0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
97 tayangan15 halaman

LP Atresia Baru

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 15

BAB 1

KONSEP DASAR ATRESIA DUODENUM

1.1 Anatomi Duodenum


Duodenum atau juga disebut dengan usus duabelas jari merupakan usus yang
berbentuk seperti huruf C yang menghubungkan antara gaster dengan jejunum.
Duodenum melengkung di sekitar caput pancreas. Duodenum merupakan bagian
terminal atau muara dari sistem apparatus biliaris dari hepar maupun dari
pancreas. Selain itu duodenum juga merupakan batas akhir dari saluran cerna
atas. Dimana saluran cerna dipisahkan menjadi saluran cerna atas dan bawah
oleh adanya ligamentum Treitz (m. suspensorium duodeni) yang terletak pada
flexura duodenojejunales yg merupakan batas antara duodenum dan jejunum. Di
dalam lumen duodenum terdapat lekukan-lekukan kecil yang disebut dengan
plica sircularis. Duodenum terletak di cavum abdomen pada regio epigastrium
dan umbilikalis (Snell, 2006). Duodenum memiliki penggantung yg disebut dg
mesoduodenum.

Gambar 1. Bagian – bagian usus Gambar 2. Bagian-bagian duodenum

1
Duodenum terdiri atas beberapa bagian:
1. Duodenum pars superior
Bagian ini bermula dari pylorus dan berjalan ke sisi kanan vertebrae lumbal I
dan terletak di linea transpylorica. Bagian ini terletak setinggi vertebrae
lumbal I .
2. Duodenum pars decendens
Bagian dari duodenum yang berjalan turun setinggi vertebrae lumbal II-III.
Pada duodenum bagian ini terdapat papilla duodeni major dan minor yang
merupakan muara dari ductus pancreaticus major dan ductus choledocus serta
ductus pancreaticus minor yang merupakan organ apparatus billiaris dan
termasuk organ dari system enterohepatic.
3. Duodenum pars horizontal
Merupakan bagian dari duodenum yang berjalan horizontal ke sinistra
mengikuti pinggir bawah caput pancreas dan memiliki skeletopi setinggi
vertebrae lumbal II.
4. Duodenum pars ascendens
Merupakan bagian terakhir dari duodenum yang bergerak naik hingga pada
flexura duodenujejunales yang merupakan batas antara duodenum dan
jejunum. Pada flexura duodenojejunales ini terdapat ligamentum yang
menggantung yang merupakan lipatan peritoneum yang disebut dengan
ligamentum Treitz (m. suspensorium duodeni) yang dimana ligamentum ini
juga merupakan batas yang membagi saluran cerna menjadi saluran cerna atas
dan saluran cerna bawah. Duodenum bagian ini memiliki skeletopi setinggi
Vertebrae Lumbal I atau II.

1.2 Definisi
Atresia duodenum adalah suatu kondisi dimana duodenum (bagian pertama
dari usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran
terbuka dari lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan dari
lambung ke usus. Pada kondisi ini duodenum bisa mengalami penyempitan secara
komplit sehingga menghalangi jalannya makanan dari lambung menuju usus
untuk mengalami proses absorbsi. Apabila penyempitan usus terjadi secara
parsial, maka kondisi ini disebut dengan duodenal stenosis (Hayden et al, 2003).

2
1.3 Etiologi
Meskipun penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenum masih
belum diketahui, patofisologinya telah dapat diterangkan dengan baik. Seringnya
ditemukan keterkaitan atresia atau stenosis duodenum dengan malformasi
neonatal lainnya menunjukkan bahwa anomali ini disebabkan oleh gangguan
perkembangan pada masa awal kehamilan. Atresia duodenum berbeda dari
atresia usus lainnya, yang merupakan anomali terisolasi disebabkan oleh
gangguan pembuluh darah mesenterik pada perkembangan selanjutnya. Tidak
ada faktor resiko maternal sebagai predisposisi yang ditemukan hingga saat ini.
Meskipun hingga sepertiga pasien dengan atresia duodenum menderita pula
trisomi 21 (sindrom Down), namun hal ini bukanlah faktor resiko independen
dalam perkembangan atresia duodenum.

1.4 Klasifikasi
Gray dan Skandalakis membagi atresia duodenum menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Tipe I (92%)
Mukosal web utuh atau intak yang terbentuk dari mukosa dan submukosa
tanpa lapisan muskularis. Lapisan ini dapat sangat tipis mulai dari satu hingga
beberapa millimeter. Dari luar tampak perbedaan diameter proksimal dan
distal. Lambung dan duodenum proksimal atresia mengalami dilatasi
(Mucosal web Tipe I atresia). Arteri mesenterika superior intak.
2. Tipe II (1%)
Dua ujung buntu duodenum dihubungkan oleh pita jaringan ikat (Fibrous cord
Tipe II atresia). Arteri Mesenterika intak.

