Makalah Kel 4.
Makalah Kel 4.
Makalah Kel 4.
OLEH :
KELOMPOK6
Kelas : C
Dosen Pengampu :
Apt.Diza Sartika, M.Farm
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat serta
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Farmasi Kesehatan
Masyarakat yang berjudul “Keamanan Obat Dalam Peningkatan Kesehatan
Masyarakat”.Makalah tersebut disusun untuk memenuhi syarat mata kuliah Farmasi
Kesehatan Masyarakat di Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas Perintis Indonesia.Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
sebesar besarnya kepada Ibu Apt. Diza Sartika, M.Farm yang telah membantu kami
dalam penyusunan makalah ini.
Penulis
ii
BAB I
PENDAHULUAN
2
kesengajaan karena perilaku penyalahgunaan obat (drug abuse) (WHO, 1998; Lindell
OL, 2014).
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
3. Communicator, seorang farmasis/apoteker harus mampu menjadi komunikator
yang baik, sehingga pelayanan kefarmasian dan interaksi kepada pasien,
masyarakat, dan tenaga kesehatan lain dapat berjalan dengan baik, misalnya
menjadi komunikator yang baik dalam PIO (Pelayanan Informasi Obat),
penyuluhan, konseling dan konsultasi obat kepada pasien, melakukan kunjungan
ke bangsal/ ruang perawatan pasien, pengajar dan narasumber.
4. Manager, seorang farmasis/apoteker merupakan seorang manajer dalam aspek
kefarmasian non-klinis, kemampuan ini harus ditunjang dengan kemampuan
manajemen yang baik, contohnya adalah sebagai Kepala Instalasi Farmasi
Rumah Sakit harus mampu mengelola perbekalan farmasi dan mengelola
karyawan agar dapat melayani dengan optimal dan produktif dalam hal kinerja
dan profit, contoh lainnya sebagai Pedagang Besar Farmasi (PBF), manager
Quality Control (QC), Quality Assurance (QA), Manajer Produksi, dan lain lain.
5. Leader, seorang farmasis/apoteker harus mampu menjadi seorang pemimpin,
mempunyai visi dan misi yang jelas, dan dapat mengambil kebijakan yang tepat
untuk memajukan institusi/perusahaan/lembaga yang dipimpin, misalnya sebagai
Rektor, Dekan, Direktur Rumah Sakit, Direktur Utama di industri farmasi,
Direktur marketing, Direktur bagian produksi dan sebagainya.
6. Life Long Learner, seorang farmasis/apoteker harus memiliki semangat belajar
sepanjang waktu, karna informasi/ilmu kesehatan terutama farmasi (obat,
penyakit dan terapi) terus berkembang pesat dari waktu ke waktu, sehingga kita
perlu memperbaharui pengetahuan dan kemampuan agar tidak ketinggalan.
7. Teacher, seorang farmasis/ apoteker dituntut dapat menjadi pendidik, edukator
atau akademisibagi pasien, masyarakat, maupun tenaga kesehatan lainnya terkait
ilmu farmasi dan kesehatan, baik menjadi guru, dosen, ataupun sebagai seorang
farmasis/apoteker yang menyampaikan informasi kepada pasien, masyarakat dan
tenaga kesehatan lain yang membutuhkan informasi.
8. Researcher, seorang farmasis/apoteker merupakan seorang peneliti terutama
dalam penemuan dan pengembangan obat-obatan yang lebih baik.
5
9. Entrepreneur, seorang farmasis/apoteker diharapkan terjun menjadi wirausaha
dalam mengembangkan kemandirian serta membantu menyejahterakan
masyarakat misalnya dengan mendirikan perusahaan obat, kosmetik, makanan,
minuman, alat kesehatan, baik skala kecil maupun skala besar, mendirikan
apotek, serta bisnis tanaman obat dan lainnya.
6
3. Health planning: setelah prioritas ditentukan, program pelaksanaan disusun
secara sistematik sesuai tujuan yang telah ditetapkan.
4. Evaluasi program: data harus dikumpulkan untuk digunakan sebagai umpan
balik bagi proses perencanaan tugas berikutnya, sehingga sistem menjadi
dinamik.
