MAKALAH TANAMAN OBAT UNTUK ANTIPARASIT Kelompok 9

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 55

MAKALAH TANAMAN OBAT UNTUK ANTIPARASIT

Dalam memenuhi tugas mata kuliah Fitoterapi Terapan

Disusun Oleh:
Kelompok 9

Sartika Yuniarti 260112180009


Chusnul Hayati 260112180049
Eli Nur Aisyah 260112180059
Ulvi Zasvia 260112180067
Auliana Yuni Khusniati 260112180079

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINAGOR
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., atas limpahan
rahmat dan kasih sayang-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan “Makalah
Tanaman Obat untuk Antiparasit”.Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas
mata kuliah Fitoterapi Terapan pada Program Studi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas Padjadjaran.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, baik dari segi
penulisan maupun penyusunan materinya.Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran untuk penyempurnaan makalah ini kedepannya.Semoga makalah
ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di
bidang kuliah Fitoterapi Terapan.

Jatinangor, 15 November 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI
Halama

KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang.............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah......................................................................... 2
1.3. Tujuan............................................................................................ 2
1.4. Manfaat.......................................................................................... 2
BAB II PARASIT........................................................................................ 3
2.1. Pengertian dan Pengelompokan Parasit........................................ 3
2.2. Plasmodium................................................................................... 4
2.3. Soil Transmitted Helminths........................................................... 6
2.4. Penyakit yang Ditimbulkan Oleh Parasit...................................... 7
2.5. Mekanisme Penyakit..................................................................... 8
2.5.1. Malaria................................................................................... 8
2.5.2. Cacing.................................................................................... 10
2.6. Pencegahan.................................................................................... 12
BAB III ISI................................................................................................... 14
3.1. Tanaman yang Digunakan Untuk Pengobatan Parasit.................. 14
3.1.1. Epazote/ American Wormseed................................................... 14
3.1.2. Kina (Cinchona)......................................................................... 16
3.1.3. Ganjo lalai (Artemisia annua).................................................... 18
3.1.4. Pare (Momordica charantia)...................................................... 20
3.1.5. Cempedak (Artocarpus champeden).......................................... 22
3.1.6. Kembang bulan(Thitonia diversifolia)....................................... 24
3.1.7. Biji Pinang (Arecha cathecu)...................................................... 26
3.1.8. Sambiloto.................................................................................... 28
3.1.9. Pepaya (Carica papaya L.)......................................................... 31
3.1.10. Ceguk (Quisqualis indica Linn.).............................................. 34

ii
3.1.11. Petit (Nauclea pobeguinii Merr.).............................................. 36
3.1.12. Ghana Quinine (Cryptolepis sanguinolenta)............................ 39
BAB IV PENUTUP..................................................................................... 41
4.1. Kesimpulan........................................................................................ 41
4.2. Saran.................................................................................................. 41
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 42

iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Jenis-jenis Plasmodium................................................................ 6
Gambar 2. Cacing dewasa Ascaris lumbricoides........................................... 6
Gambar 3. Cacing Tricuris trichiura.............................................................. 7
Gambar 4. Larva Rabditiform (a) dan Larva Filariform
(b) Cacing Tambang..................................................................... 7
Gambar 5. Siklus hidup Plasmodium dalam tubuh manusia.......................... 10
Gambar 6. Tanaman epazote.......................................................................... 14
Gambar 7. Tanaman kina............................................................................... 16
Gambar 8. Struktur Quinine, Quinidine......................................................... 16
Gambar 9. Tanaman ganjo lalai..................................................................... 18
Gambar 10. Struktur Artemether.................................................................... 18
Gambar 11. Tanaman pare............................................................................. 20
Gambar 12. Tanaman Cempedak................................................................... 22
Gambar 13. Tanaman kembang bulan............................................................ 25
Gambar 14. Biji pinang.................................................................................. 27
Gambar 15. Tanaman sambiloto.................................................................... 29
Gambar 16. Tanaman Pepaya (Carica papaya L.)......................................... 31
Gambar 17. a. Carpain; b. Benzyl isothiocyanate; ........................................ 32
Gambar 18. Tanaman dan Buah Ceguk (Quisqualis indica Linn) ................ 34
Gambar 19. Tanaman Petit (Nauclea pobeguinii Merr.)................................ 36
Gambar 20. Senyawa Isolat Kulit Batang Petit (Nauclea pobeguinii Merr.). 37
Gambar 21. Tanaman Cryptolepis sanguinolenta.......................................... 39

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Parasit adalah organisme yang hidup di dalam atau pada inang. Salah satu
penyakit yang disebabkan oleh parasit adalah malaria dan kecacingan. Malaria
merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh plasmodium, yaitu makhluk
hidup bersel satu yang termasuk ke dalam protozoa. World Malaria Report 2015
menyebutkan bahwa malaria telah menyerang 106 negara di dunia. Komite global
pada Millenium Development Goals (MDGs) menempatkan upaya pemberantasan
malaria ke dalam salah satu tujuan bersama yang harus dicapai sampai dengan
tahun 2015 melalui tujuan ketujuh yaitu memberantas penyakit HIV/AIDS,
malaria, dan tuberkulosa. Morbiditas malaria di Indonesia pada tahun 2015
memiliki nilai API (Annual Parasite Incidence) per tahun sebesar 0,85 (Kemenkes
RI, 2016).
Penyakit kecacingan atau biasa disebut cacingan kurang mendapat perhatian
yang cukup oleh sebagian besar masyarakat indonesia. Salah satu jenis penyakit
ini adalah penyakit kecacingan yang disebabkan oleh infeksi cacing kelompok
Soil Transmitted Helminths (STH) (Setyowatiningsih dan Surati, 2017).
Prevalensi penyakit kecacingan masih tinggi terutama di daerah beriklim tropis
dan subtropis. Hal ini disebabkan telur dan larva cacing dapat berkembang dengan
baik di tanah yang basah dan hangat. Data dari World Health Organization
(WHO) pada tahun 2016, lebih dari 1,5 milyar orang atau sekitar 24% penduduk
dunia terinfeksi STH.
Tanaman obat sendiri memiliki ribuan jenis spesies. Dari total sekitar
40.000 jenis tumbuh-tumbuhan obat yang telah dikenal di dunia, 30.000-nya
disinyalir berada di Indonesia. Jumlah tersebut mewakili 90% dari tanaman obat
yang terdapat di wilayah Asia. Dari jumlah tersebut, 25% diantaranya atau sekitar
7.500 jenis sudah diketahui memiliki khasiat herbal atau tanaman obat. Namun
hanya 1.200 jenis tanaman yang sudah dimanfaatkan untuk bahan baku obat-
obatan herbal atau jamu (PT. Sido Muncul, 2015). Bagi sebagian orang pencinta

1
alam, tanaman herbal merupakan tanaman yang sangat popular. Oleh karena itu,
maka diperlukan studi lebih lanjut mengenai khasiat tanaman obat untuk
memaksimalkan pemanfaatan tanaman herbal tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan parasit?
2. Tanaman dan simplisia apa saja yang berkhasiat untuk penyakit malaria
dan cacing?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui pengertian parasit
2. Mengetahui tanaman dan simplisia yang berkhasiat untuk penyakit
malaria dan cacing.
1.4. Manfaat
Makalah ini disusun dengan harapan mahasiswa lebih memehami
pemanfaatan tanaman dan simplisia untuk penyakit malaria dan cacing.

2
BAB II
PARASIT

2.1. Pengertian dan Pengelompokan Parasit


Parasit adalah organisme yang hidup di dalam atau pada inang. Tuan
rumah adalah organisme lain. Parasit menggunakan sumber daya inang untuk
memicu siklus hidupnya. Ia menggunakan sumber daya host untuk
mempertahankan dirinya. Parasit sangat bervariasi, sekitar 70 persen tidak terlihat
oleh mata manusia, seperti parasit malaria, tetapi beberapa parasit cacing dapat
mencapai lebih dari 30 meter panjangnya. Parasit bukan penyakit, tetapi mereka
dapat menyebarkan penyakit. Parasit yang berbeda memiliki efek yang berbeda.
Parasit dibagi menjadi dua kelompok yaitu(Nordqvist, 2018):
1. Endoparasit
Parasit ini tinggal di dalam tuan rumah. Mereka termasuk heartworm,
cacing pita, dan cacing pipih. Parasel interseluler hidup di ruang di dalam
tubuh host, di dalam sel host. Mereka termasuk bakteri dan virus.
Endoparasit parasit ini bergantung pada organisme ketiga, yang dikenal
sebagai vektor, atau pembawa. Vektor mentransmisikan endoparasit ke
host. Nyamuk adalah vektor untuk banyak parasit, termasuk protozoa yang
dikenal sebagai Plasmodium, yang menyebabkan malaria.
2. Epiparasit
Parasit ini memakan parasit lain dalam suatu hubungan yang dikenal
sebagai hiperparasitisme. Kutu hidup pada anjing, tetapi kutu itu mungkin
memiliki protozoa di saluran pencernaannya. Protozoa adalah hiperparasit
Ada tiga jenis parasit utama, yaitu(Nordqvist, 2018):
1. Protozoa, contohnya termasuk organisme bersel satu yang dikenal sebagai
Plasmodium. Protozoa hanya dapat berkembang biak dalam host.
2. Helminths, ini adalah parasit cacing. Schistosomiasis disebabkan oleh
cacing. Contoh lain adalah cacing gelang, cacing kremi, trichina spiralis
dan cacing pita.
3. Ectoparasit, ini hidup bukan di dalam host mereka, contohnya adalah kutu

3
2.2. Plasmodium
Plasmodium adalah genus eukariota uniseluler yang obligat parasit
vertebrata dan serangga. Siklus hidup spesies Plasmodium melibatkan
pengembangan dalam serangga pembawa darah yang kemudian menyuntikkan
parasit ke host vertebrata selama makan darah. Parasit tumbuh dalam jaringan
tubuh vertebrata (seringkali hati) sebelum memasuki aliran darah untuk
menginfeksi sel darah merah. Kerusakan sel darah merah yang terjadi selanjutnya
dapat menyebabkan penyakit, yang disebut malaria. Selama infeksi ini, beberapa
parasit diambil oleh serangga yang memberi makan darah, melanjutkan siklus
hidup (CDC, 2018).
Plasmodium adalah anggota dari filum Apicomplexa, sekelompok besar
parasit eukariota. Dalam Apicomplexa, Plasmodium berada dalam orde
Haemosporida dan keluarga Plasmodiidae (CDC, 2018).
Spesies Plasmodium didistribusikan secara global di mana host yang
sesuai ditemukan. Serangga paling sering adalah nyamuk dari genera Culex dan
Anopheles. Host vertebrata termasuk reptil, burung, dan mamalia. Parasit
plasmodium pertama kali diidentifikasi pada akhir abad ke-19 oleh Charles
Laveran. Selama abad ke-20, banyak spesies lain ditemukan di berbagai inang dan
diklasifikasikan, termasuk lima spesies yang secara teratur menginfeksi manusia
yaitu P. vivax, P. falciparum, P. malariae, P. ovale, dan P. knowlesi. P.
falciparum adalah yang paling mematikan pada manusia, yang menyebabkan
ratusan ribu kematian per tahun. Sejumlah obat telah dikembangkan untuk
mengobati infeksi Plasmodium namun, parasit telah mengembangkan resistansi
terhadap setiap obat yang dikembangkan (CDC, 2018). Berikut adalah penjelasan
dari jenis-jenis plasmodium:
1. P.falciparum, yang ditemukan di seluruh dunia di daerah tropis dan
subtropis, dan terutama di Afrika di mana spesies ini mendominasi. P.
falciparum dapat menyebabkan malaria berat karena cepat berkembang di
dalam darah, dan dengan demikian dapat menyebabkan kehilangan darah
yang parah (anemia). Selain itu, parasit yang terinfeksi dapat menyumbat

