Tauhid Sebagai Fondasi Ekonomi Islam
Tauhid Sebagai Fondasi Ekonomi Islam
Tauhid Sebagai Fondasi Ekonomi Islam
Makalah
Ditulis Untuk Memenuhi Mata Kuliah
Filsafat Ekonomi Islam
Oleh:
JOHARUL FATHONI NIM: 203206060015
FIKA HIDAYATUL MAULA NIM: 203206060011
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tauhid ................................................................................. 3
B. Pentingnya Tauhid dalam Ekonomi Islam ............................................. 4
C. Implementasi Tauhid dalam Ekonomi Islam ......................................... 7
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 ..................................................................................................... 6
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ekonomi Islam dibangun atas dasar agama Islam, karenanya ia
merupakan bagian tak terpisahkan (integral) dari agama Islam. Sebagai
derivasi dari agama Islam, ekonomi Islam akan mengikuti agama Islam dalam
berbagai aspeknya. Islam adalah sistem kehidupan (way of life), di mana
Islam telah menyediakan berbagai perangkat aturan yang lengkap bagi
kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi. Beberapa aturan ini
bersifat pasti dan berlaku permanen, sementara beberapa yang bersifat
kontekstual sesuai dengan situasi dan kondisi. 1
Dalam ekonomi Islam, nilai-nilai ekonomi bersumber dari al-Qur’an
dan hadits. Inilah yang menjadi poin dasar perbedaan antara sistem ekonomi
Islam dengan sistem ekonomi lainnya yaitu pada falsafahnya, yang terdiri dari
nilai-nilai dan tujuan. Di saat sistem ekonomi lain hanya terfokus pada hukum
dan sebab akibat dari suatu kegiatan ekonomi, Islam lebih jauh membahas
nilai-nilai dan etika yang terkandung dalam setiap kegiatan ekonomi tersebut.
Nilai-nilai inilah yang selalu mendasari setiap kegiatan ekonomi Islam.
Bangunan ekonomi Islam didasarkan pada fondasi utama (ontologi), dari
fondasi ini muncul berbagai prinsip derivatif sebagai pilar ekonomi Islam
yaitu tauhid, syariah dan akhlak. 2
Adapun hakikat tauhid dalam Islam itu sebenarnya adalah penyerahan
diri yang bulat kepada kehendak Allah, baik menyangkut ibadah maupun
muamalah, dalam rangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT. Tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan aktifitas
umat Islam, baik dalam ibadah, seperti shalat, puasa, membayar zakat, haji,
dan sebagainya, juga dalam bermuamalah, seperti dalam hal ekonomi, politik,
1
Muhammad Arif, Filsafat Ekonomi Islam, http://repository.uinsu.ac.id/4592/, 13.
2
Elida Elfi Barus, Tauhid Sebagai Fundamental Filsafah Ekonomi Islam, Jurnal Perspektif
Ekonomi Darussalam, Vol. 2 No. 1, Maret 2016, 70.
1
sosial maupun budaya. 3 Sedangkan pengamalan syariah dan akhlak
merupakan refleksi dari tauhid. Sehingga apabila landasan tauhidnya tidak
kokoh, akan mengakibatkan implementasi syariah dan akhlak menjadi
terganggu. Oleh karena itu dibutuhkan sumber segala ilmu yang dijadikan
sebagai landasan dalam menentukan aktivitas ekonomi yaitu al-Qur’an dan
hadits sebagai sumber primer dan pemikiran para ulama atau cendikiawan
ekonomi Islam sebagai sumber pendukung yang dikenal dengan epistimologi.
Dasar syariah membimbing aktivitas ekonomi, sehingga sesuai dengan
kaidah-kaidah syariah. Sedangkan akhlak membimbing aktivitas ekonomi
manusia agar senantiasa mengedepankan moralitas dan etika untuk mencapai
tujuan. Akhlah yang terpancar dari iman akan membentuk integritas yang
membentuk good corporate governance dalam mengembangkan
pembangunan ekonomi dan market discipline yang baik seperti bebas riba
dari semua aktivitas ekonomi, konsep bagi hasil, perbankan syariah dan zakat
(Aksiologi).4
Berdasarkan uraian di atas, maka makalah ini akan menjelaskan
tentang “Tauhid sebagai Fondasi Ekonomi Islam” agar kita mengetahui
bahwa ketauhidan merupakan fondasi utama dalam kegiatan ekonomi Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari tauhid?
2. Mengapa tauhid menjadi suatu yang penting dalam ekonomi Islam?
3. Bagaimana implementasi tauhid dalam ekonomi Islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perngertian dari tauhid.