5. Reimbursement/economics : alokasi biaya dan pengelolaannya secara efektif
– efisien merupakan faktor esensial. Kelancaran pembiayaan untuk pelayanan
seluruh populasi, termasuk untuk obat, harus diupayakan secara optimal.
6. Program legislative/regulasi : penentuan parameter baku mutu pelayanan yg
berlaku secara nasional.
7. Increasing access to health services : farmasis merupakan profesional
kesehatan dan optimalisasi fungsi
7
informasi pencegahan, penanggulangan penyakit, pppk korban, persiapan obat
pertama. Pelaksanaannya dalamkelompok terpadu dikelola dengan baik.
11. Perlindungan (monitoring) terhadap lingkungan: dampak semua bentuk polusi
terhadap kesehatan harus di-informasikan kepada masyarakatà peran farmasis
sebagai pendidik kesehatan masyarakat/individual
12. Keamanan tempat kerja: penjaminan keselamatan tempat kerja, pengobatan
sendiri sebagai pppk, metode pelaporan dan penanggulangan, sehingga dapat
segera mendapat penatalaksanaan yang benar, serta mencegah terulang
kembali kejadian yang mirip.
8
2.3. Upaya Farmasis dalam Meningkatkan Keamanan Obat
Berdasarkan tingkat keamanannya, obat dibagi menjadi 4 jenis kategori, dua
diantaranya yaitu obat bebas dan obat bebas terbatas merupakan 2 kategori yang
termasuk di dalamnya. Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran, relatif
aman, dan dapat dibeli tanpa menggunakan resep dokter. Sedangkan obat bebas
terbatas yaitu obat yang sebenarnya temasuk kedalam golongan obat keras namun
masih dapat dijual atau dibeli tanpa resep dokter. Penggunaannya relatif aman apabila
sesuai dengan ketentuan indikasi dan dosis yang tertera pada kemasan.
High alert medications memiliki risiko yang lebih tinggi dalam menyebabkan
komplikasi, efek samping atau bahaya yang dapat merugikan pasien. Hal ini dapat
dikarenakan adanya rentang dosis terapeutik dan keamanan yang sempit atau karena
insidens yang tinggi akan terjadinya kesalahan. Pihak rumah sakit harus
mengembangkan pendekatan untuk memperbaiki keamanan obat-obatan tersebut.
Bila obat-obatan adalah bagian dari rencana pengobatan pasien, maka penerapan
manajemen yang benar penting/krusial untuk memastikan keselamatan pasien.
Meningkatkan Keamanan Obat Obatan Yang Harus Diwaspadai merupakan salah
satu dari 6 (enam) Sasaran Keselamatan Pasien.
9
diinginkan (adverse outcome) demikian pula obat-obat yang tampak mirip/ucapan
mirip (Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look-Alike Sound-Alike/
LASA). Daftar obat-obatan yang sangat perlu diwaspadai tersedia di WHO. Yang
sering disebut-sebut dalam isu keamanan obat adalah pemberian elektrolit konsentrat
secara tidak sengaja (misalnya, kalium/potasium klorida [sama dengan 2 mEq/ml atau
yang lebih pekat)], kalium/potasium fosfat [(sama dengan atau lebih besar dari 3
mmol/ml)], natrium/sodium klorida [lebih pekat dari 0.9%], dan magnesium sulfat
[sama dengan 50% atau lebih pekat].
Kesalahan ini bisa terjadi bila staf tidak mendapatkan orientasi dengan baik di
unit asuhan pasien, bila perawat baru atau kontrak tidak diberikan Orientasi
sebagaimana mestinya terhadap unit asuhan pasien, atau pada keadaan gawat darurat/
emergensi. Insiden dapat terus meningkat seiring dengan bertambahnya pasien yang
dirawat pada unit pelayanan tersebut.
