Makalah Munakahat Poligami
Makalah Munakahat Poligami
Makalah Munakahat Poligami
POLIGAMI
DI SUSUN OLEH:
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kita sehingga kita berhasil menyelesaikan makalah ini yang berjudul ‘poligami’
Makalah ini akan memberikan informasi berupa defenisi,poligami, sebab-sebab dan dampak
terjadinya poligami.
Kita menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. SemogaAllah SWT senantiasa meridhai segala usaha
kita.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Poligami pada masa sekarang ini merupakan sebuah fenomena sosial dalam masyarakat,
dimana fenomena poligami pada saat ini menemui puncak kontroversinya, begitu banyak
tanggapan-tanggapan dari khalayak mengenai poligami, baik yang pro ataupun kontra.
Masalah poligami bukanlah masalah baru lagi, begitu banyak pertentangan didalamnya yang
sebagian besar dinilai karena perbedaan pandangan masyarakat dalam memberikan sudut
pandang pada berbagai hal yang terkait masalah poligami baik ketentuan, batasan, syarat,
masalah hak, kewajiban dan kebebasan serta hal-hal lainnya.
Dalam islam, masalah poligami juga tidak serta merta diperbolehkan dan masih juga
berupa perkara yang masuk dalam konteks "pertimbangan", hal ini terbukti dalam ayat-ayat
ataupun suatu riwayat yang dijadikan dasar sumber hukum dalam perkara poligami sendiri
juga terikat aturan- aturan, syarat-syarat serta ketentuan lain berupa yang kesanggupan,
keadilan dan faktor lainnya yang harus dipenuhi dalam berpoligami. Di Indonesia sendiri
juga terdapat kebijakan hukum yang mengatur masalah poligami diantaranya terdapat dalam
Undang-undang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Poligami merupakan suatu tindakan yang saat ini masih menjadi pro kontra di masyarakat.
Hal ini dikarenakan perbedaan pendapat / pandangan masyarakat. Masih banyak yang
menganggap poligami adalah suatu perbuatan negatif.
Hal ini terjadi karena poligami dianggap menyakiti kaum wanita dan hanya
menguntungkan bagi kaum pria saja. Di Indonesia sendiri, masih belum ada Undang-Undang
yang menjelaskan secara rinci boleh tidaknya poligami dilakukan.
Tujuan hidup keluarga adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin. Namun
dengan adanya Polligami yang dilakukan sang suami, kebahagiaan dalam keluarga dapat
menjadi hilang. Hal ini tentunya merugikan bagi kaum istri dan anak-anaknya karena mereka
beranggapan tidak akan mendapatkan perlakuan yang adil dari sang suami.
Pandangan masyarakat terhadap poligami beragam, ada yang setuju namun juga ada yang
tidak setuju atau menentang terlebih lagi bagi kaum hawa yang merasa dirugikan, karena
harus berbagi dengan yang lain. Hal ini dipengaruhi dengan perekonomian keluarga yang
tidak memungkinkan poligami.
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN POLIGAMI
Kata poligami secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu polus yang berarti
banyak dan gamos yang bebarti perkawinan. Bila pengertian ini digabungkan maka akan
berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang. Sistem perkawinan bahwa
seorang laki-laki mempunyai lebih seorang istri dalam waktu yang bersamaan, atau seorang
perempuan mempunyai suami lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan, pada
dasarnya disebut poligami.
Pengertian poligami menurut bahasa indonesia adalah sistem perkawinan yang salah satu
pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenis di waktu yang bersamaan. Para ahli
membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari seorang istri dengan
istilah poligini yang berasal dari kata polus berarti banyak dan gune berarti perempuan.
Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut poliandri
yang berasal dari kata polus yang berarti banyak dan andros berarti laki-laki.
Jadi kata yang tepat bagi seorang laki-laki yang mempunyai istri lebih dari seorang dalam
waktu yang bersamaan adalah poligini bukan poligami. Meskipun demikian, dalam perkataan
sehari-hari yang dimaksud dengan poligami itu adalah perkawinan seorang laki-laki dengan
lebih dari seorang perempuan dalam waktu yang bersamaan. Yang dimaksud poligini itu
menurut masyarakat umum adalah poligami.
