Jiptummpp GDL Chikoanggi 48638 3 Bab2
Jiptummpp GDL Chikoanggi 48638 3 Bab2
Jiptummpp GDL Chikoanggi 48638 3 Bab2
TINJAUAN PUSTAKA
6
7
Tanaman jarak pagar memiliki beberapa nama daerah antara lain nawaih
nawas (NAD), jirak (Sumatera Barat), jarak kosta, jarak kusta, jarak budeg, dan
kalake pagar (Sunda), Jarak gundul, jarak cina, jarak iri, dan jarak pager (Jawa),
kalekhe paghar (Madura), jarak pager (Bali), lulu nau, lulu ai, fula, paku luba,
paku lunat, dan jarak pageh (Nusa Tenggara), paku kase (Timor), kuman nema
(Alor), lulunan (Roti), jarak kosta, jarak wolanda, tondoutomene, dan bindalo
(Sulawesi), bintalo (Gorontalo), balacai (Manado), peleng kaliki (Bugis), tangang
tangang kali atau tangang kanjoli (Makasar), muun mav, ai huwa kamala, ai
kamala, ai hua kamaalo, jai huakamalo, balacai, dan kadoto (Maluku), malate dan
makamale (Seram), balacai (Halmahera), serta balacai hisa (Ternate atau Tidore)
(Prihandana dan Hendroko, 2006).
bergerigi. Tulang daun menjari dan panjang tangkai daun sekitar 4-15 cm. Bunga
tanaman jarak merupakan bunga yang majemuk. Bunganya berwarna kuning
kehijauan (Nurcholis dan Sumarsih, 2007).
Prihandana dan Hendroko (2006), menyatakan bahwa buah jarak pagar
berbentuk oval dan berdiameter 2-4 cm. Berwarna hijau ketika masih muda dan
kuning jika sudah matang. Buah jarak pagar matang tidak serentak. Perbanyakan
tanaman jarak pagar dapat dilakukan secara generatif menggunakan benih maupun
secara vegetatif dengan stek batang. Benih mempunyai 5 akar tunggang, dari
masing-masing akar tunggang akan muncul akar lateral. Tanaman jarak pagar yang
diperbanyak menggunakan stek batang hanya mempunyai akar lateral (Nurcholis
dan Sumarsih, 2007).
Klasifikasi dari tanaman Moringa oleifera adalah sebagai berikut (BPOM RI,
2008):
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
10
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Capparales
Suku : Moringaceae
Marga : Moringa
Spesies : Moringa oleifera Lam.
atau miring, cenderung tumbuh lurus dan memanjang. Daun majemuk, bertangkai
panjang, tersusun berseling, daun saat muda berwarna hijau muda. Buah berbentuk
panjang persegi tiga, panjang 20-60 cm, buah muda berwarna hijau, setelah tua
menjadi coklat, bentuk biji bulat, berwarna coklat kehitaman. Akar tunggang,
berwarna putih membesar seperti lobak.
seperti pengobatan infeksi bakteri, jamur, penyakit menular seksual, malnutrisi, dan
diare (Fahey, 2005). Daun Moringa oleifera juga dapat dimanfaatkan sebagai
makanan pokok (Hidayati, 2009). Hasil penelitian Kristina dan Syahid dalam Warta
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri (2014), menyatakan bahwa daun
Moringa oleifera dapat meningkatkan produksi ASI bagi wanita yang sedang
menyusui dan mengatasi anemia pada anak-anak dan ibu hamil dengan cara
mengkonsumsi daun baik dikukus atau direbus, dapat juga menggunakan tepung
kelor untuk dibuat minuman. Selain itu, bermanfaat juga sebagai antiinflamasi,
antihipertensi, antitumor, antioksidan, antipiretik, antiulkus, antiepilepsi, diuretik,
menurunkan kolesterol, antidiabetes dan aktivitas hepatoprotektif (Sharma et al.,
2012).