4. Elektrolit konsentrat yang disimpan di unit pelayanan pasien harus diberi label
yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted)
10
Beberapa metode yang digunakan untuk meminimalisasi kesalahan ini meliputi
beberapa strategi:
11
kurangnya kesadaran di daerah tetsebut mengenai kesehatan. Oleh sebab itu, peran
farmasis juga dibutuhkan ketika farmasis juga dapat berkorelasi dengan pemerintah
melalui seorang farmasis yang melakukan penyuluhan ke daerah terpencil mengenai
kesehatan masyarakat agar informasi mengenai kesehatan juga dapat dijangkau
hingga ke pelosok daerah. Selain itu, pelayanan seorang farmasis perlu diberikan
yang terbaik atau bermutu kepada masyarakat yang sesuai dengan standar kode etik.
4. Menjaga dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat
beserta lingkungannya
Untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga, dan
masyarakat beserta lingkungannya, diperlukan terlebih dahulu kesadaran dari diri
sendiri untuk menjaga kesehatan melalui pola makan dan menurunkan stress. Setelah
secara individu telah dapat mengatur dan menjaga kesehatan maka dapat juga
diterapkan dalam keluarga, lalu berpindah ke area yang lebih luas yaitu masyarakat.
Tak lupa juga lingkungan juga perlu dilestarikan karena jika tidak merawat
lingkungan ini maka akan banyak wabah penyakit yang dapat menyerang, seperti
akibat gundulnya hutan menyebabkan banjir, banyaknya sampah yang dibuang
sembarangan dan masih banyak hal lainnya yang menjadi faktor pemicu munculnya
penyakit.
12
wawancara mendalam dan berdasarkan kriteria purposive sampling. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan program keselamatan pasien
dengan melihat aspek input, proses, serta output di unit rawat inap RS Wava Husada
Kabupaten Malang.
Didalam Peningkatan Keamanan Obat Perlu dilakukan Obeservasi dan
Diawaspadai terutama Dalam penyimpanan obat pasien, dari hasil wawancara yang
dilakukan, obat pada unit rawat inap selalu disimpan menggunakan system First In
First Out (FIFO) dan First Expired First Out (FEFO). Kemudian dalam peletakan
obat, pertugas memisahkan obat yang termasuk golongan LASA serta menempelkan
label hijau bertuliskan LASA pada setiap kemasan obat.Dari hasil wawancara, obat
kemudian diletakkan pada lemari yang sudah tersedia pada setiap unit.Dalam
penulisan obat LASA perawat mengatakan menggunakan system Tall Man Lettering
yakni menuliskan bagian yang menunjukkan perbedaan pelafalan obat diberikan
penegasan. Dalam pemberian obat kepada pasien, dari hasil wawancara mendalam
yang dilakukan, perawat akan melakukan pengecekan ulang pada obat yang akan
diberikan kepada pasien, apakah obat tersebut sesuai dengan resep yang diberikan
oleh dokter. Pada pemberian obat kesalahan yang sering terjadi adalah perawat tidak
melakukan pengecekan ulang atau double check yang seharusnya selalu dilakukan
untuk mengurangi kesalahan pemberian obat.
Peningkatan Keamanan
Obat High Alert Obat-obat high alert adalah obat-obatan yang memiliki resiko
lebih tinggi untuk menyebabkan/menimbulkan adanya komplikasi/ membahayakan
pasien secara signifikan jika terdapat kesalahan penggunaan (dosis, interval, dan rute
pemakaian obat).Obat-obat dalam golongan LASA (Look Alike Sound Alike) juga
termasuk dalam obat-obat high alert. Yang dimaksud dengan obat-obat LASA adalah
obat-obat yang memiliki kemiripan dalam bentuk kemasan obat maupun kemiripan
dalam pelafalan nama obat. Hal ini memiliki risiko untuk terjadinya kesalahan
pemberian obat kepada pasien.Dalam penyimpanan obat pasien, perawat mengatakan
penyimpanan sudah sesuai menggunakan sistem First In First Out (FIFO) dan First
Expired First Out (FEFO). Kemudian dalam peletakan obat, pertugas memisahkan
13
obat yang termasuk golongan LASA serta menempelkan label hijau bertuliskan
LASA pemberian stiker khusus warna hijau. sesuai dengan Permenkes No 11 Tahun
2017 pada setiap kemasan obat. Obat kemudian sudah tersedia pada setiap
unit.Tetapi Rumah Sakit Wava Husada tidak meletakkan elektrolit konsentrat pada
unit rawat inap. Pada saat proses pemberian obat, perawat harus selalu melakukan
pengecekan ulang terhadap semua obat-obatan sebelum diberikan kepada pasien.