B. SEJARAH POLIGAMI
Poligami sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orang-orang Eropa yang
sekarang kita sebut Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark,
Swedia dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang berpoligami. Demikian juga
bangsa-bangsa timur seperti bangsa Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Karena itu
tidak benar apabila ada tuduhan bahwa islamlah yang melahirkan aturan tentang poligami,
sebab nyatanya aturan poligami yang berlaku sekarang ini juga hidup dan berkembang di
negeri-negeri yang tidak menganut islam, seperti Afrika, India, Cina dan Jepang. Tidaklah
benar kalau poligami hanya terdapat di negeri-negeri Islam.
Sebenarnya poligmi sudah meluas berlaku pada banyak bangsa sebelum Islam datang.
Diantara bangsa-bangsa yang menjalankan poligami, yaitu : Ibrani, Arab Jahillyah dan
Cisilia, yang kemudaian melahirkan sebagain besar penduduk yang menghuni negara-negara:
Rusia, Lithuania, Polandaia, Cokoslawakia dan Yogoslavia , sebagian orang-orang Jerman
dan Saxon yang melahirkan sebagian penduduk yang menghuni negara-negara Jerman ,
Swiss, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia dan Inggris.
2. Bukan berasal dari Islam.
Tidak benar, jika dikatakan bahwa Islam-lah yang mula-mula membawa sistem poligami.
Sebenarnya sistem poligami ini hingga dewasa ini masih tetap tersebar pada beberapa bangsa
yang tidak beragama Islam, seperti Penduduk asli Afrika, Hindu, India, Cina dan Jepang.
Hindu, Poligami dan poliandri dilakukan oleh sekalangan masyarakat Hindu pada zaman
dulu. Namun pada prakteknya dalam sejarah hanya raja dan kasta tertentu yang melakukan
poligami. Poligami mungkin juga terjadi karena terpaksa yang dilakukan karena berbagai
alasan, misalnya karena tidak mempunyai keturunan atau tujuan polikit Raja-Raja Hindu.
Budhisme. Dalam Agama Budha pandangan terhadap Poligami adalah suatu bentuk
keserakahan (Lobha). Budha Sidharta Gautama tidak menetapkan hukum relegius apapun
berkaitan dengan kehidupan rumah tangga, melainkan memberikan nasihat tentang
bagaimana menjalani kehidupan rumah tangga yang terpuji. Walaupun Budha tidak
menyebutkan apapun tentang jumlah istri yang dapat dimiliki seorang pria, ia dengan tegas
menyatakan bahwa seorang pria yang telah menikah kemudaian pergi ke wanita lainnya yang
tidak dalam ikatan perkawainan, hal tersebut dapat menjadi sebab keruntuhanya sendiri. Ia
akan menghadapi berbagai masalah dan rintangan yang berat lainnya.
Kristiani. Gereja-gereja Kristiani umum, seperti kristen Protestan, Katolik dan Ortodoks,
menentang praktek poligami. Namun beberapa aliran Kriten memperbolehkan poligami
dengan merujuk pada kitab-kitab kuno Yahudi. Gereja Katolik merevisi pandangannya sejak
masa Paus Leo XIII pada tahun 1866 yakni dengan melarang poligami yang berlaku hingga
sekarang. Rujukan yang digunakan umat Kristiani mengenai poligami adalah Kitab Injil
Markus 10:1-12.
Mormoisme. Penganut Mormoisme pinpinan Joshep Smith di Amerika Serikat sejak tahun
1840-an hingga sekarang mempraktekan, bahkan hampir mewajibkan poligami. Tahun 1882
penganut Mormon memprotes keras undang-undang anti poligami yang dibuat pemerintah
Ameriak Serikat. Namun praktek ini resmi dihapuskan ketika Utah memilih untuk bergabung
dengan Amerika serikat. Sejumlah gerakan sempalan Mormon sampai kini masih
mempraktekan poligami
Pada masa sekarang ini, mungkin pendapat yang pertama sekali menarik perhatian kita
ialah pendapat dari golongan anti poligami, yang mengatakan bahwa melarang poligami
adalah salah satu keharusan untuk menerapkan kebebasan wanita. Mereka meninjau poligami
itu sebagai sistem masyarakat primitif, yang kemudian meningkat dan menurun sejalan
dengan meningkat dan menurunnya keadaan wanita. Membebaskan wanita dari sistem
poligami itu adalah suatu langkah untuk memajukan wanita itu, karena poligami itu sudah
tidak sesuai lagi dengan zaman modern, dimana wanita sudah memperoleh hak-haknya
dengan sempurna, tanpa adanya sesuatu kekeruangan. Sedang poligami itu adalah suatu
sistem perkawinan yang menitik beratkan kesejahteraan laki-laki dengan mengorbankan
kedudukan dan kemuliaan wanita.