4
pembuluh darah kecil. Ketika ini terjadi di otak, hasil malaria serebral,
merupakan komplikasi yang bisa berakibat fatal (CDC, 2018).
2. P. vivax, yang banyak ditemukan di Asia, Amerika Latin, dan di beberapa
bagian Afrika. Karena kepadatan populasi terutama di Asia mungkin
adalah parasit malaria manusia yang paling umum. P. vivax (juga P.ovale)
memiliki tahap-tahap hati yang dorman ("hypnozoites") yang dapat
mengaktifkan dan menyerang darah ("kambuh") beberapa bulan atau tahun
setelah menginfeksi gigitan nyamuk (CDC, 2018).
3. P. ovale, banyak ditemukan di Afrika (terutama Afrika Barat) dan pulau-
pulau di Pasifik barat. Secara biologis dan morfologis sangat mirip dengan
P. vivax. Namun, berbeda dari P. vivax, ia dapat menginfeksi individu
yang negatif untuk kelompok darah Duffy, yang merupakan kasus bagi
banyak penduduk Afrika sub-Sahara. Ini menjelaskan prevalensi P. ovale
yang lebih besar (daripada P. vivax) di sebagian besar Afrika (CDC, 2018).
4. P. malariae, ditemukan di seluruh dunia, adalah satu-satunya spesies
parasit malaria manusia yang memiliki siklus quartan (siklus tiga hari).
(Tiga spesies lainnya memiliki siklus tersier, dua hari.) Jika tidak diobati,
P. malariae menyebabkan infeksi kronis yang bertahan lama, yang dalam
beberapa kasus dapat bertahan seumur hidup. Pada beberapa pasien
terinfeksi kronis P. malariae dapat menyebabkan komplikasi serius seperti
sindrom nefrotik (CDC, 2018).
5. P. knowlesi ditemukan di seluruh Asia Tenggara sebagai patogen alami
kera ekor panjang dan ekor babi. Baru-baru ini terbukti menjadi penyebab
utama malaria zoonotik di wilayah itu, khususnya di Malaysia. P. knowlesi
memiliki siklus replikasi 24 jam dan dengan demikian dapat berkembang
pesat dari infeksi yang tidak rumit menjadi berat; kasus fatal telah
dilaporkan (CDC, 2018).

5
Gambar 1. Jenis-jenis Plasmodium

2.3. Soil Transmitted Helminths


Soil Transmitted Helminths merupakan parasit yang menyebabkan
penyakit kecacingan, terdapat beberapa jenis Soil Transmitted Helminths
diantaranya adalah:
1. Ascaris lumbricoides
Ascaris lumbricoides berbentuk giling (silindris) memanjang, berwarna krem
atau merah muda keputihan, panjangnya dapat mencapai 40 cm. Jangka hidup
(lifespan) cacing dewasa adalah 10-12 bulan. Ukuran cacing betina 20-35 cm
dengandiameter 3-6 mm. Sedangkan ukuran cacing jantan 15-31cm dengan
diameter 2-4 mm. Mulut Ascaris lumbricoides memiliki tiga tonjolan bibir
berbentuk segitiga, antara lain satu tonjolan di bagian dorsal dan dua tonjolan
di ventrolateral. Pada bagian tengah mulut terdapat rongga mulut (buccal
cavity) (Margono et al,2008).

Gambar 2. Cacing dewasa Ascaris lumbricoides (Prianto, dkk., 2006).


2. Trichiuris trichiura
Panjang cacing dewasa Trichiuris trichiura lebih kurang 4 cm, sedangkan
cacing betina panjangnya sekitar 5 cm. Bagian anteriornya pun halus seperti
cambuk, tetapi bagian ekor lurus berujung tumpul. Tiga perlima bagian

6
anterior tubuh cacing berukuran kecil seperti cambuk. Dua perlima bagian
posterior tubuh cacing melebar, bagian ini berisi usus dan alat reproduksi.
Bagian posterior cacing betina membulat tumpul. Vulva terletak di perbatasan
antara tubuh bagian antrerior dengan tubuh bagian posterior. Bagian posterior
cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum dengan selubung yang
retraktil. Telurnya mempunyai ukuran 50 x 22 mikron, bentuk seperti
tempayan dengan ujung menonjol, berdinding tebal dan berisi larva (Margono
et al,2008).

Gambar 3. Cacing Tricuris trichiura (Prianto, dkk., 2006).


3. Hookworm
Terdapat dua spesies hookworm yang sangat sering menginfeksi manusia
yaitu: “The Old World Hookworm” yaitu Ancylostoma duodenale dan “The
New WorldHookworm” yaitu Necator americanus (Margono et al, 2008).

Gambar 4. Larva Rabditiform (a) dan Larva Filariform (b) CacingTambang


(Prianto, dkk., 2006).

2.4. Penyakit yang Ditimbulkan Oleh Parasit


Berikut ini ada 12 (dua belas) jenis penyakit yang disebabkan oleh parasit
pada manusia, diantaranya: 

7
1. Malaria disebabkan oleh Plasmodium melalui nyamuk anopheles betina 
2. Pediculosis disebabkan oleh kutu penghisap darah,serangga dan parasit
lainnya 
3. Schistosomoasis disebabkan oleh parasit Trematoda 
4. Amebiasis disebabkan oleh Amoeba 
5. Ascariasis disebabkan oleh parasit Ascaris Lumbricoides (cacing usus) 
6. Anchilostomiasis disebabkan oleh parasit Ancylostoma Duodenale (cacing
tambang) 
7. Enterobiasis disebabkan oleh parasit Enterobius Vermicularis (cacing
kremi) 
8. Trichuriasis disebabkan oleh parasit Trichuris Trichuira (cacing cambuk) 
9. Taeniasis disebabkan oleh parasit Taenia Solium (cacing pita) 
10. Strongiloiddiasis disebabkan oleh parasit strongiloides stercoralis (cacing
benang) 
11. Trichinosis disebabkan oleh parasit trichinella spiralis (cacing otot) 
12. Filariasis disebabkan oleh parasit Brugia Malayi (cacing filaria)
Pada makalah ini akan dibahas secara khusus mengenai penyakit yang
ditumbulkan oleh parasit nyamuk (malaria) dan cacing.

2.5. Mekanisme Penyakit


2.5.1. Malaria
Penderita malaria yang digigit oleh nyamuk (vektor), disamping darahnya
yang terhisap ke dalam tubuh vektor, juga terbawa Plasmodium dari berbagai
stadium aseksual yang ada dalam sel darah yaitu stadium tropozoit, stadium sizon,
dan stadium gametosit.Stadium tropozoit dan schizon bersama darah dicerna oleh
vektor kemudian mati, sedangkan stadium gametosit terus hidup dan masuk ke
dalam lambung nyamuk vektor. Didalam lambung, inti mikrogametosit membelah
menjadi 4 sampai 8 buah yang masing-masing memiliki bentukpanjang seperti
benang (flagel) dengan ukuran 20-25µ, menonjol keluar dari sel induk, bergerak-
gerak sebentar dan kemudian melepaskan diri. Proses ini (eksflagelasi) hanya
berlangsung beberapa menit pada suhu yang optimal. Flagel atau mikrogametosit

8
kemudian mengalami proses pematangan (maturasi) kemudian mencari
makrogametosit untuk melakukan perkawinan. Hasil perkawinan itu disebut zigot.
Pada mulanya zigot hanya merupakan bentuk bulat yang tidak bergerak-
gerak, tetapi dalam waktu 18-24 jam berubah menjadi bentuk panjang seperti
cacing yang dapat bergerak dengan ukuran 8-24 µ yang disebut ookinet.Ookinet
kemudian menembus dinding lambung melalui sel epitel ke permukaan luar
lambung dan menjadi bentuk bulat yang disebut ookista.Jumlah ookista pada
dinding luar lambung nyamuk vektor berkisar antara beberapa buah sampai
beberapa ratus buah.Ookista makin lama makin besar sehingga merupakan
bulatan-bulatan semi transparan, berukuruan 40-80 µ dan mengandung butir-butir
pigmen.Bila ookista makin membesar dan intinya membelah-belah, pigmen tak
tampak lagi.Inti yang sudah membelah kemudian dikelilingi oleh protoplasma dan
merupakan bentuk-bentuk memanjang yang ujungnya runcing dengan inti di
tengahnya.Bentuk ini disebut sporozoit dengan ukuran panjang 10-15 µ.Ookista
kemudian pecah dan ribuan sporozoit keluar dan bergerak dalam rongga badan
nyamuk vektor untuk mencapai kelenjar liur (ludah).Nyamuk yang mengandung
sporozoit dalam kelenjar ludahnya, kalau menggigit manusia disamping
mengeluarkan air ludahnya, sporozoit-nya juga ikut terbawa masuk ke dalam
tubuh manusia. Dalam tubuh manusia, sporozoit mengalami perkembangan
sebagai berikut:
a. Schizogoni
Sporozoit plasmodium dalam waktu ½-1 jam sudah masuk ke dalam jaringan
hati. Sporozoit dari P. vivax dan P. ovale sebagian berubah menjadi
hypnosoit, sebagian lagi berubah menjadi schizon hati.Sedangkan sporozoit
P. falcifarum dan P. malariae, semuanya berubah menjadi schizon
hati.Hypnosoit P. vivax dan P. ovale sewaktu-waktu bias berubah menjadi
schizon hati.Karena itu untuk P. vivax dan P. ovale dikenal adanya rekurensi
yaitu kambuh dalam jangka waktu panjang. Schizon hati mengandung ribuan
merozoit yang akan pecah dan keluar dari jaringan hati untuk kemudian
masing-masing merozoit ini menginvasi sel darah merah (SDM). Fase
masuknya sporozoit ke dalam jaringan hati sampai keluar lagi dalam bentuk

9
merozoit, disebut fase schizogoni jaringan hati atau fase pra eritrosit.Lamanya
fase pra eritrosit dan besarnya schizon hati serta jumlah merozoit pada satu
schizon hati, berbeda-beda untuk tiap spesies Plasmodium.
b. Schizogoni eritrosit
Merozoit yang telah masuk ke dalam sel darah merah, kemudian berubah
menjadi bentuk tropozoit, yaitu tropozoit muda, tropozoit lanjut, dan
tropozoit tua.Tropozoit ini selanjutnya membentuk schizon darah yang
mengandung merozoit yaitu bentuk schizon muda, schizon tua, dan schizon
matang.Schizon matang mengalami sporulasi yaitu melepaskan merozoit
untuk kemudian menginvasi sel darah merah baru, siklus schizogoni eritrosit
berulang kembali.Fase masuknya merozoit ke dalam sel darah merah sampai
terbentuknya merozoit untuk menginvasi sel darah merah baru, disebut fase
schizogoni eritrosit.Lamanya fase eritrosit dan jumlah merozoit dalam
schizon hati, berbeda-beda untuk setiap spesies Plasmodium (Hakim, 2011).

