0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
154 tayangan16 halaman

LP Atresia Duodenum Ridho

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 16

LAPORAN PENDAHULUAN

Atresia Duodenum

OLEH:
RIDHO FADILA ALFAJRI
I4051201004

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2021
A. Anatomi Duodenum
Duodenum atau juga disebut dengan usus duabelas jari merupakan usus yang
berbentuk seperti huruf C yang menghubungkan antara gaster dengan jejunum.
Duodenum melengkung di sekitar caput pancreas. Duodenum merupakan bagian
terminal atau muara dari sistem apparatus biliaris dari hepar maupun dari
pancreas. Selain itu duodenum juga merupakan batas akhir dari saluran cerna
atas. Dimana saluran cerna dipisahkan menjadi saluran cerna atas dan bawah
oleh adanya ligamentum Treitz (m. suspensorium duodeni) yang terletak pada
flexura duodenojejunales yg merupakan batas antara duodenum dan jejunum. Di
dalam lumen duodenum terdapat lekukan-lekukan kecil yang disebut dengan
plica sircularis. Duodenum terletak di cavum abdomen pada regio epigastrium
dan umbilikalis (Snell, 2006). Duodenum memiliki penggantung yg disebut dg
mesoduodenum.

Gambar 1. Bagian – bagian usus Gambar 2. Bagian-bagian duodenum


Duodenum terdiri atas beberapa bagian:
1. Duodenum pars superior
Bagian ini bermula dari pylorus dan berjalan ke sisi kanan vertebrae lumbal I
dan terletak di linea transpylorica. Bagian ini terletak setinggi vertebrae
lumbal I .
2. Duodenum pars decendens
Bagian dari duodenum yang berjalan turun setinggi vertebrae lumbal II-III.
Pada duodenum bagian ini terdapat papilla duodeni major dan minor yang
merupakan muara dari ductus pancreaticus major dan ductus choledocus serta
ductus pancreaticus minor yang merupakan organ apparatus billiaris dan
termasuk organ dari system enterohepatic.
3. Duodenum pars horizontal
Merupakan bagian dari duodenum yang berjalan horizontal ke sinistra
mengikuti pinggir bawah caput pancreas dan memiliki skeletopi setinggi
vertebrae lumbal II.
4. Duodenum pars ascendens
Merupakan bagian terakhir dari duodenum yang bergerak naik hingga pada
flexura duodenujejunales yang merupakan batas antara duodenum dan
jejunum. Pada flexura duodenojejunales ini terdapat ligamentum yang
menggantung yang merupakan lipatan peritoneum yang disebut dengan
ligamentum Treitz (m. suspensorium duodeni) yang dimana ligamentum ini
juga merupakan batas yang membagi saluran cerna menjadi saluran cerna atas
dan saluran cerna bawah. Duodenum bagian ini memiliki skeletopi setinggi
Vertebrae Lumbal I atau II.
B. Atresia duodenum
1. Definisi
Atresia duodenum adalah suatu kondisi dimana duodenum (bagian
pertama dari usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak
berupa saluran terbuka dari lambung yang tidak memungkinkan perjalanan
makanan dari lambung ke usus. Pada kondisi ini duodenum bisa mengalami
penyempitan secara komplit sehingga menghalangi jalannya makanan dari
lambung menuju usus untuk mengalami proses absorbs. Apabila penyempitan
usus terjadi secara parsial, maka kondisi ini disebut dengan duodenal stenosis
(Hayden et al, 2003).

2. Etiologi
Meskipun penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenum masih
belum diketahui, patofisologinya telah dapat diterangkan dengan baik.
Seringnya ditemukan keterkaitan atresia atau stenosis duodenum dengan
malformasi neonatal lainnya menunjukkan bahwa anomali ini disebabkan oleh
gangguan perkembangan pada masa awal kehamilan. Atresia duodenum
berbeda dari atresia usus lainnya, yang merupakan anomali terisolasi
disebabkan oleh gangguan pembuluh darah mesenterik pada perkembangan
selanjutnya. Tidak ada faktor resiko maternal sebagai predisposisi yang
ditemukan hingga saat ini. Meskipun hingga sepertiga pasien dengan atresia
duodenum menderita pula trisomi 21 (sindrom Down), namun hal ini
bukanlah faktor resiko independen dalam perkembangan atresia duodenum.