Memperbolehkan poligami adalah suatu tindakan yang bearti meletakkan suatu hambatan
di hadapan wanita, di tengah-tengah perjalanannya menuju kemajuan masyarakat.
Sebaliknya, melarang poligami berarti menghilangkan sebagian dari rintangan-rintangan
yang memperlambat pergerakan wanita dan merampas hak-haknya serta merendahkan
kedudukannya.
Pendukung poligami tidak melihat adanya hubungan antara poligami itu dengan primitif
atau modernya masyarakat. Karena kehidupan seorang laki-laki bersama-sama dengan
beberapa orang wanita itu adalah kenyataan yang ada di kalangan masyarakat, dalam semua
negara dan sepanjang masa, baik dengan nama poligami ataupun dengan nama yang berarti
sama dengannya. Dan adalah suatu kesalahan kalau poligami dihubungkan dengan
masyarakat primitif, disaat-saat banyaknya teman-teman wanita dari seorang laki-laki
merupakan suatu kenyataan yang ada di dalam masyarakat yang modern. Poligami adalah
salah satu usaha untuk membimbing wanita, untuk meningkatkan dari suasana kehidupan
yang diliputi oleh kegelisahan, kehinaan dan terlantar, menuju kehidupan berkeluarga yang
mulia dan keibuan yang mulia, dimana wanita merasakan kebahagiaan, kesucian dan
kemuliaan dibawah naungannya. Poligami juga merupakan salah satu penerapan dari
kebebasan wanita dan terlaksananya apa yang dikehendakinya, karena sebenarnya laki-laki
itu tidak berpoligami tanpa kemauan wanita.
Walaupun poligami itu megharuskan adanya tambahan bagi istri yang pertama, namun
peraturan poligami tidak menyebabkan adanya halangan bagi istri yang pertama atau yang
baru untuk menjadi ratu rumahtangganya, dan bebas bertindak dalam segala urusannya.
Karena peraturan agama dan undang-undang serta tradisi di negara-negara islam menetapkan
bahwa setiap wanita yang sudah berkeluarga akan memiliki rumah yang tersendiri dan tidak
menyebabkan salah seorang dari istri-istri itu boleh berkuasa terhadap yang lain.
Dari segi ini para pendukung poligami itu berpendapat bahwa poligami adalah suatu
sistem kehidupan masyarakat yang andaikata merupakan tekanan terhadap wanita demi
kepentingan laki-laki, maka mestinya lebih pantas untuk tiap-tiap wanita, bahwa ia tidak mau
menikah dengan seorang laki-laki yang sudah pernah menikah dan kalau hal itu dipraktekkan
maka tidak mungkin lagi laki-laki berpoligami. Disamping itu, kalau kita misalkan bahwa
poligami itu menyebabkna timbulnya semacam perasaan sakit pada istri yang lama, maka
pihak lain justru dalam waktu yang bersamaan juga menimbulkan harapan di dalam jiwa istri
yang baru, yang memberikan kemungkinan kepadanya untuk hidup sebagai istri dalam
pengayoman rumah tangga yang mulia.
3) Poligami dan persamaan hak antara pria dan wanita
Kalau kita berpegang kepada perasaan dan berusaha untuk mengesampingkan perasaan
yang berlain-lainan dan perlombaan diantara manusia yang sejenis, dalam membahas
masalah poligami itu, maka tidaklah berarti bahwa kita membuangkan masalah kebebasan
wanita itu dari perhitungan pembahasan ini. Karena masalah kebebasan wanita ini sebagian
unsurnya ada yang tidak merupakan masalah perasaan dan perlu dipelajari, diteliti dan
dibahas. Diantaranya bahwa persamaan hak antara laki-laki dan wanita itu kadang-kadang
menimbulkan pertanyaan bagaimana mungkin seorang laki-laki boleh berpoligami sedang
wanita tidak boleh berpoliandri? Bukankah itu merupakan kekurangan terhadap persamaan
hak laki-laki dan wanita?
