Buku Ajar Pemberdayaan
Buku Ajar Pemberdayaan
Buku Ajar Pemberdayaan
Penyusun
KATA PENGANTAR – ii
DAFTAR ISI – iii
DAFTAR TABEL - iv
Bab I
Konsep Dasar Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat -
Bab II
Unsur Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat –
Bab III
Pendekatan dalam Pengorganisasian Masyarakat –
Bab IV
Peran Fasilitator Beserta Fungsinya dalam Menjalankan
Kerjasama dalam Rangka Pengembangan dan Pemberdayaan
Masyarakat –
Bab V
Media Promosi Kesehatan dalam Pengembangan dan
Pemberdayaan Masyarakat –
Bab VI
Teknik Persiapan Sosial dan Pendekatan dalam Melakukan
Perubahan Sosial –
Bab VII
Perubahan Budaya –
Bab VIII
Partisipasi Masyarakat dalam Perubahan Sosial –
Bab IX
Partisipasi dari Perusahaan Melalui Program CSR dalam
Memberdayakan Masyarakat di Wilayah Kerja Perusahaan –
Bab X
Penutup - 152
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL iii
BAB I KONSEP DASAR PENGEMBANGAN
DAN PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
A. Pengembangan Masyarakat
Pengembangan masyarakat (community development)
merupakan wawasan dasar bersistem tentang asumsi
perubahan sosial terancang yang tepat dalam kurun waktu
tertentu. Sedangkan teori dasar pengembangan masyarakat
yang menonjol pada saat ini adalah teori ekologi dan teori
sumber daya manusia. Teori ekologi mengemukakan tentang
“batas pertumbuhan”. Untuk sumber-sumber yang tidak
dapat diperbarui perlu dikendalikan pertumbuhannya. Teori
ekologi menyarankan kebijaksanaan pertumbuhan diarahkan
sedemikian rupa sehingga dapat membekukan proses
pertumbuhan (zero growth) untuk produksi dan penduduk.
Teori sumber daya manusia memandang mutu penduduk
sebagai kunci pembangunan dan pengembangan masyarakat.
Banyak penduduk bukan beban pembangunan bila mutunya
tinggi. Pengembangan hakikat manusiawi hendaknya
menjadi arah pembangunan. Perbaikan mutu sumber daya
manusia akan menumbuhkan inisiatif dan kewirausahaan.
Teori sumber daya manusia diklasifikasikan ke dalam teori
yang menggunakan pendekatan yang fundamental (1).
Pengembangan Masyarakat ini memiliki sejarah panjang
dalam praktek pekerjaan sosial. Sebagai sebuah metode
pekerjaan sosial, pengembangan masyarakat memungkinkan
pemberi dan penerima pelayanan terlibat dalam proses
perencanaan, pengawasan dan evaluasi. Pengembangan
masyarakat meliputi berbagai pelayanan sosial yang berbasis
masyarakat mulai dari pelayanan preventif untuk anak-anak
sampai pelayanan kuratif dan pengembangan untuk keluarga
yang berpendapatan rendah (2).
Meskipun pengembangan masyarakat memiliki peran
penting dalam pekerjaan sosial, pengembangan masyarakat
belum sepenuhnya menjadi ciri khas praktek pekerjaan
sosial. pengembangan masyarakat masih menjadi bagian
F. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan menurut arti secara bahasa adalah
proses, cara, perbuatan membuat berdaya, yaitu kemampuan
untuk melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak yang
berupa akal, ikhtiar atau upaya (9). Masyarakat adalah
kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu
sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang
terikat oleh suatu rasa identitas bersama (10). Dalam
beberapa kajian mengenai pembangunan komunitas,
pemberdayaan masyarakat sering dimaknai sebagai upaya
untuk memberikan kekuasaan agar suara mereka didengar
guna memberikan kontribusi kepada perencanaan dan
keputusan yang mempengaruhi komunitasnya (11).
Pemberdayaan adalah proses transisi dari keadaan
ketidakberdayaan ke keadaan kontrol relatif atas kehidupan
seseorang, takdir, dan lingkungan (12).
Menurut Mubarak, pemberdayaan masyarakat dapat
diartikan sebagai upaya untuk memulihkan atau
meningkatkan kemampuan suatu komunitas untuk mampu
berbuat sesuai dengan harkat dan martabat mereka dalam
melaksanakan hak-hak dan tanggung jawabnya selaku
anggota masyarakat (13).
Pada pemberdayaan pendekatan proses lebih
memungkinkan pelaksanaan pembangunan yang
memanusiakan manusia. Dalam pandangan ini pelibatan
masyarakat dalam pembangunan lebih mengarah kepada
bentuk partisipasi, bukan dalam bentuk mobilisasi.
Partisipasi masyarakat dalam perumusan program membuat
masyarakat
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 10
tidak semata-mata berkedudukan sebagai konsumen
program, tetapi juga sebagai produsen karena telah ikut serta
terlibat dalam proses pembuatan dan perumusannya,
sehingga masyarakat merasa ikut memiliki program tersebut
dan mempunyai tanggung jawab bagi keberhasilannya serta
memiliki motivasi yang lebih bagi partisipasi pada tahap-
tahap berikutnya (14).
I. Peranan Teori
Teori dalam praktek pemberdayaan masyarakat
menggambarkan distribusi kekuasaan dan sumberdaya
dalam masyarakat, bagaimana fungsi fungsi organisasi dan
bagaimana sistem dalam masyarakat mempertahankan diri.
Teori di dalam pemberdayaan masyarakat mengandung
hubungan sebab dan pengaruh yang harus dapat di uji secara
empiris.
Hubungan sebab dan akibat/outcome yang terjadi karena
kejadian/aksi tertentu akan dapat memunculkan jenis
intervensi yang dapat digunakan oleh pekerja sosial/LSM
dalam memproduksi outcome. Dalam kerja sosial (social work),
kita dapat menggunakan teori untuk menentukan jenis
aksi/kegiatan atau intervensi yang dapat digunakan untuk
memproduksi outcome/hasil. Pada umumnya beberapa teori
digabung untuk memproduksi model outcome.
1. Teori Ketergantungan Kekuasaan (Power-Dependency)
Power merupakan kunci konsep untuk memahami proses
pemberdayaan. Pemikiran modern tentang kekuasaan
dimulai dalam tulisan-tulisan dari Nicollo Machiavelli (The
Prince , awal abad ke-16) dan Thomas Hobbes (Leviathan abad,
pertengahan-17). Tujuan dari kekuasaan adalah untuk
mencegah kelompok dari berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan dan juga untuk memperoleh
persetujuan pasif kelompok ini untuk situasi ini. Power
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari interaksi
sosial. Kekuasaan adalah fitur yang tidak terpisahkan dari
kehidupan sosial. Hal ini selalu menjadi bagian dari
Referensi
Referensi
Referensi
A. Peranan
Paul B. Horton dan Chester I. Huant dalam Miranti (2013)
mengartikan peranan sebagai perilaku yang diharapkan dari
seorang yang mempunyai suatu status. Mempelajari peranan
sekurang-kurangnya melibatkan 2 aspek yaitu : pertama, kita
harus belajar untuk melaksanakan kewajiban dan menuntut hak-
hak suatu peranan; kedua, memiliki sikap, perasaan dan harapan-
harapan yang sesuai dengan peran tersebut. Oleh karena itu,
untuk mencapainya seseorang akan mengadakan interaksi
dengan orang lain (baik dengan individu maupun dengan
kelompok) yang dalam interaksi ini akan terjadi adanya tindakan
sebagai suatu rangsangan dan tanggapan sebagai suatu respon
(1).
Peranan adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang
atau kelompok yang mempunyai status. Sedangkan status itu
sendiri sebagai suatu peringkat atau posisi seseorang dalam
suatu kelompok, atau posisi suatu kelompok dalam hubungannya
dengan kelompok lain. Artinya status dan peran adalah dua
aspek dari gejala yang sama. Status adalah seperangkat hak dan
kewajiban, sedangkan peran adalah penerapan dari perangkat
kewajiban dan hak-hak tersebut (2).
Menurut kamus sosiologi definisi peranan sebagai berikut
(3):
1. Aspek dinamis dari kedudukan.
2. Perangkat hak-hak dan kewajiban.
3. Perilaku aktual dari pemegang kedudukan.
4. Bagian dari aktivitas yang dimainkan oleh seseorang
Secara konseptual status dan peran ini mempunyai arti
penting dalam sistem sosial masyarakat. Wujud dari status dan
peranan itu adalah adanya tugas-tugas yang dijalankan oleh
seseorang berkenaan dengan posisi dan fungsinya dalam
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 36
masyarakat. Peranan yang melekat dalam diri seseorang harus
dibedakan dengan status seseorang dalam masyarakat yang
merupakan unsur status yang menunjukkan tempat individu
dalam masyarakat. Didalam peranan tersebut terdapat dua
macam harapan, adapun harapan tersebut adalah :
1. Harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang
peran atau kewajiban dari pemegang peran.
2. Harapan-harapan yang dimiliki oleh pemegang peran
terhadap masyarakat atau terhadap orang-orang yang
berhubungan dengannnya dalam menjalankan perannnya
atau kewajiban-kewajibannnya
Peranan menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai
suatu proses. Jadi tepatnya seseorang atau kelompok menduduki
suatu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan.
Suatu peranan tersebut mencakup tiga hal, yaitu (4):
1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan
posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan
dalam arti ini, meliputi rangkaian peraturan-peraturan yang
membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.
2. Peranan adalah suatu kosep tentang apa yang dapat
dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai
organisasi.
3. Peranan juga dapat dilakukan sebagai perilaku individu yang
penting bagi struktur sosial masyarakat.