Pengecekan dilakukan oleh minimal 2 orang perawat dengan tujuan meningkatkan
keselamatan akurasi.Namun, kendala dalam pelaksanaan peningkatan keselamatan
obat yang perlu diwaspadai adalah kurangnya komitmen petugas untuk melakukan
pengecekan ulang. Baik setelah menerima dari farmasi dan juga pengecekan ulang
ketika akan di berikan kepada pasien.
14
desa.Persepsi, pengetahuan, dan sikap masyarakat tentang penggunaan obat yang
benar diukur dari pengisian kuisioner sebelum dan setelah penyuluhan. Dari hasil
penyuluhan terdapat peningkatan persepsi, pengetahuan, dan sikap masyarakat
tentang penggunaan obat yang benar sebesar 2,69%. Dari hasil tersebut, kegiatan
pengabdian masyarakat ini dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Desa
Drengesmelalui peningkatan persepsi, pengetahuan, dan sikap masyarakat tentang
penggunaan obat yang benar sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat untuk
mencapai kualitas hidup yang lebih baik.
Selain itu, perhatian bahwa tidak semua obat aman digunakan oleh anak dan
pentingnya konsultasi dengan tenaga kesehatan juga ditekankan dalam diskusi
interaktif. Hal lain yang juga dibahas dalam kegiatan interaktif ini adalah
pembangunan pengetahuan bahwa jumlah dan aturan pakai obat yang digunakan akan
mempengaruhi khasiat dan bahayanya serta bagaimana mengenali resiko keamanan
obat melalui tanda penggolongan obat antara lain obat bebas, obat bebas terbatas, dan
obat keras untuk obat-obat kimia dan obat jamu, fitofarmaka, dan herbal terstandar
untuk obat tradisional.
3. Gambaran Pengobatan Sendiri Masyarakat Dengan Menggunakan
ModelKeamanan Pengobatan
Mengobati diri sendiri atau yang lebih dikenal dengan swamedikasi berarti
mengobati segala keluhan dengan obat-obatan yang dapat dibeli bebas di Apotek atau
Toko obat dengan inisiatif atau kesadaran diri sendiri tanpa nasehat dokter.
Pengobatan sendiri harus dilakukan sesuai dengan penyakit yang dialami,
pelaksanaannya sedapat mungkin harus memenuhi kriteria penggunaan obat yang
rasional.Pelaksanaan swamedikasi didasari oleh pemikiran bahwa pengobatan sendiri
cukup untuk mengobati masalah kesehatan yang dialami tanpa melibatkan tenaga
kesehatan. Alasan yang lain adalah karena semakin mahalnya biaya pengobatan ke
dokter, tidak cukupnya waktu yang dimiliki untuk berobat dan kurangnya akses ke
fasilitas-fasilitas kesehatan (Maharni, dkk, 2015).
Pada umumnya pengobatan sendiri dilakukan oleh masyarakat untukmengatasi
keluhan yang dapat dikenali sendiri antara lain sakit kepala demam, batuk, pilek dan
15
luka ringan. Keluhan-keluhan tersebut umumnya merupakan gejala-gejala penyakit
sederhana yang dapat sembuh sendiri dalam waktu singkat.Biasanya pengobatan
sendiri hanya dilakukan dalam waktu terbatas, lebih kurang 3-4 hari (Septiani, 2014).
Data faktual Badan Pusat Statistik 2009 menunjukkan bahwa 66% orang sakit di
Indonesia melakukan swamedikasi sebagai usaha pertama dalam menanggulangi
penyakitnya. Persentase tersebut cenderung lebih tinggi dibandingkan 44% penduduk
yang langsung berobat jalan ke dokter.Pelaksanaan swamedikasi sering terjadi
kesalahan-kesalahan pengobatan.Kesalahan pengobatan (medication error)
disebabkan karena keterbatasan pengetahuan masyarakat terhadap obat, penggunaan
obat dan informasi obat (Izzatin, 2015).