Untuk menjawab pertanyaan ini, penting untuk kita perhatikan bahwa persamaan dalam
masalah poligami atau jelasnya persamaan hak pria dan hak wanita dalam masalah
perkawinan mestinya mengakibatkan jangan ada yang boleh untuk salah satunya tetapi tidak
oleh untuk yang lain. Jadi, dalam soal perkawinan persamaan itu mengakibatkan seorang
suami mencukupkan beristri satu saja atau sama-sama boleh seorang suami beristri banyak
dan seorang istri bersuami banyak. Persamaan hak itu kalau menyebabkan bolehnya suami
beristri banyak, tetapi istri tidak boleh bersuami banyak, jelas bertentangan dengan ketentuan
persamaan hak secara bebas.
Islam membolehkan poligami dengan jumlah wanita yang terbatas dan tidak
mengharuskan umatnya melaksanakan monogami mutlak dengan pengertian seorang laki-laki
hanya boleh beristri seorang wanita dalam keadaan dan situasi apapun dan tidak pandang
bulu apakah laki-laki itu kaya atau miskin, hiposeks atau hiperseks, adil atau tidak adil secara
lahiriyah. Islam pada dasarnya menganut sistem monogami dengan memberikan kelonggaran
dibolehkannya poligami terbatas. Pada prinsipnya seorang laki-laki hanya memiliki seorang
istri dan sebaliknya seorang istri hanya memiliki seorang suami. Tetapi islam tidak menutup
diri adanya kecenderungan laki-laki beristri banyak sebagaimana yang sudah berjalan dahulu
kala. Islam tidak menutup rapat kemungkinan adanya laki-laki tertentu berpoligami, tetapi
tidak semua laki-laki harus berbuat demikian karena tidak semua mempunyai kemampuan
untuk berpoligami. Poligami dalam islam dibatasi dengan syarat-syarat tertentu, baik jumlah
maksimal maupun persyaratan lain seperti :
a) Jumlah istri yang boleh dipoligami paling banyak empat orang wanita. Seandainya salah
satu diantaranya ada yang meninggal atau diceraikan, suami dapat mencari ganti yang lain
asalkan jumlahnya tidak melebihi empat orang pada yang waktu yang bersamaan (QS 4:3)
b) Laki-laki itu dapat berlaku adil terhadap isri-istri dan anak-anaknya yang menyangkut
masalah-masaah lahiriah seperti pembagian waktu jika pemberian nafkah dan hal-hal yang
menyangkut kepentingan lahir. Sedangkan masalah batin, tentu saja selamanya manusia tidak
mungkin dapat berbuat adil secara hakiki.
Islam membolehkan laki-laki tertentu melaksanakan poligami sebagai alternatif maupun jalan
keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks laki-laki atau sebab-sebab lain yang
mengganggu ketenangan batinnya agar tidak sampai jatuh ke lembah perzinaan maupun
pelajaran yang jelas-jelas diharamkan agama. Oleh sebab itu, tujuan poligami adalah
menghindari agar suami tdak terjerumus ke jurang maksiat yang dilarang Islam dengan
mencari jalan yang halal yaitu boleh beristri lagi (poligami) dengan syarat bisa berlaku adil.
Dasar pokok islam yang membolehkan poligami adalah firman Allah SWT :
Berlaku adil yang dimaksudkan adalah perlakuan yang adil dalam meladeni istri, seperti :
pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriah. Islam memang memperbolehkan
poligami dengan syarat-syarat tertentu. Dan ayat tersebut membatasi diperbolehkannya
poligami hanya empat orang saja. Namun, apabila akan berbuat durhaka apabila menikah
dengan lebih dari seorang perempuan maka wajiblah ia cukupkan dengan seorang saja.