Menurut Hendropuspito (1989) dalam Kemenkes RI (2012),
peranan adalah suatu konsep fungsional yang menjelaskan fungsi
(tugas) seseorang dan dibuat atas dasar tugas-tugas yang nyata
dilakukan seseorang. Peranan sebagai konsep yang menunjukkan
apa yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok. Wujud dari
status dan peran itu adalah adanya tugas-tugas yang dijadikan
oleh seseorang atau kelompok berkaitan dengan posisi atau
fungsinya dalam masyarakat (5).
B. Fasilitator
Fasilitator adalah sekelompok orang yang mendampingi,
memberi semangat, pengetahuan, bantuan, saran suatu
kelompok dalam memecahkan masalah sehingga kelompok
lebih maju.
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 37
Filosofi dari fasilitator adalah adanya suatu kelompok yang
memilki tujuan, rencana, gagasan, program, sarana dalam
melaksanakan kegiatan dalam memecahkan masalah yang
dihadapi secara bersama-sama. Akibatnya fasilitator harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: berani, disiplin,
bersedia membantu, tanggungjawab, sabar (telaten), komunikatif
(menyengkan), mencarikan suasana, mau mendengarkan orang
lain, empati (bisa merasakan) dan tanggap situasi (peka), ini
karena tugas yang diemban fasilitator sangat berat dan butuh
pengorbanan. Adapun tugas fasilitator dalam pendampingan
kelompok adalah (6):
1. Menyampaikan informasi
2. Menjadi juru bicara/pemimpin
2. Narasumber (membawa info dari luar)
3. Membantu memecahkan masalah
Fasilitator adalah orang yang membuat kerja kelompok
menjadi lebih mudah karena kemampuannya dalam
menstrukturkan dan memandu partisipasi anggota-anggota
kelompok. Pada umumnya fasilitator bekerja dalam sebuah
pertemuan atau diskusi. Akan tetapi seorang fasilitator juga
dapat bekerja diluar pertemuan. Tetapi pada prinsipnya seorang
fasilitator harus mengambil peran netral (dengan banyak
bertanya dan banyak mendengarkan) ketika membantu sebuah
kelompok atau pertemuan (7).
Fasilitasi adalah pertemuan sekelompok orang yang
menghadirkan fasilitator sebagai perancang dan pengelola
proses kelompok agar kelompok dapat mencapai tujuannya.
Sebuah fasilitasi juga bisa berarti sebuah pertemuan antara dua
orang fasilitator dan satu orang lain yang menerima bantuan dan
panduan dalam prosesnya (8).
Kelompok adalah kumpulan individu-individu yang karena
alasan-alasan tertentu memutusakan untuk bersama. Waktu
hidup kelompok ada yang pendek ada pula yang panjang dan
bentuknya ada yang sesuai dengan rencana awal tapi ada juga
yang terbentuk dalam perjalanan proses.
Tim (team) adalah sejenis kelompok yang anggota dan
pimpinannya sangat dekat dalam bekerja sama mencapai hasil
D. Tingkatan Fasilitasi
Ada tiga tahapan perkembangan fasilitator secara umum.
Dan semakin tinggi tingkatannya, akan semakin rumit tugas yang
diembannya. Biasanya dipisahkan dengan 1) Fasilitator
Pertemuan, 2) Fasilitator Kelompok/Tim, dan 3)Fasilitator
Organisasi.
Pada tingkatan dasar, atau fasilitator pertemuan, peran
fasilitator lebih banyak berguna untuk mengarahkan sebuah
diskusi atau pertemuan. Pada tahapan selanjutnya, fasilitator
pada tingkat kelompok/tim diperlukan untuk bekerja dengan tim
yang sudah berjalan, tim-tim mandiri, dan tim proyek lintas
fungsi. Sedangkan pada tingkatan berikutnya, yaitu fasilitator
organisasi, memiliki keahlian yang tinggi, berpengalaman dalam
memfasilitasi berbagai pertemuan, mengerti secara benar topik-
topik yang menjadi bahasan dan kultur yang dihadapi oleh
sebuah organisasi. Fasilitator pada tingkatan ini seringkali
menghasilkan gagasan-gagasan besar perubahan kelompok (12).
Referensi
Referensi
B. Perubahan Sosial
Perubahan sosial adalah proses di mana terjadi perubahan
struktur dan fungsi suatu sistem sosial. Perubahan tersebut
terjadi sebagai akibat masuknya ide-ide pembaruan yang
diadopsi oleh para anggota sistem sosial yang bersangkutan.
Proses perubahan sosial biasa tediri dari tiga tahap (6).
1. Invensi, yakni proses di mana ide-ide baru diciptakan dan
dikembangkan
2. Difusi, yakni proses di mana ide-ide baru itu
dikomunikasikan ke dalam sistem sosial.
3. Konsekuensi, yakni perubahan-perubahan yang terjadi
dalam sistem sosial sebagai akibat pengadopsian atau
penolakan inovasi. Perubahan terjadi jika penggunaan atau
penolakan ide baru itu mempunyai akibat.
Dalam menghadapi perubahan sosial budaya tentu masalah
utama yang perlu diselesaikan ialah pembatasan pengertian atau
definisi perubahan sosial itu sendiri. Ahli-ahli sosiologi dan
antropologi telah banyak membicarakannya (7).
Tindakan sosial atau aksi sosial (social action)tidak bisa
dipisahkan dari proses berpikir rasional dan tujuan yang akan
dicapai oleh pelaku. Tindakan sosial dapat dipisahkan menjadi
empat macam tindakan menurut motifnya: (1) tindakan untuk
mencapai satu tujuan tertentu, (2) tindakan berdasar atas adanya
satu nilai tertentu, (3) tindakan emosional, serta (4) tindakan
yang didasarkan pada adat kebiasaan (tradisi).
Aksi sosial adalah aksi yang langsung menyangkut
kepentingan sosial dan langsung datangnya dari masyarakat atau
suatu organisasi, seperti aksi menuntut kenaikan upah atau gaji,
menuntut perbaikan gizi dan kesehatan, dan lain-lain. Aksi sosial
adalah aksi yang ringan syarat-syarat yang diperlukannya
dibandingkan dengan aksi politik, maka aksi sosial lebih mudah
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 100
yang berubah dari satu waktu ke waktu yang lain. Perubahan
pada bangunan struktural maupun dinamika struktural
merupakan bagian yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan
(6).
Kornblum (1988) dalam Assa’di (2009), berusaha memberikan
suatu pengertian tentang perubahan sosial. Ruang lingkup
perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang
material maupun immaterial. Penekannya adalah pada pengaruh
besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur
immaterial. Perubahan sosial diartikan sebagai perubahan-
perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat
(3). Definisi lain dari perubahan sosial adalah segala perubahan
yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu
masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada
definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai
himpunan kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi
struktur masyarakat lainnya. Perubahan sosial terjadi karena
adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan
keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam
unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan.
Moore (2000) dalam Dankfsugiana (2008), perubahan sosial
merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam
kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian,
ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi
perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial
masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas
dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam
prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan
tersebut sangat sulit untuk dipisahkan. Aksi sosial dapat
berpengaruh terhadap perubahan sosial masyarakat, karena
perubahan sosial merupakan bentuk intervensi sosial yang
memberi pengaruh kepada klien atau sistem klien yang tidak
terlepas dari upaya melakukan perubahan berencana. Pemberian
pengaruh sebagai bentuk intervensi berupaya menciptakan suatu
kondisi atau perkembangan yang ditujukan kepada seorang klien
atau sistem agar termotivasi untuk bersedia berpartisipasi dalam
usaha perubahan sosial (2).
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 101
Definisi lain dari perubahan sosial adalah segala perubahan
yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu
masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada
definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai
himpunan kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi
struktur masyarakat lainnya. Perubahan sosial terjadi karena
adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan
keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam
unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan. Sorokin
(1957) dalam bobo (1994), berpendapat bahwa segenap usaha
untuk mengemukakan suatu kecenderungan yang tertentu dan
tetap dalam perubahan sosial tidak akan berhasil baik (3).
Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya.
Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang
meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan
lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi
organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan
kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun
demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan
perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan.
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 102
sarana yang diperlukan untuk perbaikan tersebut. Dengan
pendekatan ini, prakarsa dan pengambilan keputusan berada
ditangan masyarakat.
2. Pendekatan Nondirektif (Partisipatif)
Pendekatan ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa
masyarakat tahu apa yang sebenarnya mereka butuhkan dan
apa yang baik untuk mereka. Pada pendekatan ini,
community worker tidak menempatkan diri sebagai orang yang
menetapkan apa yang baik dan buruk bagi suatu
masyarakat. Pemeran utama perubahan masyarakat adalah
masyarakat itu sendiri, community worker lebih bersifat
menggali dan mengembangkan potensi masayakat. Masyarakat
diberikan kesempatan untuk membuat analisis dan mengambil
keputusan yang berguna bagi mereka sendiri, serta mereka
diberi kesempatan penuh dalam penentuan cara-cara untuk
mecapai tujuan yang mereka inginkan. Tujuan dari pendekatan
ini agar masyarakat memperoleh pengalaman belajar untuk
mengembangkan dirinya melalui pemikiran dan tindakan yang
dirumuskan oleh mereka.
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 104
Pada intinya rekomendasi tersebut terkait dengan tiga
pertanyaan dasar, yaitu (3):
1. Siapa yang melakukan perubahan?
a. Kendala yang ada dapat dikurangi bila komunitas
dapat merasakan bahwa perubahan yang mereka
lakukan bukanlah perubahan yang dilakukan oleh
“orang luar”.
b. Kendala dapat dikurangi bila proyek pengembangan
masyarakat didukung baik oleh masyarakat dan para
pimpinan puncak yang terkait.
