3058-Article Text-8124-1-10-20200911

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 40

Jurnal al-Fath, Vol. 08. No.

01 (Januari-Juni) 2014
ISSN: 1978-2845

KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA


DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
(Studi atas Tafsir Departemen Agama RI)

Syafi’in Mansur1 dan Muhayat Hasan2

Abstrak
Agama selalu hadir untuk menghargai eksistensi dan martabat manusia: siapa
pun, berada di bumi mana pun dan dengan identitas apa pun dia, seperti yang
dijelaskan alam QS. Al-Hujurat: 13. Begitu pula keragaman syari’at adalah
kehendak Tuhan sendiri, QS. Al-Mâidah: 48, QS. Al-Kâirûn: 1-6. Bahkan
adanya keragaman menuntut kita untuk mengajak mereka dengan bijaksana
dan nasihat-nasihat yang baik. Yakni, dengan cara berdialog dan berdiskusi,
seperti dalam QS. An-Nahl: 125, QS. Al-Ankabut: 46, QS. Ali Imran: 64.
Sejalan dengan arti penting dari kerukunan itu ada sejumlah nilai dasar yang
terkandung di dalamnya. Nilai-nilai dasar tersebut antara lain adalah, saling
menghargai, saling menghormati, saling membantu, saling kerjasama,
mengembangkan azas persamaan, kebebasan, dan keadilan, dapat bekerja-sama
dalam menciptakan keamanan dan kedamaian di tengah-tengah kehidupan
masyarakat, bangsa dan Negara yang pluralistic ini.
Kata Kunci: Kerukunan, Tasamuh

A. Latar Belakang Masalah


Alqur’an al-karim adalah kitab Allahyang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw, mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan,
ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafat, peraturan-peraturan yang mengatur
tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu
ataupun sebagai makhluk sosial, sehingga berbahagia hidup di dunia dan di
akhirat.

1
Dosen Fakultas Ushuluddin, Dakwah dan Adab IAIN SMH Banten
2
Alumni mahasiswa Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, Dakwah dan Adab IAIN
SMH Banten

137
138 | Syafi’in Mansur dan Muhayat Hasan

Al-Qur’an datang kepada seluruh umatnya dengan membuka lebar-


lebar mata manusia, agar mereka menyadari jati diri dan hakikat keberadaan
mereka di pentas bumi ini. Dan juga, agar mereka tidak terlena dengan
kehidupan duna ini, sehingga mereka tidak menduga bahwa hidup mereka di
pentas bumi ini hanya dimulai dengan kelahiran dan berakhir dengan
kematian semata. Pada hakikatnya al-Qur’an yang kita jadikan pedoman ini
mengajak kepada kita berpikir akan kekuasaan Allah SWT. Dan dengan
berbagai argumentasi, kitab suci itu juga mengajak mereka untuk
membuktikan keharusan adanya hari kebangkitan, dan bahwa kebahagiaan
mereka pada hari itu akan ditentukan oleh persesuaian sikap hidup mereka
dengan apa yang dikehendaki oleh Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa. 3
Manusia ditakdirkan Allah Sebagai makhluk sosial yang membutuh-
kan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk
sosial, manusia memerlukan kerjasama dengan orang lain dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual.
Memahami agama, mestinya tidak sebatas pada pemahaman agama
secara formal, melainkan juga harus dipahami sebagai sebuah kepercayaan,
sehingga ketika orang memahaminya maka ia akan bersikap toleran kepada
pluralisme dan tidak arogan terhadap agamanya sendiri. Sementara itu,
Joachim Wach menuturkan bahwa agama, dengan berbagai variasi yang
dimilikinya, memiliki tiga ekspresi umum.Secara teoritis agama merupakan
system kepercayaan.Secara praktis, agama adalah system ibadah. Sedangkan
secara sosiologis, agama tak lain adalah merupakan dari system hubungan
masyarakat.4

3
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2007), cet ke-III, h. 21
4
Tedi Kholiludin, Kuasa Negara Atas Agama (Politik Pengakuan, Diskursus
“Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil), (Semarang: Team RaSAIL Media Group
2009), h. 100

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an | 139

Secara historis sosiologis, keanekaragaman agama di dunia pada


umumnya dan di Indonesia pada khususnya adalah merupakan kenyataan
yang tak dapat dihindari, karena itu merupakan suatu keniscayaan, sesuai
dengan sunnatullah yang tidak dapat dielakan, semua yang terdapat di dunia
ini sengaja diciptakan degan penuh keanekaragaman, dari berbagai etnik,
suku, budaya dan tak terkecali agama. Keanekaragaman ini didasari oleh
firman Allah;

(١٣)
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.5” (Q.S. Al-Hujurat [49]: 13)
Selain itu, dalam ayat lain Allah SWT juga berfirman;

(٤٨)
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa
yang Telah kamu perselisihkan itu.” 6 (QS. Al-Maidah [5]: 48)
Sekiranya Allah menghendaki, tentulah Dia dapat menjadikan semua
manusia hanya dengan satu syari’at dan satu macam jalan yang akan
ditempuh dan diamalkan mereka, sehingga dari zaman ke zaman tidak ada

5
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung; CV Penerbit J-
ART, 2005) h. 518
6
Ibid, h. 117

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
140 | Syafi’in Mansur dan Muhayat Hasan

peningkatan dan kemajuan, seperti halnya burung dan lebah, kehendak


Allah tentu akan terlaksana dan tidak ada kesulitan sedikitpun, karena Allah
kuasa atas segala sesuatu. Tetapi yang demikian itu tidak dikehendaki oleh-
Nya. Allah menghendaki manusia itu sebagai makhluk yang dapat
mempergunakan akal dan pikirannya, dapat maju dan berkembang.
Demikianlah Allah menghendaki dan memberikan kepada tiap-tiap umat
syari’at tersendiri, untuk menguji sampai dimana manusia itu dapat dan
mampu melaksanakan perintah Allah atau menjauhi larangan-Nya, untuk
diberi pahala atau disiksa.7
Dua ayat di atas, dengan jelas menerangkan bahwa pluralisme
(keanekaragaman) agama adalah sebuah keniscayaan dan kehendak Tuhan
yang tidak dapat dihindari dan dipungkiri. Konsekuensi dari pernyataan ini
adalah keniscayaan kita untuk bersikap penuh tasamuh atau toleran terhadap
orang lain yang berbeda keyakinan atau Agama dengan kita, apa pun itu
namanya. Penolakan terhadap pluralism bisa dipandang sama dengan
penolakan terhadap realitas dan sekaligus menolak Tuhan Yang Maha
Bijaksana itu.8Dari kajian bahasa di atas, toleransi mengarah kepada sikap
terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi
suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa, serta
agama.Ini semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi
ketetapan Tuhan.
Menurut Alwi Shihab konsep pluralis diartikan dalam empat
pengertian:
Pertama, pluralis tidak semata-mata menunjuk pada kenyataan tentang
adanya kemajemukan, dengan demikian, jika ditarik dalam konteks pluralis

7
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan),
(Jakarta: Widya Cahaya, 2011), Jild.2, h. 412
8
Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme kepada Maha Guru Pencerahan,
(Bandung: Mizan, 2011), h. 13

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an | 141

agama, berarti tidak saja mau mengakui keberadaan dan hak agama lain,
tetapi juga terlibat dalam memahami perbedaan dan persamaan agar tercepai
kerukunan dalam kebhinekaan.
Kedua, pluralisme berbeda dengan kosmopolitanisme. Yaitu sesuatu yang
mengacu pada suatu realitas dimana aneka ragam agama, ras, dan bangsa
hidup berdampingan disuatu lokasi, namun di situ tidak ada interaksi positif.
Ketiga,pluralisme tidak identik dengan relativisme. Yaitu suatu faham yang
menyatakan bahwa hal-hal yang kebenaran atau nilai ditentukan oleh
pandangan hidup serta kerangka pikir masing-masing orang atau masyarakat.
Keempat,pluralisme bukanlah sinkretisme. Yaitu mencari suatu agama baru
dengan memadukan unsur-unsur yang ada dalam beberapa agama demi
dijadikan bagian integral dalam agama baru tersebut.9
Persamaan Membangun Kerukunan Antar Umat Beragama. Tidak
bisa dibantah bahwa, pada akhir-akhir ini, ketidakrukunan antar dan antara
umat beragama menghasilkan berbagai ketidakharmonisan di tengah-tengah
hidup dan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.Perbedaan
agama sama sekali bukan halangan untuk melakukan kerjasama, bahkan Al-
Qur’an menggunakan kalimat lita’arofu, supaya saling mengenal, yang kerap
diberi konotasi “saling membantu”.
Namun dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, keanekaragaman
agama justru menjadi batu sandungan untuk saling mengangkat dan
menguatkan dalam kebersamaan. Belakangan ini, agama adalah sebuahnama
yang terkesan membuat gentar, menakutkan, dan mencemaskan.Agama di
tangan para pemeluknya sering tampil dengan wajah kekerasan. Dalam
beberapa tahun terakhir banyak muncul konflik, intoleransi, dan kekerasan
atas nama agama. Pandangan dunia keagamaan yang cenderung anakronostik

9
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung:
Mizan, 1997), hlm. 41