5. Syarat-syarat poligami
Syari'at islam membolehkan poligami dengan batasan sampai empat orang dan
mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam urusan pangan, tempat tinggal, serta
lainnya yang bersifat kebendaan tanpa membedakan antara istri yang kaya dengan istri yang
miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang rendah dari golongan bawah. Bila
suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak mereka, maka ia
diharamkan berpoligami. Bila sanggup dipenuhinya hanya tiga maka baginya haram menikah
dengan empat orang. Jika ia hanya sanggup memenuhi hak dua orang istri maka haram
baginya menikahi tiga orang. Begitpun juga kalau ia khawatir berbuat zalim dengan
mengawini dua orang perempuan, maka haram baginya melakukan poligami.
Sebagaimana dalam firman Allah pada surat An Nisa: 8. Dalam sebuah hadits Nabi SAW
juga disebutkan :
Artinya : Dari Abu hurairah r.a. sesungguhnya Nabi SAW. bersabda : Barangsiapa yang
mempunyai dua orang istri lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia akan datang hari
kiamat nanti dengan punggung miring. (HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasa'i dan Ibnu Hiban).
Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika
kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa : 129)
Kalau ayat tersebut seolah-olah bertentangan dengan masalah berlaku adil pada ayat 3
surat An-Nisa, diwajibkan berlaku adil, sedangkan ayat 129 meniadakan belaku adil. Pada
hakikatnya kedua ayat tersebut tidaklah bertentangan karena yang dituntut disini adalah adil
dalam masalah lahiriah, bukan kemampuan manusia. Berlaku adil yang ditiadakan dalam ayat
ini adalah adil dalam masalah cinta dan kasihsayang.
Praktik poligami dalam masyarakat Indonesia modern juga didukung oleh adanya
kebijakan hukum dalam pemerintahan Indonesia. Hukum Perkawinan sebagaimana terdapat
dalam Undang-undang Perkawinan (UUP) nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) memperbolehkan poligami, walaupun terbatas hanya sampai empat orang istri.
Ketentuan ini tercantum dalam pasal 3 dan 4 UUP dan pasal 55-59 KHI. UUP inkonsistensi.
Dalam pasal 3 ayat 1 ditegaskan tentang azas monogami, tetapi ayat berikutnya memberikan
kelonggaran kepada suami untuk berpoligami walau terbatas hanya sampai empat istri.
Adapun kebolehan poligami dalam KHI terdapat pada bab IX pasal 55 sampai denga 59,
antara lain menyebutkan syarat utama poligami harus berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anaknya (pasal 55 ayat 2). Namun ironisnya, pada pasal 59 dinyatakan bahwa :
"Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri
lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur diatur dalam pasal 55 ayat
2 dan 5, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan
mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap
penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi."
Pasal tersebut mengindikasikan lemahnya posisi istri, karena jika istri menolak
memberikan persetujuan untuk poligami, Pengadilan Agama dapat mengambil alih
kedudukannya sebagai pemberi izin, meskipun di akhir pasal tersebut terdapat klausul yang
memberikan kesempatan kepada istri untuk untuk mengajukan banding.
Alasan yang dipakai Pengadilan Agama untuk memberikan izin poligami kepada suami
antara lain :
2. Istri menderita cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
7. Prosedur poligami
Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur oleh Islam memang tidak ada
ketentuan secara pasti, namun di Indonesia dengan Kompilasi Hukum Islamnya, telah
mengatur hal tersebut.
1. Suami yang berhak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan
agama, yang pengajuannya telah diatur dengan peraturan pemerintah.
2. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari
pengadian agama tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pengadilan agama hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
Disamping syarat-syarat tersebut diatas, maka untuk memperoleh izin pengadilan agama
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ;
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-
anak mereka.
3. Persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis dengan lisan, sekalipun telah
ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan pada sidang
pengadilan agama.
Persetujuan tersebut tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya
tidak memungkinkan dimintai pesetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian
atau apabila tidak ada kabar dari istri-istrinya sekurang-kurangnya dua tahun atau karena
sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.
Kemudian, dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan kepada suaminya untuk
beristri lebih dari satu orang. Berdasarkan salah satu alasan tersebut diatas, maka pengadilan
agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengarkan istri yang
bersangkutan di persidangan pengadilan agama dan terhadap penetapan ini, istri atau suami
dapat mengajukan banding atau kasasi.