2. Bentuk perubahan yang seperti apa yang akan dilakukan?
a. kendala dapat dikurangi bila partisipan (warga
komunitas) dapat melihat bahwa perubahan yang
dilakukan dapat mengurangi beban yang mereka
rasakan dan bukan sebaliknya.
b. kendala dapat dikurangi bila proyek atau program
pengembangan masyarakat yang dijalankan sesuai
(tidak bertentangan) dengan norma dan nilai dalam
masyarakat.
c. kendala dapat dikurangi bila program yang
dikembangkan dapat menampilkan hal yang baru dan
menarik minat warga masyarakat.
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 105
masyarakat, menggunakan resources yang ada pada masyarakat
sehingga sustainability-nya akan terjaga. Namun model Positive
Deviance ini harus dimulai pada kelompok kecil yang intensitas
interaksi sosial mereka cukup tinggi dan pada akhirnya
ditemukan solusi dalam kelompok kecil tersebut, tidak dari luar
kelompok. Sehingga model ini memberikan impact yang
signifikan bagi komunitas sekitarnya.
Positive Deviance sebagai sebuah model perubahan prilaku
telah dibuktikan di puluhan negara berkembang, seperti
perubahan prilaku dalam mengurangi malnutrisi di Vietnam,
Myanmar, Nepal/Buthan, Bolivia, Bangladesh dan lainnya;
pencegahan penyebaran HIV/AIDS di dunia ketiga, pencegahan
mutilasi perempuan di Egypt, konflik etnis di Afrika dan lainnya
(10).
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 106
terbukti berhasil menumbangkan pemikiran-pemikiran
konvensional secara terencana, tegas, dramatis dan sukses.
Pendekatan Sternin didasarkan dari hasil kerja yang
dilakukan oleh Marian Zeitlin di Universitas Tufts pada akhir
1980-an melakukan penelitian di beberapa rumah sakit di
komunitas yang sedang berkembang untuk mengetahui mengapa
sebahagian kecil anak-anak yang menderita kekurangan gizi
(para penyimpang) mengatasi kondisi tersebut dengan lebih baik
dibanding dengan sebahagian besar anak-anak penderita
kekurangan gizi lainnya, apa yang membuat mereka mampu
dengan cepat mengatasinya? (11).
Dari penelitian ini muncul pemikiran untuk memperkuat
penyimpangan positif sebagai sebuah teori yang diuji oleh
Sternin dan istrinya Monique pada tahun 1990-an dalam situasi
yang berbeda. Ide ini muncul sebagai tanggapan dari permintaan
pemerintah Vietnam untuk membantu mengurangi angka
malnutrisi yang luar biasa (13).
Sternin tidak memakai solusi konvensional karena solusi itu
hanya tentang: sistim sanitasi yang buruk, ketidakpedulian, pola
distribusi makanan, kemiskinan, dan buruknya akses terhadap
air bersih. Sementara ribuan bahkan jutaan anak tidak dapat
menunggu sampai masalah tersebut bisa diatasi. Akhirnya
Sternin dan istrinya memutuskan untuk memperkuat
penyimpangan positif (14).
Dalam setiap komunitas, organiasi, atau kelompok sosial,
terdapat beberapa individu yang mempunyai prilaku dan
kebiasaan tersendiri yang membuat mereka mampu
mendapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan orang
di sekitarnya meskipun mereka mempunyai sumberdaya yang
sama. Tanpa disadari para “penyimpang positif” ini telah
menemukan jalur keberhasilan untuk seluruh kelompok apabila
rahasia mereka dapat dianalisa, diisolasi, dan kemudian
dibagikan kepada seluruh kelompok (4).
Dalam melakukan tugasnya di Vietnam, Sternin menjalani
langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, jangan beranggapan
kalau anda sudah memiliki solusinya; Kedua, jangan
mengangggapnya sebagai sebuah pesta makan malam dengan
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 107
banyak orang dan sumberdaya yang berbeda; Ketiga, biarkan
mereka melakukannya sendiri; Keempat, identifikasi kebijakan
konfensional; Kelima, identifikasi dan analisa para penyimpang;
Keenam, biarkan para penyimpang mengadopsi penyimpangan
dengan sendirinya; Ketujuh, amati hasil dan publikasikan;
Kedelapan, ulangi langkah satu hingga tujuh (11).
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 108
membawa food contributions berupa makanan “penyimpang”
dan mempraktekkannya secara aktif. Atau ada strategi lain yang
bersumber kepada kebiasaan lokal yang bisa mendukung
pengadopsian prilaku “penyimpang” yang sehat tadi.
Discern, amati tingkat efektivitas intervensi melalui
pengawasan dan monitoring yang dilakukan secara terus
menerus. Misalnya, mengukur status gizi anak-anak yang ikut
program gizi dengan penimbangan dan dampaknya kepada anak-
anak sepanjang waktu. Juga jangan lupa mengukur tingkat
kepedulian anggota masyarakat lain terhadap peningkatan gizi
anak, karena ini juga merupakan peningkatan kapasitas
masyarakat terhadap kesehatan terutama gizi anak.
Disseminate, sebarluaskan kesuksesan kepada kelompok lain
yang sesuai. Misalnya, bentuk sebuah “Universitas Hidup”
(laboratorium sosial) sebagai tempat belajar bagi orang lain yang
tertarik untuk mengadopsi prilaku mereka sendiri di tempat lain
dan siap berpartisipasi dalam program tersebut. Untuk
pendukung juga lebih bagus dilakukan kampanye terhadap
peningkatan status gizi anak yang lebih efektif dan efisien
daripada pola yang konvensional. Jadikan isu ini menjadi isu
komunitas, tidak isu pribadi hanya keluarga yang terkena kasus
gizi buruk saja.
Referensi
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 109
5. Alpizar. 2008. Islam dan Perubahan Sosial. http://
www.uinsuska.info/ushuluddin/attachments/074_islam%20dan%20
perubahan%20sosial.pdf [8 September 2009]
6. Assa’di Husain. 2009. Islam dan Perubahan
Sosial. http://abstrakkonkrit.wordpress.com/2009/05/01/islam-dan-
perubahan-sosial/ [5 September 2009]
7. Deanden, K., N. Quan, M. Do, D. Marsh, D. Schroeder, H.
Pachon, L. Tran, Influences on Health Behavior, Child Survival
Connections
8. Pimbert, M. P and J. N. Pretty. 1995. Parks, people and
professionals. UNRISD, Geneva.
9. Mercy Corps, Notulensi Training Penyimpangan Positif,
Padang, 2003
10. PCI/Indonesia, Training Deviasi Positif (DePo), Jakarta, 2002
11. Donna Sillan, Deviasi Positif/Hearth, Child Survival and
Collaborations and Resources (CORE) Group
Dorsey, David, Positive Deviance, FC, 2000
12. Sternin, Jerry and Choo, Robert, The Power of Positive
Deviancy, Harvard Bussines Review, 2000
13. The PD Network, Positive Deviance Pendekatan Pemecahan
Masalah Masyarakat Berbasis Masyarakat, Vol 1, No 1, 2003
14. Supported by a Grant From The Ford Foundation
Save The Children Experience, The Positive Deviance Hearth
Nutrition Model, 2002
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 110
BAB VII PERUBAHAN BUDAYA
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 111
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan
kebudayaan (4):
1. Faktor intern
a. Perubahan demografis
Perubahan demografis disuatu daerah biasanya cenderung
terus berubah, akan mengakibatkan terjadinya perubahan
diberbagai sector kehidupan contoh: bidang perekonomian,
pertambahan penduduk akan mempengaruhi persediaan
kebutuhan sandang,pangan,dan papan
b. Konflik Sosial
Konflik sosial dapat mempemgaruhi terjadinya perubahan
kebudayaan dalam suatu masyarakat. Contoh: konflik
kepentingan antara kaum pendatang dengan penduduk
setempat di daerah transmigrasi, untuk mengatasinya
pemerintah mengikutsertakan penduduk setempat dalam
program pembangunan bersama sama para transmigrasi.
c. Bencana Alam
Bencana alam yang menimpa masyarakat dapat
mempengaruhi perubahan. Contoh: bencana banjir, longsor,
letusan gunung berapi, masyarakat akan dievakuasi dan
dipindahkan ketempat yang baru, disanalah mereka harus
beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan budaya setempat
sehingga terjadi proses asimilasi maupun akulturasi.
d. Perubahan lingkungan alam
Perubahan lingkungan ada beberapa faktor misalnya
pendangkalan muara sungai yang membentuk delta,
rusaknya hutan karena erosi atau perubahan iklim sehingga
membebtuk tegalan. Perubahan demikian dapat merubah
kebudayaan, hal ini disebabkan karena kebudayaan
mempunyai daya adaptasi dengan lingkungan setempat.
2. Faktor Ekstern
a. Perdagangan
Indonesia terletak pada jalur perdagangan Asia Timur dengan
India, Timur Tengah bahkan Eropa Barat. Itulah sebabnya
Indonesia sebagai persinggahan pedagang-pedagang besar
selain berdagang mereka juga memperkenalkan budaya
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 112
mereka pada masyarakat setempat sehingga terjadilah
perubahan budaya dengan percampuran budaya yang ada.
b. Penyebaran agama
Maraknya unsur-unsur budaya Hindu dan Budha dari India
atau budaya Arab bersamaan proses penyebaran agama
Hindu dan Islam ke Indonesia, demikian pula masuknya
unsur-unsur budaya barat melalui proses penyebaran agama
Kristen dan kolonialisme.
c. Peperangan
Kedatangan bangsa barat ke Indonesia umunya menimbulkan
perlawanan keras dalam bentuk peperangan, dalam suasana
tersebut ikut masuk pula unsur-unsur budaya bangsa asing
ke Indonesia.
Pengaruh positif dan pengaruh negatif dari perubahan budaya (3):
1. Pengaruh positif dari perubahan budaya
a. Peningkatan penghasilan
b. Peningkatan kelancaran perhubungan dan transportasi
c. Peningkatan dalam bidang pendidikan,kesehatan dll.