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
142 | Syafi’in Mansur dan Muhayat Hasan

memang sangat berpotensi untuk memecah belah dan saling klaim


kebenaran sehingga menimbulkan berbagai macam konflik, menjadi biang
kekacauan, pertikaian dan kerusuhan antar dan intern umat beragama yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat kita yang mengatasnamakan agama.
Peristiwa kekerasan atas nama agama yang cukup fenomenal adalah
penyerangan brutal beberapa ormas keagamaan dan dengan atribut
keagamaan di Silang Monas, pada 1 Juni 2008. Para penyerang yang
menuntut agar pemerintah membubarkan jemaat Ahmadiyah, menuduh
para aktivis AKKBB membela Ahmadiyah. Selain itu, kekerasan juga terjadi
pada kelompok agama non-Islam. Sejumlah gereja dirobohkan, aktivitas ritual
mereka dihentikan dengan paksa. Di Lombok, para pengikutnya dianiaya,
diusir dan diteror. Rumah-rumah mereka diserang dan dibakar, dan mereka
dibiarkan terlantar. Pemerintah seakan-akan tutup mata atas kenyataan ini.10
Sebagai sistem kepercayaan, agama hadir sebagai faktor pemersatu.
Agama juga bisa menjadi sumber inspirasi dan produsen tata nilai yang masa
berlakunya melintasi ruang dan waktu. Akan tetapi, tak jarang agama jua yang
sering menjadi faktor penyebab munculnya konflik yang terjadi antara satu
pemeluk agama dengan pemeluk agama lainnya. Itu tak hanya akan
merugikan umat beragama secara fisik, tetapi yang paling mengerikan, mereka
telah menginjak nilai luhur agama, yakni etika.11 Jika nilai luhur agama sudah
diinjak-injak, maka kemanakah peran agama yang selama ini mengajarkan
keharmonisan dalam kehidupan?.
Agama sungguh-sungguh tidak mungkin membenarkan tindakan
kekerasan dan ketidakadilan terhadap siapapun. Kekerasan secara fisik hanya
dapat dibenarkan sejauh dalam rangka membela diri dari serangan musuh
dan penganiayaan orang lain. Perlu ditegaskan bahwa Nabi Muhammad

10
Ibid, h. 4
11
Tedi Kholiludin, op cit, h. 11

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an | 143

Saw., sebagaimana juga nabi-nabi sebelumnya, tidak pernah berinisiatif untuk


memulai perang.12
Salah satu contohnya adalah; pada tragedi 11 September 2001 yang
mana ditandai dengan runthnya gedung tinggi WTC di New York, wacana-
wacana keislaman pada tingkat global mengalami perubahan. Citra Islam bagi
publik Amerika dan Inggris dipandang negatif karena dipersepsikan sebagai
agama yang melahirkan kekerasan dan terorisme. 13
Bagaimana bisa terjadi kerukunan antar umat beragama, jika setiap
pemeluk agama tidak ingin hidup rukun dengan menerima perbedaan orang
lain baik yang berupa keyakinan atau agama maupun toleransi antar sesama
ummat beragama. Setiap agama mengajarkan untuk hidup rukun dan saling
menghargai perbedaan yang ada.Tetapi pengalaman yang mereka lakukan
justru fanatik terhadap agamanya masing-masing. Tugas ummat beragama,
bukan berusaha mengubah agama orang lain untuk mengikuti agama yang
dianutnya. Jika ini yang menjadi landasannya, maka kekacauan pasti akan
timbul. Tujuan dakwah atau misi agama sangat mulia, yakni berusaha
membagi keselamatan yang diyakini seseorang kepada orang lain.
Di sini dibutuhkan sebuah peran dari semua lapisan masyarakat, baik
itu masyarakat yang notabene lapisan bawah, menengah maupun lapisan
atas.Dan juga golongan-golongan masyarakat yang memiliki pengaruh
terhadap masyarakatnya.Tak terkecuali adalah peran para ulama sebagai
golongan masyarakat yang memiliki peran penting dalam pembentukan
masyarakat, agar masyarakat memiliki sikap toleran terhadap perbedaan umat
beragama.Karena sebagai makhluk social, manusia selalu menghendaki
hubungan baik dalam masyarakat dan menginginkan hidup berdampingan
secara damai.

12
Husein, Muhammad,op cit, h. 26
13
Olaf Schumann, Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009), cet ke-3, h. xii

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
144 | Syafi’in Mansur dan Muhayat Hasan

Ulama yang dalam ungkapan hadits adalah pewaris nabi (inna al-
‘ulama waratsah al-anbiya’ “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi), dapat
dipahami bahwa para ulama (melalui pemahaman, pemaparan, dan
pengamalan kitab suci) bertugas memberikan suatu petunjuk dan bimbingan
guna mengatasi perselisihan-perselisihan, problem-problem social yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat.14
Pemahaman tersebut menuntut adanya usaha pemecahan problem-
problem sosial yang dihadapi, pemecahan yang tidak mungkin dapat
dicetuskan tanpa memahami metode integrasi antara wahyu dan
perkembangan masyarakat dengan segala aspirasinya. Sedangkan pemaparan
menuntut kemampuan untuk memahami materi yang disampaikan, bahasa
yang digunakan, manusia yang dihadapi dan keadaan ruang dan waktu.
Sementara, pengamalan menuntut penjelmaan konkret isi Kitab Suci dalam
bentuk tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.15
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa para ulama dan tokoh agama
mempunyai peran yang sangat penting dalam mewujudkan kerukunan
anatrumat beragama dalam kehidupan sehari-hari. Ini pulalah yang
mendorong penulis untuk mengetahui sejauh mana pandangan para mufasir
dalam menafsirkan arti kerukunan antar umat beragama.

Rumusan Masalah

Untuk mempermudah dalam penulisan penelitian ini, penulis


membatasi permasalahan hanya merujuk pada Kitab Tafsir Karya
Departemen Agama RI, yang berkaitan dengan masalah kerukunan antar
umat beragama.Sedangkan, kamus dan buku-buku lain yang terkait dengan
tema penelitian, penulis posisikan sebagai rujukan sekunder.

14
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, op cit, h. 586
15
Ibid,h. 588

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an | 145

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah


dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Adakah klasifikasi Ayat-ayat yang berkaitan dengan kerukunan?


2. Bagaimanakah Penafsiran Departemen Agama RI tentang ayat-ayat
yang berkaitan dengan kerukunan antar umat beragama?
3. Bagaimanakah cara membina kerukunan antar umat beragama
dalam sosial masyarakat?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka


penelitian ini bertujuan:.

1. Untuk mengetahui klasifikasi ayat-ayat yang berkaitan dengan


kerukunan.
2. Untuk mengetahui penafsiran Departemen AgamaRI tentang ayat-
ayat kerukunan antar umat beragama.
3. Untuk mengetahui cara yang efektif dalam membina kerukunan dan
kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat.

Adapun manfaat dari penulisan penelitian ini adalah:

1. Menambah wawasan serta memperkaya khazanah keilmuan,


khususnya bagi penulis dan untuk pembaca pada umumnya.
2. Sebagai bahan informasi tentang pandangan dan peran ulama dalam
membentuk masyarakat yang menjunjung tinggi toleransi.

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
146 | Syafi’in Mansur dan Muhayat Hasan

Kerangka Pemikiran

Sikap kerukunan antar umat beragama bisa dimulai dari hidup


bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap
toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling
memuliakan dan saling tolong-menolong. Kerukunan umat dalam beragama
bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut agama tertentu dan esok
hari kita menganut agama yang lain atau dengan bebasnya mengikuti ibadah
dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan
tetapi, hanya sebatas pengakuan bahwasanya kita ini hidup dalam
beranekaragam keyakinan/agama.
Menurtut Alwi Shihab; suatu hal yang perlu dicatat bahwa konsep
pluralisme justru mensyaratkan seseorang harus committed terhadap agama
yang dianutnya. Ia tidak saja dituntut untuk membuka diri belajar
menghormati agama orang lain sebagai mitra dialog, tetapi juga harus
memiliki komitmen yang baik terhadap agama yang dianutnya16
Ukhuwah Insaniyah merupakan persaudaraan kemanusiaan yang
bersifat universal. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah menciptakan
manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa agar mereka saling ta’aruf, saling
kenal mengenal. Perlu disampaikan pula, bahwa ukhuwah Islamiah tidak
hanya meliputi ukhuwah dikalangan umat Islam sendiri.
Ukhuwah umat Islam adalah persaudaraan dan kerja sama yang
bersifat universal, yang juga bisa diterapkan atas seluruh umat manusia secara
meluas. Oleh karenanya, kita diharapkan memiliki rasa saling menghargai,
saling mencintai sesama manusia, meskipun pendirian, agama dan ras kita