Masyarakat pada umumnya tidak begitu mengetahui informasi yang lengkap
tentang obat yang akan mereka konsumsi sehingga justru menimbulkan masalah baru
yaitu tidak sembuhnya penyakit karena adanya resistensi bakteri dan ketergantungan;
munculnya penyakit baru karena efek samping obat antara lain seperti pendarahan
sistem pencernaan, reaksi hipersensitif, drugwithdrawal symptoms, serta
meningkatnya angka kejadian keracunan. Ada beberapa hal yang sebaiknya dipahami
masyarakat dalam swamedikasi, pengetahuan tersebut antara lain tentang mengenali
gejala penyakit, memilih produk sesuai dengan indikasi dari penyakit, mengikuti
petunjuk yang tertera pada etiket brosur, memantau hasil terapi dan kemungkinan
efek samping yang ada (Maharni, dkk, 2015).
Apotek sebagai sarana kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk
mendapatkan obat.Menurut Peraturan Pemerintah (PP) 51 Tahun 2009, Apotek
merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh
Apoteker. Perkembangan yang pesat telah terjadi di apotek dengan bergesernya
orientasi seorang apoteker dari Product atau drugoriented menjadi patient oriented,
yang bertujuan membantu pasien memperoleh dan menggunakan obat yang tepat
(Depkes RI, 2009).
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Juni-Juli 2017 di 3 Apotek
wilayah Tamalanrea Jaya terhadap 90 orang responden yang dipilih berdasarkan
16
sampling kuota, diperoleh data mengenai Gambaran pengobatan sendiri masyarakat
dengan menggunakan model keamanan pengobatan.
Bedasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh jawaban responden
mengenai gambaran pengobatan sendiri masyarakat dengan menggunakan model
keamanan pengobatan menunjukkan bahwa sebagian besar responden dinyatakan
aman melakukan pengobatan sendiri (83,33%).
4. Persepsi, Pengetahuan, dan Sikap tentang Obat pada Siswa Sekolah
Menengah Atas (SMA) di Kota Pariaman, Sumatera Barat
17
Penggunaan obat yang tidak rasional sudah tentu memberikan dampak negatif
yang sangat besar baik dampak klinik maupun dampak ekonomi.Yang paling
mengkhawatirkan adalah terkait penggunaan antibiotik yang tidak rasional yang
memberi andil yang sangat besar terjadinya resistensi antibiotik.
Instrumen kuesioner yang dipakai diuji validitas dan realibilitasnya terlebih
dahulu kepada 30 orang responden dengan kriteria yang samadengan sampel yang
akan dipilih. Berdasarkan analisis statistik terhadap data yang diperoleh, semua item
pertanyaan valid dan reabel dengan nilai pearson correlation > 0,361 dan alpha
Cronbach’s > 0,6.
Distribusi karakteristik responden meliputi umur, jenis kelamin, kelas, jurusan,
alamat rumah (kota atau desa) dan keterlibatan ada atau tidaknya salah seorang
keluarga bekerja di bidang kesehatan. Dari hasil analisis data yang diperoleh
karakteristik responden yaitu umumnya responden berumur 17 tahun (51,1%) dengan
jenis kelamin perempuan 58,1% dan laki-laki 41,9%. Responden terbanyak berada di
kelas XI (70,8%) dengan proporsi dari jurusan IPA paling banyak yaitu 53,2%.
Umumnya responden tinggal di kota (60,3%). dan hanya 35,7% yang memiliki
keluarga bekerja di bidang kesehatan.
