Sistem Sosial Indonesia
Sistem Sosial Indonesia
Sistem Sosial Indonesia
Sebelum masuk pada sub pokok Sistem Sosial Indonesia perlu kita ketahui, apakah
itu Sistem? Konsep yang menjelaskan:
Suatu kompleksitas dari saling ketergantungan antar bagian- bagian,
komponen-komponen, dan proses-proses yang melingkupi aturan-aturan tata
hubungan yang dapat dikenali.
Suatu tipe serupa dari saling ketergantungan antar kompleksitas tersebut
dengan lingkungan sekitarnya.
1
1) Karena sistem sosial dan budaya masyarakat Indonesia sangat heterogen
secara vertikal maupun horizontal.
2) Indonesia merupakan negara yang memiliki susunan masyarakat dengan ciri
pluralitas/kemajemukan yang tinggi.
2
3) Berbahasa satu, Bahasa Indonesia.
Kemauan untuk bersatu itu disadari benar oleh para perintis kemerdekaan
bangsa Indonesia, karena mereka menyadari begitu heterogennya masyarakat dan
budaya bangsa ini. Itulah sebabnya bentuk negara sebagai salah satu perwujudan
integrasi nasional adalah negara kesatuan republik indonesia.
Sebagaimana kita ketahui Keberagaman Indonesia dijelaskan dalam
semboyan BHINNEKA TUNGGAL IKA (Kitab Sutasoma karangan Mpu
Tantular, masa Raja Hayam Wuruk di Majapahit) Pluralitas masyarakat Indonesia
disebabkan oleh :
a) Keadaan Geografis
3
Batak Karo, Batak Simalungun, Batak
Fakfak, Batak Angkola, Batak Toba,
2 Sumatera Utara Melayu, Nias, Batak Mandailing, dan
Maya-Maya.
Minangkabau, Melayu, dan Mentawai,
Tanjung Kato, Panyali, Caniago,
3 Sumatera Barat Sikumbang, dan Gusci
4
Dawan, Tatum, Melus, Bima, Alor, Lie,
Nusa Tenggara Kemak, Lamaholot, Sikka, Manggarai,
Timur Krowe, Ende, Bajawa, Nage, Riung, dan
19
Flores
Kayau, Ulu Aer, Mbaluh, Manyuke,
20 Kalimantan Skadau, Melayu-Pontianak, Punau,
Barat Ngaju, dan Mbaluh
Kalimantan Kapuas, Ot Danum, Ngaju, Lawangan,
21 Tengah Dusun, Maanyan, dan Katingan
Ngaju, Laut, Maamyan, Bukit, Dusun,
22 Kalimantan Deyah, Balangan, Aba, Melayu, Banjar,
Selatan dan Dayak
Ngaju, Otdanum, Apokayan,Punan,
23 Kalimantan Murut, Dayak, Kutai, Kayan, Punan,
Timur dan Bugis
Suku Bajau, Suku Berau, Suku Burusu,
24 Kalimantan Suku Dayak Agabag, Suku Dayak
Utara Kayan, Suku Dayak Kenyah, Suku
Dayak
Lundayeh, Suku Dayak Tingalan, Suku
Suluk, Suku Tidung
Sulawesi Selatan Mandar, Bugis, Toraja, Sa’dan, Bugis,
25 dan Makassar
Mapute, Mekongga, Landawe,
Sulawesi Tolaiwiw, Tolaki, Kabaina, Butung,
Tenggara Muna, Bungku, Buton, Muna, Wolio,
26
dan Bugis
27 Sulawesi Barat Mandar, Mamuju, Bugis, dan Mamasa
Buol, Toli-toli, Tomini, Dompelas,
28 Sulawesi Tengah Kaili, Kulawi, Lore, Pamona, Suluan,
Mori, Bungku, Balantak, Banggai, dan
Balatar
29 Gorontalo Gorontalo
Minahasa, Bolaang Mangondow,
Sangiher Talaud, Gorontalo, Sangir,
Ternate, Togite, Morotai, Loda,
30 Sulawesi Utara
Halmahera, Tidore, dan Obi
5
31 Maluku Buru, Banda, Seram, Kei, dan Ambon
Halmahera, Obi, Morotai, Ternate, dan
32 Maluku Utara Bacan
Mey Brat, Arfak, Asmat, Dani, dan
33 Papua Barat Sentani
Sentani, Dani, Amungme, Nimboran,
34 Papua Jagai, Asmat, dan Tobati
6
penghambat integrasi nasional.