2. Pengaruh negatif dari perubahan budaya
a. Pencemaran Lingkungan dan Alam
Sebagai contoh dalam dunia industri , semua orang membuat
berbagai barang dengan tenaga manusia kemudian
digantikan dengan tenaga mesin. Hal ini mengakibatkan
rusaknya ekosistem di laut, di sungai, dan di darat serta di
udara akibat limbah mesin-mesin industri.
b. Menurunkan solidaritas sosial
Dalam dunia pertanian di pedesaan, semua petani
mengerjakan tanah, memelihara tanaman, dan menuai hasil
dilakukan dengan gotong royong. Kemudian dibuat
peralatan baru yang ternyata merusak dan menghentikan
budaya gotong royong dari warga masyarakat pedesaan.
c. Pergeseran nilai dan kemerosotan moral
Proses pergantian budaya lama dalam dunia industry dan
peralatan manusia telah membuat segi kehidupan material
maju dengan pesat sementara perkembangan dari
kehidupan spiritual tetap dan bahkan cenderung terhimpit
waktu dan
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 113
perhatiannya, Akibat dari tersisihnya segi kehidupan
spiritual inilah timbul kemerosotan moral manusia.
d. Meluasnya pandangan materialstis dan individualism
Dengan mekanisme industri dan kerja serta peralatan rumah
tangga telah membuat orang menjadi sangat berorientasi
pada perolehan materi dengan keuntungan diri dan
kelompoknya. Hal ini terjadi secara besar besaran dewasa ini
yang merupakan akibat dari perubahan dunia peralatan dan
tata kerja manusia.
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 114
7. Minimnya penanganan gizi buruk, busung lapar, serta diare
bayi dan balita.
8. Perilaku masyarakat yang acuh tak acuh terhadap
kesehatannya sendiri atau keluarga.
Dengan demikian, diperlukan pengembangan pola
pendekatan kesehatan masyarakat yang melibatkan berbagai
pihak. Pola pendekatan bukan secara medis saja, tetapi
bagaimana melakukan pendekatan kombinasi secara medis,
kultural, sosiologis, berdasarkan nilai-nilai dan keberagaman
budaya bangsa Indonesia.
Disatu pihak, penyakit-penyakit degeneratif, usia lanjut,
masalah-masalah kesehatan ibu dan bayi, balita, gizi buruk,
busung lapar, danpenyakit infeksi semakin menonjol. Fenomena-
fenomena tersebut mnyebabkan biaya kesehatan menjadi semakin
besar karena upaya kesehatan harus dilakukan dengan lingkup
dan cangkupan yang makin luas. Hal tersebut diperkuat oleh
proses industrialisasi yang berkembang begitu cepat akhir akhir
ini, yang mempunyai dampak luas bagi bidang ekonomi, sosial
budaya, maupun lingkungan fisik dan biologi. Oleh karena itu
diperlukan sistem pendekatan yang bertumpu pada kerjasama
lintas sektoral dan pendayaguanaan masyarakat luas untuk
menciptakan habitus baru bagi warga bangsa bagaimana hidup
sehat (3).
Beberapa pendekatan pengembangan sistem kesehatan
masyarakat antara lain (4):
1. Pendekatan WHO dan Depkes
Badan kesehatan dunia (World Health Organization-WHO)
mendefinisikan sehat sebagai “keadaan sejahtera/sehat dari
fisik, mental/rohani, dan sosial, bukan hanya terbebas dari
penyakit, cacat, serta kelemahan untuk hidup produktif secara
sosial dan ekonomis”
Untuk sehat secara fisik maka ekonomi seseorang harus
baik. Hal ini masih menjadi beban masyarakat miskin karena
tidak tersedianya pangan yang cukup, daya beli masyarakat
yang rendah, gagal panen, dan kesulitan distribusi. Akan tetapi,
ekonomi hanyalah sebagai tujuan antara,karena masih harus
sehat sosial, mental, dan religius/rohani. Sedangkan kesehatan
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 115
manusia dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu: faktor genetik,
lingkungan, perilaku dan faktor pelayanan kesehatan.
Deklarasi WHO (1978) di Alma Ata tentang Health for all
merekomendasikan beberapa parameter upaya kesehatan
primer, antara lain (4):
a. Pendidikan mengenai masalah-masalah kesehatan dan
metode pencegahan serta pengendalian penyakit.
b. Peningkatan keadaan gizi.
c. Pengadaan air bersih dan sanitasi dasar yang memadai.
d. Upaya kesehatan ibu dan anak, termasuk keluarga
berencana.
e. Imunisasi terhada penyakit-penyakit menular
f. Pencegahan dan pengendalian penyakit endemik yang
menyebar di tingkat local secara cepat.
g. Pengobatan/penatalaksanaan yang tepat terhadap penyakit
umum
h. Menyediakan obat-obat esensial
Rumusan paradigma sehat yang diluncurkan Departemen
Kesehatan RI (2):
a. Lingkungan yang bebas dari polusi
b. Tersediannya air bersih
c. Sanitasi lingkungan yang memadai
d. Perumahan dan pemukiman yang sehat
e. Perencanaan kawasan yang berwawasan kesehatan
f. Terwujudnya kehidupan masyarakat yang saling tolong
menolong dengan memelihara nilai-nilai budaya bangsa
Pendekatan system kesehatan masyarakat yang melibatkan
berbagai pihak berpandangan bahwa kesehatan bukan hanya
berpusat pada kekuasaan dan tanggung jawab pemerintah-
Depkes, tetapi merupakan tanggung jawab semua pihak,
termasuk masyarakat itu sendiri. Pemerintah bertindak sebagai
regulator dan pengendali mekanisme persaingan sehingga
masyarakat Indonesia nantinya adalah masyarakat yang
berperilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan, mencegah risiko terpaparnya penyakit, melindungi
diri dari ancaman penyakit, serta berpartisipasi aktif dalam
gerakan kesehatan masyarakat. Selanjutnya, masyarakat
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 116
mempunyai kemampuan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan yang berlangsung di berbagai daerah pada akhirnya
adalah berhasil dan berdaya guna serta merata bagi semua
orang sehingga memungkinkan setiap orang hidup produktif
secara sosial dan ekonomis.
2. Pendekatan Pembelajaran
Pendekatan di atas akan tumbuh dan berkemnbang sampai
akar rumput masyarakat jika proses sosialisasinya dilandasi
pendekatan proses pembelajaran yang sistematis, praktis,
terukur, dan berkelanjutan.
3. Pendekatan terhadap masalah
Dalam praktiknya di lapangan, berbagai persoalan
kesehatan masyarakat yang dijumpai tidak selalu sama antara
wilayah yang satu dengan wilayah lainnya. Pendekatan sistem
kesehatan masyarakat yang lebih mengikutsertakan berbagai
pihak sebagai tim kesehatan membutuhkankan kepaduan,
keselarasan, dan kesamaan visi mengenai sasaran-sasaran yang
ingin dicapai. Lebih dari itu adalah bagaimana membangun
suatu tim kesehatan yang dapat menjadi motivator bagi
masyarakat.
4. Pendekatan asuransi
Sebagian besar masyarakat Indonesia kini masih
dihadapkan pada kesulitan untuk mengakses pelayanan
kesehatan dan obat yang murah, Kebijakan emerintah menaikan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM) setiap tahun telah berdamak
pada kenaikan harga obat opbatan di pasaran. Bagi mereka yang
memiliki asuransi mungkin tidak menjadi soal, namun bagi
masyarakat yang belum mengenal asuransi, merupakan
pukulan dan tekanan psikologis serta beban sosial-ekonomi.
Pembangunan kesehatan kini bukan sekedar tanggung
jawab pemerintah/Depkes RI semata, tetapi merupakan
tanggung jawab semua elemen masyarakat. Pemerintah tetap
menjalankan fungsinya sebagai regulator dan pengendali pasar.
Permasalahan-permasalahan kesehatan masyarakat yang
kian kompleks, membutuhkan peran aktif berbagai kelompok
masyarakat untuk mencari alternatif penyelesaian masalah yang
dihadai masyarakat, baik alternatif penyelesaian medis maupun
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 117
non medis. Melalui pola pendekatan berbagai kluster,
diharapkan mampu menumbuh kembangkan semangat dan
perilaku sehat masyarakat yang bermutu dan berkelanjutan (3)
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 119
terlibat/berpengaruh pada perubahan, dan berusaha untuk
memprediksi tentang apa yang akan terjadi dengan
perubahan tersebut.
Referensi
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 121
BAB VIII PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM PERUBAHAN SOSIAL
A. Pengertian
Partisipasi secara sederhana dapat diartikan Menurut Ach.
Wazir Ws., et al. (1999) partisipasi bisa diartikan sebagai
keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial
dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang bisa
berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam
kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain
dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan
tanggung jawab bersama (1).
Partisipasi masyarakat menurut Isbandi (2007) adalah
keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian
masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan
pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk
menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan
keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan
yang terjadi (2).
Mikkelsen (1999) membagi partisipasi menjadi 6 (enam)
pengertian, yaitu:
1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat
kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan
keputusan;
2. Partisipasi adalah “pemekaan” (membuat peka) pihak
masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan
kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek
pembangunan;
3. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat
dalam perubahan yang ditentukannya sendiri;
4. Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung
arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil
inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan
hal itu;
5. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat
setempat dengan para staf yang melakukan persiapan,
pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 122
informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak
sosial;
6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam
pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka (3).
Dari tiga pakar yang mengungkapkan definisi partisipasi di
atas, dapat dibuat kesimpulan bahwa partisipasi adalah
keterlibatan aktif dari seseorang, atau sekelompok orang
(masyarakat) secara sadar untuk berkontribusi secara sukarela
dalam program pembangunan dan terlibat mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai pada tahap
evaluasi.