Gambar 5. Siklus hidup Plasmodium dalam tubuh manusia (Prianto, dkk.,


2006).

2.5.2. Cacing
Penyakit kecacingan yang terjadi di Indonesia sering disebabkan oleh
cacing yang tergolong ke dalam soil transmitted helminth. Yang termasuk ke
dalam soil transmitted helminth adalah Ascaris lumbricoides (cacing gelang),
Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (cacing tambang), Trichuris

10
trichiura (cacing cambuk). Spesies cacing yang juga sering menginfeksi populasi
Indonesia adalah Oxyuris vermicularis. Cacing ini tidak tergolong soil transmitted
helminth karena tidak memerlukan tanah untuk tumbuh menjadi stadium yang
dapat menginfeksi manusia. Cacing jaringan yang sering menjadi penyebab
infeksi di Indonesia adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia
timori.
Terdapat beberapa keadaan yang dapat mempengaruhi munculan penyakit
alergi pada penderita kecacingan antara lain waktu dan lamanya terjadi infeksi
cacing, intensitas infeksi, genetik dan jenis cacing.
a. Waktu dan lamanya terjadi infeksi cacing.
Individu yang terpapar oleh cacing dapat mengalami reaksi alergi terhadap
antigen somaik ataupun produk yang dihasilkan oleh cacing tersebut.Keadaan
ini biasanya terjadi para orang yang kurang terpapar oleh antigen cacing pada
masa lalunya seperti imigran, turis atau pendatang dari daerah dengan
karakteristik yang berbeda.Salah satu contoh yang menggambarkan keadaan
ini adalah Sindroma Loeffler yang diakibatkan oleh larva Ascaris
lumbricoides yang bermigrasi ke paru. Pada kelompok yang jarang terpapar
ini juga menunjukkan gejala reaksi alergi yang lebih kuat terhadap alergen
lain. Penekanan atau proteksi terhadap penyakit alergi terjadi pada kelompok
populasi di daerah endemis di mana infeksi cacing cenderung berlangsung
kronis sesuai dengan lamanya waktu yang dibutuhkan oleh cacing untuk
mencapai organ target, tumbuh dewasa dan berkembang biak. Beberapa
penelitian terakhir, diketahui bahwa ibu hamil yang terinfeksi cacing akan
mempengaruhi imunitas bayi yang dilahirkannya.
b. Intensitas infeksi
Infeksi cacing dengan intensitas yang berat lebih bersifat proteksi dalam
menekan reaksi alergi dibandingkan dengan infeksi intensitas ringan.Keadaan
ini lebih jelas terlihat efeknya pada cacing yang hidup di jaringan
dibandingkan dengan cacing usus.Infeksi cacing dengan intensitas ringan
bahkan dapat meningkatkan reaksi penyakit alergi. Penelitian yang dilakukan
di Venezuela, Gambia, Ethiopia, Taiwan dan Ecuador memperlihatkan bahwa

11
populasi yang terinfeksi cacing usus Ascaris lumbricoides, cacing tambang
dan Trichuris trichiura terlindungi dari reaksi alergi. Hasil yang sama juga
terlihat pada populasi yang menderita infeksi cacing schistosoma dan filaria
yang berada di Gabon, Brazil dan Indonesia. Pada populasi yang menderita
infeksi dengan intensitas ringan menunjukkan potensi untuk mengalami
penyakit alergi.Pendatang yang berasal dari daerah non endemis ke daerah
endemis penyakit schistosmiasis cenderung mengalami gejala akut berupa
demam, eosinofilia dan gejala gangguan paru berupa batuk dan kesulitan
bernafas.
c. Genetik individu yang terinfeksi
Individu dengan genetik tertentu mempunyai kerentanan lebih tinggi untuk
mengalami alergi baik terhadap cacing maupun alergen lain. Sebagai contoh,
penduduk Afrika yang berada di daerah pedalaman lebih sedikit mengalami
alergi.Kejadian sebaliknya terjadi pada populasi keturunan asli Afrika yang
tinggal di negara maju cenderung memperlihatkan prevalensi dan gejala
alergi yang lebih berat dibandingkan dengan penduduk pribumi negara maju
tersebut.
d. Jenis cacing
Cacing yang berbeda akan memberikan efek dan resiko yang berbeda pula
terhadap munculan penyakit alergi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pada penderita infeksi Ascaris lumbricoides memperlihatkan peningkatan
kejadian asma.Hasil ini berbeda dengan penelitian terhadap infeksi akut
cacing Toxocara spp pada manusia. Infeksi Toxocara pada hospes selain
hospes definitifnya cenderung menimbulkan gangguan atopi atau alergi yang
berperan dalam proses perlawanan dan eliminasi cacing dari dalam tubuh
(Rusjdi, 2015).

2.6. Pencegahan
Pencegahan penyakit yang disebabkan oleh parasit nyamuk (malaria) dan
cacing ini dapat dilakukan secara eksternal dan internal. Pencegahan secara
eksternal pada penyakit malaria dapat dilakukan misalnya dengan memasang

12
kelambu saat hendak tidur, membersihkan lingkungan dari sarang nyamuk, serta
pemakaian obat nyamuk semprot dan obat nyamuk bakar.Sedangkan pencegahan
secara eksternal pada kecacingan dapat dilakukan dengan memutuskan rantai daur
hidup dengan cara defekasi di kakus, menjaga kebersihan, cukup air di kakus,
mandi dan cuci tangan secara teratur. Selain itu melakukan penyuluhan kesehatan
kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan dan personal hygiene. Selain itu
dapat dilakukan dengan cara tidak membuang tinja ditanah, membiasakan cuci
tangan sebelum makan, membiasakan menggunting kuku secara teratur,
membiasakan diri membuang air besar di jamban, membiasakan mencuci
makanan lalapan mentah dengan air bersih, menjaga kebersihan kuku dan
pakaian, membiasakan makan makanan yang terlindungi dari pencemaran,
membiasakan anak selalu mengganti pakaian setelah mandi, serta membersihkan
lantai rumah setiap hari dan tidak memakai alas kaki ke dalam rumah.
Pencegahan secara internal dilakukan dengan obat-obatan yang biasa
digunakan untuk mengobati penyakit malaria dan kecacingan.Hal ini juga dapat
dilakukan dengan mengonsumsi sediaan herbal yang telah terbukti secara empiris
dapat mencegah atau mengobati penyakit yang disebabkan oleh parasit nyamuk
(malaria) dan cacing.

13
BAB III
ISI

3.1. Tanaman yang Digunakan Untuk Pengobatan Parasit


3.1.1. Epazote/ American Wormseed

Gambar 6. Tanaman epazote

 Klasifikasi tanaman:
Kingdom : Plantae
Filum : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Caryohyllales
Famili : Chenopodiaceae
Genus : Chenopodium
Spesies : Chenopodium ambrosioides
 Efek farmakologis:
 Efek farmakologis :
Tanaman ini sering digunakan sebagai antiparasit, antiinflamasi dan
antibiotik. Minyak atsiri pada tanaman ini diketahui dapat menghambat
pertumbuhan spesies ragi, dermatofit dan jamur berfilamen lainnya dan
ekstrak heksana C. ambrosioides diketahui menghambat pertumbuhan
jamur berfilamen.

14
 Kandungan kimia :

Minyak atsiri yang terkandung dalam tanaman ini yaitu alpha-terpinene


(17.0-20.7%), p-cymene (20.2-21.1%) dan ascaridole (30.5-47.1%).
senyawa ascaridole merupakan senyawa yang dapat melawan infeksi yang
disebabkan oleh cacing (Monzote et al., 2011)
 Dosis :
250-420 mg/kgBB satu kali sehari selama 2-4 hari (Kliks, 1985)
 Dosis maksimum :
300 mg/kgBB untuk dewasa dengan BB 60 kg (Kliks, 1985)
 Cara pemakaian :
Sebanyak 240-6210 mg/kgBB simplisia di masukkan kedalam 240 ml air
panas selama 2-3 menit dengan pengadukan yang konstan dan didinginkan
(Kliks, 1985)
 Efek samping :
Mual dan hiperperistaltik (Monzote et al., 2011)
 Uji klinis :
Uji klinis dilakukan di desa Arroyo Granizo yang terletak di tengah-tengah
hutan hujan Lacandone. Hal ini dilakukan karna tanaman Chenopodium
ambrosioides merupakan tanaman yang berasal dari desa tersebut, dan
warga sekitar telah menggunakannya dalam pengobatan secara empiris.
Metode pengujian yang digunakan yaitu pengumpulan data dan

15
wawancara. Sebanyak 507 relawan diberikan rebusan Chenopodium
ambrosioides sebanyak 240 ml, rebusan tersebut diberikan selama 2-4
hari. Hasil yang didapatkan Chenopodium ambrosioides tidak
menunjukkan efikasi yang signifikan meskipun diberikan dalam dosis
tinggi, hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya tingkat kebersihan
para warga didesa tersebut yang masih rendah sehingga terjadi infeksi
berulang, oleh karna itu harus ada studi lanjutan mengenai konsentrasi
obat yang lebih tepat (Kliks, 1985).

3.1.2. Kina (Cinchona)

Gambar 7. Tanaman kina

 Klasifikasi tanaman:
Kingdom : Plantae
Filum : Embryophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Gentianales
Famili : Rubiaceae
Genus : Cinchona L.
Spesies : Cinchona pubescend Vahl.
 Kandungan kimia:

16
Gambar 8. Struktur Quinine, Quinidine
Quinine, quinidine, cinchonine (Bahmani et al., 2014).

 Efek farmakologi:
Antiinflamasi dan antimalarial:
Quinine yang terdapat dalam kina memiliki kemampuan untuk
mendegradasi kemampuan parasit Plasmodium. Quinine merupakan
alkaloid yang dapat membunuh sel parasit yang menyebabkan malaria
dengan perubahan pH secara intraselullar (Bahmani et al., 2014).
 Dosis:
Tablet 260-650 mg 3 kali sehari selama 6-12 hari.
Dosis umum cinchona adalah satu cangkir teh hingga tiga kali sehari.Teh
disiapkan dengan seduhan 500 mg kulit kering dalam 150 mL air mendidih
selama 5-10 menit. Jumlah maksimum cinchona adalah 1-3 gram kulit
kayu per hari (18) atau 0,05-0,2 gram minyak esensial per hari. Dosis yang
biasa dari ekstrak cair cinchona (4-5% total alkaloid) adalah 0,6-3 gram
per hari. Ekstrak cinchona (15-20% alkaloid total) umumnya diberikan
sebagai 0,15-0,6 gram per hari.
 Efek samping:
Tanda-tanda cinchonisme ringan sampai sedang yaitu tinnitus, sakit
kepala, penglihatan kabur, gangguan pendengaran, mual dan diare sering
terjadi setelah hari ketiga penggunaan (Gachelin et al., 2017).
 Uji klinis:
Pada 2472 kasus malaria, 846 kasus ditangani dengan penggunaan
quinine, 66 kasus dengan quinidine, 559 dengan cinconine dan 403 dengan
cinchonidine. Dari 2472 kasus, 2445 kasus berhasil ditangani dengan
berbagai macam alkaloid dan 27 kasus gagal.Dan rasio kegagalan untuk
quinidine yaitu 6/1000, quinine 7/1000, cinchonidine 10/1000, dan
cinchonine 23/1000 (Gachelin et al., 2017).