7
wadah masyarakat Indonesia dan berada di bawah naungan sistem nasional dengan
kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
Menurut Pierre L. Van Den Berghe ada beberapa karakter masyarakat majemuk
tersebut yaitu :
a) Terjadi segmentasi kedalam bentuk kelompok-kelompok yang memiliki
kebudayaan yang berbeda.
b) Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga- lembaga yang
non komplementer.
c) Kurang mengembangkan konsensus (kesepakatan bersama) antar para
anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar
d) Relatif sering terjadi konflik.
e) Secara relatif, integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling saling
ketergantungan dalam bidang ekonomi
f) Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain
8
memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmenter. Masyarakat yang
memiliki unit kekerabatan yang bersifat segmenter adalah suatu masyarakat yang
terbagi-bagi ke dalam berbagai kelompok berdasarkan garis keturunan tunggal,
tetapi memiliki struktur kelembagaan yang bersifat homogen.
9
Gambar 3. Ilustrasi Differensiasi
Gambar 4. Ilustrasi kesatuan sosial (Cross Cutting Affiliations) yang akan
menyebabkan terjadinya loyalitas ganda (Cross Cutting Loyalities)
10
Menurut Coser, konflik merupakan salah satu bentuk interaksi. Menurut
Simmel, sesungguhnya dinamika konflik adalah sedemikian, sehingga pada setiap
isu tertentu ada kecenderungan untuk menjadi dua kelompok utama, yang tidak
dapat dielakkan lagi untuk berkonflik. Konflik umumnya mengarah perhatian pada
kepentingan-kepentingan kelompok dan orang yang salin bertentangan dalam
struktur sosial. Selanjutnya Simmel, tidak ada interaksi sosial yang bebas dari
konflik, justru konflik sangat erat terjalin dengan pelbagai proses mempersatukan
kehidupan
11
sosial. Dua pendekatan teoritis yang harus dikuasai untuk memahami sistem sosial
dan budaya Indonesia yaitu Teori Struktur Fungsional dan Konflik Dialetika.
Asumsi dasar bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar kata sepakat para
anggotanya terhadap nilai dasar kemasyarakatan yang menjadi panutannya.
Kesepakatan masyarakat tersebut menjadi perjanjian umum/ general agreements
yang memiliki kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan
kepentingan dari para anggotanya masyarakat sebagai suatu sistem yang secara
fungsional terintegrasi kedalam suatu bentuk equilibrium/ keseimbangan.
12
Lembaga ekonomi memilki fungsi untuk mengatur proses produksi dan distribusi
barang–barang dan jasa–jasa di masyarakat. Lembaga politik berfungsi menjaga
tatanan sosial agar berjalan dan ditaati sebagaimana mestinya. Lembaga keluarga
berfungsi menjaga keberlangsungan perkembangan jumlah penduduk.
Contoh lain dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melihat bagaimana teori
struktural fungsional bekerja dalam sebuah sistem yaitu pemerintah yang
mendirikan sekolah dalam rangka menyelenggarakan pendidikan untuk warganya.
Murid-murid dipersiapkan untuk mengisi lapangan kerja dan posisi-posisi di
pemerintahan nantinya. Ketika bekerja, tibalah mereka untuk membayar pajak.
Uang pajak tersebut digunakan untuk membiayai pendidikan dan lainnya. Pekerja,
juga menyuplai biaya hidup keluarganya agar tetap eksis. Pada akhirnya, murid-
murid yang semula dibiayai dan didik oleh negara akan membiayai negara agar
tetap eksis. Dari sudut pandang teori struktural fungsional, jika sistem tersebut
berjalan sebagaimana mestinya, yakni pemerintah membiayai pendidikan, murid
belajar kemudian bekerja, sistem sosial akan berada pada kondisi yang stabil.
13
2. Teori Konflik Dialetika
Teori ini memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses
penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya
konflik yang menghasilkan kompromi- kompromi yang berbeda dengan kondisi
semula. Asusmsi dasar teori ini adalah
a) Perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di setiap masyarakat
b) Konflik dalah gejala yang melekat pada setiap masyarakat
14
bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi- negosiasi yang dilakukan
sehingga terciptalah suatu konsensus. Menurut teori konflik, masyarakat disatukan
dengan paksaan. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya
karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya
dengan dominasi, paksaan (koersi), dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi
modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu
Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.