3. Klasifikasi
Gray dan Skandalakis membagi atresia duodenum menjadi tiga jenis,
yaitu:
1) Tipe I (92%)
Mukosal web utuh atau intak yang terbentuk dari mukosa dan submukosa
tanpa lapisan muskularis. Lapisan ini dapat sangat tipis mulai dari satu
hingga beberapa millimeter. Dari luar tampak perbedaan diameter
proksimal dan distal. Lambung dan duodenum proksimal atresia
mengalami dilatasi
(Mucosal web Tipe I atresia). Arteri mesenterika superior intak.
2) Tipe II (1%)
Dua ujung buntu duodenum dihubungkan oleh pita jaringan ikat (Fibrous
cord Tipe II atresia). Arteri Mesenterika intak.
3) Tipe III (7%)
Dua ujung buntu duodenum terpisah tanpa hubungan pita jaringan ikat
(Complete separation Tipe III atresia).

4. Pathofisiologi

Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal


yang tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya) atau
kegagalan rekanalisasi pita padat epithelial (kegagalan proses
vakuolisasi). Banyak peneliti telah menunjukkan bahwa epitel duodenum
berproliferasi dalam usia kehamilan 30-60 hari lalu akan terhubung ke lumen
duodenal secara sempurna. Proses selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi
terjadi saat duodenum padat mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya
terjadi melalui proses apoptosis, atau kematian sel terprogram, yang timbul
selama perkembangan normal di antara lumen duodenum. Kadang-kadang,
atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular (jaringan pankreatik yang
mengelilingi sekeliling duodenum). Hal ini sepertinya lebih akibat gangguan
perkembangan duodenal daripada suatu perkembangan dan/atau berlebihan
dari pancreatic buds. Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari
embryonic gut, yang tersusun atas epitel yang merupakan perkembangan dari
endoderm, dikelilingi sel yang berasal dari mesoderm. Pensinyalan sel antara
kedua lapisan embrionik ini tampaknya memainkan peranan sangat penting
dalam mengkoordinasikan pembentukan pola dan organogenesis dari
duodenum.
5. Pathway
6. Manifestasi klinis
Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus. Gejala
akan nampak dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa pasien dapat
timbul gejala dalam beberapa jam hingga beberapa hari setelah kelahiran.
Muntah yang terus menerus merupakan gejala yang paling sering terjadi pada
neonatus dengan atresia duodenal. Muntah yang terus-menerus ditemukan
pada 85% pasien. Muntah akan berwarna kehijauan karena muntah
mengandung cairan empedu (biliosa). Akan tetapi pada 15% kasus, muntah
yang timbul yaitu non-biliosaapabila atresia terjadi pada proksimal dari
ampula veteri. Muntah neonatus akan semakin sering dan progresif setelah
neonates mendapat ASI. Karakteristik dari muntah tergantung pada lokasi
obstruksi. Jika atresia diatas papila, maka jarang terjadi. Apabila obstruksi
pada bagian usus yang tinggi, maka muntah akan berwarna kuning atau
seperti susu yang mengental. Apabila pada usus yang lebih distal, maka
muntah akan berbau dan nampak adanya fekal. Apabila anak terus menerus
muntah pada hari pertama kelahiran ketika diberikan susu dalam jumlah yang
cukup sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti
roentgen dan harus dicurigai mengalami obstruksi usus. Ukuran feses juga
dapat digunakan sebagai gejala penting untuk menegakkan diagnosis. Pada
anak dengan atresia, biasanya akan memiliki mekonium yang jumlahnya lebih
sedikit, konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih abu-abu dibandingkan
mekonium yang normal. Pada beberapa kasus, anak memiliki mekonium yang
nampak seperti normal (Kessel et al, 2011)
Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak
terganggu. Akan tetapi, pada beberapa kasus dapat terjadi gangguan. Apabila
kondisi anak tidak ditangani dengan cepat, maka anak akan mengalami
dehidrasi, penurunan berat badan, gangguan keseimbangan elektrolit. Jika
dehidrasi tidak ditangani, dapat terjadi alkalosis metabolik hipokalemia atau
hipokloremia. Pemasangan tuba orogastrik akan mengalirkan cairan berwarna
empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna. Anak dengan atresi duodenum juga
akan mengalami aspirasi gastrik dengan ukuran lebih dari 30 ml. Pada
neonatus sehat, biasanya aspirasi gastrik berukuran kurang dari 5 ml. Aspirasi
gastrik ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada jalan nafas anak.
Pada beberapa anak, mengalami demam. Kondisi ini disebabkan karena
pasien mengalami dehidrasi. Apabila temperatur diatas 103º F maka
kemungkinan pasien mengalami ruptur intestinal atau peritonitis (Kessel et al,
2011).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi
distensi ini tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamaya pasien
tidak dirawat. Jika obstruksi pada duodenum, distensi terbatas pada
epigastrium. Distensi dapat tidak terlihat jika pasien terus menerus muntah.
Pada beberapa neonatus, distensi bisa sangat besar setelah hari ke tiga sampai
hari ke empat, kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau usus sehingga
cairan berpindah ke kavum peritoneal. Neonatus dengan atresia duodenum
memiliki gejala khas perut yang berbentuk skafoid (Kessel et al, 2011).
Saat auskultasi, terdengar gelombang peristaltik gastrik yang melewati
epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang peristaltik duodenum pada
kuadran kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum maupun kolon,
