul :

34
 Gerakan lengan atau kaki
 Penderita akan bersuara, suara tidak timbul pada pasien yang memakai
pipa endotrakeal
 Adanya lakrimasi
 Pernafasan tidak teratur, menahan nafas, stridor laryngeal,
broncospasme
 Tanda-tanda adanya adrenalin release, seperti denyut nadi bertambah
cepat,
 Tekanan darah meningkat, berkeringat.
Keadaan ini dapat diatasi dengan mendalamkan anastesi. Pada
operasi-operasi yang memerlukan relaksasi otot, bila relaksasinya kurang
maka ahli bedah akan mengeluh karena tidak bisa bekerja dengan baik,
untuk operasi yang membuka abdomen maka usus akan bergerak dan
menyembul keluar, operasi yang memerlukan penarikan otot juga sukar
dilakukan.
Keadaan relaksasi bila terjadi pada anastesi yang dalam, sehingga
bila kurang relaksasi salah satu usaha untuk membuat lebih relaksasi
adalah dengan mendalamkan anastesi, yaitu dengan cara menambah dosis
obat, bila hanya menggunakan satu macam obat, keadaan relaksasi dapat
tercapai setelah dosis obat anastesi yang sedemikian tinggi, sehingga
menimbulkan gangguan pada organ vital. Dengan demikian keadaan ini
akan mengancam jiwa penderita.
Untuk mengatasi hal ini maka ada teknik tertentu agar tercapai trias
anastesi pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur dengan
obat hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik kuat, relaksasinya
menggunakan pelemas otot (muscle relaxant) teknik ini disebut balance
anastesi.
Pada balance anastesi karena menggunakan muscle relaxant, maka
otot mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami
kelumpuhan, termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak dapat bernafas.
Karena itu harus dilakukan nafas buatan (dipompa), karena itu

35
balance anastesi juga disebut dengan teknik respirasi kendali atau control
respiration.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur
dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh
otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi
pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama
dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O +
O2.
C. Pemulihan anastesi
Pada akhir operasi, maka anastesi diakhiri dengan menghentikan
pemberian obat anastesi, pada anastesi inhalasi bersamaan dengan
penghentian obat anastesi aliran oksigenasi dinaikkan, hal ini disebut
oksigenasi. Dengan oksigenasi maka oksigen akan mengisi tempat yang
sebelumnya ditempati oleh obat anastesi inhalasi di alveoli yang
berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi. Dengan demikian
tekanan parsial obat anastesi di alveoli juga berangsur-angsur turun,
sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsial obat anastesi
inhalasi dalam darah, maka terjadilah difusi obat anastesi inhalasi dari
dalam darah menuju ke alveoli, semakin tinggi perbedaan tekanan parsial
tersebut kecepata difusi makin meningkat. Kesadaran penderita juga
berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar obat anastesi dalam
darah.
Bagi penderita yang mendapat anastesi intravena, maka
kesadarannya berangsur pulih dengan turunnya kadar obat anastesi akibat
metabolisme atau ekskresi setelah pemberiannya dihentikan. Selanjutnya
pada penderita yang dianastesi dengan respirasi spontan tanpa
menggunakan pipa endotrakeal maka tinggal menunggu sadarnya
penderita, sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa endotrakeal
maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa ETT) ekstubasi bisa

36
dilakukan pada waktu penderita masih teranastesi dalam dan dapat juga
dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada keadaan setengah sadar
membahayakan penderita, karena dapat terjadi spasme jalan napas, batuk,
muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan intra okuli dan naiknya
tekanan intracranial. Ekstubasi pada waktu penderita masih teranastesi
dalam mempunyai resiko tidak terjaganya jalan nafas dalam kurun waktu
antara tidak sadar sampai sadar.
Pada penderita yang mendapat balance anastesi maka ekstubasi
dilakukan setelah napas penderita adekuat. Untuk mempercepat pulihnya
penderita dari pengaruh muscle relaxan maka dilakukan reserve, yaitu
memberikan obat anti kolin esterase.
Skor Pemulihan Pasca Anestesi
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi
terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan
penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat
dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang Recovery
room (RR).
Aldrete Score
Nilai Warna Kulit
Merah Muda 2
Pucat 1
Sianosis 0
Pernapasan
Bernapas dalam, batuk 2
Bernapas dangkal, dipneu 1
Apneu / obstruksi 0
Sirkulasi
Perbedaan TD < 20% TD awal 2
Perbedaan TD 20 – 50% dari awal 1
Perbedaan TD > 50% dari TD awal 0
Kesadaran
Sadar penuh 2
Bangun namun cepat kembali tertidur 1
Tidak ada respon 0
Aktivitas
Seluruh ekstrimitas dapat digerakkan 2

