Sejarah Peradilan Di Masa Abbasiyah
Sejarah Peradilan Di Masa Abbasiyah
Sejarah Peradilan Di Masa Abbasiyah
2. Qadhi al-Qudha..........................................................................................................................8
3. Wewenang Hakim.................................................................................................................11
a. Nazhar al-Mazhalim............................................................................................................15
b. Lembaga Hisbah................................................................................................................16
1. Reformasi Peradilan.................................................................................................................17
F. KASUS HUKUM........................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................22
1
A. Sekilas Tentang Sejarah Bani Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari Dinasti Bani Umayah. Dinamakan
Abbasiyah karena pendiri Dinasti ini adalah keturunan dari al-Abbas1 paman Nabi
Muhammad SAW, dan kekuasaan Bani Abbasiyah ini berlangsung dalam rentang
waktu yang panjang dari tahun 132 H/750 M sampai 656 H/1258 M2.
Abu al-Abbas al-Safah (750-754 M) adalah pendiri Dinasti Bani Abbas. Akan
tetapi karena kekuasaannya sangat singkat, Abu Ja’far al-Manshurlah (754-775 M)
yang banyak berjasa dalam membangun pemerintahan dinasti ini. Pada 762 M, Abu
Ja’far al-Manshur memindahkan ibukota dari Damaskus ke Hasyimiyah, kemudian
dipindahkan lagi ke baghdad dekat dengan Ctesiphon, bekas ibu kota Persia. Oleh
karena itu, ibu kota pemerintahan Dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa
Persia3
Abu Ja’far al-Mansur sebagai pendiri Dinasti Abbasiyah setelah Abu Abbas al-
Saffah, digambarkan sebagai orang yang kuat dan tegas. Ditangannyalah Abbasiyah
mempunyai pengaruh yang kuat. Pada masa pemerintahannya Bagdad sangatlah
disegani oleh kekuasaan Byzantium. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan
yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya.
1
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu al-Abbas bin Abdul Muthallib bin Hasyim. Para pemimpinnya
disebut khalifah, tetapi derajatnya lebih tinggi dari gelar khalifah di zaman Dinasti Umayah. Khalifah-
khalifah Abbasiyah menempatkan diri mereka sebagai zhilullah fi al-ardh (bayang-bayang Allah di bumi).
Endnotes Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), hlm. 160, mengutip dari Ali Abd. Al-Raziq, Al-Islam wa Ushul Al-Hukum, (Mesir: al-
Qahirah, 1925), hlm. 7. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000),
hlm. 49-50.
2
Khairul Asyifak, Sejarah Peradilan Islam di Masa Abbasiyah, (Media Resmi FAI Unisma Malang)
3
Hasan Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003)hlm. 22
2
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya
membagi masa pemerintahan Daulah Abbas menjadi lima periode:
1. Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh
Arab dan Persia pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki
pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani
Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga
masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan
daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut
juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk
Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
5. Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari
pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar
kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya.
Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat
kekuasaan politik dan agama sekaligus. Namun setelah periode ini berakhir,
pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan
ilmu pengetahuan terus berkembang4
4
Miftakhul Arif, Hukum Islam dan Sistem Peradilan Era Abbasiyah , Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam
, Vol. 1 No 2, Desember 2011
5
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, (Djakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 32. Mazhab
adalah pendapat, kelompok, aliran yang bermula dari pemikiran atau ijtihad seorang imam dalam memahami
sesuatu, baik filsafat, hokum (fiqh), teologi, maupun politik. Lebih lanjut baca Ensiklopedi Islam,Jilid 5, (Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm. 5.
3
Fokus perhatian ulama fikih dan mazhab pada masa ini adalah masalah
kehakiman (peradilan). Diantaranya adalah :
6
Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam , 24.
