MAKALAH TAFSIR AYAT Hukum Keluarga-1

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH TAFSIR AYAT-AYAT HUKUM KELUARGA

Tentang
NAFKAH

Disusun Oleh:
Ilham Roozman: 2113010180

Dosen Pengampu:
Dr. Kholidah, M. Ag

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG
TA:1444/2023
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nafkah merupakan hak isteri dan anak-anak untuk mendapatkan makanan, pakaian dan
kediaman, serta beberapa kebutuhan pokok lainnya dan pengobatan, bahkan sekalipun si isteri
adalah seorang wanita yang kaya. Nafkah dalam bentuk ini wajib hukumnya berdasarkan al-
Qur‟an, al-Sunnah dan ijma‟ ulama. Bila kedua pasangan itu telah sama-sama dewasa, hal ini
merupakan kewajiban suami untuk memberikan makanan, pakaian dan kediaman bagi isteri
dan anak-anaknya sesuai dengan tingkat kedudukan sosial pasangan tersebut dan selaras
dengan adat kebiasaan masyarakat di tempat tinggal mereka.

Kedudukan suami dalam keluarga adalah sebagai kepala keluarga. Yang mana suami
wajib memberikan nafkah baik rumah, sandang, maupun pangan. Dan istri berperan sebagai
ibu rumah tangga yang mengatur keuangan dalam rumah tangga yang diperoleh dari nafkah
yang diberikan oleh suami kepada istri. Sebagaimana diatur dalam Pasal 79 Kompilasi Hukum
Islam (KHI) berbunyi : “(1) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga; (2) Hak
dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dengan masyarakat.”

B. Rumusan Masalah.

1. Bagaimana Terjemahan dan Tafsiran dari Q.S. al-Baqarah: 233?

2. Bagaimana Terjemahan dan Tafsiran dari Q.S. al-Thalaq: 7?

C. Tujuan Pembahasan.

1. Untuk mengetahui terjemahan dan tafsiran dari Q.S. al-Baqarah: 233.

2. Untuk mengetahui terjemahan dan tafsiran dari Q.S. al-Thalaq: 7.


PEMBAHASAN

A. Q.S. Al- Baqarah: 233

‫علَى ْال َم ْولُ ْو ِد لَهٗ ِر ْزقُ ُه َّن‬ َ ‫عةَ ۗ َو‬ َ ‫ضا‬ َ ‫الر‬ َّ ‫ض ْعنَ ا َ ْو ََل دَ ُه َّن َح ْولَي ِْن َكا ِملَي ِْن ِل َم ْن ا َ َرا دَ ا َ ْن يُّتِ َّم‬ِ ‫َوا ْل َوا ِل ٰدتُ ي ُْر‬
‫علَى ْال َوا‬ َ ‫ضا ٓ َّر َوا ِلدَة ٌ ِب َولَ ِدهَا َو ََل َم ْولُ ْودٌ لَّهٗ ِب َولَد ِٖه َو‬ َ ُ ‫س اِ ََّل ُو ْس َع َها ۗ ََل ت‬ ٌ ‫ف نَ ْف‬ ُ َّ‫ف ۗ ََل ت ُ َكل‬ ِ ‫َو ِكس َْوت ُ ُه َّن ِبا ْل َم ْع ُر ْو‬
‫علَ ْي ِه َما ۗ َواِ ْن ا َ َر ْدت ُّ ْم ا َ ْن‬
َ ‫َاو ٍر فَ ََل ُجنَا َح‬ ُ ‫ض ِم ْن ُه َما َوتَش‬ ٍ ‫ع ْن ت ََرا‬ َ ‫صا اَل‬ َ ِ‫ث ِمثْ ُل ٰذلِكَ ۗ فَ ِا ْن ا َ َرا دَا ف‬ ِ ‫ِر‬
‫ّٰللاَ َوا ْعلَ ُم ْۤ ْوا ا َ َّن ه‬
‫ّٰللاَ ِب َما‬ ِ ‫سلَّ ْمت ُ ْم َّم ْۤا ٰات َ ْيت ُ ْم ِبا ْل َم ْع ُر ْو‬
‫ف ۗ َوا تَّقُوا ه‬ َ ‫ضعُ ْۤ ْوا ا َ ْو ََل دَ ُك ْم فَ ََل ُجنَا َح‬
َ ‫علَ ْي ُك ْم اِذَا‬ ِ ‫ت َ ْست َْر‬
ِ َ‫ت َ ْع َملُ ْونَ ب‬
‫صي ٌْر‬