3. Tipe III (7%)


Dua ujung buntu duodenum terpisah tanpa hubungan pita jaringan ikat
(Complete separation Tipe III atresia).

3
1.5 Patofisiologi
Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal
yang tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya) atau
kegagalan rekanalisasi pita padat epithelial (kegagalan proses
vakuolisasi). Banyak peneliti telah menunjukkan bahwa epitel duodenum
berproliferasi dalam usia kehamilan 30-60 hari lalu akan terhubung ke lumen
duodenal secara sempurna. Proses selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi
saat duodenum padat mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi
melalui proses apoptosis, atau kematian sel terprogram, yang timbul selama
perkembangan normal di antara lumen duodenum. Kadang-kadang, atresia
duodenum berkaitan dengan pankreas anular (jaringan pankreatik yang
mengelilingi sekeliling duodenum). Hal ini sepertinya lebih akibat gangguan
perkembangan duodenal daripada suatu perkembangan dan/atau berlebihan dari
pancreatic buds. Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari
embryonic gut, yang tersusun atas epitel yang merupakan perkembangan dari
endoderm, dikelilingi sel yang berasal dari mesoderm. Pensinyalan sel antara
kedua lapisan embrionik ini tampaknya memainkan peranan sangat penting dalam
mengkoordinasikan pembentukan pola dan organogenesis dari duodenum.
1.6 Pathway

Atresia Duodenum

Post Operatif

4
Insisi Bedah Intake nutrisi ↓

Terputusnya BB Menurun
Leukosit ↓ Kontuinitas Jaringan
(luka jahit post op)
Demam Ketidakseimbangan
Stimulus Nyeri
nutrisi kurang dari
Resiko Infeksi kebutuhan
Nosiseptor

Nyeri Akut

1.7 Manifestasi Klinis


Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus. Gejala akan
nampak dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa pasien dapat timbul gejala
dalam beberapa jam hingga beberapa hari setelah kelahiran. Muntah yang terus
menerus merupakan gejala yang paling sering terjadi pada neonatus dengan
atresia duodenal. Muntah yang terus-menerus ditemukan pada 85% pasien.
Muntah akan berwarna kehijauan karena muntah mengandung cairan empedu
(biliosa). Akan tetapi pada 15% kasus, muntah yang timbul yaitu non-
biliosaapabila atresia terjadi pada proksimal dari ampula veteri. Muntah neonatus
akan semakin sering dan progresif setelah neonates mendapat ASI. Karakteristik
dari muntah tergantung pada lokasi obstruksi. Jika atresia diatas papila, maka
jarang terjadi. Apabila obstruksi pada bagian usus yang tinggi, maka muntah akan
berwarna kuning atau seperti susu yang mengental. Apabila pada usus yang lebih
distal, maka muntah akan berbau dan nampak adanya fekal. Apabila anak terus
menerus muntah pada hari pertama kelahiran ketika diberikan susu dalam jumlah
yang cukup sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti
roentgen dan harus dicurigai mengalami obstruksi usus. Ukuran feses juga dapat
digunakan sebagai gejala penting untuk menegakkan diagnosis. Pada anak dengan
atresia, biasanya akan memiliki mekonium yang jumlahnya lebih sedikit,
konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih abu-abu dibandingkan mekonium

5
yang normal. Pada beberapa kasus, anak memiliki mekonium yang nampak
seperti normal (Kessel et al, 2011)
Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak terganggu.
Akan tetapi, pada beberapa kasus dapat terjadi gangguan. Apabila kondisi anak
tidak ditangani dengan cepat, maka anak akan mengalami dehidrasi, penurunan
berat badan, gangguan keseimbangan elektrolit. Jika dehidrasi tidak ditangani,
dapat terjadi alkalosis metabolik hipokalemia atau hipokloremia. Pemasangan
tuba orogastrik akan mengalirkan cairan berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah
bermakna. Anak dengan atresi duodenum juga akan mengalami aspirasi gastrik
dengan ukuran lebih dari 30 ml. Pada neonatus sehat, biasanya aspirasi gastrik
berukuran kurang dari 5 ml. Aspirasi gastrik ini dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pada jalan nafas anak. Pada beberapa anak, mengalami demam. Kondisi
ini disebabkan karena pasien mengalami dehidrasi. Apabila temperatur diatas 103º
F maka kemungkinan pasien mengalami ruptur intestinal atau peritonitis (Kessel
et al, 2011).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi distensi ini
tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamaya pasien tidak dirawat.
Jika obstruksi pada duodenum, distensi terbatas pada epigastrium. Distensi dapat
tidak terlihat jika pasien terus menerus muntah. Pada beberapa neonatus, distensi
bisa sangat besar setelah hari ke tiga sampai hari ke empat, kondisi ini terjadi
karena ruptur lambung atau usus sehingga cairan berpindah ke kavum peritoneal.
Neonatus dengan atresia duodenum memiliki gejala khas perut yang berbentuk
skafoid (Kessel et al, 2011).
Saat auskultasi, terdengar gelombang peristaltik gastrik yang melewati
epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang peristaltik duodenum pada kuadran
kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum maupun kolon, maka
gelombang peristaltik akan terdapat pada semua bagian dinding perut (Kessel et
al, 2011).