4
Pada perkembangan selanjutnya persidangan-persidangan pengadilan diadakan
di suatu majelis yang luas, yang memenuhi syarat kesehatan dan dibangun di tengah-
tengah kota, dengan menentukan pula hari-hari yang dipergunakan untuk sidang
pemeriksaan perkara. Para hakim tidak dibenarkan memutuskan perkara di tempat-
tempat yang lain. Dalam waktu ini pula diadakan beberapa perbaikan, seperti
menghimpun putusan-putusan secara teliti dan sempurna, serta mendaftarkan pula
wasiatwasiat dan hutang-piutang. Hakim memiliki wewenang untuk menangani
masalah-masalah perdata, wakaf dan menunjuk pengampu (kurator) untuk anak-anak
yang di bawah umur. Bahkan kadang-kadang hakim juga diserahi urusan-urusan
kepolisian, penganiayaan (mazalim) yang dilakukan oleh penguasa, qishas , hisbah ,
pemalsuan mata uang dan baitulmal (kas negara). Dalam hal ini Ibn Khaldun, seperti
dikutip Hasby, mengatakan bahwa kedudukan peradilan selain menyelesaikan
perkara-perkara sengketa, bertugas juga memelihara hak-hak umum, memperhatikan
keadaan anak-anak yang di bawah umur, orang yang tak cakap bertindak secara
hukum, seperti anak yatim, orang gila, orang pailit dan sebagainya dan mengurus juga
harta-harta wasiat, wakaf, menjadi wali bagi wanita-wanita yang tidak berwali dan
memperhatikan kemaslahatankemaslahatan lalu lintas, pembangunan-pembangunan
dan memeriksa keadaankeadaan saksi, agar dapat diketahui mana saksi yang adil dan
mana yang tidak adil.
Al-Mawardi membedakan dua jenis jabatan hakim, hakim yang otoritasnya
bersifat umum dan absolut (‘ammah mutlaqah), dan hakim yang otoritasnya bersifat
khusus dan terbatas ( khassah ). Tugas utama seorang hakim jenis pertama adalah
memutuskan kasus, menjadi wali anak yatim, orang sakit mental dan anak kecil serta
tugas-tugas lainnya sebagaimana yang telah dikemukakan di atas.
Ada tiga institusi yang berhak menjabat sebagai qadhi menurut Ibnu Farhun
dalam Tabshiratul Hukkam seperti dikutp oleh T.M. Hasbi ash-Shiddieqy,yaitu :
a. Khalifah. Dengan asumsi khalifah itu adalah orang yang cerdas dan bijaksana,
khalifah wajib ahli dalam menyelesaikan perkara;
b. Wazir, adalah pejabat pemerintahan setingkat menteri. Wazir berhak menjadi
qadhi dalam menyelesaikan perkara apabila diberi kewenangan atau ditunjuk
lansung oleh khalifah. Hal ini berlaku apabila wazir memiliki keahlian dalam
hal kehakiman.
c. Amir, merupakan penguasa daerah setingkat gubernur yang ditunjuk langsung
oleh khalifah. Sebagai khalifah di daerah, amir juga berhak menjadi qadhi
5
dalam rangka menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi di tengah umat yang
dipimpinnya.
Sementara itu, dalam pandangan fikih islam secaraa umum, hakim mesti
memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
Pada masa pemerintahan Abbasiyah, qadhi diangkat oleh khalifah dari kalangan
ulama yang memiliki sifat-sifat sebagaimana digambarkan di atas dengan gelar qadhi
al-qudha’. Orang yang pertama menjabat dan mendapatkan sebutan ini adalah Abu
Yusuf, seorang murid yang juga sahabaat dari Imam Abu Hanifah.
7
Hasjmy, sejarah Kebudayaan Islam, ( Jakarta; Bulan Bintang, 1995), cet. Ke-5, hlm. 234-235
7
keputusan-keputusan hukum itu lantas diregistrasi oleh pengadilan. Orang yang
pertama kali melakukan pencatatan putusan pengadilan itu adalah Salim bin
Anas, hakim Mesir yang kala itu menemui perkara yang sudah diputusnya namun
diajukan lagi kepadanya8.
Adapun sumber hukum yang digunakan oleh para hakim dan ulama
adalah:
2. Qadhi al-Qudha
Meskipun secara politis qadhi al-qudha’ diangkat dan kedudukannya
berada di bawah sultan, akan tetapi sebenarnya ia adalah penyeimbang kekuasaan
sultan dan pelaksana kekuasaan lainnya, seperti diwan dan wizarat. Mengingat
sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, tidak mungkin melaksanakan
seluruh kekuasaan negara. Karena itu beberapa kekuasaan eksekutif kemudian
didelegasikan kepada pelaksana kekuasaan lainnya10.
8
4. Mengelola harta wakaf dengan menjaga, mengembangkan, dan
menahannya serta mengalokasikannya ke posnya (pemanfaat).