17
3.1.3. Ganjo Lalai (Artemisia annua)

Gambar 9. Tanaman ganjo lalai

 Klasifikasi tanaman:
Kingdom : Plantae
Filum : Tracheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Asterales
Famili : Asteraceae
Genus : Artemisia L.
Spesies : Artemisia annua L.

 Kandungan kimia:

Gambar 10. Struktur Artemether


Kandungan bahan aktif penting artemisia adalah artemisinin yang
tergolong dalam senyawa terpenoid.Senyawa artemisinin yang tinggi
terutama terdapat pada jaringan bagian atas tanaman (daun dan bunga),
sementara di batang kandungannya rendah.Artemisinin terakumulasi pada

18
glandular trichomes, suatu organ yang hanya terdapat pada daun, batang
dan bunga (Mueller et al, 2004).
 Efek farmakologis:
Antimalaria, antiinflamasi, antimikroba, antioksidan, anti-schistosomal
(Mueller et al, 2004).
 Dosis:
Malaria : 10 mg/kg satu kali sehari (McIntosh and Piero, 1999)
Untuk anti-schistosomal 30 mg/kg 2 kali sehari (Ndjonka et al., 2013).
 Cara pemakaian untuk anti malaria:
5 dan 9 g simplisia sehari,1 L teh dari 5 dan 9 g simplisia yang
mengandung 47 dan 94 mg artemisinin, kemudian 1 L teh dibagi menjadi
3 dosis yang terdiri dari 250 ml air teh (Mueller et al, 2004).
 Efek samping:
Tidak terdapat efek samping
 Uji klinis:
- Penggunaan arthemeter/artemisinin tunggal mampu menghilangkan
parasit penyebab malaria didalam darah dan lebih efektif dibandingkan
first line terapi yaitu chloroquin dan sulfadoxine-phyrimethamine di
Tanzania dan Nigeria (McIntosh and Piero, 1999).
- Uji klinis juga dilakukan di provinsi Yunnan, China. Ekstrak
artemisinin diberikan secara oral dan artemisin memiliki efikasi yang
lebih tinggi dibandingkan quinine dan chloroquine, 18 pasien malaria
dengan jenis yang berbeda dapat disembuhkan 1 kasus cerebral
falciparum, P.falciparum jaundice 2 kasus, uncomplicated falciparum
11 kasus, dan vivax malaria 4 kasus. Hasil penelitian ini membuktikan
bahwa artemisinin merupakan herbal yang efektif, cepat, dan memiliki
efek samping yang rendah sebagai antimalaria.

19
3.1.4. Pare (Momordica charantia)

Gambar 11. Tanaman pare

 Klasifikasi tanaman:
Kingdom : Plantae
Filum : Tracheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Cucurbitales
Famili : Cucurbitaceae
Genus : Momordica
Spesies : M. Charantia
 Kandungan kimia:
Thocyanin, ascorbigen, suatu ikatan dari asam askorbat, karoten, pigmen
karpel, dan charantin, campuran glukosida steroid alami dari stigmasterol
glukosida dan glukosida sitosterol, yang memiliki sifat antidiabetes.Ada
juga flavonoid, quercetin, dan luteolin.Saponin sebagai anthelmintik
termasuk momordicin, momordin, momordicoside, karavilagenin,
karaviloside, dan kuguacin.Steroid termasuk sitosterol, daucosterol,
terpenoid, curcubitacins, dan triterpenoid tipe-cucurbitane, dikenal sebagai
antioksidan (Poolperm et al., 2017).
 Efek farmakologis:
Antibakteri, antifungi, antipiretik, antikanker, antidiabetes, antivirus,
antioksidan, antidepresan, dan anthelmintic.
- Daun pare mengandung senyawa-senyawa yang bersifat antelmintik
seperti saponin, tannin, flavonoid, dan triterpene glycoside. Saponin

20
dapat mengiritasi membran mukosa saluran pencernaan cacing
sehingga mengganggu penyerapan makanannya. Sedangkan tanin
dapat mengikat protein bebas dalam traktus intestinal yang dapat
mengakibatkan kematian cacing. Senyawa flavonoid dapat
mengakibatkan terjadinya degenerasi neuron pada tubuh cacing
sehingga mengakibatkan kematian cacing pula. Triterpene glycosides
dalam daun pare juga dapat menyebabkan inhibisi motilitas spontan
pada cacing (Poolperm et al., 2017).
- Saponin dapat berpotensi sebagai efek anthelmintik dengan
menghambat enzim asetilkolinesterase, sehingga menyebabkan
kematian pada cacing. Mereka mempengaruhi permeabilitas membran
sel cacing dan menyebabkan vakuolisasi dan disintegrasi tegument.
Selain itu, saponin dapat mengiritasi saluran lendir saluran
gastrointestinal cacing yang mengganggu penyerapan makanan
(Tjokropranoto et al., 2011).
- Anthelmintik: penelitian yang dilakukan oleh Tjokropranoto dan
Nathania menunjukkan bahwa terjadi kematian pada Ascaris suum
setelah 3 jam terapi dengan konsentrasi ekstrak etanol daun pare
75%,83%, dan 88% yang kemudian dibandingkan dengan pirantel
pamoat (Tjokropranoto et al., 2011).
 Efek samping:
Nyeri dada dan perut (Poolperm et al., 2017)
 Dosis:
50-100 ml atau 3-6 sendok makanjus pare (Kumar and Debjit, 2010)
 Uji klinis:
Anthelmintik: penelitian yang dilakukan baru sebatas uji praklinis yang
dilakukan oleh oleh Tjokropranoto dan Nathania melalui metode
ekperimen nyata yang menunjukkan bahwa terjadi kematian pada Ascaris
suum secara in vito setelah 3 jam terapi dengan konsentrasi ekstrak etanol
daun pare 75%,83%, dan 88% yang kemudian dibandingkan dengan
pirantel pamoat (Tjokropranoto et al., 2011).

21
3.1.5. Cempedak (Artocarpus champeden)
Cempedak (Artocarpus champeden) terutama bagian kulit batang dan
daunnya merupakan salah satu tanaman yang memiliki aktivitas sebagai
antimalaria (Widyawaruyanti dkk., 2011; Hafid dkk., 2011).

Gambar 12.Tanaman cempedak

 Klasifikasi tanaman:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Viridiplantae
Infrakingdom : Streptophyta
Superdivision : Embryophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Rosales
Famili : Moraceae
Genus : Artocarpus
Spesies : Artocarpus integer Merr. dan sinonim dengan A.
integrifolia L.f.; A. polyhema Person dan A.
champeden (Lour) stoke
(The Plants Database, 2000).

 Kandungan kimia:
A. champeden mengandung suatu campuran yang kompleks dari berbagai
jenis flavonoid yaitu jenis flavanon, flavon, 3-prenilflavon, piranoflavon,
oksepinoflavon, dihidrobenzosanton dan furanodihid robenzosanton.

22
Selain itu pada tanaman ini juga telah ditemukan adanya senyawa
terpenoid jenis triterpen, yaitu sikloartenon, 24-metilensikloartenon,
sikloeukalenol, glutinol, dan senyawa steroid β-sitosterol (Syah et al.,
2002; Achmad et al., 2004; Hakim et al., 2006).
Penelitian untuk mengetahui aktivitas antimalaria dari kulit batang
cempedak telah dilakukan dan diketahui bahwa senyawa flavonoid yang
diisolasi dari ekstrak diklorometana kulit batang cempedak yaitu
heteroflavanon Chalcone, sikloheterofilin, artoindonesianin A2,
artoindonesianin R, artonin A, dan senyawa baru artocarpon A dan B
memiliki aktivitas anti malaria yang poten (Widyawaruyanti, 2011).
 Efek farmakologis:
Artocarpus champeden (suku Moraceae) atau dikenal dengan nama daerah
cempedak, merupakan salah satu tanaman yang digunakan sebagai bahan
ramuan obat tradisional untuk mengobati malaria, dan penyakit lain seperti
panas/demam, disentri dan penyakit kulit (Hakim et al., 2006). Ekstrak air
biji cempedak meningkatkan aktivitas fagositosis atau untuk meningkatkan
daya imun pada mencit (Rahmawati etal., 2014).
Ekstrak metanol kulit batang A. champeden dan fraksi klorofom dari
ekstrak metanol menunjukkan adanya aktivitas antimalaria pada mencit
terinfeksi P. Berghei (Dhani, 2003). Penelitian Zaini et al. (2005)
melaporkan bahwa ekstrak diklorometana kulit batang A. champeden ini
juga menghambat pertumbuhan parasit in vitro pada kultur Plasmodium
falciparum dengan IC50 g/ml dan in vivo pada mencit terinfeksi
Plasmodium berghei dapat menghambat pertumbuhan parasit.
Terkait dengan target flavonoid berdasarkan efek antimalaria sampai saat
ini, yang telah dilaporkan memiliki dua target utama yaitu membran yang
dibentuk parasit malaria intraeritrositik yaitu jalur permeasi baru (New
Permeation Pathway = NPP) dan pada vakuola makanan parasit malaria
yaitu hambatan pada proses degradasi hemoglobin dan detoksifikasi heme.
Perbedaan target senyawa flovonoid yang berbeda ini diduga berhubungan
dengan gugus aktif senyawa flavonoid yang berbeda. Pada vakuola

23
makanan parasit malaria dilaporkan bahwa kholkan, suatu senyawa
flavonoid pada tumbuhan mempunyai aktivitas menghambat pertumbuhan
parasit melalui mekanisme penghambatan enzim sistein protease. Hal ini
terkait dengan peran vakuola makanan sebagai pusat berlangsungnya
aktivitas metabolism dan biokimia penting bagi kelangsungan hidup
parasit malaria (Bilia et al., 2006).
 Dosis penggunaan:
Sebagai profilaksis malaria dapat digunakan ekstrak A. champeden
cortex 120 mg dua kali sehari (Lardo dkk., 2015).
 Uji klinis:
Pengujian klinis fase I dilakukan selama 1 bulan pada 100 orang
responden sehat, hasil pengujian menunjukan bahwa pemberian kapsul
EEC (Ethanolic Extract of stem bark Chempeden) dengan dosis dua kali
sehari memiliki keamanan yang setara dengan pemberian obat doxycycline
100 mg, tidak toksik ke hati dan ginjal. Sehingga herbal ini dapat
digunakan sebagai terapi komplementer untuk profilaksis malaria (Lardo
dkk., 2015).
 Efek samping:
Penggunaan bersama ekstrak kulit batang cempedak dengan agen platelet
atau antikoagulan lain dapat meningkatkan resiko terjadinya efek samping
pendarahan. Hal ini karena ekstrak kulit batang cempedak diketahui
memiliki aktivitas antiplatelet pada pengujian in vitro dan in vivo
(Widyastuti, 2013 ; Michael dan Zelika, 2017)

3.1.6. Kembang Bulan (Thitonia diversifolia)


Tumbuhan Kembang bulan (Thitonia diversifolia) merupakan tumbuhan
perdu tegak yang dapat mencapai tinggi sembilan meter, bertunas, dan merayap
dalam tanah. Tumbuhan ini merupakan salah satu tanaman yang digunakan secara
empiris dalam pengobatan malaria di Indonesia (Sulistijowati, 2001).