Pentingnya partisipasi dikemukakan oleh Conyers (1991)
sebagai berikut: pertama, partisipasi masyarakat merupakan
suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi,
kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa
kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan
gagal; kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek
atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses
persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih
mengetahui seluk- beluk proyek tersebut dan akan mempunyai
rasa memiliki terhadap proyek tersebut; ketiga, bahwa
merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan
dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri (4).
Apa yang ingin dicapai dengan adanya partisipasi adalah
meningkatnya kemampuan (pemberdayaan) setiap orang yang
terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam sebuah
program pembangunan dengan cara melibatkan mereka dalam
pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya dan
untuk jangka yang lebih panjang. Adapun prinsip-prinsip
partisipasi tersebut, sebagaimana tertuang dalam Panduan
Pelaksanaan Pendekatan Partisipatif yang disusun
oleh Department for International Development (DFID) adalah (5):
1. Cakupan.
Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang
terkena dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses
proyek pembangunan.
2. Kesetaraan dan kemitraan (Equal Partnership).
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 123
Pada dasarnya setiap orang mempunyai keterampilan,
kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk
menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses
guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang
dan struktur masing-masing pihak.
3. Transparansi.
Semua pihak harus dapat menumbuh kembangkan
komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif
sehingga menimbulkan dialog.
4. Kesetaraan kewenangan (Sharing Power/Equal Powership).
Berbagai pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan
distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari
terjadinya dominasi.
5. Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility).
Berbagai pihak mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam
setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan
(sharing power) dan keterlibatannya dalam proses
pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya.
6. Pemberdayaan (Empowerment).
Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala kekuatan
dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui
keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu
proses saling belajar dan saling memberdayakan satu sama
lain.
7. Kerjasama.
Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat
untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai
kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan
kemampuan sumber daya manusia.
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 124
Dengan berbagai bentuk partisipasi yang telah disebutkan
diatas, maka bentuk partisipasi dapat dikelompokkan menjadi 2
jenis, yaitu bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk nyata
(memiliki wujud) dan juga bentuk partisipasi yang diberikan
dalam bentuk tidak nyata (abstrak). Bentuk partisipasi yang
nyata misalnya uang, harta benda, tenaga dan keterampilan
sedangkan bentuk partisipasi yang tidak nyata adalah partisipasi
buah pikiran, partisipasi sosial, pengambilan keputusan dan
partisipasi representatif.
Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk
memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan
masyarakat yang memerlukan bantuan Partisipasi harta benda
adalah partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda,
biasanya berupa alat-alat kerja atau perkakas. Partisipasi tenaga
adalah partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk
pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan
suatu program. Sedangkan partisipasi keterampilan, yaitu
memberikan dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya
kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkannya. Dengan
maksud agar orang tersebut dapat melakukan kegiatan yang
dapat meningkatkan kesejahteraan sosialnya (3).
Partisipasi buah pikiran lebih merupakan partisipasi berupa
sumbangan ide, pendapat atau buah pikiran konstruktif, baik
untuk menyusun program maupun untuk memperlancar
pelaksanaan program dan juga untuk mewujudkannya dengan
memberikan pengalaman dan pengetahuan guna
mengembangkan kegiatan yang diikutinya. Partisipasi sosial
diberikan oleh partisipan sebagai tanda paguyuban. Misalnya
arisan, menghadiri kematian, dan lainnya dan dapat juga
sumbangan perhatian atau tanda kedekatan dalam rangka
memotivasi orang lain untuk berpartisipasi. Pada partisipasi
dalam proses pengambilan keputusan, masyarakat terlibat dalam
setiap diskusi/forum dalam rangka untuk mengambil keputusan
yang terkait dengan kepentingan bersama. Sedangkan partisipasi
representatif dilakukan dengan cara memberikan
kepercayaan/mandat kepada wakilnya yang duduk dalam
organisasi atau panitia. Penjelasan mengenai bentuk-bentuk
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 125
partisipasi dan beberapa ahli yang mengungkapkannya dapat
dilihat dalam Tabel 8.1.
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 126
(Hamijoyo, 2007: Partisipasi buah pikiran adalah
21 & Pasaribu partisipasi berupa sumbangan
dan Simanjutak, berupa ide, pendapat atau buah
2005: 11) pikiran konstruktif, baik untuk
menyusun program maupun untuk
memperlancar pelaksanaan program
dan juga untuk mewujudkannya
dengan memberikan pengalaman
dan pengetahuan guna
mengembangkan kegiatan yang
diikutinya.
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 127
Berdasarkan bentuk-bentuk partisipasi yang telah dianalisis,
dapat ditarik sebuah kesimpulan mengenai tipe partisipasi yang
diberikan masyarakat. Tipe partisipasi masyarakat pada dasarnya
dapat kita sebut juga sebagai tingkatan partisipasi yang dilakukan
oleh masyarakat. Sekretariat Bina Desa (1991) mengidentifikasikan
partisipasi masyarakat menjadi 7 (tujuh) tipe berdasarkan
karakteristiknya, yaitu partisipasi pasif/manipulatif, partisipasi
dengan cara memberikan informasi, partisipasi melalui
konsultasi, partisipasi untuk insentif materil, partisipasi
fungsional, partisipasi interaktif, dan self mobilization. Untuk lebih
jelasnya lihat Tabel 8.2.
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 128
c. Akurasi hasil penelitian tidak
dibahas bersama
masyarakat.
3. Partisipasi a. Masyarakat berpartisipasi
melalui dengan cara berkonsultasi;
konsultasi b. Orang luar mendengarkan dan
membangun pandangan-
pandangannya sendiri untuk
kemudian mendefinisikan
permasalahan dan
pemecahannya, dengan
memodifikasi tanggapan-
tanggapan masyarakat;
c. Tidak ada peluang bagi pembuat
keputusan bersama;
d. Para profesional tidak
berkewajiban mengajukan
pandangan-pandangan
masyarakat (sebagai masukan)
untuk ditinda klanjuti.
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 129
5. Partisipasi a. Masyarakat berpartisipasi
fungsional dengan membentuk kelompok
untuk mencapai tujuan yang
berhubungan dengan proyek;
b. Pembentukan kelompok
(biasanya) setelah ada keputusan-
keputusan utama yang
disepakati;
c. Pada awalnya, kelompok
masyarakat ini bergantung
pada pihak luar (fasilitator, dll)
tetapi pada saatnya mampu
mandiri.
6. Partisipasi a. Masyarakat berpartisipasi dalam
interaktif analisis bersama yang mengarah
pada perencanaan kegiatan dan
pembentukan lembaga sosial
baru atau penguatan
kelembagaan yang telah ada;
b. Partisipasi ini cenderung
melibatkan metode inter-disiplin
yang mencari keragaman
perspektif dalam proses belajar
yang terstruktur dan sistematik;
c. Kelompok-kelompok masyarakat
mempunyai peran kontrol atas
keputusan-keputusan mereka,
sehingga mereka mempunyai
andil dalam seluruh
penyelenggaraan kegiatan.
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 130
sistem atau nilai-nilai yang
mereka miliki;
b. Masyarakat mengembangkan
kontak dengan lembaga-lembaga
lain untuk mendapatkan bantuan-
bantuan teknis dan sumberdaya
yang dibutuhkan;
c. Masyarakat memegang kendali
atas pemanfaatan sumberdaya
yang ada.
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 131
lebih mantap, cenderung lebih banyak yang berpartisipasi
daripada mereka yang dari kelompok usia lainnya.
2. Jenis kelamin
Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai
bangsa mengatakan bahwa pada dasarnya tempat
perempuan adalah “di dapur” yang berarti bahwa dalam
banyak masyarakat peranan perempuan yang terutama
adalah mengurus rumah tangga, akan tetapi semakin lama
nilai peran perempuan tersebut telah bergeser dengan
adanya gerakan emansipasi dan pendidikan perempuan yang
semakin baik.
3. Pendidikan
Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk
berpartisipasi. Pendidikan dianggap dapat mempengaruhi
sikap hidup seseorang terhadap lingkungannya, suatu sikap
yang diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan seluruh
masyarakat.
4. Pekerjaan dan penghasilan
Hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena
pekerjaan seseorang akan menentukan berapa penghasilan
yang akan diperolehnya. Pekerjaan dan penghasilan yang
baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat
mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-
kegiatan masyarakat. Pengertiannya bahwa untuk
berpartisipasi dalam suatu kegiatan, harus didukung oleh
suasana yang mapan perekonomian.
5. Lamanya tinggal
Lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu dan
pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan tersebut
akan berpengaruh pada partisipasi seseorang. Semakin lama
ia tinggal dalam lingkungan tertentu, maka rasa memiliki
terhadap lingkungan cenderung lebih terlihat dalam
partisipasinya yang besar dalam setiap kegiatan lingkungan
tersebut.
Sedangkan menurut Holil (1980), unsur-unsur dasar
partisipasi sosial yang juga dapat mempengaruhi partisipasi
masyarakat adalah (6):
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 132
1. Kepercayaan diri masyarakat;
2. Solidaritas dan integritas sosial masyarakat;
3. Tanggungjawab sosial dan komitmen masyarakat;
4. Kemauan dan kemampuan untuk mengubah atau
memperbaiki keadaan dan membangun atas kekuatan
sendiri;
5. Prakarsa masyarakat atau prakarsa perseorangan yang
diterima dan diakui sebagai/menjadi milik masyarakat;
6. Kepentingan umum murni, setidak-tidaknya umum dalam
lingkungan masyarakat yang bersangkutan, dalam
pengertian bukan kepentingan umum yang semu karena
penunggangan oleh kepentingan perseorangan atau sebagian
kecil dari masyarakat;
7. Organisasi, keputusan rasional dan efisiensi usaha;
8. Musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan;
9. Kepekaan dan ketanggapan masyarakat terhadap masalah,
kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan umum
masyarakat.
Faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam
suatu program juga dapat berasal dari unsur luar/lingkungan.
Menurut Holil (1980) ada 4 poin yang dapat mempengaruhi
partisipasi masyarakat yang berasal dari luar/lingkungan, yaitu
(6):
1. Komunikasi yang intensif antara sesama warga masyarakat,
antara warga masyarakat dengan pimpinannya serta antara
sistem sosial di dalam masyarakat dengan sistem di luarnya;
2. Iklim sosial, ekonomi, politik dan budaya, baik dalam
kehidupan keluarga, pergaulan, permainan, sekolah maupun
masyarakat dan bangsa yang menguntungkan bagi serta
mendorong tumbuh dan berkembangnya partisipasi
masyarakat;
3. Kesempatan untuk berpartisipasi. Keadaan lingkungan serta
proses dan struktur sosial, sistem nilai dan norma-norma
yang memungkinkan dan mendorong terjadinya partisipasi
sosial;
4. Kebebasan untuk berprakarsa dan berkreasi. Lingkungan di
dalam keluarga masyarakat atau lingkungan politik, sosial,
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 133
budaya yang memungkinkan dan mendorong timbul dan
berkembangnya prakarsa, gagasan, perseorangan atau
kelompok.
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 134
pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan terdapat kader
pemberdayaan masyarakat, mereka adalah warga terpilih
yang memfasilitasi dan memandu masyarakat dalam
pelaksanaan PNPM mandiri perdesaan di desa Sesulu. Untuk
memberikan bekal bagi kader-kader pemberdayaan
masyarakat dilakukan pelatihan hal ini juga mempermudah
dalam mendampingi masyarakat dan fasilitator kecamatan
dalam tahapan kegiatan, Untuk kepengurusan Tim
Pengelola Kegiatan di desa Sesulu sendiri belum mengalami
perubahan. Secara keseluruhan dalam peningkatan
kelembagaan dilakukan sesuai dengan prosedur yang
terdapat dalam pedoman teknik operasional, baik itu
pelatihan-pelatihan bagi kader pemberdayaan masyarakat
desa dan pemilihan tim pengelola kegiatan.
3. Sarana Dan Prasarana Yang Dibangun
Salah satu kegiatan dari PNPM Mandiri Perdesaan yang
dilakukan di desa Sesulu adalah dengan membangun sarana
dan prasarana seperti bangunan ataupun fasilitas lainnya.
Dalam periode tahun 2011 ini telah terbangun beberapa
gedung dan fasilitas diantaranya: pembuatan parit sepanjang
1200m yang dimulai tanggal 15 desember 2011 hingga 25
april 2012 atau 133 hari kerja, jembatan kayu ulin/kayu besi,
dan pembangunan gedung PAUD. Dalam pembangunan
beberapa fasilitas tersebut maka telah di sepakati
sebelumnya melalui musyawarah desa tentang bangunan
apa yang akan dibangun nantinya dan apakah bangunan
yang akan dibuat dapat berguna bagi masyarakat. Secara
keseluruhan dalam membangun sarana dan prasarana Tim
Pengelola Kegiatan selalu melibatkan masyarakat, Tim
pengelola kegiatan juga selalu kooperatif dengan masyarakat
baik dalam menerima usulan warga maupun dalam hal
transparansi keuangan (6).
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 135
E. Evaluasi Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan
Ditinjau Dari Indikator Kerja
1. Peningkatan Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat sangatlah penting demi
keberhasilan suatu kegiatan dalam PNPM Mandiri
Perdesaan. Masyarakat diharapkan berpartisipasi atau
terjun dalam program baik secara langsung maupun tidak,
mengapa demikian karena masyrakat dalam kebijakan ini
yang diberdayakan. Oleh karena itu maka Tim Pengelola
kegiatan melakukan usaha-usaha dalam menarik simpati
masyarakat desa Sesulu agar mau berpartisipasi kegiatan.
Secara keseluruhan yang dapat disimpulkan sebagai penulis
dari beberapa pendapat dalam hal upaya peningkatan
partisipasi masyarakat adalah dengan menunjukan kinerja
mereka baik sebagai pembina maupun tim pengelola
kegiatan pada masyarakat, dengan menunjukan kinerja yang
baik maka secara langsung dapat meningkatkan rasa
kepercayaan masyarakat terhadap mereka dan diharapkan
dapat pula mendorong mereka untuk ikut berpartisipasi.
2. Peningkatan Kualitas Kelembagaan
Peningkatan kualitas kelembagaan merupakan usaha
untuk memberikan pelatihan ataupun masukan pada
lembaga-lembaga baik pemerintahan khususnya yang ada
dalam desa Sesulu ataupunn kelompok-kelompok
masyarakat lainnya. Untuk kegiatan PNPM Mandiri
Perdesaan di desa Sesulu sendiri yang khusus membantu
pemerintahan desa ada, salah satunya dalam penyusunan
RPJM atau rencana pembangunan jangka menengah desa,
disini kami juga melibatkan PNPM dalam penyusunannya.
Upaya lain dalam peningkatan kualitas kelembagaan yang
khususnya untuk Tim Pengelola Kegiatan dengan cara
memberikan pelatihan. Pelatihan tersebut secara langsung
diberikan oleh kepengurusan PNPM Mandiri perdesaan yang
ada ditingkat kecamatan. Jadi penulis dapat menyimpulkan
bahwa ada upaya dalam meningkatkan kualitas kelembagaan
namun tidak terlalu banyak.
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 136
3. Peningkatan Anggaran Dari Pemerintah Daerah
Anggaran merupakan salah satu faktor yang sangat
penting dalam menjalankan suatu kebijakan, dengan adanya
anggaran dapat mempermudah dalam melaksanakan
kegiatan, seperti halnya dalam PNPM Mandiri Perdesaan
yang dilaksanakan di desa Sesulu Ini. Peningkatan anggaran
dari pemerintah daerah diharapkan membantu
mempermudah dalam menjalankan kegiatan-kegiatan yang
telah diusulkan masyarakat. Untuk peningkatan anggaran
setiap periode pastinya ada namun presentasenya tidak
besar, sedangkan dalam proses pencairan dana setiap desa
melalui suatu perangkingan dimana desa yang memiliki
kegiatan lebih baik maka akan diutamakan lebih dulu
mendapatkan pencairan dana. Dalam hal ini diatur oleh
fasilitator kecamatan dan fasilitator teknik yang
mendampingi masyarakat dalam tahapan-tahapan dalam
PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Sesulu.
4. Faktor Pendukung
Dalam suatu kegiatan yang mengedepankan
pemberdayaan masyarakat, kepedulian atau tanggapan
masyarakat sangat dibutuhkan dalam mensukseskan
kegiatan tersebut. Seperti halnya dalam program nasional
pemberdayaan masyarakat (PNPM) mandiri perdesaan di
desa Sesulu ini, tingkat partisipasi masyarakat sangat
diharapkan. Dukungan dari masyarakat yang cukup besar
merupakan salah satu faktor pendukung dalam
menyukseskan PNPM Mandiri perdesaan di desa Sesulu,
Secara keseluruhan mengenai faktor pendukung Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
perdesaan di desa sesulu adalah kepedulian masyarakat
akan perubahan dirinya dan orang disekitarnya serta daerah
tempat tinggal mereka kearah yang lebih maju. Kesadaran
masyarakat akan perkembangan jaman membuat
masyarakat tergugah untuk berusaha, dan Evaluasi PNPM
Mandiri Perdesaan di desa Sesulu (Efendi Heru S). Melalui
PNPM Mandiri Perdesaan yang dilaksanakan di desa Sesulu
ini masyarakat masyarakat berpartisipasi.
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 137
5. Faktor penghambat
Selain adanya faktor pendukung yang mempermudah
program dalam suatu kebijakan terdapat pula fkator
penghambat. Seperti halnya dalam pelaksanaan PNPM
Mandiri Perdesaan di desa sesulu ini, terdapat beberapa
hambatan-hambatan yang harus dihadapi dalam menuju
suatu keberhasilan. Secara keseluruhan sebagaimana yang
telah disampaikan oleh beberapa responden, penulis dapat
menyimpulkan bahwa tidak ada faktor penghambat yang
cukup berarti dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan
di desa Sesulu Kecamatan Waru Kabupaten Penajam Paser
Utara (6).
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 138
masyarakat yang mempunyai aktivitas dibidang
kesehatan. Beberapa contohnya adalah sebagai berikut:
1) Upaya kesehatan bersumber daya masyarakat
(UKBM) yaitu segala bentuk kegiatan kesehatan yang
bersifat dari, oleh dan untuk masyarakat, yaitu:
a) Pos pelayanan terpadu (posyandu)
b) Pos obat desa (POD)
c) Pos upaya kesehatan kerja (Pos UKK)
d) Pos kesehatan di Pondok Pesantren (poskestren)
e) Pemberantasan penyakit menular dengan
pendekatan PKMD (P2M-PKMD)
f) Penyehatan lingkungan pemungkitan dengan
pendekatan PKMD (PLp-PKMD) sering disebut
dengan desa percontohan kesehatan lingkungan
(DPKL)
g) Suka Bakti Husada (SBH)
h) Tanaman obat keluarga (TOGA)
i) Bina keluarga balita (BKB)
j) Pondok bersalin desa (Polindes)
k) Pos pembinaan terpadu lanjut usia (Posbindu
Lansia/Posyandu Lansia)
l) Pemantau dan stimulasi perkembangan balita
(PSPB m) Keluarga mandiri
n) Upaya kesehatan masjid
2) Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
mempunyai kegiatan dibidang kesehatan. Banyak sekali
LSM yang berkiprah dibidang kesehatan, aktifitas mereka
beragam sesuai dengan peminatnya. Organisasi swadaya
yang bergerak dibidang pelayanan kesehatan seperti
rumah sakit, rumah bersalin, balai kesehatan ibu dan
anak, balai pengobatan, dokter praktik, klinik 24 jam, dan
sebagainya.