Gambaran persepsi responden tentang efek yang berbahaya dari obat
menunjukkan 63,8% responden menyatakan bahwa obat tidak berbahaya bagi
kesehatan. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan karena persepsi yang keliru seperti
ini dapat menjerumuskan siswa untuk menggunakan obat secara ilegal. Hasil yang
berbeda ditunjukkan oleh siswa SMP di Ethiopia, 74,2% setuju dengan pernyataan
kehatihatian terhadap bahaya dari obat OTC dan hampir 75% memiliki pengetahuan
yang baik tentang bahaya obat.
Sedangkan gambaran pengetahuan responden tentang pengaruh formulasi
terhadap efikasi/efektivitas obat memberikan hasil yang sangat rendah untuk semua
item pertenyaan dimana 32,2% - 46,6% responden yang hanya menjawab benar.
Mereka berpendapat bahwa rasa, ukuran, bentuk dan warna sediaan mempengaruhi
khasiat/efektivitas obat. Hasil yang sama juga diperoleh oleh A.S. Eldalo.
Pengetahuan yang salah seperti ini mungkin disebabkan oleh masih rendahnya
18
pemahaman responden terhadap obat. Hal yang sama juga ditemukan pada remaja
15–20 tahun di Saudi Arabia, hanya 15,4% dari responden yang mengetahui
penggunaan obat yang benar. Pengetahuan tentang obat yang cukup tinggi
ditunjukkan oleh remaja di Malta, namun persepsi mereka tentang penggunaan obat
menunjukkan hal yang sama dengan peneltian ini.
Untuk aspek sikap, secara keseluruhan juga memberikan hasil yang positif
dengan jumlah responden yang menjawab benar diatas 93% responden, kecuali untuk
item pentingnya menceritakan riwayat obat ke dokter yaitu 68,8%. Hasil yang mirip
juga ditunjukkan pada penelitian A.S. Eldalo.
Berdasarkan hasil kategorisasi variabel, diperoleh hasil bahwa persepsi siswa
terhadap keamanan obat dikategorikan tinggi (95,5%), siswa bersikap positif terhadap
obat (60,3%) namun memiliki pengetahuan yang kurang (74,8%).Hasil uji bivariat
antara karakteristik dengan tingkat persepsi, pengetahuan dan sikap menunjukan tidak
adanya hubungan yang bermakna antar variabelnya, kecuali alamattinggal (kota atau
desa) dengan pengetahuan.Responden yang tinggal di kota memiliki pengetahuan
yang berbeda secara bermakna dengan yang tinggal di desa (P<0,05), dimana
responden yang tinggal di kota memiliki pengetahuan yang lebih tinggi daripada yang
tinggal di desa.
Dari hasil di atas terlihat bahwa pentingnya diberikan pendidikan obat kepada
siswa di sekolah, karena siswa merupakan kelompok yang potensial menggunakan
obat terutama OTC untuk swamedikasi. Peneltian di Mafraq, Jordania, memunjukkan
bahwa b7% siswa SD dan SMP di sana telah pernah menggunakan OTC. Penelitian
yang sama di Arab Saudi pada siswa SMA (termasuk mahasiswa) sekitar 80%
responden melakukan praktek swamedikasi terutama saat ujian.
5. Tingkat Penggunaan Dan Kesadaran Masyarakat Dalam Konsumsi Obat
Tradisional Di Wilayah Kerja Puskesmas Gombong
Bangsa Indonesia telah lama memanfaatkan tanaman sebagai sarana pengobatan.
Obat tradisional merupakan suatu pengobatan yang memanfaatkan tanaman dimana
tela digunakan dari secara turun menurun. Penggunaan obat tradisional secara umum
dinilai lebih aman dibandingkan dengan obat modern. Akan tetapi hal tersebut tentu
19
saja harus disertai dengan cara penggunaan obat tradisional yang tepat untuk
menjamin manfaat dan keamanannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui tingkat penggunaan dan kesadaran dalam konsumsi obat tradisional
khusunya di wilayah kerja Puskesmas Gombong 2 yang terdiri dari 9 desa. Penelitian
ini merupakan penelitian non eksperimental dan bersifat deskriptif yang
menggunakan angket (kuisioner).
Responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini sejumlah 242 orang.