Konflik bersifat melekat kepada masyarakat, namun dalam kenyataannya
sistem dalam masyarakat tetap bisa berjalan. Mengapa demikian? Karena
kepentingan-kepentingan anggota masyarakat sudah terwakili melalui mekanisme
yang “terlembaga” sehingga menghasilkan kompromi-kompromi baru yang
diterima. karena adanya assosiasi terkoordinasi secara imperativ (Impetaratively
Coordinated Associations disingkat ICA) yang mewakili organisasi-organisasi yang
berperan penting di dalam masyarakat. Terbentuk atas hubungan-hubungan
kekuasaan antara beberapa kelompok pemeran kekuasaan yang ada dalam
masyarakat. Kekuasaan menunjukkan adanya faktor “paksaan” oleh suatu
kelompok atas kelompok yang lain. Dalam ICA hubungan kekuasaan menjadi
“tersahkan” atau terlegitimasi. Dalam hal ini beberapa kedudukan mempunyai hak
normatif yang diakui begitu saja untuk mendominasi yang lainnya.
Pada saat yang bersamaan, kekuasaan dan otoritas merupakan sumber yang
langka, dimana setiap sub kelompok dalam masyarakat dengan ICA mereka
berkompetisi untuk mendapatkannya. Jadi dapat dilihat disini bahwa kekuasaan dan
otoritas merupakan sumber konflik yang primer dalam masyarakat. Konflik ini
pada akhirnya adalah refleksi dari kelompok pemeran di dalam ICA
memperebutkan kekuasaan (power) dan otoritas (authority).
Dalam tinjauan konflik dialektika, suatu kepentingan bisa dinegoisasikan
antar kelompok dalam ICA jika sudah menjadi kelompok kepentingan yang bersifat
riil sehingga bersatunya individu yang memiliki kepentingan yang sama dalam
sebuah kelompok yang terorganisir menjadi hal yang penting. Kepentingan yang
sama dari beberapa individu, jika tidak diorganisasi secara formal kedalam suatu
kelompok, merupakan kepentingan semu karena tidak ada yang bisa
mewakili/mengatasnamakan pemilik kepentingan.
15
Bagan Proses kelompok semu menjadi kelompok kepentingan :
Menurut penganut teori bahwa konflik tidak bisa dilenyapkan, tetapi hanya
bisa di kendalikan agar konflik latent tidak menjadi manifest dalam bentuk
violence/kekerasan.
16
Menekankan keteraturan Menekankan pertikaian dan
Masyarakat konflik dalam sistem sosial
Setiap elemen masyarakat Berbagai elemen masyarakat
berperan dalam menjaga menyumbang terhadap
stabilitas disintegrasi dan perubahan
Masyarakat teratur karena Keteraturan adalah hasil
diikat oleh norma, nilai dan pemaksaan oleh mereka yang
moral memegang otoritas
Kohesi tercipta oleh nilai Kekuasaan yang berperan
bersama masyarakat mempertahankan ketertiban
masyarakat
17
masyarakat adalah individu yang sedang melakukan interaksi dalam mengambil
peranan, komunikasi dan interpretasi yang bersama-sama menyesuaikan
tindakannya, mengarahkan dan kontrol diri serta perspektif. Tindakan bersama
individu dalam melangsung peran itu untuk memperoleh kepuasan bersama.
Berdasarkan atas uraian di atas bahwa untuk menjaga agar terjalin hubungan
sosial yang serasi baik antar sesama manusia maupun dengan lingkungan alam
sekitarnya maka dalam melakukan interaksi diperlukan suatu aturan. Kimball
Young dalam Soekanto mengemukakan bahwa interaksi adalah kunci dari semua
kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi tidak mungkin akan ada kehidupan
bersama. Dalam interaksi sosial terkandung makna tentang kontak secara timbal
balik atau inter-stimulasi dan respon antara individu dan kelompok. Alvin dan
Helen Gouldner menjelaskan bahwa interaksi adalah aksi dan reaksi diantara
orang- orang. Dengan demikian terjadinya interaksi apabila satu individu berbuat
sedemikian rupa sehingga menimbulkan reaksi dari individu lainnya.