Larangan tersebut tetap berlaku, meskipun istri-istrinya telah ditalak raj'i masih dalam
masa iddah.
Menurut Abu Azzam Abdillah, banyak faktor yang sering memotivasi seorang pria untuk
melakukan poligami. Selama dorongan tersebut tidak menyimpang dari ketentuan syariat,
tentu tidak ada cela dan larangan untuk melakukannya. Berikut ini beberapa faktor utama
yang menjadi pertimbangan kaum pria dalam melakukan poligami.
Adanya seorang istri yang menderita suatu penyakit yang tidak memungkinkan baginya
untuk melayani hasrat seksual suaminya. Bagi suami yang shaleh akan memilih poligami dari
pada energi ke tempat–tempat mesum dengan sejumlah wanita pelacur
Sebagian kaum pria memiliki gairah dan hasrat seksual yang tinggi dan menggebu,
sehingga baginya satu istri dirasa tidak cukup untuk menyalurkan hasratnya tersebut.
Adanya masa-masa haid, kehamilan dan melahirkan, menjadi alasan utama seorang wanita
tidak dapat menjalankan salah satu kewajiban terhadap suaminya. Jika suami dapat bersabar
menghadapi kondisi seperti itu, tentu tidak akan menjadi masalah. Tetapi jika suami termasuk
orang yang hasrat seksualnya tinggi, beberapa hari saja istrinya mengalami haid,
dikhawatirkan sang suami tidak bisa menjaga diri, maka poligami bisa menjadi pilihannya.
Kaum pria memiliki masa subur yang lebih lama dibandingkan wanita. Dokter Boyke,
seorang seksolog, mengakui banyak menangani kasus perselingkuhan pria usia 40-50 tahun,
karena pada usia tersebut pria mendapat puber kedua, sementara para istri umumnya malah
menjadi frigid.
2. Faktor Internal Rumah Tangga
Menurut buku ‘Hitam Putih Poligami’, terdapat beberapa faktor internal rumahtangga
yang mendorong suami untuk berpoligami.
a. Kemandulan
Dalam kondisi seperti itu, seorang istri yang bijak dan shalihah tentu akan berbesar hati
dan ridha bila sang suami menikahi wanita lain yang dapat memberikan keturunan. Di sisi
lain, sang suami tetep memposisikan istri pertamanya sebagai orang yang mempunyai tempat
di hatinya, tetap dicintainya, dan hidup bahagia bersamanya.
Ketika sang suami mendapati istrinya dalam keadaan serba terbatas , tidak mampu
menyelesaikan tugas-tugas rumahtangganya dengan baik, tidak bisa mengarahkan dan
mendidik anak-anaknya, lemah wawasan ilmu dan agamanya,serta bentuk-bentuk kekurangan
lainnya.maka pada saat itu,kemungkinan suami melirik wanita lain yang dianggapnya lebih
baik,bisa saja terjadi.dan sang istri hendaknya berlapang dada bahkan berbahagia,karena akan
ada wanita lainyang membantunya memecahkan persoalan rumah tangganya,tanpa akan
kehilangan cinta dan kasih saying suaminya.
Istri yang tidak pandai bersyukur, banyak menuntut, boros, suka berkata kasar, gampang
marah, tidak mau menerima nasihat suami dan selau ingin menang sendiri, biasanya tidak
disukai sang suami. Oleh karenanya, tidak jarang suami yang mulai berpikir untuk menikahi
wanita lain yang dianggap lebih baik dan lebih shalihah, apalagi jika watak dan karakter
buruk sang istri tidak bisa diperbaiki lagi.
3. Faktor Sosial
Di Indonesia, pada PEMILU tahun 1999, jumlah pemilih pria hanya 48%, sedangkan
pemilih wanita sebanyak 52%. Berarti dari jumlah 110 Juta jiwa pemilih tersebut, jumlah
wanita adalah 57,2 juta orang dan Jumlah pria 52,8 juta orang. Padahal usia para pemilih itu
merupakan usia siap nikah.