Karakteristik responden yang mengikuti penelitian ini adalah mayoritas perempuan
(59,50%), berpendidikan terakhir SD (33,47%), pekerjaan sebagai ibu rumah tangga
(33,06%), masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Gombong 2 yang memilih
pengobatan dengan obat tradisional (42,97%), dasar pemilihan penggunaan obat
tradisional bersumber dari teman, saudara dan tetangga sebesar 42,31%, dan semua
responden merasakan manfaat serta khasiat dari obat tradisional. Obat tradisional
akan bermanfaat dan aman jika digunakan dengan tepat baik takaran, waktu dan cara
penggunaannya, pemilihan bahan serta penyesuaian dengan indikasi tertentu. Obat
tradisional memiliki suatu mekanisme yang dapat digunakan sebagai penangkal atau
dapat menentralkan apabila terjadi efek samping yang dikenal dengan SEES (Side
Effect EleminatingSubtaned). Dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa
mayoritas masyarakat telah mengetahui keamanan obat tradisional (67,36%) akan
tetapi sumber informasi didapatkan dari teman, saudara dan tetangga. Sehingga
diperlukan kegiatan penyuluhan tentang manfaat dan keamanan serta penggunaan
obat tradisional yang baik dan tepat.
20
masyarakat.Riset kesehatan dasar 2010 menyebutkan bahwa 59,12% penduduk
semua kelompok umur, laki-laki dan perempuan baik di pedesaan maupun perkotaan
menggunakan jamu, yang merupakan produk obat tradisional asli Indonesia.
Berdasarkan riset tersebut, 95,60% merasakan manfaat jamu. Dari berbagai kekayaan
aneka Riset kesehatan dasar 2010 menyebutkan bahwa 59,12% penduduk semua
kelompok umur, laki-laki dan perempuan baik di pedesaan maupun perkotaan
menggunakan jamu, yang merupakan produk obat tradisional asli Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sinkronisasi pengaturan tanggung
jawab hukum produsen obat tradisional terhadap keamanan obat tradisional bagi
pasien dan bentuk tanggung jawab hukum produsen obat tradisional terhadap
keamanan obat tradisional bagi pasien.Penelitian ini menggunakan metode penelitian
yuridis normatif.Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan
perundang-undangan (Statue Approach), pendekatan analitis (Analytical Approach)
dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach).Dengan spesifikasi penelitian
inventarisasi peraturan perundang-undangan, sinkronisasi hukum, dan penemuan
hukum in concreto.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa pengaturan
tanggung jawab hukum produsen obat tradisional terhadap keamanan obat tradisional
bagi pasien telah menunjukkan taraf sinkronisasi.Artinya, peraturan yang lebih
rendah derajatnya telah sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya dan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya telah menjadi dasar pembentukan peraturan
yang lebih rendah. Bentuk tanggung jawab hukum produsen obat tradisional terhadap
keamanan obat tradisional bagi pasien meliputi: tanggung jawab mengganti kerugian
yang merupakan tanggung jawab dari hukum perdata. Tanggung jawab menjalankan
sanksi pidana berupa pidana penjara dan denda sesuai dengan apa yang sudah
tercantum dalam peraturan tersebut. Tanggung jawab menjalankan sanksi
administratif berupa peringatan, peringatan keras, perintah penarikan produk dari
peredaran, pengentian sementara dari kegiatan, atau pencabutan izin industri dan izin
usaha, teguran lisan serta teguran tertulis.
21
7. Gambaran Persepsi Ibu Hamil Tentang Keamanan Obat Selama Kehamilan
di UPT Puskesmas Puter Kota Bandung
Selama kehamilan dan menyusui, seorang ibu dapat mengalami berbagai keluhan
atau gangguan kesehatan yang membutuhkan obat. Banyak ibu hamil menggunakan
obat dan suplemen pada periode organogenesis sedang berlangsung yang
memungkinkan risiko terjadi cacat lahir janin lebih besar. Dalam 30 tahun terakhir,
jumlah wanita hamil yang mengkonsumsi obat-obatan telah meningkat lebih dari dua
kali dengan rasio 9 dari 10 wanit amenggunakan setidaknya mengkonsumsi satu obat
selama kehamilan. Penggunaan obat selama kehamilan kemungkinan dapat
menimbulkan efek yang merugikan baik untuk ibu maupun fetus.