1.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Foto polos abdomen

6
Pada pemeriksaan foto polos abdomen bayi dalam keadaan posisi tegak akan
terlihat gambaran 2 bayangan gelembung udara (double bubble), gelembung
lambung dan duodenum proksimal atresia. Bila 1 gelembung mungkin
duodenum terisi penuh cairan, atau terdapat atresia pylorus atau membrane
prapilorik. Atresia pilorik sangat jarang terdapat dan harus ditunjang muntah
tidak hijau. Bila 2 gelembung disertai gelembung udara kecil kecil di distal,
mungkin stenosis duodenum, diafgrama membrane mukosa, atau malrotasi
dengan atau tanpa volvulus.
2. USG Abdomen
Penggunaan USG telah memungkinkan banyak bayi dengan obstruksi
duodenum teridentifikasi sebelum kelahiran. Pada penelitian cohort besar untuk
18 macam malformasi kongenital di 11 negara Eropa, 52% bayi dengan
obstruksi duodenum diidentifikasi sejak in utero. Obstruksi duodenum ditandai
khas oleh gambaran double-bubble (gelembung ganda) pada USG prenatal.
Gelembung pertama mengacu pada lambung, dan gelembung kedua mengacu
pada loop duodenal postpilorik dan prestenotik yang terdilatasi. Diagnosis
prenatal memungkinkan ibu mendapat konseling prenatal dan
mempertimbangkan untuk melahirkan di sarana kesehaan yang memiliki
fasilitas yang mampu merawat bayi dengan anomali saluran cerna.

1.8 Penatalaksanaan
1. Pre operasi
Tindakan dekompresi dengan pemasangan sonde lambung (NGT) dan
lakukan pengisapan cairan dan udara. Tindakan ini untuk mencegah muntah
dan aspirasi. Resusitasi cairan dan elektrolit, koreksi asam basa,
hiponatremia dan hipokalemia perlu mendapat perhatian khusus.
Pembedahan elektif pada pagi hari berikutnya.
2. Intraoperasi
Tindakan ini memerlukan anestesi general dengan intubasi endotrakeal. Yang
sering banyak digunakan dengan insisi pemotongan otot, transversal, insisi
kuadran kanan atas. Namun, beberapa menggunakan motode laparoskopi
untuk memperbaiki (Blanco-Rodríguez, 2008).
Menurut Felicitass (2011), teknik pembedahan pada atresia duodenum :

7
a. Side to side anastomosis
Dimulai dari bagian dorsal dari anastomosis, sebuah duodenostomi
melintang dibuat di segmen proksimal. Bagian ujung dari lambung dan
duodenum dilakukan duodenotomi. Insisi pararel dibuat pada distal
duodenum kemudian lapisan posterior anastomosis dijahitkan.
b. For diamond shape duodenostomi
Diperlukan mobilisasi untuk menempatkan dinding duodenum proksimal
terlihat dengan jelas. Kemudian dibuat sayatan melintang di proksimal
membujur ke duodenum bagian distal.
c. For a duodenal web
Untuk web duodenum, membrane biasanya terletak di kedua bagian
duodenum, Lokasi membrane dapat dibantu oleh pemasangan NGT ke
dalam duodenum.
d. For membrane resection
Untuk reseksi membrane, sayatan dibuat memanjang. Kemudian
mengidentifikasi ampula vater. Eksisi dimulai dengan insisi radial di
pusat ostium. Sebelum menutup duodenum secara melintang, patensi
duodenum bagian distal diuji terlebih dahulu dengan menggunakan
kateter silicon kecil.
3. Post Operasi
Penggunaan selang transanastomik berada dalam di jejunum, pemberian
makan dapat diberikan setelah 48 jam paska operasi. Nutrisi parenteral via
central atau perifer dimasukan kateter dapat sangat efektif untuk menjaga
nutrisi waktu yang lama jika transanastomik enteral tidak cukup atau tidak
dapat ditolenrasi oleh tubuh pasien (Millar, 2005).