37
2 ekstrimitas dapat digerakkan 1
Tidak dapat digerakkan 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

BAB VI

MANAJEMEN JALAN NAFAS DAN ALAT BANTU PERNAFASAN


5.1 Definisi Intubasi
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut
atau hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal)
dan intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan
pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan
cuff, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita
suara dan bifurkasio trakea. Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan memasukan
pipa nasal melalui nasal dan nasopharing ke dalam oropharing sebelum
laryngoscopy.
5.2 Tujuan Intubasi
Tujuan intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut
atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trachea.
Tujuan dilakukannya intubasi yaitu sebagai berikut :
 Mempermudah pemberian anesthesia.
 Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernapasan.
 Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak
sadar, lambung penuh dan tidak ada reflex batuk).
 Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.
 Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
 Mengatasi obstruksi laring akut.
5.3 Indikasi dan Kontraindikasi Intubasi
Indikasi intubasi yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan saluran
udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang,
meminimalkan risiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap pasien

38
dengan keadaan gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang
terjadi, ventilasi yang tidak adekuat, ventilasi dengan thoracoabdominal pada
saat pembedahan, menjamin fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi
dari kepala, memungkinkan berbagai posisi (misalnya,tengkurap, duduk,
lateral, kepala ke bawah), menjaga darah dan sekresi keluar dari trakea
selama operasi saluran napas, Perawatan kritis : mempertahankan saluran
napas yang adekuat, melindungi terhadap aspirasi paru, kebutuhan untuk
mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal.
Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah : trauma servikal yang
memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat
sulit untuk dilakukan intubasi.
5.4 Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam Intubasi
Sehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat sebelum
intubasi seperti riwayat anestesi, alergi obat, dan penyakit lain yang dapat
menghalangi akses jalan napas. Pemeriksaan jalan napas melibatkan
pemeriksaan keadaan gigi; gigi terutama ompong, gigi seri atas dan juga
gigi seri menonjol. Visualisasi dari orofaring yang paling sering
diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi Mallampati Modifikasi. Sistem ini
didasarkan pada visualisasi orofaring. Pasien duduk membuka mulutnya
dan menjulurkan lidah.
Klasifikasi Mallampati
Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar
tonsil
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula
Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
Mallampati 4 : Palatum durum saja

39
Gambar 5. Score Mallampati

Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya


diperkirakan mudah intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit.
Selain sistem klasifikasi Mallampati, temuan fisik lainnya telah terbukti
menjadi prediktor yang baik dari kesulitan saluran nafas. Wilson dkk
menggunakan analisis diskriminan linier, dimasukkan lima variable : Berat
badan, kepala dan gerakan leher, gerakan rahang, sudut mandibula, dan gigi
ke dalam sistem penilaian yang diperkirakan 75% dari intubasi sulit pada
kriteria risiko = 2.

Faktor lain yang digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi meliputi :


 Lidah besar
 Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
 Mandibula menonjol
 Maksila atau gigi depan menonjol
 Mobilitas leher terbatas
 Pertumbuhan gigi tidak lengkap
 Langit-langit mulut sempit
 Pembukaan mulut kecil
 Anafilaksis saluran napas
 Arthritis dan ankilosis cervical
 Sindrom kongenital (Klippel-Feil (leher pendek, leher menyatu), Pierre
Robin (micrognathia, belahanlangit-langit, glossoptosis), Treacher Collins
(mandibulofacialdysostosis)
 Endokrinopati (Kegemukan, Acromegali, Hipotiroid
macroglossia,Gondok)

40
 Infeksi (Ludwig angina (abses pada dasar mulut), peritonsillar abses,
retropharyngeal abses,epiglottitis)
 Massa pada mediastinum
 Myopati menunjukkan myotonia atau trismus
 Jaringan parut luka bakar atau radiasi
 Trauma dan hematoma
 Tumor dan kista
 Benda asing pada jalan napas
 Kebocoran di sekitar masker wajah (edentulous, hidung datar, besar wajah
dan kepala, Kumis, jenggot
 Nasogastrik tube
 Kurangnya keterampilan, pengalaman, atau terburu-buru.