16
M. Nur Kholis Setiawan dan Djaka Soetapa,Meniti Kalam Kerukunan,
(Jakarta: Gunung Mulia, 2010), h. 10

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an | 147

berbeda. Kita harus punya rasa persaudaraan, sepanjang mereka tidak


mengganggu kita.17
Ajaran Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong
menolong (ta’awun) dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan
siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama.Dengan kerjasama dan tolong
menolong tersebut diharapkan manusia bisa hidup rukun dan damai dengan
sesamanya.
Kebebasan beragama di Negeri ini, secara konstitusional sebetulnya
telah diatur amat tegas dalam UUD 1945 pasal 29. Ayat (2) ditegaskan bahwa
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama
masing-masing dan untuk beribadah menurut kepercayaannya itu”.18
Sejak tahun 1970-an pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan-
kebijakan yang terkait dengan persoalan kerukunan umat beragama di
Indonesia. Menteri Agama Mukti Ali memperkenalkan pentingnya dialog
antar agama dan ilmu perbandingan agama yang diajarkan sebagai mata
kuliah di berbagai perguruan tinggi. Kedua hal itu sangatlah penting, sebagai
bentuk penyiapan kader-kader dan sumber daya manusia yang siap
menghadapi tantangan konflik antar agama dan pemikiran yang terbuka,
wawasan luas, serta mendahulukan solusi kebersamaan demi masa depan
Indonesia
Dalam penyosialisasian, penegakan, dan penyuburan kerukunan
umat beragama ini, sebetulnya pemerintah melalui Departemen Agama
menduduki posisi yang penting dan sangat menentukan. Sebagai departemen
yang diberi tugas mengatur dan menangani persoalan serta urusan

17
Haidar Bagir, Menuju Persatuan Umat, (Pandangan Intelektual Muslim
Indonesia), (Bandung: Mizan, 2012), h. 162
18
Tedi Kholiludin, op cit, h. 14

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
148 | Syafi’in Mansur dan Muhayat Hasan

keagamaan bagi seluruh Rakyat Indonesia, tentunya Depag harus membuka


mata dan memperhatikan masalah-masalah kehidupan umat beragama, baik
yang berskala kecil maupun besar. Problem itu, tentunya sangat berkaitan
dengan relasi umat agama di Indonesia yang terdiri atas multiagama,
multiorganisasi, dan multiperspektif.
Pada tahun 1972 Menteri Agama mulai membentuk Dewan
Penyelenggara Pentafsir Al-Qur’an (DPPA), dengan KMA. No. 90, yang
diketuai oleh Prof. R. H. A. Soenarjo, S. H. Yang kemudian pada tahun 1973
disempurnakan lagi dengan KMA. No. 8, yang diketuai oleh; Prof. H.
Bustami A. Gani. Dan pada tahun selanjutnya, yakni pada tahun 1980 di
ketuai oleh; Ibrahim Hosen, dengan KMA. No. 30.
Allah memberikan tuntunan pada umat Islam bagaimana cara
menghadapi tindakan-tindakan mereka. Allah menyuruh umat Islam
menghadapi mereka dengan sopan santun, memaafkan segala kesalahan
mereka, juga melarang agar jangan mencela mereka hingga tiba saatnya Allah
memberi perintah. Karena Allah lah yang akan memberikan bantuan kepada
umat Islam, sehingga umat Islam dapat menentukan sikap dalam
menghadapi tantangan mereka, apakah mereka itu harus diperangi atau
diusir. Peristiwa ini telah terjadi, umat islam memerangi bani Quraizah dan
Bani Nadir dari Madinah setelah mereka merobek-robek perjanjian19.
Rasa penghargaan yang tinggi dan penuh pengertian akan keyakinan
masing-masing inilah yang dimaknai sebagai toleransi. Toleransi dibangun
atas kesadaran dan pemahaman akan kebutuhan dan keyakinan orang lain.
Perbedaan yang terjadi adalah suatu realitas atas dasar keyakinan yang tidak
dapat diperdebatkan, hanya dengan memahami dan menghargai atas
perbedaan keyakinan tersebut, maka kerukunan dan kedamaian sesama umat

19
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jild.I, h. 173

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an | 149

beragama akan terwujud dan mampu hidup rukun dan damai di alam
ciptaan Tuhan. Hakekat dan makna kerukunan hidup beragama berarti
hidup berdampingan tanpa terjadi konflik atau perselisihan.

B. Pembahasan
Kerukunan Antarumat Beragama
1. Penafsiran Departemen Agama RI Terhadap Ayat-ayat yang Berkaitan
Dengan Kerukunan
Dalam penyosialisasian, penegakan, dan penyuburan kerukunan
umat beragama ini, sebetulnya pemerintah melalui Departemen Agama
menduduki posisi yang penting dan sangat menentukan. Sebagai departemen
yang diberi tugas mengatur dan menangani persoalan serta urusan
keagamaan bagi seluruh Rakyat Indonesia, tentunya Departemen Agama
harus membuka mata dan memperhatikan masalah-masalah kehidupan umat
beragama, baik yang berskala kecil maupun besar. Problem itu, tentunya
sangat berkaitan dengan relasi umat agama di Indonesia yang terdiri atas
multiagama, multiorganisasi, dan multiperspektif.
Jika melihat klasifikasi ayat-ayat di atas, maka ayat-ayat tersebut dapat
diklasifikasikan dalam tiga kategori. Yaitu, ada ayat-ayat yang bersifat umum
keberlakuannya, ada pula yang bersifat khusus dan bersifat klaim, dan
sebaliknya ada pula yang sifatnya terbuka dan open ended terhadap pihak lain.
a. Ayat-ayat yang bersifat umum, diantaranya:
Al-Qur’an menegaskan kepada semua manusia bahwa ia diciptakan
Allah dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Menciptakan manusia
secara pluralistic, beraneka bangsa, suku, bahasa, budaya, warna kulit, dan
agama. Keanekaragaman dan kemajemukan manusia seperti itu adalah bukan
untuk berpecah belah, saling membanggakan kedudukan, yang satu lebih
terhormat dari yang lainnya akan tetapi supaya saling mengenal,
bersilaturahmi, berkomunikasi, saling memberi dan menerima. Suatu hal

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
150 | Syafi’in Mansur dan Muhayat Hasan

penting bahwa semua manusia itu sama di hadapan Allah, yang membedakan
derajat mereka adalah ketaqwaannya kepada Allah SWT.
Sebagaimana dalam firman-Nya.

(١٣)
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.20”(Q.S. Al-Hujurat [49]: 13)

(٤٨)
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu
apa yang Telah kamu perselisihkan itu,”21(Q.S. al-Maidah, [5]: 48)
Ayat yang pertama menjelaskan bahwa sekiranya Allah menghendaki,
tentulah Dia dapat menjadikan semua manusia hanya dengan satu syari’at
dan satu macam jalan yang akan ditempuh dan diamalkan mereka, sehingga
dari zaman ke zaman tidak ada peningkatan dan kemajuan, seperti halnya
burung dan lebah, kehendak Allah tentu akan terlaksana dan tidak ada
kesulitan sedikitpun, karena Allah kuasa atas segala sesuatu. Tetapi yang
demikian itu tidak dikehendaki oleh-Nya. Allah menghendaki manusia itu
sebagai makhluk yang dapat mempergunakan akal dan pikirannya, dapat

20
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung; CV Penerbit J-
ART, 2005) h. 518
21
Ibid, h. 117

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an | 151

maju dan berkembang. Demikianlah Allah menghendaki dan memberikan


kepada tiap-tiap umat syari’at tersendiri, untuk menguji sampai dimana
manusia itu dapatdan mampu melaksanakan perintah Allah atau menjauhi
larangannya, untuk diberi pahala atau disiksa.22
Begitupun dengan bangsakita ini, yang dikenal sebagai sosok bangsa
yang sangat pluralistik, memiliki berbagai nuansa kemajemukan yang
mewujud dalam kelompok-kelompok etnis dengan kekhasan latar belakang
bahasa daerah, tradisi, adat istiadat, seni, budaya, dan agama. Walaupun
hidup dalam suasana kemajemukan, bangsa Indonesia secara keseluruhan
tetap harus merasa sebagai satu bangsa karena disatukan oleh berbagai bentuk
kepahitan dan kegetiran pengalaman sejarah yang sama dalam perjuangan
panjang menentang kolonialisme. Simbol kebangsaan ini secara jelas dieks-
presikan oleh Para Pendiri Republik (the founding fathers) ini dalam suatu
motto terkenal “Bhinneka Tunggal Ika”
Jika Allah berkehendak agar seluruh manusia beriman kepadanya,
maka hal itu akan terlaksana, karena untuk melakukan yang demikian itu
adalah mudah bagi-Nya. Tetapi Dia tidak menghendaki yang demikian.Dia
berkehendak melaksanakan sunah-Nya di alam ciptaan-Nya ini, diantara
sunah-Nya ialah memberikan manusia berupa akal, pikiran, dan juga
perasaan yang membedakannya dengan malaikat dan makhluk-makhluk
lainnya. Dengan kelebihan itu semua manusia dapat membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk, kemudian amal perbuatannya diberi balasan
sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Dengan kata lain, tidak
ada paksaan bagi manusia dalam menentukan pilihannya.23
Allah pula telah mensyari’atkan agama kepada Muhammad SAW.
dan kaumnya sebagaimana Ia telah mewasiatkan pula kepada Nuh as dan
22
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan),
(Jakarta:Widya Cahaya, 2011),Jild ke-2, h. 412
23
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, op cit, Jild ke-4, h. 367

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
152 | Syafi’in Mansur dan Muhayat Hasan