Referensi
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 140
BAB IX PARTISIPASI DARI PERUSAHAAN
MELALUI PROGRAM CSR DALAM
MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT
YANG BERADA DI WILAYAH KERJA
PERUSAHAAN
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 142
3. Tahap Pemantauan dan Evaluasi
Tahap ini perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke
waktu untuk mengukur sejauhmana efektivitas penerapan
CSR sehingga membantu perusahaan untuk memetakan
kembali kondisi dan situasi serta capaian perusahaan dalam
implementasi CSR sehingga dapat mengupayakan perbaikan-
perbaikan yang perlu berdasarkan rekomendasi.
4. Tahap Pelaporan
Pelaporan perlu dilakukan untuk membangun sistem
informasi, baik untuk keperluan proses pengambilan
keputusan maupun keperluan keterbukaan informasi
material dan relevan mengenai perusahaan.
Ide mengelola hubungan dengan pemangku kepentingan
(stakeholder) adalah hal mendasar bagi kebanyakan perusahaan,
bahkan ide ini mewakili substansi dari bagaimana sebuah
perusahaan dibangun dan dikelola, serta menjadi penting
berkaitan dengan manajemen strategis secara khusus (9).
Stakeholders, yang jamak diterjemahkan dengan pemangku
kepentingan adalah pihak atau kelompok yang berkepentingan,
baik langsung maupun tidak langsung terhadap eksistensi atau
aktivitas perusahaan, dan karenanya kelompok-kelompok
tersebut mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh perusahaan
(10). Menurut Sukada (2007), pelibatan pemangku kepentingan
ditentukan berdasarkan derajat relevansinya dengan
keberadaan serta program yang akan diselenggarakan. Sukada
(2007) menambahkan, semakin relevan pemangku kepentingan
dengan kegiatan maupun aktivitas pengembangan masyarakat
perusahaan, maka pelibatannya menjadi keharusan (9).
A. Community Development
Community Development (Pengembangan Masyarakat)
sebagai salah satu dari tujuh isu CSR merupakan sarana
aktualisasi CSR yang paling baik jika dibandingkan dengan
implementasi yang hanya berupa charity, philantrophy, atau
dimensi-dimensi CSR yang lain, karena dalam pelaksanaan
pengembangan masyarakat terdapat prinsip-prinsip kolaborasi
kepentingan bersama antara perusahaan dengan komunitas,
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 143
adanya partisipasi, produktivitas, keberlanjutan, dan mampu
meningkatkan perasaan solidaritas (11). Tanggung jawab sosial
dapat diwujudkan melalui pengembangan potensi
kedermawanan perusahaan. Kedermawanan perusahaan
sesungguhnya adalah kedermawanan sosial dalam kerangka
kesadaran dan komitmen perusahaan untuk melaksanakan
tanggung jawab sosialnya (10).
Menurut Steiner (1994) dalam Nursahid (2006), terdapat
sejumlah alasan mengapa perusahaan memiliki program-
program filantropik atau kedermawanan sosial, yaitu pertama,
untuk mempraktikkan konsep “good corporate citizenship”;
kedua, untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup; dan
ketiga, untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia
terdidik (12).
B. Konsep Partisipasi
Menurut Nasdian (2006), pemberdayaan merupakan jalan
atau sarana menuju partisipasi. Sebelum mencapai tahap
tersebut, tentu saja dibutuhkan upaya-upaya pemberdayaan
masyarakat. Pemberdayaan memiliki dua elemen pokok, yakni
kemandirian dan partisipasi. Nasdian (2006) mendefinisikan
partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif diambil oleh warga
komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri,
dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan
mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara
efektif. Titik tolak dari partisipasi adalah memutuskan,
bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut
sebagai subjek yang sadar. Nasdian (2006) juga memaparkan
bahwasanya partisipasi dalam pengembangan komunitas harus
menciptakan peran serta yang maksimal dengan tujuan agar
semua orang dalam masyarakat tersebut dapat dilibatkan secara
aktif pada proses dan kegiatan masyarakat (13). Cohen dan
Uphoff (1979) membagi partisipasi ke beberapa tahapan, yaitu
sebagai berikut (14):
1. Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan dengan
keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat. Tahap
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 144
pengambilan keputusan yang dimaksud disini yaitu pada
perencanaan dan pelaksanaan suatu program.
2. Tahap pelaksanaan yang merupakan tahap terpenting dalam
pembangunan, sebab inti dari pembangunan adalah
pelaksanaanya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini
digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk
sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan
bentuk tindakan sebagai anggota proyek (15).
3. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi
masyarakat pada tahap ini merupakan umpan balik yang
dapat memberi masukan demi perbaikan pelaksanaan
proyek selanjutnya.
4. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator
keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap
perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan
melihat posisi masyarakat sebagai subjek pembangunan,
maka semakin besar manfaat proyek dirasakan, berarti
proyek tersebut berhasil mengenai sasaran.
Keseluruhan tingkatan partisipasi di atas merupakan
kesatuan integratif dari kegiatan pengembangan perdesaan,
meskipun sebuah siklus konsisten dari kegiatan partisipatoris
mungkin dinilai belum biasa (16).
Partisipasi masyarakat menggambarkan bagaimana
terjadinya pembagian ulang kekuasaan yang adil (redistribution of
power) antara penyedia kegiatan dan kelompok penerima
kegiatan (17). Partisipasi masyarakat tersebut bertingkat, sesuai
dengan gradasi, derajat wewenang dan tanggung jawab yang
dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan.
Arnstein (1969) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat
identik dengan kekuasaan masyarakat (citizen partisipation is
citizen power). Partisipasi masyarakat bertingkat sesuai dengan
gradasi kekuasaan yang dapat dilihat dalam proses pengambilan
keputusan (18).
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 145
bekerjasama secara efektif dan terkoordinasi untuk mencapai
tujuan-tujuannnya (19). Komponen modal sosial ada dua
kategori, yaitu pertama, kategori struktural yang dihubungkan
dengan berbagai bentuk asosiasi sosial dan kedua, kategori
kognitif dihubungkan dengan proses–proses mental dan ide-ide
yang berbasis pada ideologi dan budaya. Komponen-komponen
modal social tersebut diantaranya (14):
1. Hubungan sosial (jaringan); merupakan pola-pola hubungan
pertukaran dan kerjasama yang melibatkan materi dan non
materi. Hubungan ini memfasilitasi tindakan kolektif yang
saling menguntungkan dan berbasis pada kebutuhan.
Komponen ini termasuk pada kategori structural (20).
2. Norma; kesepakatan-kesepakatan tentang aturan yang
diyakini dan disetujui bersama.
3. Kepercayaan; komponen ini menunjukkan norma tentang
hubungan timbal balik, nilai-nilai untuk menjadi seseorang
yang layak dipercaya. Pada bentuk ini juga dikembangkan
keyakinan bahwa anggota lain akan memiliki keinginan
untuk bertindak sama. Komponen ini termasuk dalam
kategori kognitif (21).
4. Solidaritas; terdapat norma-norma untuk menolong orang
lain, bersama-sama, menutupi biaya bersama untuk
keuntungan kelompok. Sikap-sikap kepatuhan dan kesetiaan
terhadap kelompok dan keyakinan bahwa anggota lain
akan melaksanakannya. Komponen ini termasuk dalam
kategori struktural (22).
5. Kerjasama; terdapat norma-norma untuk bekerjasama bukan
bekerja sendiri. Sikap-sikap kooperatif, keinginan untuk
membaktikan diri, akomodatif, menerima tugas dan
penugasan untuk kemaslahatan bersama, keyakinan bahwa
kerjasama akan menguntungkan. Komponen ini termasuk
dalam kategori kognitif. Modal sosial yang ideal adalah
modal sosial yang tumbuh di masyarakat. Modal sosial
yang dimiliki seyogianya memiliki muatan nilai-nilai yang
merupakan kombinasi antara nilai-nilai universal yang
berbasis humanisme dan nilai-nilai pencapaian
(achievement
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 146
values) dengan nilai-nilai lokal.
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 147
D. Konsep Dampak Program CSR
Min-Dong Paul Lee (2008) melakukan studi khusus terkait
bagaimana jejak dan perkembangan mengenai teori tanggung
jawab sosial perusahaan diulas secara detail dalam jurnalnya
yang berjudul “A Review of the Theories of Corporate Social
Responsibility: Its Evolutionary Path and the Road Ahead”. Studi
ini ditujukan untuk menunjukkan jejak evolusioner konseptual
dari teori-teori tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan
untuk melihat refleksi implikasinya terhadap pembangunan.
Restropeksi menunjukkan bahwa perkembangan tren telah
menjadi sebuah rasionalisasi progresif dari konsep dengan
sebuah fokus tertentu dalam ikatan lebih kuat terhadap tujuan
finansial perusahaan. Telah banyak upaya dilakukan oleh
berbagai pihak di dunia untuk menstimulasi pelibatan aktif
masyarakat, bagaimana membangun kemitraan baik untuk
mengatur hubungan dengan masyarakat dan lingkungan (23).
Jurnal Reporting on Community Impacts: A survey conducted by
the Global Reporting Initiative, menambahkan bahwa
peningkatan terjadi ketika upaya tersebut disusun secara
strategis dan dikaitkan dengan kerangka internasional seperti
halnya Millenium Development Goals (MDGs). Pada waktu yang
sama, pertumbuhan atau peningkatan yang terjadi
memperkuat pemahaman mengenai dampak dari kegiatan
bisnis terhadap masyarakat dan lingkungan. Ada peningkatan
kepentingan dari stakeholders kepada perusahaan untuk
mengklarifikasi dan mendemonstrasikan dampaknya.