Jika saya mencoba melakukan survei pada masalah kesiapan menikah, pasti para wanita
akan lebih banyak jumlahnya daripada jumlahnya daripada kaum pria. Bahkan di daerah-
daerah tertentu, wanita usia 14-16 tahun sudah banyak yang bersuami, dan wanita yang
usianya 20 tahun merasa sudah terlambat menikah. Sebagian pendapat juga mengatakan
bahwa harapan hidup kaum wanita, lebih panjang daripada harapan hidup kaum pria,
perbedaannya berkisar 5-6 tahun. Sehingga tidak heran jika lebih banyak suami yang lebih
dahulu meninggal dunia, sedangkan sang istri harus hidup menjanda dalam waktu yang
sangat lama, tanpa ada yang mengayomi, melindungi, dan tiada yang memberi nafkah secara
layak.
Dampak paling nyata yang ditimbulkan akibat banyaknya jumlah kematian pada kaum
pria adalah semakin bertambahnya jumlah peremuan yang kehilangan suami dan terpaksa
harus hidup menjanda.lalu siapakah yang akan bertanggung jawab mengayomi,memberi
perlindungan dan memenuhi nafkah lahir dan batinnya,jika mereka terus menjanda?solusinya
tidak lain,kecuali menikah lagi dengan seorang jejaka,atau duda,atau memasuki kehidupan
poligami dengan pria yang telah beristri.itulah solusi yang lebih mulia,halal dan baradab.
Lingkungan tempat saya hidup dan beraktivitas sangat besar pengaruhnya dalam
mempentuk karakter dan sikap hidup seseorang. Seorang suami akan tergerak hatinya untuk
melakukan poligami, jika ia hidup di lingkungan atau komunitas yang memelihara tradisi
poligami.
Sebaliknya ia akan bersikap antipati, sungkan dan berpikir seribu kali untuk
melakukannya, jika lingkungan dan tradisi yang ada di sekitarnya menganggap poligami
sebagai hal yang tabu dan buruk, sehingga mereka melecehkan dan merendahkan para
pelakunya.
e. Kemapanan Ekonomi
Inilah salah satu motivator poligami yang paling sering saya dapati pada kehidupan
modern sekarang ini. Kesuksesan dalam bisnis dan mapannya perekonomian seseorang,
sering menumbuhkan sikap percaya diri dan keyakinan akan kemampuannya menghidupi istri
lebih dari satu.
4. Tidak adanya kepedulian yang besar dari suami terhadap anak dan isteri.
5. Kemungkinan dapat menyebabkan perceraian.
Menurut buku ‘Agar Suami Tak Berpoligami’, dampak-dampak umum yang dapat terjadi
bagi para istri yang suaminya berpoligami adalah,
1. Dampak psikologis: perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan
suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan
biologis suaminya.
3. Dampak hukum: Seringnya terjadi nikah di bawah tangan (perkawinan yang tidak
dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga perkawinan
dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Pihak
perempuan akan dirugikan karena konsekwensinya suatu perkawinan dianggap tidak ada,
seperti hak waris dan sebagainya.
Poligami tidak hanya berdampak negative terhadap kehidupan rumah tangga dan
isteri,namun poligami juga berdampak negative terhadap anak,antara lain:
7. Tidak menutup kemungkinan anak menjadi melakukan perbuatan yang tidak baik.
KESIMPULAN
A. KESIMPULAN
Dalam perkataan sehari-hari yang dimaksud dengan poligami itu adalah perkawinan
seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan dalam waktu yang bersamaan. Yang
dimaksud poligini itu menurut masyarakat umum adalah poligami.
Dalam islam, masalah poligami juga tidak serta merta diperbolehkan dan masih juga
berupa perkara yang masuk dalam konteks "pertimbangan", hal ini terbukti dalam ayat-ayat
ataupun suatu riwayat yang dijadikan dasar sumber hukum dalam perkara poligami sendiri
juga terikat aturan- aturan, syarat-syarat serta ketentuan lain berupa yang kesanggupan,
keadilan dan faktor lainnya yang harus dipenuhi dalam berpoligami.
B. SARAN
Nabi bersabda, “Barang siapa beristri dua dan tidak berlaku adil pada keduanya maka ia
akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tubuhnya.” (HR Tirmidzi dan Al Hakim)
DAFTAR PUSTAKA
Al 'Attar, Abdul Nasir Taufiq ., Poligami di Tinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang-
Undangan. (Jakarta: Bulan Bintang. 1976).