Nabi-nabi yang datang sesudahnya yaitu Ibrahim, Musa, dan Isa. Wasiat yang
diwasiatkan kepada para Nabi tersebut memiliki kesamaan dalam pokok-
pokok akidah seperti keimanan kepada Allah SWT, risalah kenabian dan
keyakinan adanya hari pembalasan. Begitu pula landasan agama yang menjadi
misi utama para Rasul adalah beribadah kepada Allah dan tidak
menyekutukannya. Sesungguhnya terdapat banyak kesamaan yang terdapat
dalam agama-agama samawi tersebut seperti pula yang tertera dalam Injil dan
Taurat, terutama mengenai tauhid, shalat, zakat, puasa, hazi, dan akhlak yang
baik seperti menepati janji, jujur, menghubungkan silaturrahim dan lain
sebagainya.24
Dua ayat di atasdengan jelas menerangkan bahwakeanekaragaman
agama adalah sebuah keniscayaan dan kehendak Tuhan yang tidak dapat
dihindari dan dipungkiri.Konsekuensi dari pernyataan ini adalah keniscayaan
kita untuk bersikap penuh tasamuh atau toleran terhadap orang lain yang
berbeda keyakinan atau Agama dengan kita, apa pun itu namanya. Karena
penolakan terhadap pluralisme bisa dipandang sama dengan penolakan
terhadap realitas yang ada.25
Dengan demikian, keanekaragaman suku, bahasa, dan agama
tersebut merupakan suatu kenyataan yang harus disyukuri sebagai kekayaan
bangsa.Namun, tingginya pluralisme bangsa Indonesia membuat potensi
konflik bangsa Indonesia juga tinggi. Potensi perpecahan dan kesalah-
pahaman juga tinggi.Baik konflik dalam skala kecil maupun dalam skala
besar. Dalam skala kecil, konflik tercermin pada komunikasi tidak sambung
atau tidakberjalan sebagaimana mestinya, sehingga menyebabkan
rasatersinggung, marah, frustasi, kecewa, dongkol, bingung, bertanya tanya,
dan lain-lain. Sementara itu, konflik dalam skala besar mewujud dalam,

24
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya,op cit, Jilid ke-9, h. 34
25
Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme Kepada Maha Guru Pencerah,
(Bandung: Mizan, 2011), h. 13

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an | 153

misalnya, kerusuhan sosial, kekacauan multibudaya, perseteruan antarras,


etnis, dan agama.26
Dampak dari keberagaman itu adalah kebebasan yang merupakan
salah satu pilar demokrasi. Sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur’an bahwa
kebebasan itu bukan tanpa batas, tetapi ia dibatasi oleh ruang lingkup
kemanusiaan itu sendiri. Kebebasan yang dibenarkan yaitu manusia dapat
melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat ikhtiariyah, yakni memiliki
pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan. Tidak semua aspek dalam
kehidupan ini bisa dicapai dan dikuasai. Prinsip terpenting adalah
setiapindividu bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya27.
Kalau kita memaknai ayat-ayat di atas sebagai landasan mengakui
adanya syariat-syariat selain Islam, maka kita berhadapan dengan prinsip
logika yang paling penting, yaitu prinsip kontradiksi. Dimana disisi lain terdapat
ayat-ayat yang berkenaan dengan validitas Islam yang tunggal seperti ayat-ayat
di bawah ini.;
b. Ayat-ayat yang bersifat khusus dan klaim, diantaranya;

(١٩)
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.tiada
berselisih orang-orang yang Telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, Karena kedengkian (yang ada) di antara
mereka. barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka
Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.28 (Q.S. Ali Imran, [3]:19)

26
Departemen agama RI, Kompilasi Kebijakan dan Perundang-undangan
Kerukunan Umat Beragama, op cit, h. 3-4
27
Departemen Agama, Harmoni: Jurnal Multikultural dan Multireligius, (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009), Volume VIII, h. 23
28
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, op cit, h. 53

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
154 | Syafi’in Mansur dan Muhayat Hasan

(٨٥)
“Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi”.29 (Q.S. Ali Imran, [3]: 85)

(٣)
“Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam
itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa Karena kelaparan
tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.30”(Q.S. al-Maidah [5]: 3)

Pada ayat pertama menjelaskan agama yang di akui Allah hanyalah


agama Islam, agama tauhid, agama yang mengesakan Allah.Dia menerangkan
bahwasanya agama yang sah di sisi Allah hanyalah Islam. Semua agama yang
dibawa nabi-nabi terdahulu intinya satu, ialah “Islam”, yaitu berserah diri
kepada Allah yang Maha Esa, menjunjung tinggi segala perintah-Nya dan
berendah diri pada-Nya, walaupun syariat-syariat itu berbeda di dalam
beberapa kewajiban ibadah dan lain-lain.
Kemudian Allah menggambarkan perselisihan para ahli kitab tentang
agama yang sebenarnya.Sebenarnya mereka tidaklah keluar dari agama Islam,
agama Tauhid yang dibawa oleh para Nabi, seandainya para pemimpin-
pemimpin mereka tidak berbuat aniaya dan melapaui batas sehingga mereka
berpecah belah menjadi sekian sekte serta membunuh nabi-nabi. Perpecahan
dan peperangan diantara mereka tidak patut terjadi karena mereka adalah
satu agama, akan tetapi karena kedengkian para pemimpin mereka, serta
29
Ibid, h. 62
30
Ibid, h. 108

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an | 155

dukungan mereka terhadap satu mazhab untuk mengalahkan mazhab lain,


maka timbulah perpecahan itu. Perpecahan itu sangat sengit setelah para
pemimpin mereka menyesatkan lawannya dengan jalan menafsirkan nash-
nash agama menurut hawa nafsu mereka.31
Setelah ayat pertama menjelaskan akan agama yang di ridhoi Allah
hanyalah Islam, maka pada ayat yang kedua Allah menetapkan bahwa barang
siapa yang mencari agama selain agama islam dan tidak mau tunduk kepada
ketentuan-ketentuan Allah, maka imannya tidak akan diterima oleh Allah
SWT. Seperti ahli kitab penganut agama Nasrani yang tidak berhasil
membawa pemeluknya tunduk dibawah kekuasaan Allah.Agama yang
semacam ini hanyalah merupakan tradisi belaka yang tidak dapat
mendatangkan kemaslahatan kepada pemeluknya, bahkan menyeret mereka
kedalam kehancuran, dan menjadi sumber permusuhan antara manusia di
dunia. Orang yang mencari agama selain Islam untuk menjadi agamnya, di
akhirat nanti termasuk orang yang merugi, sebab ia telah menyia-nyiakan
akidah tauhid yang sesuai dengan fitrah manusia.32
Oleh karena itu, kaum muslimin tidak boleh merasa takut kepada
orang-orang yang kafir melainkan takutlah hanya kepada Allah.Karena Allah
telah menyempurnakan agama Islam dan telah mencukupkan nikmatnya,
serta telah ridho agama Islam menjad agama umat manusia.
Walapun ketiga ayat tersebut menjelaskan begitu jelas akan validitas
agama Islam yang tunggal, akan tetapi perbedaan agama di negeri ini adalah
fenomena nyata yang ada dalam sekeliling kehidupan kita, karena itu untuk
menjaga stabilitas kedamaian di antara kita maka disinilah toleransi sangat
dibutuhkan. Hampir semua orang tahu bahwa Islam adalah agama yang
toleran terhadap pemeluk agama dan kepercayaan lain. Sebab dalam

31
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid ke-1, h. 472
32
Ibid, h. 549

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
156 | Syafi’in Mansur dan Muhayat Hasan

pandangan Islam setiap orang wajib dihormati kebebasannya dalam


menentukan jalan hidupnya.Kebebasan dan toleransi merupakan dua hal
yang sering kali dipertentangkan dalam kehidupan manusia.

c. Ayat-ayat yang bersifat terbuka terhadap kelompok lain.


Sesuai dengan penolakan yang tegas terhadap sikap eksklusivisme ini,
Alquran mengakui adanya orang-orang saleh dalam kaum Yahudi, Nasrani,
dan Shâbi’in, seperti pengakuannya terhadap adanya orang-orang yang
beriman di dalam Islam. Seperti dalam firman-Nya;

(٦٢)
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang
benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh,
mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih
hati.33”(QS. Al-Baqarah, [2] : 62)

Ayat tersebut di atas pada dasarnya berbicara tentang empat kelompok,


pertama, ‫ ان اﻟﺬﯾﻦ اﻣﻨﻮا‬menunjuk pada umat Islam. Kedua, ‫واﻟﺬﯾﻦ ھﺎدوا‬menuunjuk
pada umat Yahudi. Ketiga, ‫ واﻟﻨﺼﺎري‬menunjuk pada umat Nasrani. Dan
keempat, ‫( واﻟﺼﺎﺑﺌﯿﻦ‬kaum shabiin).
Adapun pengertiannya dalam ayat ini adalah;34
a. “Orang-orang mukmin” dalam ayat ini ialah orang yang mengaku
beriman kepada Muhammad Rasulullah Saw dan menerima segala yang
diajarkan olehnya sebagai suatu kebenaran dari sisi Allah.