2.3.4 Terapi
Bakteri ini berbentuk batang, berukuran 0,4-0,7 x 1,0-3,0 μm, termasuk Gram
negatif, dapat hidup sendiri maupun berkelompok, tidak membentuk spora, serta
fakultatif anaerob (Tenailon et al., 2010). Struktur sel E. coli dikelilingi oleh
membran sel, terdiri dari sitoplasma yang mengandung nukleoprotein. Membran
sel E. coli ditutupi oleh dinding sel berlapis kapsul. Flagela dan pili E. coli menjulur
dari permukaan sel (Tizard, 2004).
Escherichia coli adalah bakteri yang sering ditemukan dalam usus manusia
dan hewan. Kebanyakan Escherichia coli tidak berbahaya dan merupakan bagian
penting saluran usus manusia. Namun, beberapa Escherichia coli adalah patogen,
karena dapat menyebabkan penyakit diare. Escherichia coli yang dapat
menyebabkan diare ditularkan melalui air, makanan yang terkontaminasi atau
melalui kontak dengan hewan atau orang (Center for Disease Control and
Prevention, 2015).
Traveler’s diarrhea adalah salah satu masalah kesehatan yang sering
mempengaruhi di negara berkembang dan daerah tropis yang disebabkan oleh
Enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC). ETEC merupakan penyebab diare akut
pada anak-anak dan orang dewasa, umumnya karena tidak cukupnya ketersediaan
air bersih dan kesehatan yang buruk (Qadri et al., 2005).
Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga sering terjadi dengan angka kematian
yang masih tinggi. Di Indonesia, pada tahun 2015 terjadi 18 kali KLB diare yang
tersebar di 11 provinsi, 18 kabupaten/kota dengan jumlah penderita 1213 orang dan
kematian 30 orang (CFR 2,47%). Angka kematian (CFR) saat KLB diare
diharapkan <1%. Dilihat rekapitulasi KLB diare dari tahun 2008-2015 terlihat
bahwa CFR saat KLB masih cukup tinggi (>1%), kecuali pada tahun 2011 (CFR
0,40%) (Kemenkes RI, 2016).
2.4.4 Terapi
penyakit yang paling umum disebabkan oleh bakteri Escherichia coli (Bauche dan
DuPont, 2011). Enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC) diidentifikasi sekitar 80%
dari kasus di seluruh dunia berkontribusi paling banyak pada kasus traveler’s
diarrhea (Goldsmid dan Leggat, 2007).
Terdapat tiga antibiotik yang telah menunjukkan efektivitas dalam
mengurangi durasi dan keparahan traveler’s diarrhea, yaitu fluorokuinolon
(siprofloksasin atau levofloksasin), rifaksimin, dan azitromisin. Fluorokuinolon
menjadi drug of choice untuk profilaksis dan pengobatan bakteri patogen penyebab
diare, tetapi meningkatnya resistensi menghalangi penggunaannya di masa depan
(Connor, 2012). Tingkat resistensi berkembang dari tahun 1998-2003 mencapai
hingga 58%. Azitromisin adalah antibiotik golongan makrolida yang
direkomendasikan untuk pengobatan mandiri (Saussure, 2009; DuPont, 2007).
Azitromisin memiliki tingkatan yang lebih tinggi pada aktivitasnya melawan ETEC
(DuPont, 2007). Rifaksimin berasal dari rifampisin telah disetujui untuk
pengobatan diare yang berusia lebih dari 12 tahun. Selain itu, antimotilitas seperti
loperamide (Imodium) dapat digunakan untuk mengurangi jumlah tinja sekitar
lebih dari 60%. Cairan oral seperti oralit juga sangat penting, karena dapat
mencegah dehidrasi. Jika tidak bisa minum cairan melalui oral untuk mencegah
dehidrasi, maka harus menerima cairan melalui intravena (Connor, 2012).
Escherichia coli sebesar 36,3 mm. Kehadiran alkaloid dalam ekstrak daun kelor
telah dilaporkan oleh Kubmarawa et al., (2007) dimana kehadiran alkaloid tersebut
berbeda dalam tingkatan pada pelarut dalam ekstraksi. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Ojiako (2014) didapatkan, bahwa dalam daun kelor mengandung
0,42% alkaloid yang memiliki daya hambat terhadap bakteri Staphylococcus aureus
sebesar 10 mm dan Escherichia coli sebesar 8 mm.