Gambar 6. Kesulitan Intubasi Trakea


Kelas 1: sebagian besar glotis terlihat, kelas 2 : hanya ekstremitas posterior glotis
dan epiglotis tampak; kelas 3: tidak ada bagian dari glottis terlihat, hanya epiglotis
terlihat; Kelas 4: tidak bahkan epiglotis terlihat. Kelas 1 dan 2 dianggap sebagai
'mudah' dan kelas 3 dan 4 sebagai 'sulit'.

5.5 Persiapan Intubasi


Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat‐alat dan
memposisikan pasien. ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff ETT
sebaiknya di tes terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter. Jika menggunakan
stylet sebaiknya dimasukkan ke ETT.Berhasilnya intubasi sangat tergantung dari
posisi pasien, kepala pasien harus sejajar dengan pinggang anestesiologis atau
lebih tinggi untuk mencegah ketegangan pinggang selama laringoskopi. Persiapan

41
untuk induksi dan intubasi juga melibatkan preoksigenasi rutin. Preoksigenasi
dengan nafas yang dalam dengan oksigen 100 %.
Persiapan alat untuk intubasi antara lain : STATICS
1. Scope
Scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop untuk
mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat laring
secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan benar.
Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop:
 Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.
 Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.
Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah
lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.

Gambar 7. Laringoskop

2. Tube
Tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea mengantar
gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan
standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran
milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa
berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk
penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti
huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak
menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan

42
kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak
kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan postintubation croup.
Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau
melalui hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan
bila penggunaan orotracheal tube tidak memungkinkan, mislanya karena
terbatasnya pembukaan mulut atau dapat menghalangi akses bedah. Namun
penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur
basis kranii.
Ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di bawah ini.

Usia Diameter (mm) Skala French Jarak Sampai Bibir


Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5-3,5 12 11cm
1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm
½-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm
1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm
4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm
6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm
8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm
10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm
12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm
Dewasa wanita 6,5-8,5 28-30 20-24 cm
Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm
*Tersedia dengan atau tanpa kaf

Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:


Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4,0 + ¼ umur (tahun)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)

Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas,
mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi,
oksigenasi dan pengisapan.

43
Gambar 8. Pipa endotrakeal

Pipa endotrakea terbuat dari material silicon PVC (Polyvinyl Chloride)


yang bebas lateks, dilengkapi dengan 15mm konektor standar. Termosensitif
untuk melindungi jaringan mukosa dan memungkinkan pertukaran gas, serta
struktur radioopak yang memungkinkan perkiraan lokasi pipa secara tepat. Pada
tabung didapatkan ukuran dengan jarak setiap 1cm untuk memastikan kedalaman
pipa.
Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa trakea
disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada umur. Pipa
endotrakea yang baik untuk seorang pasien adalah yang terbesar yang masih dapat
melalui rima glotis tanpa trauma. Pada anak dibawah umur 8 tahun trakea
berbentuk corong, karena ada penyempitan di daerah subglotis (makin kecil makin
sempit). Oleh karena itu pipa endotrakeal yang dipakai pada anak, terutama adalah
pipa tanpa balon (cuff). Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya dipasang kasa
yang ditempatkan di faring di sekeliling pipa tersebut untuk mencegah aspirasi
untuk fiksasi dan agar tidak terjadi kebocoran udara inspirasi. Bila intubasi secara
langsung (memakai laringoskop dan melihat rima glotis) tidak berhasil, intubasi
dilakukan secara tidak langsung (tanpa melihat trakea) yang juga disebut intubasi
tanpa lihat (blind). Cara lain adalah dengan menggunakan laringoskop serat optik.
Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai
pipa dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi
pipa tanpa balon lebih baik. Balon sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya
tidak dipakai karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Pengembangan