Selama masa kehamilan, ibu dan janin adalah unit fungsi yang tak terpisahkan.
Survei WHO menunjukkan bahwa 86% wanita memperoleh obat-obatan selama
kehamilan. Beberapa obat dapat melintasi plasenta sehingga dapat mempengaruhi
janin. Oleh karena itu, penggunaan obat pada ibu hamil perlu mendapatkan perhatian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran persepsi ibu hamil terhadap
keamanan obat-obatan selama kehamilan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian survey, yaitu data
penelitian yang di ambil populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat
pengumpul data yang pokok. Pengambilan data primer dilakukan secara
crosssectional dengan skala Likert. Berdasarkan analisis Three Box Method,
gambaran persepsi ibu hamil tentang keamanan obat yang digunakan selama masa
kehamilan di UPT Puskesmas Puter Kota Bandung sudah dalam kategori sedang
(baik). Hal tersebut dapat terjadi karena 73% responden telah memiliki pengalaman
dan pengetahuan dari kehamilan sebelumnya (bukan hamil anak pertama). Persepsi
ibu hamil sangat baik terhadap pernyataan “obat yang diberikan. Hasil penelitian ini
mendukung bahwa sumber informasi yang bisa diakses berasal dari dokter, brosur
informasi obat dan apoteker
22
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Masih ada petugas yang tidak melakukan double check pada obat yang akan
diberikan kepada pasien dan, masih terdapat 2 SKP yang belum sesuai, yakni
Kepatuhan Petugas Melakukan Double Check High Alert dikarenakan
komitmen perawat yang kurang.
2. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasaan yang telah dilakukan maka
ditarik kesimpulan bahwa gambaran pengobatan sendiri masyarakat
menggunakan model keamanan pengobatan tergolong aman yaitu sebesar
83,33%.
3. Persepsi siswa terhadap keamanan obat dikategorikan tinggi (95,5%), siswa
bersikap positif terhadap obat (60,3%) namun memiliki pengetahuan yang
kurang (74,8%). Alamat rumah responden yaitu tinggal di kota atau desa
memiliki hubungan yang bermakna dengan tingkat pengetahuan. Siswa yang
tinggal di kota memiliki pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
siswa yang tinggal di desa. Terdapat hubungan antara persepsi dengan sikap
(P<0,05), namun tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan tingkat
persepsi (P>0,05) dan antara pengetahuan dengan sikap (P>0,05). Oleh sebab
itu, perlu diberikan pendidikan obat kepada siswa sejak dini terutama untuk
siswa SMA.
3.2. Saran
23
DAFTAR PUSTAKA
Dewi An, Septo Pawelas Arso, Eka Yunila Fatmasari. 2019. Analisis Pelaksanaan
Program Keselamatan Pasien Di Unit Rawat Inap Rs Wava Husada
Kabupaten Malang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (E-Journal). 7(1): 2356-
3346
Kiromah Nzw, Tri Cahyani Widiastuti, Dkk. 2019. Tingkat Penggunaan Dan
Kesadaran Masyarakat Dalam Konsumsi Obat Tradisional Di Wilayah
Kerja Puskesmas Gombong. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan. (15)1:
47-53.
Suryani Nani, Nayla Alawiya, Dan Ulil Afwa. Tanggung Jawab Hukum Produsen
Obat Tradisional Terhadap Keamanan Obat Tradisional Bagi Pasien. S.L.R
Vol.3 (No.3) : 463-476
Syofyan, Habibie Deswilyaz Ghiffari, & Erizal Zaini. 2017. Persepsi, Pengetahuan,
Dan Sikap Tentang Obat Pada Siswa Sekolah Menengah Atas (Sma) Di Kota
Pariaman, Sumatera Barat. Jurnal Sains F Armasi & Klinis, 4(2), 83–87
24
Pengunaan Obat Yang Benar. Journal of Science and Social Development,
Vol. 1(2).
25