2. Untuk mengetahui pentingnya tauhid dalam ekonomi Islam.
3. Untuk mengetahui implementasi tauhid dalam ekonomi Islam.
3
Ifdlolul Maghfur, Membangun Ekonomi dengan Prinsip Tauhid, Jurnal Malia, Vol. 7 No. 2, Juni
2016, 214.
4
Barus, Tauhid Sebagai Fundamental..., 71.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tauhid
Tauhid dalam beberapa sudut pandang memiliki inti yang sama yaitu
menyanikini bahwa tiada tuhan yang wajib disembah kecuali Allah, namun
ketika dilihat dalam pemaparannya mengenai aqidah ashhāb al-hadīts dan ahl
al-sunnah, Al-Asy’ari menulis ”bahwa Allah SWT. Tuhan Yang Esa (Wahid),
Tunggal (Fard), Maha Mutlak (Shamad) tidak ada tuhan selain-Nya.”.
Pengertian tauhid menurut al-Asy’ari dielaborasi lebih lanjut oleh Ibn Furak,
yang meringkas pandangan pandangan al-Asy’ari, dengan menyatakan bahwa
makna wahid dan ahad adalah menyendiri yang berarti penafian terhadap
yang menyamai dalam dzat, perbuatan dan sifat, ”karena Dia dalam DzatNya
tidak terbagi, dalam Sifat-Nya tidak ada yang menyamai, dan dalam
pengaturan-Nya tidak ada sekutu”. Menegaskan bahwa makna tauhid adalah
meyakini keesaan Allah, yang penjelasannya ditujukan untuk membuktikan
secara argumentatif keesaan Allah SWT dan bahwa tidak ada Tuhan selain-
Nya. 5
Dalam membuktikan keesaan Allah SWT. al-Asy’ari menggunakan
argumentasi rasional yang didasari atas ayat Al Qur’an. Misalnya, ketika
menjabarkan konsep tauhid, al-Asy’ari terlebih dahulu mengutip surah al-
Ikhlas ayat 4 yang dilanjutkan dengan argumentasi rasional berdasarkan ayat
di atas. Dalam bukunya yang lain, al-Asy’ari memaparkan terlebih dahulu
pembuktian mengenai keesaan Allah SWT dan kemudian diakhiri dengan
kutipan surah al-Anbiya’ ayat 22.6 Pendekatan yang digunakan al-Asy’ari
dalam memaparkan argumentasi pembuktian tauhid dan aspek aqidah yang
lain, dengan demikian, menggabungkan dalil tekstual dan penalaran rasional.
Suatu hal yang kemudian menjadi ciri pengikutnya.
5
Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan bin Furak, Mujarrad Maqālāt al-Syaikh Abī
al-H}asan al-Asy‘āri, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1978), 55.
6
Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, Kitab al-Luma‘ f al-Radd ‘ala..., 20-21.
3
Penjabaran al-Asy’ari mengenai konsep tauhid dapat dibagi ke dalam
tiga aspek; Dzāt, S}ifāt dan Af‘āl (perbuatan). Yang pertama bermakna
bahwa Allah SWT. Esa dalam dzat-Nya dan tidak menyerupai sesuatu apapun
selain-Nya. Yang kedua adalah tawhid al-shifāt, yang berarti bahwa sifat
ketuhanan adalah sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an dan Hadis, yang
afrmasi terhadapnya sama sekali tidak menimbulkan penyerupaan (tasybīh),
karena Sifat-Nya tidak seperti sifat makhluk, sebagaimana Dzat-Nya tidak
seperti dzat makhluk. Selanjutnya adalah tawhīd al-af‘āl, yang mengandung
pengertian bahwa yang pencipta segala sesuatu adalah Allah SWT. dan
bahwa perbuatan makhluk diciptakan oleh-Nya.7
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tauhid dalam pandangan
al-Asy’ari bermakna mengesakan Allah SWT. dalam Dzat, Sifat dan
Perbuatan-Nya. Artinya bahwa Allah adalah Maha Esa dalam dalam berbagai
dimensi dari ketiga aspek tadi. Argumen yang digunakan al-Asy’ari
didasarkan atas ayat al-Qur’an maupun Hadist yang dielaborasi secara
rasional.
7
Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, Risālah ilā Ahl al-Tsaghīr…, 212
4
٤ وع َو َءا َمنَ ُهم م ۡن خ َۡو ِۢف ۡ َ َّ ۡ َٰ ْ ۡ
ٖ ٱلذي أط َع َم ُهم من ُج٣ فَل َيعۡ بُدُوا َربَّ َهذَا ٱل َب ۡيت
“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini
(Ka´bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk
menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”.8
8
Al-Qur’an, 106: 3-4.
9
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab – Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), 236.
10
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat
(Bandung: Mizan, 1996), 134.