33
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya,op cit h. 11
34
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jild ke-1, h. 120

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an | 157

b. “Sabiin” ialah umat sebelum Nabi Muhammad saw, yang mengetahui


adanya Tuhan Yang Maha Esa, dan mempercayai adanya pengaruh
bintang-bintang. Jadi, sabiin adalah agama yang mengajarkan ibadah
dengan penyembahan kepada bintang.
c. “Orang Yahudi” ialah semua orang yang memeluk agama Yahudi.
Mereka dinamakan Yahudi karena kebanyakan mereka dari keturunan
Yahudi, salah seorang keturunan Yakub (Israil).
d. Orang-orang Nasrani ialah orang-orang yang menganut agama Nasrani.
Kata Nasrani diambil dari suatu daerah Nasirah (Nazareth) di Palestina
tempat Nabi Isa dilahirkan.
Dalam ayat di atas Allah menjelaskan bahwa tiap-tiap umat dan bangsa
pada masa itu yang benar-bena berpegang pada ajaran para Nabi mereka serta
beramal saleh maka mereka akan memperoleh ganjaran di sisi Allah, karena
rahmat dan maghfiroh-Nya selalu terbuka untuk seluruh hamba-hambanya.
Jadi, siapa saja dari ketiga golongan yang disebutkan di atas, yakni;orang-orang
Yahudi, Nasrani, dan Sabiin, yang hidup pada zamannya, yakni sebelum
kedatangan Nabi Muhammad SAW. Dan mereka benar-benar beragama
menurut agama mereka, membenarkan dengan sepenuh hati akan adanya
Allah dan hari kiamat, serta mengamalkan segala tuntunan syariat agamanya,
maka mereka mendapatkan pahala dari sisi Allah SWT.35
Begitu pula jika mereka menjalankan petunjuk agama-agama sebelum
terjadi perubahan oleh tangan mereka, tentulah mereka tidak khawatir pada
hari kemudian dan mereka yang menemui Nabi Muhammad SAW tetapi
menentangnya dan pura-pura beriman, manakala mereka itu bertobat dan
beramal saleh tentulah mereka tidak khawatir pada hari kemudian. Karena
seseorang itu tidak ada kelebihannya kecuali jika ia beriman kepada Allah
dan hari kemudian serta beramal saleh.36

35
Ibid.
36
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan TafsirnyaJild ke-.2, h. 440

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
158 | Syafi’in Mansur dan Muhayat Hasan

Demikian pula, para mufassir seperti; az-Zamakhsyari cenderung


berpendapat bahwa yang dimaksud ,‫ واﻟﺼﺎﺑﺌﯿﻦ‬,‫ واﻟﻨﺼﺎري‬,‫ واﻟﺬﯾﻦ ھﺎدوا‬adalah
mereka yang telah memeluk Islam. Sementara itu, Fakhruddin ar-Râzî
menyatakan bahwa ketiga syarat dalam ayat tersebut tak lain adalah esensi
dari ajaran Islam sehingga yang dimaksud tiga golongan di atas adalah mereka
yang dahulunya beriman kepada Nabi Isa, lalu setelah Nabi Muhammad
diutus mereka menyatakan keimanannya kepada Nabi Muhammad.37
Kalau kita memaknai ayat di atas sebagai mensahihkan seluruh
agama (samawi) yang ada sekarang, kita akan berhadapan dengan prinsip
logika yang paling penting yaitu; prinsip kontradiksi. Bagaimana mungkin
menyebut iman kaum Nashrani benar melalui ayat ini, sementara ayat lain
menyebut mereka kafir dan zalim serta mengancam mereka dengan Neraka
Jahannam. Begitu pula membenarkan keberimanan mereka melalui surat Al-
Baqarah ayat 62 ini juga bertentangan dengan ayat-ayat yang berkenaan
dengan validitas tunggal Islam yang dijelaskan sebelumnya.
Walaupun ayat di atas bersikap eksklusif terhadap kelompok lain,
akan tetapi pada kenyataannya di Negara ini kita dihadapkan pada suatu
realitas keragaman agama/kepercayaan yang sangat terbuka, dan banyak
agama-agama yang hadir di sekeliling kita. Maka agar habl min al-nas kita tetap
terjalin dan terhindar dari kekisruhan, maka disinilah kita perlu memupuk
keharmonisan dan kedamaian.
Diantara cara memupuk keharmonisan itu tidak lain ialah dengan
cara berdialog dengan baik. Sebagaimana Allah menganjurkan kepada kita
untuk saling berdialog, berdiskusi dengan baik dalam rangka menjaga
kerukunan. Sebagaimana dalam firman-Nya;

37
Nur Kholis Setiawan dan Djaka Soetapa, op cit, Meniti Kalam
Kerukunan(Jakarta: Gunung Mulia, 2010), jilid 1, h.23

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an | 159

(٤٦)
“Dan janganlah kamu berdebat denganAhli kitab, melainkan dengan cara
yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan
Katakanlah: "Kami Telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan
kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu
adalah satu; dan kami Hanya kepada-Nya berserah diri".38(QS. al-Ankabut,
[29] : 46)
Dalam ayat ini Allah memberi petunjuk kepada Nabi dan kaum
muslimin tentang materi dakwah dan cara menghadapi Ahli Kitab, karena
sebagian mereka tidak menerima seruannya, ketika Rasulullah
menyampaikan ajaran Islam, kebanyakan mereka mendustakannya, dan
hanya sedikit dari mereka yang menerimanya. Padahal mereka telah
mengetahui Muhammad dan ajarannya.
Menyeru manusia dengan jalan hikmah dan bijaksana serta
mendebat mereka dengan cara yang baik dilakukan kepada orang-orang yang
tidak melakukan kezaliman. Adapun terhadap orang-orang yang berbuat
kezaliman, yaitu orang-orang yang hatinya telah terkunci mati, tidak mau
menerima kebenaran lagi, dan berusaha untuk melenyapkan Islam dan
umatnya, tidak bisa dihadapi dengan cara berdialog yang baik. Ahli kitab yang
zalim ialah mereka yang dalam hatinya ada penyakit iri, benci, dan dengki
kepada kaum muslimin, karena rasul terakhir tidak diangkat dari kalangan
mereka. Mereka memerangi dengan mengadakan tipu daya, merintangi
dakwah Nabi dan fitnah secara tersembunyi ataupun terang-terangan.39
Allah juga memerintahkan kepada Muhammad, agar mengajak Ahli
Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani untuk berdialog dengan secara adil dalam
mencari asas-asas persamaan dari ajaran yang di bawa oleh rasul-rasul dan
38
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, op cit, h. 403
39
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid ke-7, h. 417

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
160 | Syafi’in Mansur dan Muhayat Hasan

kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka, yaitu taurat, injil dan Alquran.
Adapun ajakan dari ayat di atas ialah agar mereka tidak menyembah selain
Allah yang mempunyai kekuasaan mutlak.
Kesimpulan dari ajakan tersebut, Muslim dan Ahli Kitab sama-sama
meyakini bahwa alam itu termasuk ciptaan Allah yang Maha Esa.Dialah yang
menciptakan, mengurus dan mengutus para nabi kepada mereka.Ayat ini
juga mengajak Ahli Kitab agar bersepakat untuk menegakkan prinsip-prinsip
agama, menolak hal yang meragukan, yang bertentangan dengan prinsip
agama.
Sebagaimana dalam firman-Nya

(٦٤)
Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak
kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan
sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain
sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah
kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah
diri (kepada Allah)".40 (Q.S. Ali Imran, [3] ; 64).
Dalam ayat ini, terdapat suatu ketentuan bahwa semua masalah yang
berhubungan dengan ibadah atau dengan halal dan haram, hanya ada di
dalam Alquran dan Hadits, yang dijadikan pokok pegangan dalam
menetapkannya, bukan pendeta pemimpin dan bukan pula pendapat ahli
hukum yang kenamaan sekalipun. Adapun yang tidak berkaitan langsung
dengan ibadah, seperti urusan peradilan, dan urusan politik, Allah
melimpahkan kekuasaan-Nya kepada manusia yang berilmu, seperti para ahli

40
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, opcit,h. 59

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an | 161

berbagai bidang dalam mayarakat. Maka apa yang ditetapkan mereka


hendaklah ditaati selama tidak bertentangan dengan pokok-pokok agama.41
Kerukunan dalam beragama bukan berarti kita bebas menganut
agama tertentu dan esok harinya kita menganut agama yang lain, atau dengan
kata lain kita bebas mengikuti semua ritualitas semua agama tanpa adanya
peraturan. Melainkan semua itu harus memiliki suatu pendirian dan
komitmen yang tinggi terhadap apa yang kita yakini. Karena keyakinan tak
akan bisa dicampuradukan dengan keyakinan-keyakinan yang lain, karena
setiap agama memiliki ritualitas yang berbeda.
Berkaitan dengan hal keyakinan (akidah) dan ibadah, umat
Islamtidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam
kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain
terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya.
Bahkan Islam melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama
manapun.Bukankah suatu kisah ketika Nabi Muhammad SAW di ajak oleh
orang-orang kafir untuk mengikuti apa yang mereka sembah, dan merekapun
akan menyembah apa yang Nabi sembah, tetapi Nabi menolak dengan tegas.
Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya;
(٢) ‫( ﻻ‬١)
(٥) (٤) (٣)
(٦)
Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,Aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan
Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu
tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku.42" (Q.S. Al-Kâfirûn [109]:1-6)