Bagaimanapun juga, berdasarkan sebuah penelitian terkait
dampak dari CSR pada perusahaan besar agar mampu
melihat dampak secara umum, kasus bisnis, sikap bisnis,
kesadaran dan praktik seharusnya juga mengetahui secara baik
kebiasaan stakeholder, tetapi upaya untuk mengklarifikasi
dampak pada hubungan terhadap manusia. Oleh karena itu, saat
ini makin maraknya tren terhadap kepentingan yang lebih
dari sebuah perusahaan dan stakeholdernya untuk mengukur
hasil dan memahami bagaimana CSR dapat memberikan nilai
baik bagi perusahaan maupun bagi komunitas.
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 148
Jalal (2010) mengemukakan bahwasanya praktik-praktik
bisnis yang dilakukan oleh banyak perusahaan di Indonesia
dalam berhubungan dengan masyarakat yang tinggal
disekitarnya belum dapat dibilang memadai, tampaknya
kesimpulan itu tidak akan ditolak. Pertanyaan penting berkaitan
dengan kondisi itu adalah bagaimana cara untuk mengetahui
bahwa sebuah program pengembangan masyarakat oleh
perusahaan telah dapat dianggap memadai. Jawaban tersebut
sebenarnnya ada pada fungsi indikator keberhasilan.
Indikator keberhasilan akan menjadi sangat penting manakala
perusahaan hendak mengetahui kinerja program pengembangan
masyarakatnya, atau hendak menyusun rencana strategik yang
menginginkan tingkat kinerja tertentu (24).
Referensi
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 149
10. Saidi, Zaim dkk. 2003. Sumbangan Sosial Perusahaan:
Profil dan Pola Distribusinya di Indonesia Survei 226
Perusahaan di 10 Kota. Jakarta Selatan: Piramedia.
11. Dahlsrud, Alexander. How Corporate Social Responsibility
is Defined: an Analysis of 37 Definitions. Corporate Social
Responsibility and Environmental Management, Volume 15,
2008, hal. 1-13. www.interscience.wiley.com DOI:
10.1002/csr.132.
12. Nursahid, Fajar. 2006. Tanggung jawab sosial BUMN:
Analisis Terhadap Model Kedermawanan Sosial Krakatau
Steel, PT Pertamina dan PT Telekomunikasi Indonesia.
Depok: Piramedia.
13. Nasdian, Fredian Tonny. 2006. Pengembangan Masyarakat
(Community Development). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
14. Uphoff, NT., Cohen, JM., dan Goldsmith, AA. Rural
Development Committee: Feasibility and Application of
Rural Development Participation: State-of-the-Arth Paper.
New York: Cornell University.
15. Wicaksono, Mohammad Arya. 2010. Analisis Tingkat
Partisipasi Warga Dalam Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan (Studi Kasus: PT Isuzu Astra Motor Indonesia
Assy Plant Pondok Ungu). Skripsi. Tidak Diterbitkan.
Program Studi Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor.
16. Soemanto, Bakdi dkk. 2007.Sustainable Corporate : Implikasi
Hubungan Harmonis Perusahaan dan Masyarakat.Gresik: PT
Semen Gresik (Persero).
17. Rahman, Reza. 2009. Corporate Social Responsibility:
Antara Teori dan KenyataanYogyakarta: Media Pressindo
18. Arnstein, Sherry R. 1969. A Ladder Warga Negara
Partisipasi. http://lithgow-schmidt.dk/sherry-
arnstein/ladder-of-citizen-participation.html diakses pada 26
Januari 2011.
19. Rahman, Arief. Implementasi Corporate Social Responsibility
sebagai Kenggulan Kompetitif Perusahaan. Jurnal Sinergi
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 150
(Kajian Bisnis dan Manajemen), Volume 6, No. 2, 2004, hal. 37-
46.
20. Pemerintah Desa Cihamerang. 2010. “Profil Desa
Cihamerang”. Kecamatan Kabandungan. Kabupaten
Sukabumi.
21. Singarimbun, Masri. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta:
PT Pustaka LP3ES Indonesia
22. Sitorus, Felix. 1998. Penelitian Kualitatif “Suatu Perkenalan”.
Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu sosial untuk
laboratorium Sosiologi, Antropologi dan Kependudukan
Jurusan Ilmu sosial dan Ekonomi Pertanian, Fakultas
Pertanian IPB.
23. Lee, Min-Dong Paul. A Review of the Theories of Corporate
Social Responsibility:Its Evolutionary Path and the Road
Ahead. International Journal of Management Reviews Doi:
10.1111/j.1468-2370.2007.00226.xx, 2008. \
24. Djohan, Robby. 2007. Lead to togetherness. Fund Asia
Eduaction. Jakarta.
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 151
BAB X PENUTUP
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 152
Pada tahap ketujuh masyarakat yang telah berhasil
dalam memberdayakan dirinya, merasa tertantang untuk
upaya yang lebih besar guna mendapatkan hasil yang lebih
baik. Siklus pemberdayaan ini menggambarkan proses
mengenai upaya individu dan komunitas untuk mengikuti
perjalanan kearah prestasi dan kepuasan individu dan
pekerjaan yang lebih tinggi.
Apabila kita cermati dari serangkaian literatur tentang
konsep-konsep pemberdayaan masyarakat maka konsep
pemberdayaan adalah suatu proses yang diupayakan untuk
melakukan perubahan. Pemberdayaan masyarakat memiliki
makna memberi kekuatan/daya kepada kumpulan
masyarakat yang berada pada kondisi ketidakberdayaan agar
menjadi berdaya dan mandiri serta memiliki kekuatan
melalui proses dan tahapan yang sinergis.
Pengembangan masyarakat (community development)
sebagai salah satu model pendekatan pembangunan
(bottoming up approach) merupakan upaya melibatkan peran
aktif masyarakat beserta sumber daya lokal yang ada. Dan
dalam pengembangan masyarakat hendaknya diperhatikan
bahwa masyarakat punya tradisi, dan punya adat-istiadat,
yang kemungkinan sebagai potensi yang dapat
dikembangkan sebagai modal sosial.
Adapun pertimbangan dasar dari pengembangan
masyarakat adalah yang pertama, melaksanakan perintah
agama untuk membantu sesamanya dalam hal kebaikan.
Kedua, adalah pertimbangan kemanusiaan, karena pada
dasarnya manusia itu bersaudara. Sehingga pengembangan
masyarakat mempunyai tujuan untuk membantu
meningkatkan kemampuan masyarakat, agar mereka dapat
hidup lebih baik dalam arti mutu atau kualitas hidupnya.
Pengembangan masyarakat (community development)
terdiri dari dua konsep, yaitu “pengembangan” dan
“masyarakat”. Secara singkat, pengembangan atau
pembangunan merupakan usaha bersama dan terencana
untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Bidang-
bidang pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor,
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 153
yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial-budaya.
Masyarakat dapat diartikan dalam dua konsep, yaitu:
1. Masyarakat sebagai sebuah “tempat bersama”, yakni
sebuah wilayah geografi yang sama. Sebagai contoh, sebuah
rukun tetangga, perumahan di daerah perkotaan atau sebuah
kampung di wilayah pedesaan.
2. Masyarakat sebagai “kepentingan bersama”, yakni
kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan
identitas. Sebagai contoh, kepentingan bersama pada
masyarakat etnis minoritas atau kepentingan bersama
berdasarkan identifikasi kebutuhan tertentu seperti halnya
pada kasus para orang tua yang memiliki anak dengan
kebutuhan khusus (anak cacat fisik) atau bekas para
pengguna pelayanan kesehatan mental.
Istilah masyarakat dalam pengembangan masyarakat
biasanya diterapkan terhadap pelayanan-pelayanan sosial
kemasyarakatan yang membedakannya dengan pelayanan-
pelayanan sosial kelembagaan. Pelayanan perawatan manula
yang diberikan di rumah mereka dan/atau di pusat-pusat
pelayanan yang terletak di suatu masyarakat merupakan
contoh pelayanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan
perawatan manula di sebuah rumah sakit khusus manula
adalah contoh pelayanan sosial kelembagaan. Istilah
masyarakat juga sering dikontraskan dengan “negara”.
Misalnya, “sektor masyarakat” sering diasosiasikan dengan
bentuk-bentuk pemberian pelayanan sosial yang kecil,
informal dan bersifat bottom-up. Sedangkan lawannya, yakni
“sektor publik”, kerap diartikan sebagai bentuk-bentuk
pelayanan sosial yang relatif lebih besar dan lebih birokratis.
Pengembangan masyarakat yang berbasis masyarakat
seringkali diartikan dengan pelayanan sosial gratis dan
swadaya yang biasanya muncul sebagai respon terhadap
melebarnya kesenjangan antara menurunnya jumlah pemberi
pelayanan dengan meningkatnya jumlah orang yang
membutuhkan pelayanan. Pengembangan masyarakat juga
umumnya diartikan sebagai pelayanan yang menggunakan
pendekatan-pendekatan yang lebih bernuansa pemberdayaan
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 154
(empowerment) yang memperhatikan keragaman pengguna
dan pemberi pelayanan.
Dengan demikian, pengembangan masyarakat dapat
didefinisikan sebagai metoda yang memungkinkan orang
dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu
memperbesar pengaruhnya terhadap proses-proses yang
mempengaruhi kehidupannya. Menurut Twelvetrees,
pengembangan masyarakat adalah “the process of assisting
ordinary people to improve their own communities by
undertaking collective actions.” Secara khusus pengembangan
masyarakat berkenaan dengan upaya pemenuhan kebutuhan
orang-orang
yang tidak beruntung atau tertindas, baik yang disebabkan
oleh kemiskinan maupun oleh diskriminasi berdasarkan
kelas sosial, suku, jender, jenis kelamin, usia, dan kecacatan.
Dr. Husaini, SKM., M.Kes & Lenie Marlinae, SKM., MKL 155