11
Barus, Tauhid Sebagai Fundamental..., 76.
12
Abdul Jalil, Spiritual Entrepreneurship: Transformasi Spiritual Kewirausahaan (Yogyakarta:
LkiS, 2013), 29-30.
5
Gambar 2.1 Piramida Hubungan Antara Manusia, Alam dan Allah
Bagan piramida di atas menggambarkan bahwa manusia tidak bisa
lepas dengan lingkungan alam semesta dalam mencari penghidupan.
Hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan sekitar dapat
dikategorikan sebagai aktivitas ekonomi dalam rangka mencapai pemenuhan
kebutuhan hidup. Aktivitas ekonomi tersebut harus dilandasi oleh nilai-nilai
ruhiyah-ilahiyah yang agung agar bisa terkontrol dengan baik.13
Nilai ketauhidan (spiritualisme) dalam ekonomi Islam memiliki tiga
peran penting diantaranya: 14
1. Daya Kreasi
Manusia adalah makhluk spiritual yang berdimensi fisik. Sehingga aspek
spiritual membuat manusia mampu memahami pesan ilahi dan fisik
mampu mewujudkannya dalam tataran materi. Spiritual yang menyimpan
gelora idealisme, maka ia akan memberi kekuatan untuk mengadakan
dan menciptakan semua sarana dan materi untuk mewujudkan
idealismenya. Inilah yang kemudian mendorong pribadi seseorang untuk
menjadi pebisnis yang kreatif dan produktif.
13
Muslihun Muslim, Filsafat Ekonomi Islam: Melacak Akar Historis-Metodologis Ekonomi Islam
(Lombok: Pustaka Lombok, 2019), 109.
14
Jalil, Spiritual Entrepreneurship..., 35-36.
6
2. Fungsi Kontrol
Kesadaran spiritual akan menghindarkan manusia dari jebakan kesalahan
yang dapat menghalanginya dari rezeki. Pada saat materi yang berlimpah,
spiritualitas bisnis akan mencegah pelakunya dari arogansi diri, karena
keberhasilan bisnisnya bukanlah karena keunggulan dirinya, melainkan
karena berkah dan rahmat dari Allah. Kekuatan spiritual membuat bisnis
berjalan dengan penuh moral karena spiritual mengutamakan keberkahan
dari pada keuntungan, dan mengutamakan kemuliaan dari pada
kemenangan.
3. Stabilisator
Spiritual bisnis menyadarkan pelakunya untuk melibatkan kehadiran
Allah mulai dari permulaan bisnis, proses, dan hasilnya. Dengan kata lain
menanamkan bahwa motif bisnis yang ia kerjakan adalah karena Allah,
dan dalam prosesnya harus sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah, dan segala
hasilnya mesti disyukuri dan dievalusi untuk perbaikan yang akan
datang. Maka tidak ada kata rugi dalam kacamata spiritual bisnis.
Berdasarkan uraian di atas, maka penting adanya nilai ketauhidan
dalam kegiatan ekonomi, agar manusia dalam mencapai kebutuhan ekonomi
dapat terkontrol dengan baik. Karena pada hakikatnya manusia memang
diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu segala aktivitas
manusia dalam hubungannya dengan alam (sumber daya) dan manusia
(mu’amalah) dibingkai dengan kerangka hubungan dengan Allah. Karena
kepada-Nya kita akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita,
termasuk aktivitas ekonomi.
7
akhirat kelak. 15 Bekerja dalam Islam tidak hanya diartikan sebagai upaya
mencari nafkah, baik bagi dirinya, keluarga, kerabat maupun orang lain,
tetapi lebih dari itu bekerja memiliki nilai ibadah dalam Islam. Bahkan
membuang duri di jalan pun yang dalam konteks duniawi dipahami sebagai
bentuk penyelamatan diri dan masyarakat, namun dalam konteks Islam hal ini
bernilai ibadah. 16 Implikasinya adalah manusia harus menggunakannya dalam
kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
Hubungan antara ekonomi Islam dan ketauhidan sebenarnya sudah
cukup jelas. Karena itulah yang telah dicontohkan oleh nabi Muhammad
SAW. dan para sahabat. Beliau tidak pernah memisahkan antara kegiatan
ekonomi dengan nilai-nilai ketauhidan, dan juga tidak pernah mendikotomi
antara masjid dan pasar. Allah juga menjelaskan tentang perintah bekerja
yang menjadi satu atap dengan sholat dan dzikir, sebagaimana yang
disebutkan dalam surah al-Jumu’ah ayat 10:
Poin dzikir dengan rezeki ini mendapat perhatian khusus dalam al-
Qur’an, salah satunya dalam surah at-Thalaq ayat 3:
ُ ُۚ ث ََل يَ ۡحتَس
َ َّ ب َو َمن يَتَ َو َّك ۡل َعلَى ٱ َّّلل فَ ُه َو َح ۡسبُ ُۚهۥُ إ َّن ٱ
ّلل َٰبَل ُغ أَمۡ رۦُۚه ُ َويَ ۡر ُز ۡقهُ م ۡن َح ۡي
٣ قَ ۡد َجعَ َل ٱ َّّللُ ل ُكل ش َۡي ٖء قَ ۡد ٗرا
“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan
urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah
mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”.18
15
Barus, Tauhid Sebagai Fundamental..., 77
16
Jalil, Spiritual Entrepreneurship..., 71.