maka gelombang peristaltik akan terdapat pada semua bagian dinding perut
(Kessel et al, 2011).
7. Pemeriksaan penunjang
a. Foto polos abdomen
Pada pemeriksaan foto polos abdomen bayi dalam keadaan posisi tegak
akan terlihat gambaran 2 bayangan gelembung udara (double bubble),
gelembung lambung dan duodenum proksimal atresia. Bila 1 gelembung
mungkin duodenum terisi penuh cairan, atau terdapat atresia pylorus atau
membrane prapilorik. Atresia pilorik sangat jarang terdapat dan harus
ditunjang muntah tidak hijau. Bila 2 gelembung disertai gelembung
udara kecil kecil di distal, mungkin stenosis duodenum, diafgrama
membrane mukosa, atau malrotasi dengan atau tanpa volvulus.
b. USG Abdomen
Penggunaan USG telah memungkinkan banyak bayi dengan obstruksi
duodenum teridentifikasi sebelum kelahiran. Pada penelitian cohort besar
untuk 18 macam malformasi kongenital di 11 negara Eropa, 52% bayi
dengan obstruksi duodenum diidentifikasi sejak in utero. Obstruksi
duodenum ditandai khas oleh gambaran double-bubble (gelembung
ganda) pada USG prenatal. Gelembung pertama mengacu pada lambung,
dan gelembung kedua mengacu pada loop duodenal postpilorik dan
prestenotik yang terdilatasi. Diagnosis prenatal memungkinkan ibu
mendapat konseling prenatal dan mempertimbangkan untuk melahirkan
di sarana kesehaan yang memiliki fasilitas yang mampu merawat bayi
dengan
anomali saluran cerna.
8. Penatalaksanaan
a. Pre operasi
Tindakan dekompresi dengan pemasangan sonde lambung (NGT)
dan lakukan pengisapan cairan dan udara. Tindakan ini untuk
mencegah muntah dan aspirasi. Resusitasi cairan dan elektrolit,
koreksi asam basa, hiponatremia dan hipokalemia perlu mendapat
perhatian khusus. Pembedahan elektif pada pagi hari berikutnya.
b. Intraoperasi
Tindakan ini memerlukan anestesi general dengan intubasi
endotrakeal. Yang sering banyak digunakan dengan insisi pemotongan
otot, transversal, insisi kuadran kanan atas. Namun, beberapa
menggunakan motode laparoskopi untuk memperbaiki (Blanco-
Rodríguez, 2008).
Menurut Felicitass (2011), teknik pembedahan pada atresia
duodenum :
1) Side to side anastomosis
Dimulai dari bagian dorsal dari anastomosis, sebuah
duodenostomi melintang dibuat di segmen proksimal. Bagian
ujung dari lambung dan duodenum dilakukan duodenotomi. Insisi
pararel dibuat pada distal duodenum kemudian lapisan posterior
anastomosis dijahitkan.
2) For diamond shape duodenostomi
Diperlukan mobilisasi untuk menempatkan dinding duodenum
proksimal terlihat dengan jelas. Kemudian dibuat sayatan
melintang di proksimal membujur ke duodenum bagian distal.
3) For a duodenal web
Untuk web duodenum, membrane biasanya terletak di kedua
bagian duodenum, Lokasi membrane dapat dibantu oleh
pemasangan NGT ke dalam duodenum.
4) For membrane resection
Untuk reseksi membrane, sayatan dibuat memanjang. Kemudian
mengidentifikasi ampula vater. Eksisi dimulai dengan insisi radial
di pusat ostium. Sebelum menutup duodenum secara melintang,
patensi duodenum bagian distal diuji terlebih dahulu dengan
menggunakan kateter silicon kecil.
c. Post operasi
Penggunaan selang transanastomik berada dalam di jejunum,
pemberian makan dapat diberikan setelah 48 jam paska operasi.
Nutrisi parenteral via central atau perifer dimasukan kateter dapat
sangat efektif untuk menjaga nutrisi waktu yang lama jika
transanastomik enteral tidak cukup atau tidak dapat ditolenrasi oleh
tubuh pasien (Millar, 2005).
C. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas Pasien : Nama, Tempat tgl lahir, umur , Jenis Kelamin, Alamat,
Agama, Suku Bangsa, Pendidikan, Pekerjaan , No. CM, Tanggal Masuk
RS, Diagnosa Medis
b. Keluhan Utama : Muntah terus menerus
c. Riwayat keperawatan
 Riwayat Kesehatan Sekarang : Muntah, Pada beberapa neonatus,
distensi bisa sangat besar setelah hari ke tiga sampai hari ke empat,
kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau usus sehingga cairan
berpindah ke kavum peritoneal.
 Riwayat Keperawatan Dahulu : biasanya akan memiliki mekonium
yang jumlahnya lebih sedikit, konsistensinya lebih kering, dan
berwarna lebih abu-abu dibandingkan mekonium yang normal
 Riwayat Keperawatan Keluarga : Merupakan kelainan kongenital
bukan kelainan/ penyakit menurun sehingga belum tentu dialami oleh
angota keluarga yang lain
d. Pola Fungsi
 Pola persepsi terhadap kesehatan : Klien belum bisa mengungkapkan
secara verbal/bahasa tentang apa yang dirasakan dan apa yang
diinginkan
 Pola aktifitas kesehatan/latihan : Pasien belum bisa melakukan aktifitas
apapun secara mandiri karena masih bayi.
 Pola istirahat/tidur : Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau
kelurga yang lain
 Pola nutrisi metabolik Klien hanya minum ASI atau susu kaleng
 Pola eliminasi Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada
mekonium
 Pola kognitif perseptual Klien belum mampu berkomunikasi,
berespon, dan berorientasi dengan baik pada orang lain
 Pola konsep diri (Identitas diri :, Ideal diri , Gambaran diri, Peran diri,
Harga diri
 Pola seksual Reproduksi : Klien masih bayi dan belum menikah
 Pola nilai dan kepercayaan : belum mengerti tentang kepercayaan
 Pola peran hubungan : belum mampu berinteraksi dengan orang lain
secara mandiri
 Pola koping : respon terhadap adanya suatu masalah dengan isyarat
e. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan muntah
2. Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan
muntah
3. Resiko Aspirasi berhubungan dengan  adanya reflek muntah
f. Intervensi Keperawatan