44
balon yang terlalu besar dapat dihindari dengan memonitor tekanan dalam balon
(yang pada balon lunak besar sama dengan tekanan dinding trakea dan jalan
nafas) atau dengan memakai balon tekanan terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari
plastik yang tidak iritasif. Ukuran penggunaan bervariasi bergantung pada usia
pasien. Untuk bayi dan anak kecil pemilihan diameter dalam pipa (mm) = 4 + ¼
umur (tahun).
Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya
dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini. Pada hari
ke-4 timbul kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis
subglotis.
Kerusakan pada laringotrakea telah jauh berkurang dengan adanya
perbaikan balon dan pipa. Jadi trakeostomi pada pasien koma dapat ditunda jika
ekstubasi diperkirakan dapat dilakukan dalam waktu 1-2 minggu. Akan tetapi
pasien sadar tertentu memerlukan ventilasi intratrakea jangka panjang mungkin
merasa lebih nyaman dan diberi kemungkinan untuk mampu berbicara jika
trakeotomi dilakukan lebih dini.

Size PLAIN Size CUFF


2,5 mm 4,5 mm
3,0 mm 5,0 mm
3,5 mm 5,5 mm
4,0 mm 6,0 mm
4,5 mm 6,5 mm
5,0 mm 7,0 mm
5,5 mm 7,5 mm

Tabel Ukuran Pipa Endotrakeal

45
3. Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan napas
yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung- faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat pasien
tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.
4. Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong atau tercabut.
5. Introducer
Introducer yang dimaksud adalah RlasticR atau stilet dari kawat yang
dibungkus Rlastic (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
6. Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve
mask ataupun peralatan anesthesia.
7. Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan lainnya.

5.6 Intubasi dan Ekstubasi


1. Intubasi Endotrakeal
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop
dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan
lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga
mulut. Gagang diangkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring
serta epiglotis.
Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat
sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf
V. Tracheal tube diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan
melewati pita suara sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu,
sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior

46
sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stylet
dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa
balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun
laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi,
dilakukan auskultasi dada dengan steteskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri
sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi
intubasi endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat tanda‐tanda berupa suara
nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang‐kadang timbul suara
wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada
ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru
sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrium
atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),
kadang‐kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak
semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali
setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
Intubasi yang gagal tidak harus dilakukan berulang-ulang dengan cara
yang sama. Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan kemungkinan
keberhasilan, seperti reposisi pasien, mengurangi ukuran tabung, menambahkan
stylet, memilih pisau yang berbeda, mencoba jalur lewat hidung, atau meminta
bantuan dari ahli anestesi lain. Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan
masker, bentuk alternatif manajemen saluran napas lain (misalnya, LMA,
Combitube, cricothyrotomy dengan jet ventilasi, trakeostomi) harus segera
dilakukan.
2. Intubasi Nasotrakeal
Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk lewat
hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang
hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas
lebih gampang. Tetes hidung phenylephrine (0,5–0,25%) menyebabkan pembuluh
vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Jika pasien sadar, lokal
anestesi secara tetes dan blok saraf dapat digunakan.

47
NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air, dimasukkan
ke dasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada disisi lateral jauh dari
turbin. Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal
dari NTT harus ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur- angsur dimasukan
hingga ujungnya terlihat di orofaring. Umumnya ujung distal dari NTT dapat
dimasukan pada trachea tanpa kesulitan. Jika ditemukan kesulitan dapat
diguankan forcep Magil. Penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati agar
tidak merusakkan balon. Memasukkan NTT melalaui hidung berbahaya pada
pasien dengan trauma wajah yang berat disebabkan adanya resiko masuk ke
intrakranial.
3. Ekstubasi Perioperatif
Setelah operasi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan yaitu
pengembalian fungsi respirasi pasien dari nafas kendali menjadi nafas spontan.
Sesaat setelah obat bius dihentikan segeralah berikan oksigen 100% disertai
penilaian apakan pemulihan nafas spontan telah terjadi dan apakah ada hambatan
nafas yang mungkin menjadi komplikasi. Bila dijumpai hambatan nafas,
tentukaan apakah hambatan pada central atau perifer. Teknik ekstubasi pasien
dengan membuat pasien sadar betul atau pilihan lainnya pasien tidak sadar (tidur
dalam), jangan lakukan dalam keadaan setengah sadar ditakutkan adanya vagal
refleks. Bila ekstubasi pasien sadar, segera hentikan obat-obat anastesi hipnotik
maka pasien berangsu-angsur akan sadar. Evaluasi tanda- tanda kesadaran pasien
mulai dari gerakan motorik otot-otot tangan, gerak dinding dada, bahkan sampai
kemampuan membuka mata spontan. Yakinkan pasien sudah bernafas spontan
dengan jalan nafas yang lapang dan saat inspirasi maksimal. Pada ekstubasi pasien
tidak sadar diperlukan dosis pelumpuh otot dalam jumlah yang cukup banyak, dan
setelahnya pasien menggunakan alat untuk memastikan jalan nafas tetap lapang
berupa pipa orofaring atau nasofaring dan disertai pula dengan triple airway
manuver standar.
Syarat-syarat ekstubasi :
 Vital capacity 6 – 8 ml/kg BB.
 Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O.