5. Melaksanakan wasiat berdasarkan syarat bahwa pemberi wasiat dalam
hal yang diperbolehkan oleh syara’ dan tidak melanggarnya.
6. Menikahkan gadis-gadis dengan orang-orang yang sekufu (level) jika
mereka tidak mempunyai wali dan sudah masuk usia menikah.
7. Melaksanakan hudu kepada orang yang berhak menerimanya. Jika
menyangkut hak Allah SWT, ia melaksanakannya tanpa penggugat,
jika telah terbukti atas pengakuan dan barang bukti. Jika menyangkut
hak manusia pelaksanaan hudud ditentukan oleh permintaan
penggugat.
8. Memikirkan kemaslahatan umat dengan melarang segala gangguan di
jalan dan halaman rumah.
9. Mengawasi para saksi dan pegawainya serta memilih orang yang
mewakiliya, jika mereka jujur, kredibel, dan istiqamah, ia
mengangkatnya,dan jika berkhianat, maka diganti dengan pejabat
baru.
10. Menegakkan kesamaan di depan hukum antara orang yang kuat dan
lemah, dan menegakkan keadilan dalam readilan baik bagi orang
bangsawan maupun rakyat biasa.
Selain itu dalam sejarah Islam yang bisa menduduki jabatan Hakim
Agung adalah golongan ulama yang telah lama mengabdi di bidang yurisdiksi
Islam dan merupakan tokoh yang teguh pendirian. Para hakim agung dari
berbagai mazhab, selain mengajar ilmu agama di sekolah dan menjadi khatib di
masjid, mengabdi pada salah satu komponen pengadilan, yakni diwan al-
mahalim, al-hisbah, dan al-‘askariyah. Secara umum kewenangan badan-badan
peradilan yang berada di bawah naungan Mahkamah agung sebagai kekuasaan
yudikatif adalah:11
a. Al-Qadha’
Al-Qadha’ adalah lembaga yang berfungsi memberi
penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengkata,
perselisihan, dan masalah wakaf. Lembaga ini sudah dirintis sejak
11
Maadkur, Muhammad Salam, Peradilan Dalam Islam, Alih Bahasa Imron AM (Surabaya; PT Bina
Ilmu, 1993). Cetakan ke- 4, hlm. 20
9
aman Rasulullah SAW, dan disempurnakan pada masa sesudahnya,
terutama Dinasti Umayah dan Abbasiyah. Pada masa ke dua dinasti
tersebut setiap perkata diselesikan dengan berpedoman pada mazhab
masing-masing yang dianut oleh masyarakat.
b. Al-Hisbah
Al-Hisbah adalah salah satu badan pelaksana kekuasaan
kehakiman dalam Islam yang bertugas untuk menegakkan kebaikan
dan mencegah kealiman. Pejabat badan hisbah disebut muhtasib.
Tugasnya menangani kasus kriminal yang penyelesaiannya perlu
segera, mengawasi hukum, mengatur ketertiban umum, mencegah
terjadinya pelanggaran hak tetangga serta menghukum orang yang
mempermainkan hukum syara’.
c. Al-Mahzalim
Al-Mahzalim adalah salah satu komponen peradilan yang
berdiri sendiri dan merupakan peradilan untuk mengurusi
penyelesaian perkara perselisihan yang terjadi antara rakyat dan
negara. Selain itu juga menangani kasus-kasus penganiayaan yang
dilakukan oleh pejabat tertinggi, bangsawan, hartawan, atau keluarga
sultan terhadap rakyat biasa. Secara operasional qadhi al-mazhalim
bertugas menyelesaikan masalah yang tidak dapat diputuskan oleh
diwan al-qadha’ dan diwann al-muhtasib, serta meninjau kembali
putusan yang dibuat oleh dua hakim tersebut atau menyelesaikan
perkara banding.
d. Al-Mahkamah Al-Askariyah
Selain tiga bidang peradilan di atas, pada masa pemerintahan
Bani Abbas juga dibentuk mahkamah/peradilan militer dengan
hakimnya adalah qadhi al-askar atau qadhi al-jund. Posisi ini sudah
ada sejak aman Sultah Shalahudiin Yusuf bin Ayub. Tugasnya adalah
menghadiri sidang-sidang di Dar al-Adl, terutama ketika persidangan
tersebut menyangkut anggota militer atau tentara12.