24
Gambar 13. Tanaman kembang bulan

 Klasifikasi tanaman:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Asterales
Suku : Asteraceae
Marga : Thitonia
Jenis : Thitonia diversifolia (Hemsley) A. Glay (Hutapea, 1994)
 Kandungan kimia:
Daun kembang bulan mengandung senyawa flavonoid (Utami, 2011),
pentahidroksiflavonol (Zirconia, 2015), alkaloid, terpenoid, saponin, tanin,
serta polifenol (Verawati, 2015). Selain itu pada penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Gu JQ et al., (2002) didapatkan tiga seskuiterpenoid
dari isolat ekstrak daun kembang bulan, yaitu 2-alpha-hydroxytirotundin,
tithofolinolide, dan 3-alphaacetoxydiversifolol, serta delapan lakton
seskuiterpen, yaitu 3-beta-acetoxy-8-betaisobutyryloxyreynosin, tagitinin
C, 1-beta2-alpha-epoxytagitinin C, 4-alpha-10- alpha-dihydroxy-3-okso-8
betaisobutyryloxyguaia-11-en-12,6-alphaolide, 3-alpha-acetoxy-4-alpha-
hidroksi11-eudesmen-12-OKI asam metil ester, 17,20-
dihydroxygeranylnerol, tagitinin A, dan tirotundin. Kandungan flavonoid,
alkaloid, terpenoid dan senyawa fenol dalam daun kembang bulan
(Tithonia diversifolia (Hemsley) A.Gray) menyebabkan tanaman ini

25
memiliki daya penghambatan pertumbuhan Plasmodium berghei
(Amanatie, dkk., 2015).
 Efek farmakologi:
Tumbuhan insulin atau dikenal juga dengan nama kembang bulan
(Tithonia diversifolia) umumnya dimanfaatkan pada bagian daunnya.
Daun tersebut dapat digunakan untuk antidiabetes, anti virus, anti malaria,
liver, dan radang tenggorokan, serta penggunaannya sebagai bahan
pestisida (Verawati, 2015). Pada penelitian Utami dkk.(2012) menyatakan
bahwa ektrak etanol daun kembang bulan memiliki aktivitas antimalaria
sebagai terapi profilaksis. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
Oyewole et al. (2008) yang menyatakan bahwa ekstrak air dan ekstrak
metanol daun kembang bulan lebih efektif bila diberikan sebelum onset
infeksi. Hal tersebut menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun kembang
bulan mengandung bahan antimalaria yang dapat memberikan efek
preventif dan kuratif terhadap infeksi malaria.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Afiyah (2007), ekstrak metanol dan
kloroform daun kembang bulan memiliki aktivitas antiplasmodium yang
baik terhadap P. falciparum strain FCR-3 dengan IC50 sebesar 8,12 ± 0,53
μg/ml dan 10,64 ± 2,55 μg/ml. Fraksi eter ekstrak metanol daun kembang
bulan mempunyai aktivitas antiplasmodium pada P. falciparum strain
FCR-3 secara in vitro dengan cara menghambat polimerisasi heme (Syarif,
2007). Selanjutnya pada penelitian Budiarti (2011) secara in vivo, ekstrak
etanol daun ini telah terbukti aktif menghambat pertumbuhan P. berghei
pada dosis 40; 80; 160, dan 320 mg/kgBB dengan nilai ED50 114
mg/kgBB dan ED90 475 mg/kgBB.
 Dosis penggunaan:
Belum diketahui hasil penelitian mengenai dosis penggunaan herbal daun
kembang bulan sebagai antimalaria pada manusia.
 Uji klinis: -
 Efek samping:

26
Pada percobaan in vivo, penggunaan ekstrak daun kembang bulan
(Tithonia diversifolia) pada dosis tinggi menyebabkan gangguan fungsi
hati, ginjal, dan jantung (Adebayo et al., 2009)
3.1.7. Biji Pinang (Arecha cathecu)
Biji pinang merupakan salah satu tanaman yang digunakan secara empiris
sebagai obat cacing oleh masyarakat Indonesia (Kurniawati, 2008).

Gambar 14. Biji pinang (Yolangga, 2018)

 Klasifikasi tanaman:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Bangsa : Arecales
Suku : Arecaceae/palmae
Marga : Areca
Spesies : Areca catechu L. (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991)
 Kandungan kimia:
Biji pinang mengandung alkaloid, tanin, saponin, asam amino, choline,
catechin (Dalimartha, 2009). Biji pinang mengandung alkaloid kelompok
pyridine seperti arecaidine dan arecolin. Arecolin memiliki efek depresi
susunan saraf pusat dan paralisis otot yang disebabkan pengikatan pada
reseptor asetilkolin (Jaiswal, 2005).
 Khasiat:

27
Biji pinang (Areca cathecu L) secara in vitro memiliki daya ovisidal dan
vermisidal sehingga berperan sebagai obat anti helmintik pada cacing usus
(Mukhlis, 2007). Potensi ovisidal ekstrak biji pinang LC50 terhadap telur
Ascaris suum sebesar 1,20%. Selanjutnya dilakukan uji in vivo pada babi
yang merupakan hospes A. suum untuk mengetahui hasil terapi yang
dihasilkan serta uji toksisitas akut dan subakut yang tidak menunjukkan
perubahan patologis pada hati, ginjal, otak dan jantung oleh ekstrak ini
(Nuri, 2007).
 Dosis penggunaan:
Sediaan jamu yang mengandung ekstrak biji pinang sebagai obat
antihelmintik (obat cacing) telah beredar di pasaran, Areca Catechu 50 mg
dikombinasikan dengan Areca Catechu 50 mg, Zingiber Cassummunar 50
mg,Leucas lavandufolia 25 mg, Curcuma heynenna 50 mg, Momordia
Charantia 75 mg. Dosis penggunaannya yaitu 2 kali 3 tablet per hari
diminum sebelum makan (PT Unique Herbamed Indonesia, 2014).
 Uji klinis
Penelitian yang dilakukan oleh Utami dkk., (2011) melakukan metode uji
klinis fase III dengan desain paralel yang bersifat randomisasi pada
perbandingan hasil terapi tablet ekstrak biji pinang (Areca cathecu L.)
pada pasien investasi nematoda usus di kecamatan Mumbulsari kabupaten
Jember dengan pengobatan standar. Diperoleh hasil bahwa terapi
menggunakan pinang memberikan egg reduction rate yang lebih baik
daripada pemberian pirantel pamoat pada investasi cacing Trichuris
trichiura sedangkan pada investasi cacing Ascaris dan Hookworm yang
diberikan terapi pinang maupun pirantel pamoat menunjukkan hasil terapi
yang sama.
 Efek samping:
Konsumsi jangka panjang dapat menyebabkan hipotiroid, hiperplasia
prostat, defisiensi Vit. D. Kemungkinan besar hal ini terkait dengan efek
toksik dari kandungan senyawa alkaloid arecoline (Garg et al., 2014)

28
3.1.8. Sambiloto
Sambiloto (Andrographis paniculata) merupakan tanaman dari keluarga
acantaceae yang memiliki rasa daun yang pahit. Tanaman ini telah lama
digunakan oleh masyarakat Indonesia secara tradisional untuk mengobati
beberapa penyakit termasuk juga malaria. Kemampuan sambiloto dalam
mengobati penyakit malaria dikarenakan adanya senyawa utama yaitu
andrographolide (Zaid, 2015).

Gambar 15. Tanaman sambiloto (Ratnani dkk., 2012)

 Klasifikasi tanaman:
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Classis : Dicotyledoneae
Ordo : Solanaceae
Familia : Acanthaceae
Genus : Andrographis
Species : Andrographis paniculata Ness. (Dalimartha, 1999)
 Kandungan kimia:
Skrining fitokimia pada ekstrak daun sambiloto menunjukan adanya
kandungan alkaloid, steroid, triterpenoid, saponin dan tanin. Daun
sambiloto memiliki kandungan kimia diantaranya deoksiandrografolid,
andrografolid, noeandrografolid, 12 didehidroandrografolid, dan
homoandrografolid (Hariana, 2006). Pada percobaan farmakologis
senyawa kimia yang berkhasiat sebagai antiradang adalah andrographolid,
deoksi-andrografolid, dan neoandrografolid (Achmad et al., 2007).

29
 Khasiat:
Di Indonesia sambiloto digunakan untuk antiradang, antipiretik atau
meredakan demam, dan untuk penawar racun atau detoksikasi (Achmad et
al., 2007). Ekstrak daun sambiloto sebagai antimalaria telah dilakukan
baik secara in vitro menggunakan kultur Plasmodium maupun in vivo
menggunakan hewan coba yang telah diinfeksi parasit (Zein, 2013). Begitu
pula penggunaan senyawa tunggal andrografolida dalam menghambat
polimerisasi hem telah dilakukan (Risdawati, 2011).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Budiyanti dkk.,(2016) menunjukan
hasil bahwa infusa herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees)
mempunyai efek antihelmintik terhadap Ascaris suum secara in vitro
dengan LC50 61, 13% walaupun efektifitasnya sebagai antihelmintik lebih
rendah daripada pirantel pamoate.
 Dosis penggunaan:
Sebagai antimalaria, dapat digunakan serbuk simplisia dalam bentuk
kapsul dengan dosis 250 mg tiga kali sehari (Zein, 2004).
 Uji klinis:
Penelitian yang dilakukan oleh Zein (2004) melakukan penelitian
mengenai efektivitas ekstrak sambiloto pada pasien dewasa yang
mengidap malaria falciparum. Penelitian dilakukan dengan
membandingkan efek farmakologis antara Chloroquin dengan Chloroquin-
Sambiloto. Hasil yang didapatkan yaitu pemberian herbal sambiloto dalam
bentuk kapsul dengan dosis 250 mg tiga kali sehari selama 5 hari dapat
meningkatkan sensitivitas dari plasmodium.
 Efek samping:
Penurunan fertilitas (Halim dkk., 2004).