48
 PaO2 diatas 80 mm Hg.
 Kardiovaskuler dan metabolic stabil.
 Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot.
 Reflek jalan napas sudah kembali dan penderita sudah sadar penuh.

5.7 Pipa Endotrakeal (Endotracheal Tube, ETT)


Pemberian ventilasi mekanik dapat melalui bag-mask, melalui pipa
endotrakeal atau melalui sungkup laring. Pemberian ventilasi mekanik dengan
cara memompa gas melalui sungkup muka (bag and mask ventilation) tidak
dapat dilakukan untuk jangka lama. Selain itu jalan nafas pasien sama sekali
tidak terlindung. Ventilasi cara ini biasanya hanya persiapan sebelum
manajemen definitif jalan nafas dengan ETT atau LMA.
Keuntungan penggunaan ETT adalah pengamanan total jalan nafas
(terutama jika menggunakan cuff) dan kemudahan penghisapan sekret. ETT
termasu invasif, pemasangannya dapat traumatik dan bagi pasien dengan
jalan nafas yang hiperaktf dapat mencetuskan asma, selain itu, jika
penempatan ETT terlalu dalam di salah satu bronkus, justru dapat
menyebabkan hipoksia karena atelektasis satu paru. Intubasi endotrakeal juga
terkadang salah arah, masuk ke esofagus. Hal ini harus segera diketahui dan
diperbaiki karena dapat fatal. Cara terbaik untuk deteksi dini intubasi
esofagus adalah dengan menggunakan kapnograf. Jika ETT masuk esofagus,
tidak akan terdeteksi kadar End Tidal CO2 melalui kapnografi. Hal ini
dikarenakan CO2 hanya disekresi oleh paru-paru.
Komplikasi intubasi endotrakeal sebagian besar akibat trauma, baik
karena tindakan langsung maupun karena penggunaan alat bantu pernafasan
yang lama. Tindakan laringoskopi sangat beresiko menyebabkan spasme
laring, terutama jika anestesia tidak adekuat. Spasme laring sebenarnya
adalah refleks protektif berupa adduksi pita suara, mengakibatkan obstruksi
jalan nafas.

5.8 Laryngeal Mask Airway (LMA)

49
LMA telah digunakan secara luas untuk mengisi celah antara intubasi
ET dan pemakaian face mask. LMA memberikan ahli anestesi alat baru
penanganan airway yaitu jalan nafas supraglotik, sehingga saat ini dapat
digolongkan menjadi tiga golongan yaitu : (1) jalan nafas pharyngeal, (2)
jalan nafas supraglotik, dan (3) jalan nafas intratracheal.  Ahli anestesi
mempunyai variasi yang lebih besar untuk penanganan jalan nafas sehingga
lebih dapat disesuaikan dengan kondisi tiap-tiap pasien, jenis anastesi, dan
prosedur pembedahan. LMA di insersi secara blind ke dalam pharing dan
membentuk suatu sekat bertekanan rendah sekeliling pintu masuk laring.
LMA dibuat dari karet lunak silicone khusus untuk kepentingan
medis, terdiri dari masker yang berbentuk sendok yang elips yang juga
berfungsi sebagai balon yang dapat dikembangkan, dibuat bengkok dengan
sudut sekitar 30°. LMA dapat dipakai berulang kali dan dapat disterilkan
dengan autoclave, namun demikian juga tersedia LMA yang disposable.