41
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirny, Jilid ke-1, h. 526
42
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, h. 604

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
162 | Syafi’in Mansur dan Muhayat Hasan

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar


menyatakan kepada orang-orang kafir bahwa “Tuhan” yang mereka sembah
bukanlah “Tuhan” yang ia sembah, karena mereka menyembah “Tuhan”
yang memerlukan pembantu dan mempunyai anak atau menjelma dalam
suatu bentuk atau dalam sesuatu rupa atau bentuk-bentuk lainnya yang
mereka dakwakan. Sedangkan Nabi menyembah yang sebaliknya, akal tidak
sanggup menerka bagaimana Dia, tidak ditentukan oleh tempat dan tidak
terikat oleh masa, tidak memerlukan perantaraan dan tidak pula memerlukan
penghubung.43
Ayat ini pula memberikan pedoman yang tegas kepada kita selaku
pengikut Nabi, bahwasanya akidah tidaklah dapat diperdamaikan. Tauhid
dan Syirik tidak dapat dipertemukan, oleh sebab itu akidah tauhid tidaklah
mengenal apa yang dinamai menyesuai-nyesuaikan.
Setelah menegaskan tidak mungkinnya bertemu dalam keyakinan
ajaran Islam dan kepercayaan Nabi Muhammad SAW. dengan kepercayaan
kaum yang mempersekutukan Allah. Ayat di atas pula menemukan/
menetapkan cara pertemuan dalam kehidupan bermasyarakat yakni: Bagi
kamu secara khusus agama kamu. dan bagi ku juga secara khusus agamaku. Karena
itu masing-masing agama biarlah berdiri sendiri dan tidak perlu
dicampuradukan. Ini pula merupakan pengakuan eksistensi secara timbal
balik, sehingga dengan demikian masing-masing pihak dapat melaksanakan
apa yang dianggapnya benar dan baik, tanpa memutlakkan pendapat kepada
orang lain yang berbeda keyakinan sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan
masing-masing.
Akan tetapi ada suatu hal yang perlu dicatat bahwa, konsep
pluralisme justru mensyaratkan seseorang harus commited terhadap agama
yang dianutnya. Ia tidak saja dituntut untuk membuka diri belajar

43
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid ke-10

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an | 163

menghormati agama orang lain sebagai mitra dialog, tetapi juga harus
memiliki komitmen yang baik terhadap agama yang dianutnya.44
Jadi, pemahaman terhadap kerukunan antarumat beragama
dimaksud bukan berarti mencampuradukkan beberapa keyakinan ke dalam
satu keyakinan, akan tetapi masing-masing keyakinan tetap dijalankan dengan
tidak mengusik keyakinan lain, dengan penuh persahabatan dan kedamaian
dalam keyakinan yang berbeda. Mengingat keyakinan dari penganut agama
yang satu dengan yang lain memiliki perbedaan, maka masalah keyakinan
antaragama tidak bisa diperdebatkan dan disinkronkan.
Sedemikian tingginya Allah memberikan kemerdekaan kepada
manusia untuk beragama,ini merupakan pertanda bahwa Allah telah
menjaga nilai dari masing-masing agama dan manusia, dengan akal dan
hatinya manusia berhak untuk beragama menurut keyakinannya dengan
maksud beribadah semata-mata karena Tuhan yang satu.

2. Pembinaan Kerukunan Antarumat Beragama


Konflik yang terjadi antar umat beragama tersebut dalam masyarakat
yang multikultural adalah menjadi sebuah tantangan yang besar bagi
masyarakat maupun pemerintah.Karena konflik tersebut bisa menjadi
ancaman serius bagi integrasi bangsa jika tidak dikelola secara baik dan benar.
Supaya agama bisa menjadi alat pemersatu bangsa, maka kemajemukan harus
dikelola dengan baik dan benar, maka diperlukan cara yang efektif antara lain
dengan dialog antarumat beragama yaitu untuk memecahkan permasalahan
yang mengganjal antara masing-masing kelompok umat beragama.
Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang
berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap

44
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung:
Mizan, 2001), h. 41

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
164 | Syafi’in Mansur dan Muhayat Hasan

kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas


dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana
penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-
agama lainnya.
Akan tetapi toleransi yang dibicarakan adalah dalam konteks
kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, dan kebebasan menganut
kepercayaan adalah sebuah kesiapan mental untuk menerima orang lain untk
hidup berdampingan dengan kita sesuai dengan kepercayaannya. Toleransi
tidak ada kaitannya dengan melakukan kompromi pada level kepercayaan.
Toleransi mengakui bahwa yang lain memiliki hak sama seperi yang untuk
dirinya sendiri.45
Toleransi beragama membutuhkan manusia yang memiliki
mentalitas matang serta dewasa dan mampu mengendalikan emosinya.
Dibidang keagamaan, kita selalu menemukan bahwa orang-orang yang
bersikap paling toleran terdiri dari mereka yang sadar serta kokoh dalam
memegang keyakinannya.46
Tindak kekerasan, brutalitas, bahkan peperangan atas nama agama
bukan barang baru dalam sejarah peradaban manusia. Pelaku tindakan ini
mengaku paling beriman di muka bumi. Karena menganggap diri sebagai
makhluk yang paling agung di antara manusia yang lain, mereka mengangkat
dirinya sebagai orang yang paling dekat dengan tuhan, menganggap mereka
menjadi wakil tuhan yang sah untuk mengatur dunia ini berdasarkan tafsiran
monolitik mereka terhadap teks suci. Perkara pihak lain akan mati, terancam,
binasa, dan babak belur akibat perbuatan anarkis mereka, sama sekali tidak
menjadi pertimbangan. Sikap yang semacam inilah yang bikin kacau
masyarakat. Oleh karena itu, Alquran jangan dibawa-bawa untuk menindas

45
Olaf H. Schuman, Menghadapi Tantangan, Memperjungkan Kerukunan
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h. 58
46
Ibid, h.59

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an | 165

orang lain. Kekerasan atas nama agama adalah pengkhianatan yang nyata
terhadap hakikat agama itu sendiri.47
Sikap keterbukaan akan pluralitas umat beragama merupakan suatu
sikap kunci pembuka kedamaian dalam beragama, tanpa membuat
kegaduhan atau pencampuradukan ajaran atau yang lebih dikenal dengan
sinkretisme agama, ummat agama akan lebih humanis dalam menyikapi
persoalan kehidupan sosial terutama yang bersangkut paut dengan agama itu
sendiri.
Islammengajarkan bahwa agama Tuhan adalah universal, karena
Tuhan telahmengutus Rasul-Nya kepada setiap umat manusia untuk menjadi
rahmat bagi semesta alam. “Wa mâ arsalnâka illâ rahmatan li al-‘âlamîn”. Ini
merupakan gagasan-gagasan besar tentang kemanusiaan yang diberikan Islam.
Pandangan kemanusiaan dalam Islam tidak lain adalah cara melihat manusia
sebagai manusia, apa pun identitas dirinya, yang harus dihormati dan
dihargai, sebagaimana Tuhan sendiri menghargai dan menghormatinya.48
Jika ditinjau dari segi sejarah, “Piagam Madinah” atau “Konstitusi
Madinah” memberikan teladan tentang keadilan dan toleransi yang luar biasa
indah bagi pola hubungan bermasyarakat yang pluralistik. Dalam piagam ini
termaktub suatu perjanjian yang menekankan antara kaum Yahudi dan
Muslim, mereka harus saling membantu dalam menghadapi pihak-pihak yang
menyerang para penandatangan piagam ini. Piagam Madinah memang hanya
mengatur hubungan umat Islam dan umat Yahudi, karena komposisi
masyarakat kota Yatsrib pada saat itu hanya terdiri dari dua golongan
tersebut.49

47
Ahmad Syafii Maarif, Al-Quran dan Realitas Umat, (Jakarta: Republika,
2010), h. 13
48
Muhammad, op cit, hlm. 19
49
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: Gema
Insani, 2006), hlm. 220

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
166 | Syafi’in Mansur dan Muhayat Hasan

Sementara itu, melihat kondisi kehidupan beragama sekarang ini,


konflik antar umat beragama, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Peristiwa-peristiwa seperti itu
tidak hanya terjadi atas dasar perbedaan agama, tetapi juga terjadi antara
orang atau kelompok-kelompok dengan agama yang sama. Maka, kerukunan
yang perlu dibangun bukan hanya kerukunan antaragama, melainkan juga
kerukunan antar orang atau kelompok dalam agama yang sama.50
Dalam konteks membina kerukunan antarumat beragama,
setidaknya pesan-pesan Alquran yang berkaitan dengan hubungan
antaragama harus dipahami dan dicermati dengan hati-hati. Karena jika kita
hanya memahami ayat-ayat Alquran hanya secara tekstualis, maka yang akan
timbul adalah kekacauan dan konflik yang tak terelakan.
Dalam banyak kasus, intoleransi antar umat beragama dan kekerasan
terhadap yang lain selalu terkait dengan kehendak untuk memaksakan
pikiran, ideology, agama, tindakan, dan sebagainya. Ini sering muncul karena
pelaku menganggap bahwa pikiran dirinyalah sebagai satu-satunya
kebenaran.Sementara pikiran, ideology, agama, keyakinan, budaya, persepsi,
pandangan, perasaan “yang lain” tidak masuk dalam kesadarannya sebagai
subjek yang juga memiliki kebenaran.51
Saat ini terdapat sejumlah permasalahan yang dihadapi pemerintah
dalam bidangpembangunan agama, antara lain: pertama, kesenjangan antara
nilai‐nilai ajaran agama dengan pemahaman para pemeluknya. Tingginya
semangat keberagamaan masyarakat pada satu sisi belum diimbangi dengan
pemahaman yang mamadai pada sisi lain. Kedua, kesenjangan antara
pengetahuan agama dengan pengamalannya yang tercermin dalam sikap dan
perilaku.Ketiga, agama sebagai daya tangkal terhadap kecenderungan manusia