8
BAB 2
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian
1. Identitas Pasien : Nama, Tempat tgl lahir, umur , Jenis Kelamin, Alamat,
Agama, Suku Bangsa, Pendidikan, Pekerjaan , No. CM, Tanggal Masuk RS,
Diagnosa Medis
2. Keluhan Utama : Muntah terus menerus
3. Riwayat keperawatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang : Muntah, Pada beberapa neonatus, distensi
bisa sangat besar setelah hari ke tiga sampai hari ke empat, kondisi ini
terjadi karena ruptur lambung atau usus sehingga cairan berpindah ke
kavum peritoneal.
b. Riwayat Keperawatan Dahulu : biasanya akan memiliki mekonium yang
jumlahnya lebih sedikit, konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih
abu-abu dibandingkan mekonium yang normal
c. Riwayat Keperawatan Keluarga : Merupakan kelainan kongenital bukan
kelainan/ penyakit menurun sehingga belum tentu dialami oleh angota
keluarga yang lain
4. Pola Fungsi

9
a. Pola persepsi terhadap kesehatan : Klien belum bisa mengungkapkan
secara verbal/bahasa tentang apa yang dirasakan dan apa yang diinginkan
b. Pola aktifitas kesehatan/latihan : Klien belum bisa melakukan aktifitas
apapun secara mandiri karena masih bayi.
c. Pola istirahat/tidur : Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau kelurga
yang lain
d. Pola nutrisi metabolik Klien hanya minum ASI atau susu kaleng
e. Pola eliminasi Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium
f. Pola kognitif perseptual Klien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan
berorientasi dengan baik pada orang lain
g. Pola konsep diri (Identitas diri : Ideal diri , gambaran diri, peran diri, harga
diri
h. Pola seksual Reproduksi : Klien masih bayi dan belum menikah
i. Pola nilai dan kepercayaan : belum mengerti tentang kepercayaan
j. Pola peran hubungan : belum mampu berinteraksi dengan orang lain secara
mandiri
k. Pola koping : respon terhadap adanya suatu masalah dengan isyarat

2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontuinitas jaringan ditandai
dengan adanya insisi bedah.

2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan


utama ditandai dengan adanya prosedur infasif insisi bedah
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan muntah proyektil yang sering.

2.3 Intervensi Keperawatan


1. Nyeri Akut berhubungan dengan terputusnya kontuinitas jaringan ditandai
dengan adanya insisi bedah.
Kriteria Hasil : Tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi Rasional
1. Kaji nyeri, catat lokasi, 1. Berguna dalam proses
karakteristik, beratnya (skala 0- pengawasan, keefektifan obat,
5), selidiki dan laporkan kemajuan penyembuhan,

10
perubahan nyeri dengan tepat perubahan pada karakteristik
2. Pertahankan istirahat dengan nyeri menunjukan terjadinya
posisi yang nyaman peritonitis atau anses yang
3. Pertahankan puasa atau memerlukan upaya evaluasi
penghisapan NGT pada awal medik dan intervensi
setelah operasi 2. Gravitasi melokalisasi eksudat
4. Berikan analgesik sesuai inflamasi dalam abdomen
indikasi bawah atau pelvis,
5. Berikan kantong es pada daerah menghilangkan tegangan
abdomen abdomen yang bertambah
dengan posisi terlentang
3. Menurunkan ketidaknyamanan
pada peristaltik usus dini dan
iritasi gaster
4. Menghilangkan nyeri serta
mempermudah kerja sama
dengan intervensi terapi lain
5. Menghilangkan dan mengurangi
nyeri melalui penghilangan rasa
ujung baal (efek baal)

2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan


utama ditandai dengan adanya prosedur infasif insisi bedah.
Kriteria hasil : Tanda-tanda vital dalam batas normal
Meningkatkan penyembuhan luka dengan benar
Terbebas terhadap tanda-tanda infeksi/ inflamasi
Terhindar dari Drainase purulen, eritema dari demam
Intervensi Rasional
1. Awasi tanda-tanda vital, 1.Dugaan adanya intervensi
perhatikan demam, mengigil, terjadinya sepsis, abses,