2.6.2 Flavonoid
2.6.3 Polifenol
2.6.4 Antrakuinon
Pada awal antibiotik digunakan, hanya ada sedikit spesies bakteri yang
resisten. Beberapa bakteri bersifat resisten secara intrinsik terhadap antibiotik
tertentu, maksudnya adalah sudah sejak awal kuman menunjukkan sifat ketahanan
terhadap antibiotik.
Uji kepekaan antimikroba menjadi penting, jika ada indikasi bahwa
mikroorganisme penyebab infeksi merupakan bagian dari kelompok kuman yang
resisten terhadap antibiotik yang umum digunakan dalam pengobatan. Alasan
dilakukan uji kepekaan antimikroba adalah untuk mendapatkan agen antimikroba
yang tepat untuk pengobatan penyakit infeksi tertentu (Soleha, 2015). Ada beberapa
metode uji kepekaan, tetapi metode yang paling sering digunakan adalah metode
difusi karena mempunyai keuntungan ekonomis dan sederhana (mudah dibuat)
(Farida, 2011).
Metode difusi dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu metode cakram kertas,
metode parit, dan metode lubang/sumuran.
1. Metode Cakram Kertas (Cara Kirby Bauer)
Pada metode cakram kertas digunakan suatu kertas cakram yang berfungsi
sebagai tempat menampung zat antimikroba. Kertas cakram tersebut kemudian
diletakkan pada lempeng agar yang telah diinokulasi mikroba uji, kemudian
diinkubasi pada waktu tertentu, sesuai dengan kondisi optimum dari mikroba uji
23
yaitu pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Pada metode difusi, penentuan aktivitas
didasarkan pada kemampuan difusi dari zat antimikroba dalam lempeng agar yang
telah diinokulasi dengan mikroba uji (Kusmayati dan Agustini, 2007).
Uji aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode difusi dan metode
pengenceran. Uji difusi cakram dilakukan dengan mengukur diameter zona bening
yang merupakan petunjuk adanya respon penghambatan pertumbuhan bakteri oleh
suatu senyawa antibakteri dalam ekstrak. Syarat jumlah bakteri untuk uji
kepekaan/sensitivitas yaitu 105-108 CFU/ml (Hermawan et al., 2007).
Menurut Ahn et al., (1994) respon penghambatan aktivitas antibakteri
dikelompokkan menjadi empat kategori sebagai berikut :
Tabel II. 4 Respon Penghambatan Aktivitas Antibakteri (Ahn et al., 1994)
yang akan diperoleh berupa ada tidaknya zona hambat yang akan terbentuk di
sekitar parit, interpretasi sama dengan cara Kirby Bauer (Bonang, 1992).
3. Cara Lubang/Sumuran
Pada lempeng agar yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji dibuat
suatu lubang yang selanjutnya diisi dengan zat antimikroba uji. Kemudian
setiap lubang itu diisi dengan zat uji. Setelah diinkubasi pada suhu 37°C selama
18-24 jam dilakukan pengamatan dengan melihat ada atau tidaknya zona hambatan
di sekeliling lubang (Bonang, 1992).
2.7.1 Metode Difusi Cakram
ditunjukkan dengan hasil biakkan yang tampak jernih. Kemudian, biakkan dari
semua tabung yang jernih diinokulasikan pada media agar padat, diinkubasikan dan
keesokan harinya diamati ada atau tidaknya bakteri yang tumbuh (Tim
Mikrobiologi FK UB, 2003).
Metode ini didasarkan atas difusi dari senyawa yang telah dipisahkan dengan
Kromatografi Lapis Tipis. Lempeng kromatografi tersebut ditempatkan di atas
permukaan media agar yang telah di inokulasikan dengan mikroorganisme yang
sensitif terhadap senyawa antimikroba yang dianalisis. Setelah 15-30 menit,
lempeng kromatografi tersebut dipindahkan dari permukaan medium. Senyawa
antimikroba yang telah berdifusi dari lempeng kromatogram ke dalam media agar
akan menghambat pertumbuhan bakteri setelah diinkubasi pada waktu dan suhu
yang tepat sampai noda menghambat pertumbuhan mikroorganisme uji tampak
pada permukaan membentuk zona yang jernih (Dewanjee et al., 2014).