12
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia , ( Jakarta: Kencana, 2008),
hlm. 166-169
10
3. Wewenang Hakim
Dalam ranah peradilan , Dinasti Abbasiyah telah banyak melakukan
terobosan penting dan berbagai kebijakan strategis. Sentralisasi kekuasaan
diterapkan di berbagai bidang, termasuk dalam pengangkatan dan pemberhentian
hakim, sehingga seluruh hakim yang ditugaskan di daerah-daerah merupakan
kewenangan pemerintah pusat. Melalui pendelegasian wewenang khalifah kepada
hakim agung, hakim – hakim di angkat dan diberhentikan oleh hakim agung (
qadhi al-qudhat ), sehingga hakim-hakim itu tidak lagi “bebas” , tetapi terkendali
dan terkontrol.
Adapun beberapa wewenang yang dimiliki oleh hakim agung ( qadhi al-
qudhah ), yaitu :
1) Mengangkat qadhi
2) Memecat qadhi
3) Menyelesaikan qadhi yang mengundurkan diri
4) Mengawasi hal ihwal qadhi
5) Meneliti putusan-putusan qadhi dan meninjau kembali putusan-putusan
tersebut
6) Mengawasi tingkah laku qadhi di tengah-tengah masyarakat
7) Mengawasi administratif dan pengawasan terhadap fatwa
8) Membatalkan suatu putusan hakim.
Pada masa ini hukum Islam mengalami perkembangan yang begitu hebat.
Perkembangan ini disebabkan oleh; Pertama, banyaknya mawali yang masuk islam.
Semua di mulai pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid pada tahun 787 M, sebelumnya
ia belajar di Persia sehingga ia cinta dan gemar pada ilmu pengetahuan dan filsafat.
Pada masanyalah kemajuan dicapai dan dimulai pula penerjemahan buku-buku
Yunani ke dalam bahasa Arab serta berkembangnya organisasi peradilan. Kedua,
kemajuan ilmu pengetahuan menyebabkan berkembangnya pemikiran . Ketiga, umat
Islam berupaya melestarikan Al-Qur’an dengan dua cara , yaitu dicatat dan dihafal.
13
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia , ( Jakarta: Kencana,
2008), hlm. 152
12
Khalifah Abu Ja’far al-Mansur sangat menjunjung tinggi kebebasan berpikir,
sehingga terutama di Baghdad, pergerakan ilmu pengetahuan semakin berkembang
pesat. Pembukuan hadits sudah dimulai masa Umar bin Abdul Aziz, kemudian pada
masa itu khalifah selanjutnya menganjurkan kepada Ulama untuk membukukan
berbagai ilmu pengetahuan. Masa ini lahirlah istilah-istilah fikih dan lahir pula
mazhab-mazhab fikih.
Setidaknya ada 13 aliran yang muncul pada masa ini. Namun, tidak semua
aliran itu dapat diketahui dasar-dasar dan metode istinbath hukumnya. Aliran/mazhab
hukum Islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga sekarang adalah 4
mazhab yang utama14
Persaingan ilmu dan perkembangan ilmu pengetahuan begitu ketat pada masa
itu, seperti ilmu qira’at, tafsir, fiqh, ushul fiqih, hadits, filsafat, kedokteran, termasuk
juga kegiatan penerjemahan.
Pada masa awal berdirinya, para khalifah Dinasti Abbasiyah masih terlihat
ikut campur tangan dalam keputusan-keputusan hukum yang dibuat oleh badan-badan
peradilan. Khalifah bertugas mengawasi dan mengontrol pekerjaan hakim, jika
terdapat hakim yang melanggar dan menyimpang dari tugasnya, maka khalifah segera
memecatnya. Akan tetapi, semenjak berkembang dan munculnya imam-imam
mujtahid, kondidi seperti itu lambat laun mulai berubah. Hal ini mengingat adanya
14
Basiq Djalil, Peradilan Islam, ( Jakarta; AMZAH, 2013 ), hal. 157
15
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, ( Semarang: Pustaka Riski Putra,
1997), hlm. 22
13
beberapa pertikaian dan pertengkaran yang terjadi antara hakim-hakim dengan
pendapat pribadi mujtahid yang kadangkala berbenturan satu dengan lainnya.