30
3.1.9. Pepaya (Carica papaya L.)

Gambar 16.Tanaman Pepaya (Carica papaya L.) (USDA, NRCS. 2018).

 Klasifikasi tanaman:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisio : Spermatophyta
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida – Dikotiledon
Subkelas : Dilleniidae
Bangsa : Violales
Famili/suku : Caricaceae
Marga : Carica L.
Spesies/jenis : Carica papaya L. (Cronquist, 1981)

31
 Kandungan kimia:

a. b.
Gambar 17.a. Carpain; senyawa aktif papaya b. Benzyl isothiocyanate; Benzyl
isothiocyanate dan carposide adalah senyawa yang berperan dalam
aktivitas anthelmintik (Vij and Prashar, 2015)
Buah : Protein, lemak, serat, karbohidrat, mineral:
kalcium, phosphorous, iron, vitamin C, thiamine,
riboflavin, niacin, dan karoten, asam amino, asam
sitrat dan malat (buah hijau), komponen volatil:
linalool, benzylisothiocyanate, cis dan trans 2, 6-
dimethyl-3,6 epoxy-7 octen-2-ol, Alkaloid, α;
carpaine, benzyl- β -D glucoside, 2- phenylethyl
-β-D-glucoside, 4-hydroxy- phenyl-2 ethyl-β-D-
glucoside dan empat isomeric malonated benzyl-
β-D-glucosides.
Kulit Batang : Β-Sitosterol, glukosa, fruktosa, sukrosa, galaktosa
dan xylitol
Biji : Asam lemak, protein, serat, carpaine,
benzylisothiocyanate, benzylglucosinolate,
glucotropacolin, benzylthiourea, hentriacontane,
β-sitosterol, caricin dan myrosin
Daun : Alkaloid carpain, pseudocarpain,
dehydrocarpaine I dan II, choline,
carposide,vitamin C dan E
Getah : Enzim proteolitik, papain and chemopapain,
glutamine cyclotransferase, chymopapains A, B

32
dan C, peptidase A dan B
Akar : Carposid dan enzim myrosin
(Begum, 2014).
 Khasiat:
Antelmintik, anti-malaria, anti bakteri, anti jamur, anti-inflamasi, anti
tukak lambung, diuretik (Vij and Prashar, 2015).
Getah pepaya memiliki aktivitas antelmintik terhadap
Heligmosomoides polygyrus dalam percobaannya di tikus yang terinfeksi.
Memiliki aktivitas antelmintik terhadap infeksi Ascaris suum di babi dan
efektif pada dosis 8 g/kgBB (Vij and Prashar, 2015).
 Dosis penggunaan:
 4 g dosis biji pepaya kering dalam 20 mL madu untuk mengobati
kecacingan (Drugs.com, 2018)
 Cacing Kremi
1 potong akar papaya direbus dengan 3 gelas air sampai mendidih
hingga tinggal 1 gelas, kemudian disaring untuk diambil airnya.
Diminum 1 kali sehari pada sore hari (Thomas, 1989).
 Cacing perut
- 1 lembar daun papaya dana das pulawaras secukupnya direbus
dengan 2 gelas air sampai mendidih hingga tinggal 1 gelas,
kemudian disaring. Diminum 1 kali sehari menjelang tidur
(Thomas, 1989).
- setengah sendok teh serbuk biji papaya dalam air hangat diminum
di pagi hari sebelum sarapan. 2 jam kemudian, minum 50 ml
minyak jarak dan 350 ml susu dalam keadaan perut kosong.
Lakukan selama 2-4 hari (Aravind, et al., 2013).
 Malaria
- Daun pepaya yang telah berwarna kuning diperas, kemudian
dicampur dengan sedikit garam, campuran ini kemudian diminum
(Sarimole, dkk., 2014).

33
- Daun muda direbus dengan air tiga gelas hingga tersisa satu
gelas, setelah dingin, kemudian diminum (Sarimole, dkk., 2014).
 Uji klinis:
-
 Efek samping:
Pepaya dapat menyebabkan reaksi alergi yang parah pada orang yang
sensitif.Getah papaya dapat menjadi iritan yang parah dan vesikan pada
kulit.Jus pepaya dan biji pepaya jarang menyebabkan efek merugikan
ketika digunakan secara per oral; Namun, daun pepaya dengan dosis tinggi
dapat menyebabkan iritasi lambung (Drugs.com, 2018).

3.1.10. Ceguk (Quisqualis indica Linn.)

Gambar 18. Tanaman dan buah ceguk (Quisqualis indica Linn) (Dalimartha,
2006).

 Klasifikasi tanaman:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisio : Spermatophyta
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Bangsa : Myrtales

34
Famili/suku : Combretaceae
Marga : Quisqualis L.
Spesies/jenis : Quisqualis indica L. (Cronquist, 1981).
 Kandungan kimia:
Quisqualis indica Linn mengandung senyawa seperti trigonelin
(alkaloid), L-prolin (asam α-amino), L-asparagin (asam α-amino), asam
quisqualat (agonis untuk kedua reseptor AMPA), rutin (flavonoid) dan dua
bentuk sintase sistein, isoenzim A dan isoenzim B (enzim) (Sahu et al,
2012).
Rutin dan pelargonidin-3-glukosida juga terisolasi dari bunga. Buah
mengandung zat manis yang mirip dengan levulosa dan asam organik yang
mirip dengan asam katarsis. Biji mengandung minyak non-volati; yang
terdiri dari asam linoleat, oleat, palmitat, stearat dan arakidat, sterol,
alkaloid dengan sifat antimimun dan asam amino neuroexcitator, asam
quisqualic (Sahu et al, 2012).
 Khasiat:
Anthelmintik, anti-inflamasi, antipiretik, imunomodulator, antiseptik, dll.
(Sahu et al, 2012).
Secara in-vitro dilaporkan terjadi koagulasi lapisan albumin kulit
telur Fasciola gigantica dan Paramphistomum sp. setelah direndam dalam
10% ekstrak daun ceguk yang dapat menyebabkan penurunan kemampuan
untuk membentuk embrio atau perkembangan embrio (Ardana, et al.,
2016).
 Dosis Penggunaan :
 Cacing Gelang (Ascariasis)
Anak-anak : Tumbuk 3-5 butir biji ceguk lalu berikan pada
anak-anak untuk dimakan
Dewasa : Rebus 2 jari akar ceguk dengan 2 cangkir air.
Setelah tersisa 1 cangkir, tambahkan gula jawa
secukupnya lalu minum pagi hari sebelum makan
(Hariana, 2013).

35
 Cacing Tambang (Ankylostomiasis)
Cuci 50 butir biji ceguk sampai bersih lalu digiling halus.Seduh
dengan ½ cangkir air panas, tambahkan 1 sendok makan madu.Minum
saat hangat di malam hari sebelum tidur (Hariana, 2013).
 Cacing kremi (Ozyuriasis)
Sangrai biji ceguk sampai matang, lalu makan dengan cara dikunyah.
Lakukan ½ jam sebelum makan. Untuk anak kecil, sangria biji ceguk
sebanyak 3-15 butir/hari, sedangkan untuk dewasa 15-30
butir/hari.Dosis tersebut dimakan 3 kali sehari.Lakukan selama 15 hari
(Hariana, 2013).
 Uji klinis: -
 Efek samping:
Sakit perut atau sakit kepala terutama ketika biji dimakan segar atau terlalu
sering (Sahu et al, 2012).

3.1.11. Petit (Nauclea pobeguinii Merr.)

Gambar 19. Tanaman petit (Nauclea pobeguinii Merr.)

 Klasifikasi tanaman:
Kingdom : Plantae
Filum : Tracheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Bangsa : Gentianales
Famili/suku : Rubiaceae

36
Marga : Nauclea Korth
Spesies/jenis : Nauclea pobeguinii Merr. (GBIF, 2017).
 Kandungan kimia:

Gambar 20. Senyawa isolat kulit batang petit (Nauclea pobeguinii Merr.)
Tanaman ini mengandung sejumlah alkaloid dengan alkaloid
strictosamide sebagai senyawa utama. Alkaloid lainnya yang
teridentifikasi adalah angustine, naufoline, angustoline, nauclefine, O-
acetyl-angustoline, 3,14-dihydro-angustine and nauclequiniine (Mesia, et
al., 2010).
 Khasiat:

37
• Tanaman ini berkhasiat sebagai anti malaria. Ekstrak Etanol 80%
menunjukkan aktivitas moderat in vitro dengan nilai IC50 masing-masing
44 dan 32 µg/mL, tanpa adanya sitotoksisitas pada sel MRC-5 (CC50> 64
mikrog / mL).
• Dosis oral harian 80% ekstrak EtOH, pada 300 mg/kg, menghasilkan 86%
pengurangan parasitemia pada model tikus P. berghei 4 hari, dan
pengurangan 75% pada model P. yoelii N67. Memperpanjang dosis oral
sampai 2 x 5 hari, dengan selang waktu 2 hari, dan pemberian oral 80%
Ekstrak EtOH pada 300 mg/kg menyebabkan pengurangan 92%
parasitemia, dan waktu kelangsungan hidup rata-rata 17 hari (Mesia, et
al., 2010).
 Dosis Penggunaan:
500 mg kapsul Nauclea pobeguinii diberikan 3 kali sehari (tiap 8 jam)
selama 7 hari (Mesia et al., 2011).
 Uji klinis: Fase IIA
80% ekstrak etanol (mengandung 5,6% strictosamide sebagai konstituen
aktif putative) dari kulit batang nuklea pobeguinii dilambangkan sebagai
PR 259 CT1 diberikan kepada kelompok kecil pasien dewasa (6 pria dan 5
wanita) didiagnosis dengan malaria falciparum tanpa komplikasi. Hasilnya
dilakukan sesuai dengan WHO 2003 14 hari pengujian, dan hasilnya
menunjukkan bahwa kesebelas pasien sepenuhnya dibersihkan dari
parasitemia dan demam pada hari ke 3, 7, dan 14 kecuali untuk satu
pasien, yang mengalami rekurensi parasitemia pada hari-hari 7 hingga 14
(Mesia, et al., 2010).
 Efek samping:
Efek samping yang ditemukan setelah mengonsumsi ekstrak tanaman ini
adalah lelah dan sakit kepala (Mesia, et al., 2011).