Desain dan Fungsi

Gambar 9. Laryngeal Mask Airway

Laringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway,


didesain untuk memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring
untuk ventilasi spontan dan memungkinkan ventilasi kendali pada mode level
(< 15 cm H2O) tekanan positif. Alat ini tersedia dalam 7 ukuran untuk
neonatus, infant, anak kecil, anak besar, kecil, normal dan besar.

Ukuran Masker Berat Badan (Kg) Volume Balon (mL)

50
1 <5 2-4
1½ 5 – 10 7
2 10 – 20 10
2 ½  20 – 30 14
3 30 - 50 20
4 50 - 70 30
5 > 70 40
Tabel 5. Daftar Ukuran LMA
Keuntungan dan Kerugian LMA
Keuntungan Kerugian
Dibandingkan -   Tangan operator bebas -   Lebih invasif
dengan Face-   Lebih leluasa pada operasi-   Resiko trauma pada jalan
Mask THT nafas lebih besar
-   Lebih mudah untuk-   Membutuhkan
mempertahankan jalan nafas keterampilan baru
-   Terlindung dari sekresi jalan-   Membutuhkan tingkat
nafas anastesi lebih dalam
-   Trauma pada mata dan saraf-   Lebih membutuhkan
wajah lebih sedikit kelenturan TMJ (temporo-
-   Polusi ruangan lebih sedikit mandibular joint)
-   Difusi N2O pada balon
-   Ada beberapa
kontraindikasi
Dibandingkan dg-   Kurang invasive -   Meningkatkan resiko
ETT -   Anestesi yang dibutuhkan aspirasi gastrointestinal
lebih dangkal -  Tidak aman pada pasien
-   Berguna pada intubasi sulit obisitas berat
-   Trauma pada gigi dan laryngx-   Maksimum PPV (positive
rendah pressure ventilation)
-   Mengurangi kejadian terbatas
bronkhospasme dan-   Keamanan jalan nafas
laryngospasme kurang terjaga
-   Tidak membutuhkan relaksasi-   Resiko kebocoran gas dan

51
otot polusi ruangan lebih
-   Tidak membutuhkan tinggi
mobilitas leher -   Dapat menyebabkan
-   Mengurangi efek pada distensi lambung
tekanan introkular
-   Mengurangi resiko intubasi
ke esofagus atau
endobronchial
Tabel 6. Keuntungan dan Kerugian LMA dibandingkan dengan sungkup wajah
dan ETT
Indikasi penggunaan LMA
- Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway
management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET
menjadi suatu indikasi.
- Pada penatalaksanaan difficult airway yang diketahui atau yang tidak
diperkirakan.
- Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan
diri.
Kontraindikasi penggunaan LMA
 Risiko meningkatnya regurgitasi isi lambung (hernia hiatus, ileus intestinal)
namun penggunaan pada emergency adalah pengecualian.
 Terbatasnya kemampuan membuka mulut atau ekstensi leher (misalnya artitis
rematoid yang berat atau ankilosing spondilitis), menyebabkan memasukkan
LMA lebih jauh ke hipopharynx sulit.
 Compliance paru yang rendah atau tahanan jalan nafas yang besar, karena
seal yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran pada
tekanan inspirasi tinggi dan akan terjadi pengembangan lambung. Tekanan
inspirasi puncak harus dijaga kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir
kebocoron cuff dan pengembangan lambung.
 Obstruksi jalan nafas setinggi level larynx atau dibawahnya
 Kelainan pada oropharynx (misalnya hematoma, dan kerusakan jaringan)

52
 Ventilasi paru tunggal.
 Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu
lama.

Teknik Insersi LMA


Macam-macam teknik insersi LMA :
 Teknik Klasik/standard (Brain’s original technique)
 Inverted/reserve/rotation approach
 Lateral apporoach à inflated atau deflated cuff

Teknik insersi LMA yang dikembangkan oleh dr. Archie Brain telah
menunjukkan posisi terbaik yang dapat dicapai ini pada berbagai variasi pasien
dan prosedur pembedahan.  Walaupun sampai sekarang telah banyak teknik
insersi yang dianjurkan namun demikian teknik dari dr.Brain ini membuktikan
secara konsisten lebih baik.
Konsep insersi LMA mirip dengan mekanisme menelan. Setelah makanan
dikunyah, maka lidah menekan bolus makanan terhadap langit-langit rongga
mulut berasamaan dengan otot-otot pharyngeal mendorong makanan kedalam
hipopharyng. Insersi LMA, dengan cara yang mirip balon LMA yang belum
terkembang dilekatkan menyusuri langit-langit dengan jari telunjuk menekan
LMA menyusuri sepanjang langit-langit keras dan langit-langit lunak terus sampai
ke hipopharyngx.  Teknik ini sesuai untuk penderita dewasa ataupun anak-anak
dan sesuai untuk semua model LMA.