Perlu dicatat bahwa pada masa akhir kekuasaan Abbasiyah jumlah qadhi al-
qudhat tidak hanya satu, melainkan lebih dari satu. Hal ini disebabkan munculnya
beberapa pusat kekuasaan baru , baik Mesir (Dinasti Fathimiyah), di India (Dinasti
Mughal), di Iran (Dinasti Safawiy), di Teluk Balkan (Dinasti Iilkhan) sehingga di
masing-masing tempat itu terdapat seorang qadhi al-qudhat yang memiliki otoritas
hukum untuk menangani perkara banding yang diajukan kepadanya dalam batas
wilayah negeri tersebut. Bahkan pada masa Dinasti Mamluk di Mesir setiap mazhab
memiliki seorang qadhi al-Qudha yang wewenangnya hanya terbatas di kalangan
pengikut mazhabnya saja.
Jika pada masa Khulafa al-rasyidin dan masa Umaya khalifah memegang
kekuasaan yudikatif dan eksekutif, maka pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat
dalam urusan peradilan. Khalifah tidak lagi mengurus dan memeriksa perkara-perkara
yang diajukan oleh umat Islam ke pengadilan. Setiap perkara yang masuk ke
pengadilan, para hakim yang ditunjuk oleh khalifah-lah yang akan mengusut perkara
16
Beliau adalah salah seorang Sultan pada masa awal Dinasti Mamluk yang kepemimpinannya
diragukan oleh Qadhi al-Izz bin Abd al-Salam, mengingat ia belum memiliki akta merdeka sebagai hamba
(budak) yang dibeli. Namun setelah ia menerima bukti akta kemerdekaan dari Sultannya, al-Izz bin Abd. Al-
Salam kemudian memba’iatnya.
17
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia , ( Jakarta: Kencana,
2008), hlm. 153
18
Jabatan tersebut adalah katib al-sirr, nazir, nazir al-auqaf, syaikh, syahid, mu’id, mudarris, imam,
khatib, dan muqri’.
14
tersebut. Hal ini bisa dimengerti mengingat bahwa pada saat iu Khalifah abbasiyah
sedang giat-giatnya memikirkan persoalan politik baik dalam negeri maupun luar
negeri, sehingga tidak punya kesempatan lagi untuk membina peradilan secara
langsung. Sehingga yang terjadi adalah khalifah tidak lagi memiliki kemampuan
ijtihad dan keahlian dalam hukum Islam sebagaimana keahlian yang dimiliki oleh
empat khulafa’ al-rasyidun yang disamping sebagai seorang khalifah juga seorang ahli
hukum.
Pada akhirnya khalifah melepaskan diri dari campur tangan terhadap lembaga
peradilan itu, karena sesungguhnya pendapat hakim itu kebanyakan bukan murni
keputusan hukum, melainkan berupa pesan-pesan yang diinginkan oleh khalifah untuk
maksud-maksud tertentu. Demikianlah dapat disimpulkan bahwa pada awalnya
Dinasti Abbasiyah berusaha mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh
peradilan, akan tetapi pada masa-masa berikutnya berbagai faktor campur tangan itu
akhirnya ditinggalkan. Khalifah akhirnya hanya membuat regulasi yang sifatnya
umum dan formalitas belaka, seperti pengangkatan hakim-hakim daerha yang setiap
hakim itu pada akhirnya memiliki otoritas dan independensi yang tinggi.
a. Nazhar al-Mazhalim
Nazhar al-Mazhalim adalah lembaga peradilan yang menangani
masalah kezaliman penguasa serta keluarganya terhadap rakyat. Nazhar al-
Mazhalim juga melindungi masyarakat dari berbagai bentuk penganiayaan
penindasan maupun permusuhan dari badan-badan pemerintah baik di pusat
maupun di daerah. Peradilan ini bertujuan agar hak rakyat dapat
dikembalkan, serta dapat menyelesaikan persengketaan antara penguasa dan
warga negara19
Dalam kasus mazhalim, peradilan dapat bertindak tanpa harus
menunggu adanya suatu gugatan dari yang dirugikan. Artinya, apabila
mengetahui adanya kasus mazali, qadhi peradilan mazalim ini harus secara
langsung menyelesaikan kasus tersebut. Dengan demikian, peradilan
mazalim memiliki kekuasaan untuk hal sebagai berikut;
19
Faruq, Al-Asadullah, Hukum Acara Peradilan Islam, (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2009).