11
berkeringat, perubahan mental, peritonitis
2. Memberikan deteksi dini
meningkatkan nyeri abdomen
2. Lihat insisi dan balutan, catat terjadinya proses infeksi, dan
karakteristik drainase atau pengawasan penyembuhan
luka/drain, adatu adanya eritema peritonitis yang telah ada
3. Lakukan pencucian tangan yang
sebelumnya
baik dan perawatan luka aseptik 3. Menurunkan resiko penyebaran
4. Berikan informasi yang tepat,
infeksi
jujur dan jelas pada pasien atau 4. Pengetahuan tentang kemajuan
orang terdekat situasi memberikan dukungan
5. Ambil contoh drainase bila
emosi, membantu menurunkan
diindikasikan
ansietas
6. Berikan antibiotik yang sesuai
5. Kultur pewarnaan gram dan
7. Bantu dalam irigasi dan drainase
sensitivitas berguna untuk
bila diindikasikan
mengidentifikasikan organisme
penyebab dan pilihan terapi
6. Dilakukan secara profilaktik atau
menurunkan jumlah
mikroorganisme
7. Dapat diperlukan untuk
mengalirkan isi abses
terlokalisir

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan intake yang menurun

Kriteria Hasil: Bayi akan mempertahankan status nutrisi yang adekuat,


ditandai dengan bayi dapat menerima makanan dan BB
bertambah.
Intervensi Rasional
1. Beri bayi makanan dalam posisi 1.Memberikan makan dan
tegak, sendawakan setiap kali menyendawakan bayi dengan
menelan sebanyak 15-30 ml cara ini, mencega aerofagia dan

12
cairan makanan. Ciptakan memastikan bayi menerima
suasana lingkungan yang tenang makanan dalam jumlah yang
dan nyaman. optimal.
2. Tawarkan porsi makan dalam 2. Pemberian makan porsi sedikit
jumlah sedikit dengan frekuensi dengan frekuensi sering,
sering, setiap 1-2 jam. Beri lagi mengurangi volume cairan total
setiap kali muntah. di dalam lambung untuk sekali
3. Tawarkan makanan oral berupa
waktu, yang dapat mengurangi
larutan elektrolit selama
resiko muntah dan memberikan
pemeriksaan diagnostic.
hidrasi yang optimal.
4. Kaji bayi untuk mendeteksi
3. Larutan elektrolit menggantikan
perburukan dehidrasi, termasuk
elektrolit yang hilang akibat
penurunan haluaran urine, kulit
muntah berulang.
kering. Laporkan tanda ini 4. Dokter dapat memprogramkan
segera. pemberian cairan intravena,
5. Atur posisi bayi supaya tegak
untuk mengganti cairan dan
setiap kali selesai pemberian
mencegah syok.
makan. 5. Posisi tegak membantu
mencegah aspirasi.

2.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi adalah pengolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan
meliputi tindakan-tindakan yang telah direncanakan, melaksanakan anjuran–
anjuran dokter dan menjalankan ketentuan rumah sakit. Melaksanakan tindakan
keperawatan sesuai rencana yang telah ditetapkan dengan harapan mengatasi
masalah yang dihadapi klien. Catatan yang dibuat dalam implementasi
merupakan sumber yang ditujukan untuk evaluasi keberhasilan tindakan
perawatan yang telah direncanakan sebelumnya (Hidayat, 2009).

2.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan
perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan

13
tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi disusun
menggunakan SOAP yaitu :

S : Ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara objektif oleh


keluarga setelah diberikan implementasi keperawatan.
O : Keadaan objektif yang dapat di identifikasi oleh perawat menggunakan
pengamatan yang objektif
A : Analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif
P : Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.

14
DAFTAR PUSTAKA

Anasruloh, Rahman. (2013). Dimuat dalam


https://www.scribd.com/doc/76887410/Atresia-Duodenum . diakses pada 16.25,
tanggal 21 Januari 2019.
Kartono D. Atresia Duodenum dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Editor
Reksoprodjo S. Binarupa Aksara. FKUI.
Pertmaq Stya Cnta .(2014). Dimuat dalam
https://www.scribd.com/doc/251157704/askep-atresia-duodenum-docx. diakses
16.40, 21 Januari 2019.
Rahmat Wibowo, Nur . (2012). Dimuat dalam
https://www.scribd.com/doc/94777717/Laporan-Kasus-Atresia-Duodenum .
diakses pada 16.45, 21 Januari 2019.
Triayu Irianti, Indah. (2012). Dimuat dalam https://www.scribd.com/doc/115474044/
STENOSIS-DUODENUM . diakses pada 17.30, 21 Januari 2019.

15

Anda mungkin juga menyukai