38
3.1.12. Ghana Quinine (Cryptolepis sanguinolenta)

Gambar 21. Tanaman Cryptolepis sanguinolenta

 Klasifikasi tanaman:
Kingdom : Plantae
Filum : Magnoliophyta
Kelas : Equisetopsida
Subkelas : Magnoliidae
Bangsa : Gentianales
Famili/suku : Apocynaceae
Subfamili : Periplocoideae
Marga : Cryptolepis
Spesies/jenis : Cryptolepis sanguinolenta (Osafo et al., 2017).
 Kandungan kimia:
Tanaman ini Mengandung alkaloid, tanin, dan Flavon. Alkaloid utama
dalam akar C. sanguinolenta adalah cryptolepine indoloquinoline,
alkaloid lainnya quindoline, cryptospionlepine alkaloid spirononasiklik,
cryptolepicarboline, cryptomisrine, 11-isopropylcryptolepine,
cryptolepinone, dan biscryptolepine (Osafo et al., 2017).
 Khasiat:
Anti malaria, antibakteri, antidiabetik, antifungi, dan antioksidan (Osafo et
al., 2017).

39
Komponen antiplasmodial aktif yang ditemukan di dalam akar
diketahui sebagai alkaloid indoquinoline, yang secara independen telah
terbukti memiliki aktivitas in vitro dan in vivo melawan Plasmodium
falciparum, termasuk strain yang resisten terhadap chloroquine (Tampesta,
2010).
 Dosis Penggunaan:
2.5 gram akar kering  C. sanguinolenta diberikan 3 kali sehari selama 5
hari (Tampesta, 2010).
 Uji klinis:
Dalam uji klinis yang melibatkan 44 subjek dengan malaria tanpa
komplikasi, yang dirancang sediaan kantong teh C. sanguinolenta yang
mengandung 2,5 g bubuk akar yang diberikan tiga kali sehari selama lima
hari, formulasi membersihkan P. falciparum parasitemia 50% dari subyek
penelitian dalam waktu tiga hari dan semua subjek penelitian pada hari ke
7 (Tampesta, 2010).
 Efek samping:
Efek samping yang ditemukan setelah pemberian akar C. sanguinolenta
adalah emam, menggigil, mual, dan muntah (Tampesta, 2010).

40
BAB IV
PENUTUP

4.1. Simpulan
1. Parasit adalah organisme yang hidup di dalam atau pada inang. Tuan
rumah adalah organisme lain. Parasit menggunakan sumber daya inang
untuk memicu siklus hidupnya. Parasit bukan penyakit, tetapi mereka
dapat menyebarkan penyakit. Parasit yang berbeda memiliki efek yang
berbeda. Contohnya plasmodium yang menyebabkan penyakit malaria
dan Soil Transmitted Helminths yang menyebabkan penyakit
kecacingan.
2. Tanaman dan simplisia yang dapat digunakan untuk penyakit malaria
contohnya adalah ganjo lalai (Artemisia annua), kina (Cinchona),
meniran (P. ninuri), cempedak (Artocarpus champeden) dan kembang
bulan. Simplisia yang dapat digunakan untuk penyakit cacing
contohnya adalah biji pinang (Areca cathecu), ceguk (Quisqualis
indica) dan kulit delima (Punica granatum)sedangkantanaman dan
simplisia yang dapat digunakan untuk kedua penyakit adalah pepaya
(Carica papaya), sambiloto, pare (Momordica charantia), american
wormseed (Chenopodium ambrosiodes).

4.2. Saran
Dibuat buku saku mengenai tanaman obat untuk memudahkan mahasiswa
dalam mengingat khasiat dari tanaman dan simplisia tersebut.

41
DAFTAR PUSTAKA

Achmad SA, 2004. Empat Puluh Tahun Dalam Kimia Organik Bahan Alam
Tumbuh-Tumbuhan Tropika Indonesia: Rekoleksi Dan Prospek. Bull Soc
Nat Prod Chem. 4: 35-54.
Afiyah, R. 2007. Aktivitas antiplasmodium fraksi larut eter ekstrak metanol daun
kembang bulan (Tithonia diversifolia (Hemsley) A.Gray) pada
Plasmodium falciparum secara in vitro. Yogyakarta: Tesis Penelitian
Prodi Kedokteran Dasar dan Biomedis, Universitas Gajah Mada.
Amanatie., Eddy, S. 2015. Structure Elucidation of the Leaf of Tithonia
diversifolia (Hemsl) A. Gray. Jurnal Sains dan Matematika, 23(4): 101-
106.
Aravind G, Debjit Bhowmik, Duraivel. S, and Harish. G. 2013. Traditional and
Medicinal Uses of Carica papaya.Journal of Medicinal Plants Studies,
Vol. 1(1): 7-15.
Ardana, IBK, MS Anthara, AAGO Dharmayuda, and AAN Subawa. 2016.
Wudani Leaf Extract (Quisqualis indica Linn) as Traditional Medicine to
Control the Incidence of Cattle Worm. Bali Medical Journal, 6(3):17-22.
Bahmani M., Mahmoud R.K., Hassan H. Kourosh Saki., Seyed A.K., Bahram
Delfan. 2014. Asian Pacific Journal of Tropical Medicine. 7(Suppl 1): 29-
33.
Basalingappa KM, Anitha B, Raghu N, Gopenath TS, Karthikeyan M,
Gnanasekaran A, and Chandrashekrappa GK. 2018. Medicinal Uses of
Carica Papaya. Journal of Natural & Ayurvedic Medicine, 2 (6): 1-11.
Begum, Mahmuda. 2014. Phytochemical and Pharmacological Investigation of
Carica papaya Leaf. Dhaka: Department Of Pharmacy Eastwest
University
Bilia AR, Melilo de Malgalhaes P, Berganzi MC, Vincieri FF, 2006.
Simultaneous analysis of artemisinin and obtained from a Commercial
sample and Selected 493.Cultivar. J Phytomed, 13(7): 487.

42
Budiyanti RT, Murkati, Qadrijati I. 2016. Antihelmintic effect of sambiloto herb
infusa (Andrographis paniculata) to Ascaris suum in vitro. Bioteknologi
13: 73- 82.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2018. Malaria. Available at
https://www.cdc.gov/malaria/about/biology/index.html. (Diakses tanggal
15 November 2018).
Cronquist, A. 1981.Integrated System of Classification of Flowering Plants. New
York: Columbia Univ.
Dalimartha, S. 2006. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid Kelima. Pustaka
Bunda. Jakarta.
Dalimartha, S. 2009. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid Keenam. Cetakan
Pertama. Jakarta: Pustaka Bunda. Halaman 127-129.
Dhani, N.W.U. 2003. Aktivitas antimalaria ekstrak metanol kulit batang
cempedak (Artocarpus champeden SPRENG) terhadap Plasmodium
berghei in-vivo[Skripsi]. Surabaya: Fakultas Farmasi Unair
Drugs.com. 2018. Papaya. Tersedia online di
https://www.drugs.com/npc/papaya.html. [diakses pada 16 November
2018].
Gachelin, G. P. Garner, E. Ferroni, U. Trohler, I. Chalmers. 2017. Evaluating
Cinchona bark and quinine for treating and preventing malaria. Journal of
the royal society of medicines. Vol 110(1); 31-40.
GBIF. 2017. Nauclea pobeguinii Merr. Tersedia online di
https://www.gbif.org/species/5336162. [diakses pada 25 November 2018].
Gu, J.Q., Gills, J..J., Park, E.J., Mata, G.E., Hawthorne, M.E., Axelrod, F.,
Chavez, P.I. 2002. Sesquiterpenoids From Tithonia diversifolia With
Potential Cancer Chemopreventive Activity. Journal. Nat. Prod, 65(4):
532-6.
Guo, Zongru.2016.Artemisinin anti-malarial drugs in China.Acta pharmaceutica
Sinica. B. vol. 6.2; 115-124.
Gusmaini dan Hera Nurhayati. 2007. Potensi Pengembangan Budidaya Artemisia
annua L. di Indonesia. Perspektif. Vol. 6 (2); 57-67.

43
Hafid, A.F., Maharani W.T. dan Aty W. 2011. Artikel Penelitian Model Terapi
Kombinasi Ekstrak Etanol 80% Kulit Batang Cempedak (Artocarpus
Champeden Spreng.) dan Artesunat pada Mencit Terinfeksi Parasit
Malaria Combination Therapy Model of Cempedak Stembark Ethanol
80% Extract (Artocarpus champeden Spreng.) and Artesunat on Malaria
Parasite Infected Mice. J Indon Med Assoc, 61(4): 161-167.
Hakim EH, Achmad SA, Juliawaty LD, Makmur L, Syah YM, Aimi N, Kitajima
M., Takayama H., Ghisalberi EH related compounds of the Indonesian
Artocarpus 184. (Moraceae). J Nat Med,60: 161.
Hakim, Lukman. 2011. Malaria: Epidemiologi dan Diagnosis. Aspirator, Vol. 3
(2): 107-116.
Halim, V.S., Soegihardjo, C.J. dan Rizal, D.M. 2004. Pengaruh ekstrak etanol
herba sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) terhadap
spermatogenesis mencit jantan dewasa dan uji kualitatif kromatografi lapis
tipis. Majalah Farmasi Indonesia, 15(3): 136-143.
Hariana, A. 2013. 262 Tumbuhan Obat dan Khasiatnya.Jakarta: PT Penebar
Swadaya
Hutapea, J.R. 1994.Inventaris tanaman obat Indonesia. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Jaiswal, P. et. al. 2005. Areca catechu L.: A valuable herbal medicine against
different health problems. Journal of medical plant.
Kemenkes RI. 2016. InfoDATIN, Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan RI: Malaria. Tersedia online diwww.depkes.go.id.[diakses
tanggal 15 November 2018).
Kliks, M.M. 1985. Studies on the traditional herbal anthelminthic Chenopodium
ambrosioides L.: Ethnophamacological Evaluation and Clinical Trials.
Soc.Sc.Med . Vol 2 (8); 879-886.
Kumar, K.P.S., and Debjit Bhowmik. 2010. Traditional Medicinal Uses And
Therapeutic Benefits Of Momordica Charantia Linn. International Journal
of Pharmaceutical Sciences Review and Research. Vol 4(3) ; 23-28.

44
Kurniawati, H. 2008. Identifikasi Kontaminasi Telur dan atau Larva Cacing
Parasit pada Tanah di Sekitar Daerah Perkebunan Mumbulsari
Kabupaten Jember. Jember: Universitas Jember.
Lardo,S., A. , Widyawaruyanti , Indah T., dkk. 2015 . Preliminary Study of Safety
and Toxicity of Cempedak Capsules as an Alternative Complementary
Drug for Malaria Prophylaxis at Nanga Badau, Kalimantan. Int. Rev. For
the armed forces med. Services Vol. 89 (4): 29-35
Lopes,M.M., Kellina O.S. dan Ebenezer O.S. 2018. Exotic Fruits : Cempedak—
Artocarpus champeden. Brazil: Academic Press. Halaman 121-127.
Margono SS, Supali T, Abidin SAN. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran
edisi 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
McDermott, A. 2017. What Is Phyllanthus Niruri and How Is It Used? Tersedia
onlinehttps://www.healthline.com/health/food-nutrition/phyllanthus-niruri.
[diakses pada 16 November 2018].
McIntosh Heather and Piero Olliaro. 1999. Artemisinin derivatives for treating
uncomplicated malaria. Cochrane Database of Systematic Reviews. Issue 2
Michael dan Zelika M.R. 2017. Obat Penginduksi Pendarahan. Farmaka Vol. 15
(4): 33-40
Monzote L., Nance M.R., García M., Scull R., Setzer W.N. 2011.Comparative
chemical, cytotoxicity and antileishmanial properties of essential oils from
Chenopodium ambrosioides.Nat Prod Commun. 6(2); 281-286
Mueller, M.S., Nyabuhanga Runyambob, Irmela Wagnerc, Steffen Borrmannd,
Klaus Dietze, Lutz Heidec. 2004. Randomized controlled trial of a
traditional preparation of Artemisia annua L. (Annual Wormwood) in the
treatment of malaria. Transactions of the Royal Society of Tropical
Medicine and Hygiene. 98; 318-321.
Mukhlis, M. 2007. Daya vermisidal dan ovisidal biji pinang (areca cathechu L)
pada cacing dewasa dan telur Ascaris suum secara in vitro. Jember:
Universitas Jember.
Natural Medicine. 2018. Cinchona. Tersedia online di
http://naturaldatabase.therapeuticresearch.com/nd/PrintVersion.aspx?