Artinya: “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang
ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian
mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita)
karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin
menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa
atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah
dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Kosa kata:

ُ‫ َو ْال َوا ِلدَات‬: Para Ibu, baik ibu kandung maupun bukan.

‫ْال َح ْول‬ : Setahun. Adapun hitungannya adalah dimulai dari tanggal, bulan yang sekarang
sampai pada tanggal dan bulan yang sama pada tahun berikautnya.

‫ َح ْولَي ِْن‬: Dua tahun penuh.

‫ص اَل‬
َ ِ‫ف‬ : Penyapihan. Disebut demikian karena sang anak dipisahkan dari susu ibunya, lalu
digantikan dengan berbagai asupan lainnya.

ُ ‫ تَش‬: mengeluarkan pikiran dan semacamnya atau bermusyawarah.


‫َاو ٍر‬

Tafsirannya:

Kata (‫ ) ْال َوا ِلدَات‬al-wâlidât dalam penggunaan al-Qur`an berbeda dengan ((‫ أمهات‬ummahât
yang merupakan bentuk jamak dari kata (‫ )أم‬umm. Kata ummahât digunakan untuk menunjuk
kepada para ibu kandung, sedang kata al-wâlidât memiliki makna para ibu, baik ibu kandung
maupun bukan. Ayat ini menunjukkan jika Al-Qur`an sejak dini telah menggariskan bahwa air
susu ibu (ASI), baik ibu kandung maupun bukan adalah makanan terbaik buat bayi hingga usia
dua tahun. Namun demikian air susu Ibu kandung lebih baik dari pada selainnya. Dengan
menyusu pada Ibu kandung, anak akan merasa lebih tentram, sebab menurut penelitian ilmuan,
ketika itu bayi mendengar suara detak jantung ibu yang telah dikenalnya secara khusuk sejak
dalam perut. Imam Al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya bahwa menyusui dalam jangka waktu
dua tahun itu bukanlah sesuatu yang fiks. Namun boleh saja menyapih kurang dari jangka
waktu dua tahun itu.

Selanjutnya terkait ayat (merupakan kewajiban atas yang dilahirkan untuknya memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf) dijelaskan sebagai kewajiban
para ayah untuk memberikan nafkah kepada para ibu yang diceraikan secara ba’in, bukan raj’iy
yaitu berupa sesuatu yang mengenyangkan dan pakaian dengan cara yang makruf yakni sesuai
dengan tradisi yang berkembang di tempat dimana perempuan itu tinggal, tanpa berlebih-
lebihan (pemborosan) dan tidak pula dengan cara yang bakhil serta memberi dengan kadar
kemampuannya.

Adapun terkait diungkapkannya kata al wâlid (ayah) sebagai orang yang wajib
memberikan nafkah dan imbalan penyusuan anaknya (jika istri menuntut) menunjukkan jika
anak itu membawa nama ayah, yang mana seakan-akan anak lahir untuknya, karena nama ayah
akan disandang oleh sang anak, yakni dinisbahkan kepada ayahnya. Kemudian dilanjutkan
dengan firman-Nya (Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya)
melarang adanya kemudharatan baik yang dialami oleh seorang ibu maupun ayahnya karena
hadirnya seorang anak yakni jangan sampai ayah mengurangi hak yang wajar bagi seorang ibu
dalam pemberian nafkah dan penyediaan pakaian karena mengandalkan kasih sayang ibu
kepada anaknya dan juga ayah tidak diperkenankan menyusukan anak kepada orang lain,
sementara ibunya sendiri bersedia menyusui anaknya.