18
Dalam aktifitas sosial akan terjadi hubungan sosial timbal balik (social
interrelationship) yang dinamik antara orang dengan orang, orang dengan
kelompok dan kelompok dengan kelompok. Perubahan dan perkembangan
masyarakat yang mewujudkan segi dinamiknya, disebabkan karena warganya
mengalami hubungan satu dengan lainnya, baik dalam bentuk perseorangan
maupun kelompok sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terjadi proses
sosial yaitu cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang perorang dan
kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-
bentuk hubungan tersebut.
19
akan timbul apabila tindakan dalam interaksi mampu menciptakan suasana
hubungan yang harmonis dalam masyarakat. Kondisi ini bisa dicapai jika ada rasa
saling menghargai dan mengakui keberadaan masing-masing individu atau etnik.
Interaksi yang bersifat negatif apabila tindakan-tindakan dalam interaksi
menimbulkan kondisi ketidakserasian atau disharmoni dalam kelompok atau
masyarakat yang pada giliran tidak mustahil menimbulkan konflik.
4 ) sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat, yang antara
lain diwujudkan dalam pemberian kesempatan yang sama bagi golongan
minoritas dalam berbagai bidang kehidupan sosial;
20
sebagai negara majemuk memerlukan sebuah keselarasan sosial dalam membangun
sebuah keselarasan nasional. Dalam hal ini, mengambil sudut pandang
kemajemukan, yakni sikap saling menghormati atau menjaga kestabilan hubungan
sosial dengan saling menghormati antar suku, etnis, atau agama.
Kerap kali kita menemukan kasus perang antar suku-etnis, ataupun
pembantaian atas nama agama, hal ini sebenarnya disebabkan oleh kurangnya rasa
toleransi serta berkembanganya sikap entosentrisme, yaitu melakukan pembenaran
atas diri sendiri dan menganggap suku, etnis, atau agama lain sebagai hal yang
rendah. Ini sesungguhnya yang amat salah. Hal tersebut tentunya akan menjauhkan
kita dari proses integrasi sosial yang kita idamkan. Sebuah sikap kemajemukan
akan menjaga kita untuk tetap hidup dengan harmoni yang senantiasa terjaga. Sikap
saling menghargai ini tentunya akan menjaga sebuah hubungan sosial contohnya
pada Kota Jakarta yang notabene kota dengan berbagai macam suku, etnis, dan
agama, ke arah kehidupan madani. Dan oleh karena sikap multikulturalisme itulah
integrasi sosial terwujud. Kesempurnaan hubungan sosial yang dibalut oleh rasa
saling menghargai.
Dari sebuah integrasi sosial, tentunya hal ini akan membentuk sebuah
integrasi nasional yang impelemntasinya akan menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Integrasi dalam masyarakat yang telah tertata dan terjaga
tentunya akan membuat sebuah kehidupan bernegara akan mengalami tingkat yang
sempurna dalam proses kehiudpan sosial-budaya serta bidang lainya. Dan sebuah
akhir kata, dimana agar tiap-tiap indiidu masyarakat dapat menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan memulai sikap kemajemukan yang
tak lagi melakukan pelecehan yang berbau Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan
(SARA). Karena sebuah proses kehancuran bangsa dimulai ketika rakyatnya tak
lagi merasa bersatu dibawah naungan negara tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Doyle Paul Johnson. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Terjemahan) Jilid 1
dan 2. Jakarta: Gramedia.
Furnivall.J.S. 1967. Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge
21
University Press.
Haryo S Martodirdjo. 2000. Hubungan Antar Etnik. Lembang Bandung: Sespim Polri.
Harsojo. 1977. Pengantar Antropologi. Jakarta: Bina Cipta.
Hildred Geerzt. 1969. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Jakarta : YIIS.
http://www.academia.edu/27554398/Modul_Sistem_Sosial_Indonesia.
Judistira K Garna. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial, Dasar-Konsep-Posisi. Bandung : Program
Pascasarjana Unpad.
Nasikun. 1987. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta : Rajawali Press.
Parsudi Suparlan. 1989. Interaksi Antar Etnik di Beberapa Propinsi di Indonesia.
Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional, Dirjen Kebudayaan Depdikbud.
Pierre L. Van Den Berghe. 1969. Pluralism and The Polity: A Theoritical Exploration.
Dalam Leo Kuper dan M.G Smith, eds, Pluralism in Africa, Berkeley and Los
Angeles: University of California Press.
Robert K. Lawang. 1986. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Karunika
22