17
Al-Qur’an, 62: 10.
18
Al-Qur’an, 65: 3.
8
Ayat ini semakin menguatkan bahwa ada hubungan yang linier antara
tawakal dan rezeki, bahwa Allah memberi rezeki kepada mereka yang
bertawakal. Berusaha memaksimalkan dan menyerahkan hasilnya kepada
Allah yang Maha menetukan rezeki. Tidak hanya tawakal, tapi ada aktivitas
spiritual lain seperti bertakwa, istighfar dan bersyukur yang dapat
mendatangkan kemudahan dalam bisnis dan rezeki.
Hubungan antara tauhid dan ekonomi Islam ini memang benar adanya,
karena secara logika Allah lah yang menciptakan alam, Allah pula yang
memerintahkan manusia untuk bekerja dan memberikan arahan etika dalam
bekerja (contohnya harus bersifat jujur, amanah, tidak berunsur riba, tidak
menipu, dan lain-lain), maka setelah semua itu Allah pun menentukan hasil
usaha makhluknya. Dari sini terlihat adanya sinergi di balik ketentuan
tersebut, sehingga jelas ketika dikatakan ada hubungan fundamental dalam
19
pandangan hidup antara tauhid dan kegiatan ekonomi.
19
Jalil, Spiritual Entrepreneurship..., 33-34.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tauhid dalam pandangan al-Asy’ari bermakna mengesakan Allah SWT.
dalam Dzat, Sifat dan Perbuatan-Nya. Artinya bahwa Allah adalah Maha
Esa dalam dalam berbagai dimensi dari ketiga aspek tadi. Argumen yang
digunakan al-Asy’ari didasarkan atas ayat al-Qur’an maupun Hadist yang
dielaborasi secara rasional.
2. Ada tiga peran penting tauhid dalam ekonomi Islam yaitu: daya kreasi,
fungsi kontrol, dan stabilisator. Nilai ketauhidan penting dalam kegiatan
ekonomi, agar manusia dalam mencapai kebutuhan ekonomi dapat
terkontrol dengan baik. Karena pada hakikatnya manusia memang
diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu segala aktivitas
manusia dalam hubungannya dengan alam (sumber daya) dan manusia
(mu’amalah) dibingkai dengan kerangka hubungan dengan Allah. Karena
kepada-Nya kita akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita,
termasuk aktivitas ekonomi.
3. Bekerja dalam Islam tidak hanya diartikan sebagai upaya mencari nafkah,
baik bagi dirinya, keluarga, kerabat maupun orang lain, tetapi lebih dari
itu bekerja memiliki nilai ibadah dalam Islam. Bahkan membuang duri di
jalan pun yang dalam konteks duniawi dipahami sebagai bentuk
penyelamatan diri dan masyarakat, namun dalam konteks Islam hal ini
bernilai ibadah. Implikasinya adalah manusia harus menggunakannya
dalam kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Hubungan
antara ekonomi Islam dan ketauhidan sebenarnya sudah cukup jelas.
Karena itulah yang telah dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW. dan
para sahabat (seperti bersifat jujur, amanah, menjauhi riba, tidak menipu,
dan lain-lain).
10
B. Saran
1. Makalah ini merupakan penulisan yang terbatas dan jauh dari kata
sempurna, karena itu diharapkan penelitian terkait dapat diperluas
cakupannya dan diperdalam pembahasannya, sehingga dapat
memperkaya khazanah pengetahuan dan menjadi rujukan yang
terpercaya.
11
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim.
Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari. t.t. Kitab al-Luma‘ f al-Radd ‘ala Ahl al
Hasan al-Ash’ari Jakarta: DKI Ilmiah.
Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan bin Furak. 1978. Mujarrad Maqālāt al-Syaikh
Abī al-H}asan al-Asy‘āri Beirut: Dar al-Masyriq.
Barus, Elida Elfi. Tauhid Sebagai Fundamental Filsafah Ekonomi Islam, Jurnal
Perspektif Ekonomi Darussalam, Vol. 2 No. 1, Maret 2016, 69-79.
12