50
Dadang Kahmad,Sosiologi Agama, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009),
h. 178
51
Husein Muhammad, op cit, h. 17

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an | 167

berperilaku menyimpang belum cukup optimal.Pemahaman agama masih


belum mampu membangun kesadaran, menggugah nurani dan spiritual
sikap individu dalam perilaku keseharian. Dan keempat, harmonisasi
kehidupan beragama di dalam masyarakat Indonesia belum sepenuhnya
dapat diwujudkan sebagai akibat munculnya ketegangan sosial yang sering
melahirkan konflik intern dan antar umat beragama..52
Hidup berdampingan antarumat beragama dengan toleransi dan
penuh kedamaian adalah baik, tetapi belum dikatakan dialog antarumat
beragama. Dialog antarumat beragama bukan hanya saling memberi
informasi tentang mana yang sama dan mana yang berbeda, bukan suatu
usaha agar orang yang berbicara menjadi yakin akan kepercayaannya, bukan
untuk menarik orang lain supaya menerima kepercayaan yang ia yakini,
bukan untuk menyatukan semua ajaran agama menjadi satu, dan juga bukan
berdebat adu argumentasi untuk mencari yang menang dan yang kalah..53
Akan tetapi dialog bertujuan untuk menumbuhkan saling
pengertian, toleransi dan kedamaian di antara agama-agama yang berbeda,
merupakan babak baru dalam hubungan antara agama. Dialog antaragama
bertujuan untuk menciptakan kerukunan hidup beragama secara actual dan
viable merupakan tantangan yang mendesak di Indonesia sekarang ini.
Karena perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi di Negeri ini
telah menimbulkan gangguan-gangguan serius terhadap kerukunan hidup
beragama.54

52
Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat, Press Confrence:
Simposium Internasional: Peran Strategis Pemdidikan Agama dalam Pengembangan Budaya
Damai,(Jakarta: 2011), h. 1
53
Departemen Agama, Harmoni: Jurnal Multikultural dan Multireligius, (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009), Volume VIII, No. 30, h. 34
54
Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan
Antarumat, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), h. 215

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
168 | Syafi’in Mansur dan Muhayat Hasan

Azyumardi Azramembagi beberapa model dialog yang dapat


dilakukan guna menciptakan kerukunan hidup antar agama,55 yaitu;
Pertama, Dialog Parlementer, yaitu dialog yang melibatkan ratusan
peserta yang datng dari berbagai unsur masyarakat, baik pada tingkat local,
regional, maupun internasional. Dalam pertemuan parlementer-parlementer
ini, ratusan para peserta memusatkan diri dalam merumuskan konsep-konsep
dan program aksi untuk penciptaan dan pengembangan kerjasama yang lebih
baik diantara berbagai kelompok agama, dan sekaligus untuk menggalang
perdamaian di antara pemeluk agama.
Kedua, Dialog Kelembagaan, yakni dialog di antara wakil-wakil
institusional berbagai organisasi agama. Dialog ini berguna untuk
memecahkan masalah-masalah mendesak yang dihadapi umat agama yang
berbeda, juga menciptakan dan mengembangkan komunikasi.
Ketiga, Dialog Teologi, dialog-dialog ini mencakup pertemuan-
pertemuan-baik regular maupun tidak-untuk membahas persoalan-persoalan
teologis dan filosofis.
Keempat, Dialog dalam Masyarakat dan Dialog Kehidupan, dialog-
dialog ini pada umumnya berkonsentrasi pada penyelesaian “hal-hal praktis”
dan “actual” dalam kehidupan yang menjadi perhatian bersama, misalnya,
hubungan yang lebih patut antara agama dan Negara, hak-hak minorotas
agama, dan lain sebagainya.
Kelima, Dialog Keruhanian, dialog seperti ini bertujuan untuk
menyuburkan dan memperdalam kehidupan spiritual di antara berbagai
agama.
Dialog-dialog di atas merupakan cara yang manusiawi untuk
menjawab berbagai persoalan dan perbedaan dalam masyarakat. Dialog tidak
menghilangkan perbedaan, akan tetapi mengajarkan dan menyadarkan kita
akan adanya realitas perbedaan dan menghargai serta menghormati

55
Ibid, h. 217

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an | 169

perbedaan tersebut. Dialog antara berbagai pemeluk agama bukan bertujuan


untuk membangun sebuah harmoni yang palsu, melainkan untuk
membangun suatu kebersamaan yang dinamis.56
Selain dengan berdialog, keterlibatan para pemimpin agama dalam
kegiatan pembangunan kerukunan ini adalah dalam aspek pembangunan
unsur ruhaniyahnya. Karena mustahil unsur ini dapat terisi tanpa
keterlibatan mereka itu. Dalam pelaksanaannya, para pemimpin agama dapat
berperan lebih luas; bukan hanya terbatas pada pembangunan ruhani
masyarakat, tetapi juga berperan sebagai motivator, pembimbing moral, dan
juga mediator.57Sehingga keragaman agama bukan menjadi kendala untuk
menjalin keharmonisan dan kerukunan dalam beragama.
Bangsa Indonesia terdiri dari beberapa suku, agama, dan golongan.
Sungguhpun berbeda-beda, tetapi satu tujuan, yaitu meraih kebahagiaan
hidup di dalam bingkai persaudaraan sesama manusia, sebangsa dan se-
Tanah Air, dan sesama pemeluk agama.Kata kunci persaudaraan dan
kebahagiaan hidup adalah kerukunan sesama warga tanpa memandang
perbedaan latar belakang suku, agama dan golongan, karena hal itu adalah
Sunnantullah.Kerukunan adalah kesepakatan yang didasarkan pada kasih
sayang.Kerukunan mencerminkan persatuan dan persaudaraan antar sesama
manusia.
3. Tafsir Eksklusivisme dan Inklusivisme terhadap Kerukunan dalam
tafsir Departemen Agama

Paling tidak ada dua arus utama ketika kita menganalisis tentang
klasifikasi ayat-ayat yang berkaitan dengan kerukunan tersebut di atas, yaitu
faham inklusif dan faham eksklusif.

56
Kholis Setiawan, dan Soetapa,op cit, h. x
57
Kahmad,op cit, h. 139

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
170 | Syafi’in Mansur dan Muhayat Hasan

Pertama, eksklusivisme; yaitu suatu pemahaman yang cenderung


monolitik, tertutup, bersikap kurang ramah, bahkan terkesan “memusuhi”
terhadap penganut agama lain.58
Dalam konteks beragama dan bermasyarakat, kelompok tersebut
cenderung menganggap orang-orang non-muslim sebagai “musuh” dan
bersikap curiga. Akibatnya, relasi horizontal menjadi kurang harmonis,
terlebih kalau sudah menyangkut kepentingan politik tertentu yang
mengatasnamakan Islam.Ketegangan dan konflik sering kali mewarnai
kehidupan bermasyarakat dan beragama mereka.Perlu dicatat bahwa
pandangan yang bersifat ideologis dan eksklusif juga ada dalam sebagian
penganut non-muslim.Ini sangat berbahaya jika dua kelompok yang sama-
sama ideologis politis ini bertemu dan ternyata kepentingan mereka saling
bersebrangan. Hampir bisa dipastikan ketegangan dan konflik dapat terjadi,
bahkan perang atas nama agama yang mana sering menjadi alat legitimasi
untuk melakukan kekerasan.59
Faham eksklusivisme ini beranggapan, orang Islam hanya boleh
berinteraksi, peduli dan berteman dengan orang Islam saja, tidak boleh
bersahabat dan mencintai, berkooperasi dalam bentuk apapun dengan orang-
orang non-muslim, kecuali hanya jika akan memberikan contoh yang baik
dan jika ada keperluan. Harapannya agar kebaikan yang dimilikinya tidak
terkontaminasi dengan kejahatan yang melekat pada orang-orang non-
muslim. Berjuang demi kebaikan harus senantiasa dilakukan agar kebaikan
mendominasi dunia, kalau bisa dengan mengubah kejahatan menjadi
kebaikan.
Karena betapapun gagasan kemanusiaan dalam Islam, namun sejarah
Islam sesudah Nabi Muhammad SAW.memperlihatkan kenyataan yang

58
M. Nur Kholis Setiawan, dan Djaka Soetapa. Meniti Kalam Kerukunan
(Jakarta: Gunung Mulia, 2010), h. 6
59
Husein Muhammad, op cit, h. 7