Sebagimana juga tidak boleh anak itu ditarik dari ibunya hanya semata-mata karena alasan
ingin menyengsarakan ibunya, maka hadirnya anak tidak diperbolehkan untuk dijadikan
sebagai alat untuk menyusahkan suaminya. (Dan juga seorang ayah menderita) karena ibu
menuntut sesuatu di atas kemampuan sang ayah dengan dalih kebutuhan anak yang disusuinya.
Adapun tuntutan lainnya bisa berupa larangan ibu kepada ayahnya untuk melihat anaknya dan
bermain dengannya.
Ayat selanjutnya berbicara tentang waris, yaitu (Ahli waris pun (berkewajiban) seperti
itu pula), yakni jika si ayah tidak ada, baik karena hilang ataupun telah meninggal dunia, maka
yang berkewajiban melakukan tugas si ayah adalah ahli warisnya untuk memenuhi kebutuhan
ibu sang anak agar ia dapat melaksanakan penyusuan dan pemeliharaan anak itu dengan baik.
Adapun yang dimaksud dengan para waris adalah yang mewarisi sang ayah, yakni anak yang
disusukan.

Firman-Nya (tidak ada dosa bagi kamu) yakni bagi ayah memberi kesan bahwa boleh
jadi ibu yang enggan menyusukan memikul dosa karena ketika itu air susu yang dimilikinya
akan mubadzir dan kasih sayang kepada anak yang tidak dimiliki sepenuhnya, kecuali oleh ibu
tidak difungsikannya.

Sebab turunnya Ayat:

Pada ayat ini menjelaskan tentang hukum radha'ah, yang mana mempunyai hubungan
sangat erat dengan ayat sebelumnya, karena ayat sebelumnya menjelaskan tentang nikah,
thalaq serta hal lain yang berkaitan dengan hukum keluarga (pernikahan).

Sebagai akibat dari perilaku thalaq, maka tidak sedikit seorang istri merasa sakit hati
dan ingin melampiaskan dendam. Pelampiasan ini mereka lakukan dengan cara bersikap acuh
kepada anak mereka yang masih kecil bahkan sampai tidak mau untuk memberikan air susu
ibu yang sangat dibutuhkan oleh anak bayinya.

Oleh sebab itulah ayat ini diturunkan sebagai peringatan untuk perempuan-perempuan
yang ditalak untuk tetap memberikan perhatian dan kasih sayang dengan sepenuh hati dan
kerelaan kepada anaknya.

B. Q.S. al- Thalaq: 7.

ۗ ‫سا ا ََِّل َم ْۤا ٰا ٰتٮ َها‬


‫ّٰللاُ نَ ْف ا‬
‫ف ه‬ ‫علَ ْي ِه ِر ْزقُهٗ فَ ْليُ ْن ِف ْق ِم َّم ْۤا ٰا ٰتٮهُ ه‬
ُ ‫ّٰللاُ ۗ ََل يُ َك ِل‬ َ ‫سعَتِ ٖه ۗ َو َم ْن قُد َِر‬ َ ‫ِليُ ْن ِف ْق ذُ ْو‬
َ ‫سعَ ٍة ِم ْن‬
‫عس ٍْر يُّس اْرا‬ ‫سيَجْ عَ ُل ه‬
ُ َ‫ّٰللاُ بَ ْعد‬ َ

Artinya: "Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut


kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta
yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan
apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah
kesempitan."
Kosa kata:

‫ لينفق‬: Agar memberi nafkah

‫ سعة‬: Kemampuan

‫ رزقه‬: Rizkinya

Tafsiran ayat:

Seorang lelaki jika telah menceraikan istrinya, maka selama masa idah dia harus
memberikan nafkah kepada istrinya sesuai dengan kemampuannya. Jika dia orang yang kaya
maka hendaknya dia memberikan infak sesuai kadar dia sebagai orang kaya. Adapun jika
seorang yang miskin, maka dia berinfak sesuai apa yang Allah berikan kepadanya (ala
kadarnya). Ini semua menunjukkan bahwa Allah tidak membebani seorang hamba diluar dari
kesanggupannya. Jika pada ayat sebelumnya Allah memberikan perhatian pada kondisi wanita
yang dicerai, maka pada ayat ini Allah‫ ﷻ‬memberikan perhatian bagi seorang suami (laki-laki).

Dan di ayat ini Allah kemudian memberikan kabar gembira bahwa Allah ‫ ﷻ‬akan
memberikan kelapangan. Akan tetapi sebagaimana telah kita sebutkan sebelumnya bahwa
syaratnya adalah bertakwa kepada Allah.

Asbabun nuzul:

Al-Hafiz Abul Qasim At-Tabrani mengatakan di dalam kitab Mu'jamui Kabir-nya, telah
menceritakan kepada kami Hasyim ibnu Yazid At-Tabrani, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Ismail ibnu Iyasy, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan
kepadaku Damdam ibnu Zur'ah, dari Syuraih ibnu Ubaid ibnu Abu Malik Al-Asy'ari yang nama
aslinya Al-Haris, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

" .ٍ‫صدَّقَ ِم ْن َها ِبُُوقِيَّة‬ ٍ ‫ع ْش ُر أ َ َوا‬


َ َ ‫ فَت‬،‫ق‬ ٍ ‫صدَّقَ ِم ْن َها ِبدِين‬
َ ‫ َو َكانَ ِِلخ ََر‬.‫َار‬ َ َ ‫ فَت‬،‫ير‬ َ ‫ َكانَ ِِل َ َح ِد ِه ْم‬،‫ث َ ََلثَةُ نَفَ ٍر‬
َ ِ‫عش ََرة ُ دَنَان‬
‫ " ُه ْم فِي ْاِلَجْ ِر‬:‫سلَّ َم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّٰللا‬ َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫ّٰللا‬ ُ ‫ فَقَا َل َر‬."‫ق‬ َ َ ‫ فَت‬،ٍ‫َو َكانَ ِِلخ ََر ِمائَةُ أُوقِيَّة‬
ٍ ‫صدَّقَ ِم ْن َها ِب َع ْش ِر أ َ َوا‬
َ ‫ { ِليُ ْن ِف ْق ذُو‬:‫ّٰللاُ ت َ َعالَى‬
َ ‫س َع ٍة ِم ْن‬
}‫سعَتِ ِه‬ َ َ ‫ ُك ٌّل قَ ْد ت‬،‫س َوا ٌء‬
َّ ‫ قَا َل‬،‫صدَّقَ ِبعُ ْش ِر َما ِل ِه‬ َ

Ada tiga orang yang salah seorang dari mereka memiliki sepuluh dinar, lalu ia
menyedekahkan sebagian darinya sebanyak satu dinar. Dan orang yang kedua mempunyai
sepuluh auqiyah (emas), lalu ia menyedekahkan satu auqiyah dari miliknya. Dan orang yang
ketiga memiliki seratus auqiyah, lalu ia menyedekahkan sebagiannya sebanyak sepuluh
auqiyah. Kemudian Rasulullah Saw. melanjutkan bahwa mereka sama dalam kadar pahala
yang diperolehnya, masing-masing dari mereka telah menyedekahkan sepersepuluh miliknya.
Allah Swt. telah berfirman, "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya.

DAFTAR PUSTAKA

Tafsir jalalain, Q.S. Al- Baqarah: 233.


Tafsir ahkam surat Al- Baqarah: 233.
Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur`an Al-Azhim,
Tafsir surat Ath-Thalaq ayat: 6-7.

Anda mungkin juga menyukai