15
1. Memeriksa dengan teliti sikap dan tingkah laku para pejabat beserta
keluarganya, mencegah terjadinya pelanggaran yang mungkin mereka
lakukan, dan mencegah kecenderungan mereka untuk bertindak tidak
jujur.
2. Memeriksa kecurangan para pegawai yang bertanggung jawab atas
pungutan dana untuk negara.
3. Memeriksa pejabat yang bertanggung jawab atas keuangan negara.
4. Memeriksa secara cermat penanganan dan penyaluran harta wakaf
dan kepentingan umum lainnya.
5. Mengembalikkan hak rakyat yang di ambil aparat negara20.
Secara khusus peradilan ini juga menangani perkara yang diadukan
sebagai berikut;
1. Gaji para buruh atau pekerja yang dibatalkan atau ditangguhkan
secara sepihak.
2. Harta yang diambil secara paksa oleh para penguasa, termasuk harta
yang disita negara.
3. Pembayaran gaji aparat negara.
4. Persengketaan terhadap masalah harta wakaf.
5. Keputusan hakim yang sulit dilaksanakan sehubungan dengan
lemahnya posisi peradilan.
6. Kasus yang tidak dapat diselesaikan oleh peradilan hisbah, sehingga
mengakibatkan terabaikannya kemaslahatan umum.
7. Pelaksanaan ibadah pokok, seperti shalat berjamaah, shlata jum’at,
shalat Id dan pelaksanaan haji.
8. Penanganan kasus mazlim, penetapan hukuman, dan pelaksanaan
keputusan tersebut21.
b. Lembaga Hisbah
Tugas Praktis lembaga in antara lain:
1. Menangani persoalan yang berkaitan dengan pengurangan dan ukuran
timbangan.
20
Nasrun Hroen, Mazlim dan Ensiklopedi Islam, Jilid 5 (Jakarta; PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2005),
hlm.4
21
Nasrun Hroen, Mazlim dan Ensiklopedi Islam, Jilid 5 (Jakarta; PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2005),
hlm.4
16
2. Menangani persoalan penyembunyian atau penipuan barang/harga jual
barang tersebut.
3. Memaksa or ang yang berutang untuk membayar utangnya jika ia
mengulur-ulur pembayaran padahal ia mampu.
4. Mengawasi para guru agar tidak memukul atau berlaku kasar terhadap
anak didiknya.
5. Mengawasi binatang ternak/tunggangan untuk tidak membawa beban
melebihi kapasitas.
6. Menghukum orang yang suka menghina/berkata kotor agar tercipta
suasana harmoni dalam masyarakat.
1. Reformasi Peradilan
Perkembangan di bidang pengetahuan pada masa Bani Abbasiyah disertai
pula dengan beberapa terobosan penting dalam bidang peradilaan. Pada
perkembangan berikutnya nilai-nilai reformasi yang telah dirintis itu dapat
diakui dan dilestarikan untuk diterapkan sebagai sebagai sebuah kodifikasi yang
sangat besar maanfaatnya. Beberapa kemajuan yang telah dicapai dalam bidang
peradilan Islam pada masa itu, antara lain meliputi berikut ini,
17
Dalam membuat dokumentasi digunakan buku register, yaitu
buku pencatatan yang berhubungan dengan administrasi hukum
sekaligus sebagai dokumentasi yang diperlukan untuk mencatat
putusan, pencatatan wasiat, dan utang-piutang.
c. Membuat Lembaga Al-Syurthah
Lembaga al-syurthah, yaitu institusi setingkat jabatan kepolisian
yang bertugas untuk menguatkan penegakan amar ma’ruf nahi
munkar, mengatur lalu lintas, menertibkan dan mengawasi bangunan.