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an | 171

memprihatinkan. Ketegangan, konflik, dan kekerasan atas nama agama dan


Tuhan acap kali muncul ke permukaan. Konflik tersebut bukan saja terjadi
terhadap yang berbeda agama melainkan seagama.Mereka ini menjadikan
teks-teks ketuhanan sebagai dasar untuk menjustifikasi dan membenarkan
tindakan dan kepentingan masing-masing. Masing-masing pihak menafsirkan
sendiri teks-teks itu sejalan dengan kepentingannya.60
Kedua, paham inklusivisme yaitu suatu faham yang cenderung lebih
terbuka, pluralistic, dan ingin menciptakan bagaimana pluralitas agama ini
tidak menjadi pemicu terjadinya konflik social, tetapi menjadi alat pemersatu
bangsa dengan landasan saling menghormati satu sama lainnya dan
berlomba-lomba dalam hal kebaikan61
Memulai kepada proposi yang berbeda ini, yaitu faham Islam inklusif
yang berarti Islam yang “terbuka” dan juga dalam batas-batas tertentu juga
pluralis. Plurlissecara literal dapat diartikan sebagai paham kemajemukan,
baik itu dalam agama, etnis, suku, maupun budaya. Namun, Di era
demokrasi dan globalisasi, pluralisme kemudian menjadi isu yang sangat
penting dan gencar disosialisasikan. Hal ini dilakukan dengan harapan ketika
semangat pluralisme dalam agama dipahami dengan baik, ketegangan dan
konflik yang disebabkan oleh isu agama dapat diredam, atau paling tidak
dapat berkurang.62Ini tercemin di dalam kosakata yang seakar dengan kata
Islam, yang mana berarti kedamain, kesentosaan, ketenangan, ketentra-
man.Maka di sini Islam sangat menekankan toleransi antar agama, juga
untuk bekerjasama dan berusaha menegakan kebaikan di muka bumi.
Implementasi di dunia menghendaki bahu membahu dan kerjasama, yang ini
bukan berarti mencampur atau melunturkan perbedaan.

60
Ibid, h. 20
61
Setiawan dan Soetapa, Op Cit, h. 6
62
Ibid, h. 8

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
172 | Syafi’in Mansur dan Muhayat Hasan

Inklusivisme menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan menyatakan


bahwa kata kunci persaudaraan dan kebahagiaan hidup adalah kerukunan
sesama warga tanpa memandang perbedaan latar belakang suku, agama dan
golongan, karena hal itu adalah Sunnantullah.Kerukunan adalah kesepakatan
yang didasarkan pada kasih sayang.Kerukunan mencerminkan persatuan dan
persaudaraan.
Dalam Alquran dan Tafsirnyabuah karya Departemen agama ini,
uraian penafsirannya tentang ayat-ayat yang berkenaan dengan keragaman
belum cukup untuk melahirkan sikap toleransi di tengah-tengah masyarakat
kita penuh dengan keragaman sebagaimana sebagian diantaranya tidak
memiliki relevansi dengan situasi dewasa ini.Sebagaimana penafsirannya
terhadap ayat-ayat keragam/kerkunan, maka penafsirannya kurang begitu
menunjang terhadap kerukunan beragama, dan penafsirannya pula tidak
menampilkan perbedaan pandangan.
Sebagaimana penafsirannya terhadap surat Al-Baqarah: 62, yang
berbunyi;

(٦٢)
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani
dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar
beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan
menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada
mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya Departemen Agama menafsirkannya
antara lain dengan menyatakan, bahwa; Orang-orang Islam, orang Yahudi,
orang Nashrani dan orang Sabiin yang benar-benar beragama menurut agama
mereka, membenarkan dengan sepenuh hati akan adanya Allah dan hari
Kiamat, mengamalkan segala tuntutan syariat agamanya sesuai dengan masa
berlakunya syariat,masing-masing memperolah pahala dan kebahagiaan di

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an | 173

dunia dan akhirat. Sedangkan sesudah kedatangan Nabi Muhammad Saw,


semua umat manusia wajib mengikuti agama serta ajaran yang dibawanya,
yakni Agama Islam.
Apalagi ketika menafsirkan tentang validitas agama Islam, maka
penafsirannya tersebut akan terkesan klaim kebenaran serta cenderung
menganggap bahwa mereka yang beragama Yahudi dan Nasranibukanlah
seorang muslim dan tidak akan mendapat jaminan keselamatan sebab
mereka bukanlah pengikut Islam yang diajarkan Nabi Muhammad. Ini
berarti bahwa mereka bukanlah mukmin, melainkan kafir.Dan agama
mereka sekali-kali tidak akan diterima, dan mereka termasuk orang-orang
yang merugi.
Begitu pula ketika menafsirkan tentang hubungan antara agama-
agama, seperti dalam firman-Nya; (QS. al-Baqarah,: 120)
(١٢٠)
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga
kamu mengikuti agama mereka.”
Ayat ini dijelskan oleh tafsir Departemen Agama itu, antara lain
dengan menyatakan bahwa mereka (yakni Yahudi dan Nasrani) tidak rela
seseorang menganut agama Islam. Mereka selalu berusaha dan tidak akan
berhenti melakukan tindakan-tindakan sehingga Nabi Muhammad saw. dan
pengikut-pengikutnya menganut agama yang mereka anut.63
Sampai di sini, maka tampak perbedaan landasan ayat yang dipakai
antara kelompok yang tertutup dan kelompok yang terbuka, meski kedua-
duanya berpegang pada prinsip Alquran. Kelompok eksklusif di satu sisi
penyandarannya terhadap ayat-ayat tersebut mereka menginterpretasikannya
disertai sikap dominatif, memposisikan sebagai kelas wahid, dan sifat

63
Shihab, Quraish M, Menabur Pesan Ilahi; Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan
Masyarakat, (Jakarta: Lentera Hati, 2006). h. 322

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
174 | Syafi’in Mansur dan Muhayat Hasan

arogansi. Sedangkan perangkat penafsirannya cenderung mengikuti orientasi


penafsiran tekstual-literalis dan ahistoris.
Kemudian kelompok yang lainnya, pada sisi yang lain memilih dan
menafsirkaan ayat-ayat sesuai dengan penerimaan mereka terhadap
pluralistik, disertai basis penafsiran yang mengedepankan moralitas umum
Alquran, semacam : kasih sayang, keadilan, dan kebaikan.
Jadi jika berangkat dari sisi logika, bahwa logika eksklusif sangat
cocok dengan prinsip rasionalitas.Jika ada dua proposisi, tidaklah bisa kedua-
duanya dinyatakan sebagai kebenaran, atau kedua-duanya ditolak sebagai
kebenaran.Salah satu dari proposisi tersebut harus ada yang benar dan yang
salah.Dalam krangka ini logika plural menjadi lemah. Dalam praksis
kehidupan, secara individual, sebagai umat yang memeluk agama tertentu,
termasuk Islam, sikap eksklusif sebagaimana yang dimiliki kelompok puritan
memang diperlukan karena kita butuh kepastian dan posisi diri di tengah
orang lain. Namun secara sosial, sikap ini akan menjadi musuh utama
kedamaian dan ketentraman di dunia yang niscaya bercorak plural sehingga
sikap eksklusif harus bisa diminimalisasi.64

64
Ulya’, Penyikapan Puritan dan Moderat Terhadap Ayat Al-Qur’an Tentang Pluralitas Agama
dan Implikasinya, (Perspektif Pemikiran Khaled Abou el-Fadl), (Hermeneutik, Jurnal,
Volume 4, Nomor 2, Juli, 2009). h. 21

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an | 175

DAFTAR PUSTAKA

Azra,Azyumardi.Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan


Antarumat, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung; CV Penerbit J-
ART, 2005)
Haidar, Bagir, Menuju Persatuan Umat, (Pandangan Intelektual Muslim
Indonesia), (Bandung: Mizan, 2012)
Kahmad,Dadang.Sosiologi Agama, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009)
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan),
(Jakarta: Widya Cahaya, 2011).
Kholiludin,Tedi.Kuasa Negara Atas Agama (Politik Pengakuan, Diskursus “Agama
Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil), (Semarang: Team RaSAIL Media
Group 2009).
Maarif, Ahmad Syafii.Al-Quran dan Realitas Umat, (Jakarta: Republika, 2010)
Muhammad,Husein.Mengaji Pluralisme kepada Maha Guru Pencerahan,
(Bandung: Mizan, 2011)
Schumann,Olaf.Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009)
Setiawan, M. Nur Kholis dan Soetapa,Djaka.Meniti Kalam Kerukunan,(Jakarta:
Gunung Mulia, 2010)
Shihab,Alwi.Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung:
Mizan, 1997)
Shihab, M. Quraish.Membumikan Al-Qur’an, fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2007),
Thoha, Anis Malik.Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: Gema
Insani, 2006)

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845
176 | Syafi’in Mansur dan Muhayat Hasan

Ulya’, Penyikapan Puritan dan Moderat Terhadap Ayat Al-Qur’an Tentang


Pluralitas Agama dan Implikasinya, (Perspektif Pemikiran Khaled Abou el-
Fadl), (Hermeneutik, Jurnal, Volume 4, Nomor 2, Juli, 2009).

Jurnal al-Fath, Vol. 08, No. 01, (Januari-Juni) 2014


ISSN: 1978-2845

Anda mungkin juga menyukai