45
id=406&AspxAutoDetectCookieSupport=1. [diakses pada 14 November
2018]
Ndjonka D, Rapado LN, Silber AM, Liebau E, Wrenger C. Natural products as a
source for treating neglected parasitic diseases. Int J Mol Sci.
2013;14(2):3395-439.
Nordqvist, Christian. 2018. What's to know about parasites? Tersedia online di
https://www.medicalnewstoday.com/articles/220302.php.[diakses tanggal
15 November 2018].
Nuri, 2007. Pengembangan Formula Sediaan Fitoterapeutika Terstandar untuk
Terapi Antelmintik dari Tanaman Obat di Kabupaten Jember. Jember:
Lembaga Penelitian Universtas Jember.
Osafo, Newman, Kwesi Boadu Mensah, and Oduro Kofi Yeboah. 2010.
Phytochemical and Pharmacological Review of Cryptolepis sanguinolenta
(Lindl.) Schlechter. Advances in Pharmacological Sciences, Volume
2017:1-13.
Oyewole, L.O., Ibidapo, C.A., Moronkola, D.O., Oduola, A.O., Adeoye, G.O.,
Anyasor, G.N., Obansa, J.A. 2008. Anti-malarial and repellent activities of
Tithonia diversifolia (Hemsl.) leaf extracts. Journal of Medicinal Plants
Research, Vol. 2(8): 171-17.
Poolperm, Sutthaya and Wannee Jiraungkoorskul. “An Update Review on the
Anthelmintic Activity of Bitter Gourd, Momordica
charantia” Pharmacognosy reviews, 11(21): 31-34.
Prianto Y, Tjahaya, Darwanto. 2006. Parasitologi kedokteran. Jakarta: PT.
Gramedia Pusaka Utama.
PT. Sido Muncul. 2015. Delivering The Vision - Laporan Tahunan PT. Sido
Muncul, Tbk Tahun 2015. Jakarta: PT. Sido Muncul.
PubChem. 2004. Benzyl Isothiocyanate. Tersedia online di
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/benzyl_isothiocyanate#sectio
n=Top. [diakses pada 16 November 2018].

46
PubChem. 2005. Carpaine. Tersedia online di
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/Carpaine#section=2D-
Structure. [diakses pada 16 November 2018].
Rahmawati, Triyani, Y., Nilapsari, R., 2014. Biji Cempedak (Artocarpus
integrifolia) terhadap aktivitas fagositosis pada mencit jantan galur Swiss,
Global Medical and Health Communication, 2(2):55-59.
Risdawati. 2014. Mekanisme kerja andrografolida dari sambiloto (Andrographis
paniculata, Nees) sebagai senyawa antimalaria: kajian terhadap status
oksidatif Plasmodium berghei ANKA. [Disertasi] Jakarta: Universitas
Indonesia.
Rusjdi, Selfi Renita. 2015. Infeksi Cacing dan Alergi.Jurnal Kesehatan Andalas,
Vol. 4(1): 322-325.
Sahu, J., P. K. Patel, and B. Duhey.2012. Quisqualis indica Linn : A Review of its
Medicinal Properties. Int.J.Pharm.Phytopharmacol Res., 1(5): 313-321
Sarimole, E, M. Martosupono, H. Semangun, dan J. C. Mangimbulude. 2014.
Pengobatan Penyakit Malaria dengan Menggunakan Beberapa Jenis
Tumbuhan Nabati di Kabupaten Raja Ampat.Prosiding Seminar Nasional
Raja Ampat, Waisai – 12 – 13 Agustus 2014.
Setyowatiningsih, Lilik dan Surati Surati. 2017. Hubungan Higiene Sanitasi
Dengan Kejadian Infeksi Soil Transmitted Helminths Pada Pemulung Di
Tps Jatibarang. Jurnal Riset Kesehatan. 6 (1) : 40-44.
Sulistijowati, S.A. , D. Gunawan. 2001.Efek Ekstrak Daun Kembang Bulang
(Tithonia diversifolia A. Gray.) Terhadap Candida albicans serta Profil
Kromatografinya. Yogyakarta: Media Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada.
Syah YM, Ahmad SA, Ghisalberti EL, Hakim EH, Makmur L, Mujahidin D,
2002. Artoindonesianin Q-T, four isoprenylated Flavones from Artocarpus
champeden Spreng. (Moraceae). J Phytochem, 61: 953-949.
Syamsuhidayat, S.S., Hutapea, J.R. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia.
Balitbang Departemen Kesehatan, Vol I: 64-65.

47
Syarif, R.A. 2007. Aktivitas Antiplasmodium Fraksi Lanlt Eter Ekstrak Metanol
Daun Kembang Bulan (Tithonia diversifolia (HemsLey) A. Gray) Pada
Plasmodiumfalciparum Secara In Vitro. Tesis Penelitian Prodi Ilmu
Kedokteran Dasar dan Biomedis Minat Utama Farmakologi. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Tempesta, Michael S. 2010. The Clinical Efficacy of Cryptolepis Sanguinolenta
in the Treatment of Malaria. Ghana Med J., 44(1): 1–2.
The Plant Data Center. 2000. Artocarpus integer. Tersedia online di
http://plants.usda.gov [diakses pada 15 November 2018].
Thomas A. N. S. 1989. Tanaman Obat Tradisional. Yogyakarta: Kanisius
Tjokropranoto R.,Rosnaeni, Maria Y.N. 2011. ANTHELMINTIC EFFECT OF
ETHANOL EXTRACT OF PARE LEAF (Momordica charantia L.)
AGAINST FEMALE Ascaris suum WORM IN VITRO. Jurnal Medika
Planta. Vol 1(4); 33-39.
Unique Herbamed Indonesia. 2014. Asoxtan Herbal Untuk cacingan. Tersedia
online di http://uniqueherbamedindonesia.com/2014/01/herbamed-
asoxtan-herbal-utk-cacingan/ [diakses pada 15 November 2018].
USDA, NRCS. 2018. The PLANTS Database. Tersedia online di
https://plants.sc.egov.usda.gov. [diakses pada 16 November 2018].
Utami, W., Nuri., dan Yunit ,. A. 2011. Pengembangan Obat Herbal Terstandar
untuk Terapi Malaria Dari Ekstrak Daun Kembang Bulan (Tithonia
diversifolia). Jember: Laporan Akhir Penelitian . Fakultas Kedokteran ,
Universitas Jember.
Utami, W., Nuri., dan Yunita , A. 2012. Pengaruh Pemberian Ekstrak Tithonia
diversifolia (Hemsley) A. Gray) Sebagai Antimalaria Pada Mencit Galur
Balb/C Sebelum Dan Sesudah Diinfeksi Plasmodium berghei. Jurnal
Medika Planta, Vol. 1(5).
Utami,W.S., Bagus H., Nuri, Yudi W., dan Taufiq G. 2011. PERBANDINGAN
HASILTERAPI TABLET EKSTRAK BIJI PINANG (Areca cathecu L)
PADA INVESTASI CACING USUS DI KECAMATAN
MUMBULSARI-JEMBER. Jurnal Medika Planta, 1 (4): 69-77.

48
Verawati, V. , M. Aria, M. Novicaresa. 2015.Aktifitas Anti Inflamasi Ekstrak
Etanol Daun Kembang Bulan (Tithonia diversifolia. A. Gray) terhadap
Mencit Putih Betina. Scientia-Jurnal Farmasi dan Kesehatan, 1 47-52.
Vij, Tarun and Yash Prasha. 2015. A review on medicinal properties of Carica
papaya Linn. Asian Pacific Journal of Tropical Disease, 5(1): 1–6.
Widyastuti, E.N. 2013. UJI AKTIVITAS ANTIPLATELET EKSTRAK METANOL
KULIT BATANG CEMPEDAK (Artocarpus champeden Spreng.). Skripsi.
Jember: Fakultas Farmasi Universitas Jember.
Widyawaruyanti A, Zaini NC, dan Syafruddin. Mekanisme dan aktivitas
antimalaria dari senyawa flavonoid yang diisolasi dari cempedak
(Artocarpus champeden). Jurnal Berkala Akutansi dan Bisnis Universitas
Airlangga. 2011; 13(2): 67-77.
Yolangga, S. 2018. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Biji Pinang (Areca catechu
L.) dan Formulasi Sediaan Gel Hand Sanitizer pada Bakteri Escherichia
coli dan i. Skripsi. Medan: Universitas Sumatra Utara.
Zaid OI, Majid RA, Sabariah MN, Hasidah MS, Al-Zihiry K, Yam MF, et al.
2015. Andrographolide effect on both Plasmodium falciparum infected
and non infected RBCs membranes. Asian Pac J Trop Med., 8(7):507-12.
Zaini NC, Dachlan YP, dan Syafrudin. 2005. Potensi dan Mekanisme Aksi
Senyawa Aktif Antimalaria Kulit Batang Cempedak (Artocarpus
champeden Spreng.), Laporan Penelitian HPTP, Lembaga Penelitian
Universitas Airlangga, Surabaya.
Zein U, Fitri LE, Saragih A. 2013. Comparative study of antimalarial effect of
sambiloto (Andrographis paniculata) extract, chloroquine and artemisinin
and their combination against Plasmodium falciparum in vitro. Acta Med
Indonesia, 45(1):38- 43.
Zein, U., Ginting, Y., Saragih, A., Hadisahputra, S., Arrasyid, N. K., Yulfi, H. dan
Sulani, F. 2004. Antimalaria effect of Chloroquin-Sambiloto
(Andrographis paniculata Nees) Combination Compared Chloroquin
Alone in Adult Patients of Uncomplicated Malaria Falciparum. e-USU
Repository.

49
Zirconia , A., Kurniasih , N., Amalia , V. 2015. Identifikasi Senyawa Flavonoid
Dari Daun Kembang Bulan (Tithonia diversifolia) Dengan Metode
Pereaksi Geser. Jurnal al Kimiya, Vol. 2(1).

50

Anda mungkin juga menyukai