Di samping itu, bertugas pula dalam mengurus jawatan kesehatan,
mengatur perdagangan, membawa dan menyeret para pelanggar
hukum, para pemabuk dan orang-orang yang melakukan perbuatan
tidak senonoh ke pengadilan, serta mengeksekusi potong tangan bagi
pencuri yang tertangkap basah.
d. Mendirikan Lembaga al-Mazhalim
Lembaga al-Mazhalim, yaitu institusi peradilan yang bertugas
dan berfungsi untuk menyelesaikan perkara dan menghukum penguasa
atau pejabat pemerintah yang dengan sewenang-wenang memeras atau
zalim terhadap rakyat kecil yang jelata. Di samping itu, juga
berwenang untuk menampung pengaduan-pengaduan tentang
kejahatan yang dilakuakn oleh pejabat-pejabat. Karena itu, lembaga ini
dikenal juga dengan sebutan dewan pengaduan.
e. Mengangkat Pejabat Moneter
Dalam menertibkan keuangan negara dibentuk dan diangkat
pejabat moneter, yaitu jabatan khusus yang bertugas mengawasi
peredaran mata uang, mengatur sirkulasi keluar masuk uang dari
perbendaharaan negara.
f. Mendirikan Bait al-Mal
Dalam rangka mengelola dan menyimpan keuangan negara,
dibentuk Baait al-Mal, yaitu kas perbendaharaan negara yang bertugas
dan berfungsi sebagai lumbung atau masukan devisa yang diperoleh
negara.
g. Mengangkat Qadhi al-Qudhat
Qadhi al-Qudhat, yaitu jabatan tertinggi kehakiman setingkat
Ketua Mahkamah Agung. Qadhi al-Qudhat itu bertugas mengangkat
18
dan memberhentikan hakim, membina dan mengawasi kinerja hakim,
serta meninjau ulang (peninjauan kembali/PK, pen.) putusan-putusan
yang dikeluarkan para hakim.
h. Melegitimasi Wilayah al-Tahkim
Wilayat al-tahkim, yaitu lembaga penengah yang setara dengan
konsultasi atau lembaga bantuan hukum, yang kelembagaannya secara
struktural terpisah dari lembaga peradilan. Lembaga ini bertugas untuk
menyantuni dan memberikan pelayanan hukum terhadap para pencari
keadilan dan kedamaian secara sukarela.
19
ini tidak memiliki wewenang untuk mengangkat hakim, bahkan
keberadaannya sendiri tidak berhak menyelesaikan perkara dan
memutuskan hukum selaku hakim.
Pejabat daerah yang diberi wewenang untuk menyelesaikan
perkara kezaliman, juga mempunyai wewenang untuk
memutuskan hukum sebagai hakim.
c. Wilayat aWizarah
Yaitu lembaga kementerian yang mendapatkan tugas khusus
menangani bidang tertentu dari khalifah. Sebagian besar ulama
berpendapat bahwa segala tanggung jawab khalifah itu boleh diserahkan
sepenuhnya kepada wazir. Karena itu, wazir berwenang mengangkat,
memantau, dan memberhentikan hakim di daerah sesuai dengan petunjuk
khalifah.
F. KASUS HUKUM
Dalam catatan sejarah, al-Mansur menyuruh pengawalnya membunuh Abu
Muslim al-Khurasani dan Sulaiman bin Katsir. Al-Manshur juga menangkap
pemimpin-pemimpin kelompok Rawandiyah dan memenjarakan 200 orang
pengikut kelompok.
20
Daud (menteri pengganti Abu Abdullah) yang akhirnya dipenjara sepanjang masa
pemerintahannya, menghukum serta menyiksa Isa bin Musa.
Raja Musa bin Jenghis Khan memenjarakan tiga orang yang masih
bersaudara dan membebaskannya kaarena kesaksian yang diberikan oleh seorang
wanita. Di antara naama-nama hakim ketika itu adalah Abi Laili.
21
DAFTAR PUSTAKA
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT Raja Garfindo Persada, 2011)
Cetakan ke-2.
Faruq, Al-Asadullah, Hukum Acara Peradilan Islam, (Jakarta: Pustaka Yustisia,
2009).
Hasan, Hasan Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003).
Hasjmy, sejarah Kebudayaan Islam, ( Jakarta; Bulan Bintang, 1995), cet. Ke-5.
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
( Jakarta: Kencana, 2008 ).
Asyifak , Khairul, Sejarah Peradilan Islam di Masa Abbasiyah, (Media Resmi FAI
Unisma Malang).
Arif ,Miftakhul, Hukum Islam dan Sistem Peradilan Era Abbasiyah , Jurnal Pemikiran
dan Hukum Islam, Vol. 1 , No 2 , Desember 2011.
Nasrun Hroen, Mazlim dan Ensiklopedi Islam, Jilid 5 (Jakarta; PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 2005)
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, (Djakarta: Bulan Bintang, 1970).
22