No Tanggal/ Diagnosa Tujuan Intervensi Ttd


Jam Keperawatan
I Ketidakseimbangan Setelah dilakukan  Kaji kebutuhan nutrisi
nutrisi kurang dari tindakan perawatan  Pantau keadaan umum
kebutuhan tubuh selama 3 x 24 jam,  Pantau kateter vena perifer
berhubungan dengan diharapkan nutrisi kembali  Pantau Haluaran OGT
muntah seimbang dengan kriteria
 Pantau BAB
hasil :
 Timbang dan catat berat
 BB meningkat
badan Pasien pada jam yang
sama setiap hari
 Pantau terapi
II Kekurangan volume Setelah dilakukan  Kaji kebutuhan cairan dan
cairan dan elektrolit tindakan keperawatan elektrolit klien
berhubungan dengan selama 3x24 jam,  Pantau keadaan umum
muntah diharapkan cairan  Monitor tanda-tanda
elektrolit klien seimbang dehidrasi
dengan kriteria hasil:  Pantau haluaran OGT
 BB tidak menurun  Monitor Tanda tanda vital
 Bibir tidak kering  Monitor BAK
 Turgor kulit baik  Pantau pemberian terapi
 Capp. Refill <2detik cairan
III Resiko Aspirasi Setelah dilakukan  periksa haluaran cairan
berhubungan tindakan keperawatan melalui mulut
dengan  adanya selama 3 x 24 jam,  auskultasi suara paru
reflek muntah diharapkan pasien tidak  pantau tanda-tanda
mengalami aspirasi aspirasi
dengan kriteria hasil :  Berikan kenyamanan
terhadap penempatan posisi
 Tidak keluarnya
pasien
cairan
bunyi  Poisikan bayi dalam
 mempunyai
paru yang bersih dan posisi miring

jalan napas yang paten  Ganti pengalas pasien


jika terjadi muntah melalui
mulut
DAFTAR PUSTAKA

Anasruloh,Rahman . (2013). https://www.scribd.com/doc/76887410/Atresia-


Duodenum .

Kartono D. Atresia Duodenum dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Editor


Reksoprodjo S. Binarupa Aksara. FKUI.

Pertmaq Stya Cnta .( 2014). https://www.scribd.com/doc/251157704/askep-atresia-


duodenum-docx.

Rahmat Wibowo, Nur . (2012). https://www.scribd.com/doc/94777717/Laporan-


Kasus-Atresia-Duodenum .

Triayu Irianti, Indah. (2012). https://www.scribd.com/doc/115474044/STENOSIS-


DUODENUM . .

Anda mungkin juga menyukai