2. Bioautografi Langsung (Deteksi KLT)
Bioautografi langsung merupakan dimana mikroorganismenya tumbuh
secara langsung diatas lempeng KLT. Prinsip kerja dari metode ini adalah suspensi
mikroorganisme uji dalam medium cair disemprotkan pada permukaan KLT yang
telah dihilangkan sisa-sisa eluen yang menempel pada lempeng kromatogram.
Setelah itu dilakukan inkubasi pada suhu dan waktu tertentu (Dewanjee et al.,
2014).
Senyawa dalam lempeng kromatogram dideteksi dengan sinar UV pada
panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Setelah diketahui letak dan jumlah
senyawa aktif yang terpisah atau terisolasi dengan timbulnya noda pada lempeng
KLT, selanjutnya di semprotkan suspensi bakteri uji sebanyak 5-6 ml di atas
permukaan lempeng KLT secara merata. Lempeng KLT diinkubasi 24 jam,
kemudian disemprot dengan 5 ml larutan Triphenyl Tetrazolium Chloride sejumlah
20 mg/ml serta Methyl Thiazole Tetrazolium (2,5 mg/ml) dan selanjutnya
diinkubasi kembali selama 4 jam pada suhu 37°C (Dewanjee et al., 2014).
3. Bioautografi Perendaman (Agar Overlay Bioautografi)
Bioautografi perendaman merupakan bioautografi yang dimana medium agar
telah diinokulasikan dengan suspensi bakteri dituang di atas lempeng KLT. Pada
prakteknya, metode ini dilakukan dengan lempeng kromatografi yang telah dieluasi
di letakkan dalam cawan petri, sehingga permukaan tertutup oleh medium agar
yang berfungsi sebagai base layer. Setelah base layernya memadat, dituangkan
medium yang telah disuspensikan mikroba uji yang berfungsi sebagai seed layer.
Kemudian diinkubasi pada suhu dan waktu yang sesuai (Dewanjee et al., 2014).
28
menunjukkan diameter zona hambat sebesar 16 mm, sedangkan ekstrak etanol daun
Moringa oleifera menunjukkan diameter zona hambat sebesar 8 mm pada
konsentrasi 100 mg/ml masing-masing. Ketika kedua tanaman dikombinasi
masing-masing dalam 100 mg/ml, aktivitas antibakteri meningkat dengan
menunjukkan diameter zona hambat sebesar 18 mm. Penelitian ini menggunakan
antibiotik siprofloksasin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol sebagai kontrol positif
dengan konsentrasi 10 mg/ml dengan diameter zona hambat siprofloksasin sebesar
10 mm, kotrimoksazol sebesar 8 mm, dan kloramfenikol sebesar 5 mm. Hasil Kadar
Hambat Minimal (KHM) pada Balanites aegyptiaca adalah 6,5 mg/ml, sedangkan
pada Moringa oleifera adalah 8 mg/ml.
Diketahui hasil skrining fitokimia dari Moringa oleifera, mengandung
senyawa alkaloid, saponin, tanin, dan fenol, sedangkan Balanites aegyptiaca
mengandung senyawa saponin, tanin, fenol, antrakuinon. Kehadiran kandungan
senyawa tersebut telah dilaporkan penggunaannya dalam tanaman sebagai aktivitas
antimikroba (Pretorius dan Watt, 2001).