53
Gambar 10. Teknik Insersi LMA

Keberhasilan insersi LMA tergantung dari hal-hal detail sebagai berikut :


1. Pilih ukuran yang sesuai dengan pasien dan teliti apakah ada kebocoran pada
balon LMA
2. Pinggir depan dari balon LMA harus bebas dari kerutan dan menghadap
keluar berlawanan arah dengan lubang LMA
3. Lubrikasi hanya pada sisi belakang dari balon LMA
4. Pastikan anastesi telah adekuat (baik general ataupun blok saraf regional)
sebelum mencoba untuk insersi.  Propofol dan opiat lebih memberikan
kondisi yang lebih baik daripada thiopental.
5. Posisikan kepala pasien dengan posisi sniffing
6. Gunakan jari telunjuk untuk menuntun balon LMA sepanjang palatum durum
terus turun sampai ke hipofarynx sampai terasa tahanan yang meningkat. 
Garis hitam longitudinal seharusnya selalu menghadap ke cephalad
(menghadap ke bibir atas pasien)
7. Kembangkan balon dengan jumlah udara yang sesuai
8. Pastikan pasien dalam anastesi yang dalam selama memposisikan pasien
9. Obstruksi jalan nafas setelah insersi biasanya disebabkan oleh piglotis yang
terlipat kebawah atau laryngospame sementara
10. Hindari suction pharyngeal, mengempeskan balon, atau mencabut LMA
sampai penderita betul-betul bangun (misalnya membuka mulut sesuai
perintah).

54
Gambar 11. Malposisi LMA yang umum terjadi

Malposisi LMA

Teknik-teknik Lain Yang Dapat Dilakukan Bila Kesulitan Insersi LMA


Ditangan yang terampil, teknik standard insersi LMA dapat berhasil pada
sebagian besar pasien (>98%) pada usaha yang pertama atau yang kedua. 
Penyebab yang lazim akan kegagalan insersi LMA adalah karena penguasaan
teknik yang rendah, anastesi yang dangkal (yang menyebabkan terjadi batuk,
mual, dan laryngospasme), pengguna belum berpengalaman, sulit mengatasi
lengkungan 90° dibelakang pharynx ke hipopharynx, lidah dan tosil yang besar,
dan penggunaan ukuran LMA yang tidak tepat.  Beberapa teknik manuver telah
dilakukan untuk mengatasi kesulitan tersebut diantaranya: menarik lidah kedepan,
menggangkat dagu, dan menggunakan laryngoscope, menggunakan bilah lidah
atau forcep Magill untuk menggangkat lidah.  Masukkan LMA dengan balon
menghadap ke bawah dan kemudian diputar 180° setelah sampai dinding posterior
parynx.
Balon dapat dikembangkan sebagian atau penuh bila memasukkan LMA
tanpa kesulitan.  Walaupun trik ini dapat memudahkan operator yang belum

55
berpengalaman namun dapat terjadi komplikasi berupa obstruksi parsial jalan
nafas jika ujung LMA arytenoid didepan larynx.  lebih jauh hal tersebut dapat
menyebabkan batuk atau laryngospame karena rangsangan pada refleks pelindung
jalan nafas yang disebabkan oleh posisi LMA yang tinggi di dalam pharynx. Pada
pasien dengan lengkung palatum yang tinggi, mendekati palatum durum secara
agak diagonal dari samping dengan posisi LMA bersudut 15° atau 20° dari lateral
ke midline dapat juga membantu.