Selain penelitian diatas, penelitian mengenai aktivitas antibakteri dengan
kombinasi ekstrak tanaman lainnya juga dilakukan oleh oleh Onyeagba et al.,
(2004), yaitu tentang efek antibakteri dari ekstrak bawang putih (Allium sativum
Linn), jahe (Zingiber officinale Roscoe), dan jus jeruk limau (Citrus aurantifolia
Linn). Pada konsentrasi 20 g/100 ml masing-masing ekstrak etanol tunggal bawang
putih dan jahe, tidak memberikan efek antibakteri dengan tidak terbentuknya
diameter zona hambat, sedangkan jus jeruk limau memberikan diameter zona
hambat pada Staphylococcus aureus sebesar 17 mm dan Escherichia coli sebesar
11 mm. Ketika dilakukan dikombinasi, ekstrak etanol bawang putih dan jus jeruk
limau memberikan diameter zona hambat pada Staphylococcus aureus sebesar 19
mm, sedangkan pada Escherichia coli memberikan diameter zona hambat sebesar
15 mm pada kombinasi ekstrak etanol jahe dan jus jeruk limau. Pada penelitian ini
menggunakan antibiotik trimethoprim sulfametoksazol (primpex) sebagai kontrol
positif. Kontrol positif memberikan diameter zona hambat pada Staphylococcus
aureus sebesar 35 mm, sedangkan pada Escherichia coli sebesar 9 mm.
Adanya penelitian tentang kombinasi ekstrak tanaman yang memiliki
aktivitas antibakteri, membuat produsen memiliki inisiatif untuk menciptakan
31
produk herbal yang terbuat dari kombinasi tanaman. Contoh produk herbal tersebut,
seperti cairan kumur dan telan Enkasari dari PT. Kimia Farma yang komposisinya
terdiri atas sari daun saga (Abrus precatorius Folia), daun sirih (Piper betle Folia),
akar kayu manis (Liquiritae Radix), dan mentholum yang memiliki khasiat untuk
membantu menyegarkan mulut, mengurangi bau mulut, dan membantu mengurangi
sariawan.
Daun saga (Abrus precatorius) menjadi salah satu komposisi dalam produk
cairan kumur dan telan Enkasari. Diketahui, bahwa daun saga merupakan tanaman
yang banyak digunakan secara tradisional sebagai obat. Berdasarkan penelitian Britto
et al., (2012), ekstrak metanol daun saga memiliki kandungan metabolit sekunder
steroid, triterpenoid, gula, alkaloid, fenol, flavonoid, dan tanin. Menurut Lewis dan
Ausubel (2006), tanaman yang kaya metabolit sekunder seperti tanin, alkaloid, dan
flavanoid yang ditemukan dengan cara in vitro memiliki aktivitas antibakteri. Hal
tersebut terbukti dengan penelitian Britto et al., (2012), dengan menggunakan metode
difusi cakram pada konsentrasi 10 g/100 ml daun saga memberikan diameter zona
hambat sebesar 20,30 mm pada bakteri Aeromonas hydrophila dimana bakteri ini
merupakan bakteri penyebab diare pada anak-anak. Tidak hanya itu, pada penelitian
Kalra dan Abhilasha (2013), ekstrak etanol batang dan kulit kayu Abrus precatorius
efektif untuk menghambat bakteri Staphylococcus aureus pada konsentrasi 20
μg/ml, Pseudomonas aeruginosa 54 μg/ml, dan Candida albicans 75 μg/ml. Selain
saga, daun sirih (Piper betle) juga menjadi salah satu komposisi dari produk ini.
Daun sirih secara umum telah dikenal masyarakat sebagai bahan obat tradisional
dan dikenal juga mempunyai aktivitas antibakteri. Kemampuan tersebut, karena
adanya kandungan 0,7-2,6% minyak atsiri yang sebagian besar terdiri dari
fenilpropana, kavikol, kavibekol, estragol, eugenol, metil eugenol, karvakol, sineol,
p-simol, terpinen, seskuiterpen, dan sekitar 0,8-1,8% berupa enzim diastase, tanin,
gula, dan amilum terpinen (Prayogo dan Sutaryadi, 1992).
Karvakol bersifat sebagai desinfektan dan antijamur, euganol dan metil
eugenol dapat digunakan untuk mengurangi sakit gigi (Syukur dan Hernani, 1999).
Menurut Mursito (2002), saponin dan tannin bersifat sebagai antiseptik pada
permukaan luka, bekerja sebagai bakteriostatik yang biasanya digunakan untuk
infeksi pada kulit, dan luka. Flavanoid berfungsi sebagai bakteriostatik dan anti
32