Komplikasi Penggunaan LMA


1. Komplikasi Mekanikal (kinerja LMA sebagai alat) :
a. Gagal insersi (0,3 – 4%)
b. Ineffective seal (<5%)
c. Malposisi (20 – 35%)
2. Komplikasi Traumatik (kerusakan jaringan sekitar) :
a. Tenggorokan lecet (0 – 70%)
b. Disfagia (4 – 24%)
c. Disartria (4 – 47%)
2. Komplikasi Patofisiologi (efek penggunaan LMA pada tubuh) :
a. Batuk (<2%)
b. Muntah (0,02 – 5%)
c. Regurgitasi yang terdeteksi (0-80%), regurgitasi klinik (0,1%)

56
BAB VII
KESIMPULAN

Pasien Ny. A berusia 53 tahun datang ke Poliklinik Bedah Umum RSUD


Cilegon dengan keluhan adanya benjolan yang semakin membesar pada payudara
kanan sejak ± 1 tahun yang lalu. 2 minggu SMRS pasien merasakan nyeri pada
payudara kanannya dan berobat di RS Krakatau Steel serta dilakukan pemeriksaan
USG. Dari hasil USG pasien disarankan untuk melakukan pengangkatan pada
payudara kanannya. Kemudian pasien mencari second opinion dan datang ke
RSUD Kota Cilegon. Pasien dilakukan pemeriksaan USG kembali dan didapatkan
hasil tumor pada payudara kanan dan direncanakan untuk dilakukan biopsi
terlebih dahulu. Pasien menyangkal adanya riwayat demam dan sesak ataupun
mendengkur saat tidur.
Setelah dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh baik fisik maupun
penunjang, maka pasien diklasifikasikan ke dalam ASA 1 dikarenakan tidak ada
penyakit/kelainan sistemik yang terjadi pada pasien yang disebabkan benjolan
tersebut. Sebelum operasi pasien dipuasakan selama 8 jam. Pasien direncakan
diberikan anastesi umum dengan teknik SCCS (semi closed circuit system)
menggunakan LMA no. 4. Sebelum di induksi, pasien diberikan obat premedikasi
berupa Ondansetron 4 mg untuk mengurangi efek mual dan muntah akibat
pemberian obat-obat anastesi umum.
Pasien diinduksi dengan menggunakan obat Propofol 200 mg intravena dan
N2O juga Isofluran secara inhalasi hingga pasien tidak sadar. Diberikan pula O2
untuk menjaga sistem pernafasan. Pada proses pemeliharaan, pasien diberikan
fentanyl 150 mcg, Tramadol 100 mg, dan Pronalges sup 100 mg. Selama operasi
keadaan pasien dalam kondisi stabil hingga operasi selesai.
Pada fase pemulihan anastesi di RR (Recovery Room) dilakukan monitoring
tekanan darah, yaitu 116/73mmHg, SpO2 96% dan pasien sadar beberapa saat di
ruang pemuliahan. Pasien dapat langsung dibawa ke ruangan rawat inap
berdasarkan penilaian Aldrete Score berupa 10 poin.

57
DAFTAR PUSTAKA

Bosson N. 2016. Laryngeal Mask Airway. http://emedicine.medscape.com/article/82527-


overview#a7
Desai,Arjun M.2010. Anestesi. Stanford University School of Medicine. Diakses dari:
http://emedicine.medcape.com
Dorland,Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29, Jakarta:EGC,1765.
Gisele de Azevedo Prazeres,MD., (2002), Orotracheal Intubation,
http://www.medstudents.com/orotrachealintubation/medicalprocedures.html
Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu Dasar Anestesia. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Longnecker D, Brwon D, Newman M, Zapol W. Anesthesiology. USA. The McGraw-Hill
Companies. 2008
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Airway Management. In : Morgan GE, Mikhail MS,
Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology 4th ed. US A, McGraw‐Hill Companies,
Inc.2006, p. 98‐06.
Muhardi M., dkk., 1989. Anestesiologi. Jakarta: FKUI
Pasca Anestesia, dalam Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, FKUI, Jakarta, 2002, Hal :253-256.
Pramono A, Buku Kuliah Anestesi. Jakarta: EGC. 2015.
Soenarjo, dkk. Anestesiologi. Semarang: Ikatan Dokter Anestesi dan Reanimasi Cabang Jawa
Tengah ; 2010
Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta : Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Kedokteran. 2012.

58

Anda mungkin juga menyukai