0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
423 tayangan29 halaman

Laporan Pendahuluan (LP) Eliminasi Urin Dan Fekal

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 29

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN ELIMINASI URIN DAN FEKAL

PRINCE HOTMA WEFSTER

232030230863

Program Studi Profesi Ners

STIKes Widya Dharma Husada Tangerang Tahun 2024


LAPORAN PENDAHULUAN ELIMINASI URIN DAN FEKAL

A. Konsep Dasar Kebutuhan Eliminasi Urine Dan Fekal

1. Definisi Kebutuhan Dasar Eliminasi

Menurut kamus bahasa Indonesia, eliminasi adalah pengeluaran, penghilangan,

penyingkiran, penyisihan. dalam bidang kesehatan, Eliminasi adalah proses

pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urin atau bowel (feses). Eliminasi

pada manusia digolongkanmenjadi 2 macam, yaitu:

a. Defekasi

Buang air besar atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses

makhluk hidup untuk membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengah-

padat yang berasal dari sistem pencernaan (Dianawuri, 2018).

b. Miksi

Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih

terisi. Miksi ini sering disebut buang air kecil.

2. Anatomi Dan Fisiologi

Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjadinya proses

penyaringan darah (sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak

dipergunakan oleh tubuh) dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh

tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan lagi oleh tubuh larut dalam air dan

dikeluarkan dari tubuh berupa urin (air kemih). (Syaifuddin, 2019). Sistem
perkemihan memiliki fungsi :

a. Keseimbangan transportasi air dan zat terlarut.

b. Mensekresi hormon yang membantu mengatur tekanan darah,

erithropoietin dan metabolism kalsium.

c. Menyimpan nutrient.

d. Ekskresi zat buangan.

e. Mengatur keseimbangan asam basa.

f. Membentuk urin.

Gambar 2.1 Sistem Urinaria

Sistem perkemihan disebut juga urinari sistem atau renal sistem. Terdiri dari:

a. Dua buah ginjal, yang berfungsi membuang zat-zat sisa metabolisme atau

zat yang berlebihan dalam tubuh serta membentuk urin.

b. Dua buah ureter, yang berperan untuk mentransport urin ke kandung

kemih/bladder.
c. Kandung kemih/bladder, yang merupakan tempat penampungan urin.

d. Uretra, yang merupakan saluran yang mengalirkan urine dari

bladder/kandung kemih menuju keluar tubuh.

3. Etiologi

a. Gangguan Eliminasi Urine

1) Intake cairan

Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi

output urine atau defekasi. Seperti protein dan sodium mempengaruhi

jumlah urine yang keluar, kopi meningkatkan pembentukan urine intake

cairan dari kebutuhan, akibatnya output urine lebih banyak.

2) Aktifitas

Aktivitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot.

Eliminasi urine membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik untuk

tonus sfingter internal dan eksternal. Hilangnya tonus otot kandung kemih

terjadi pada masyarakat yang menggunakan kateter untuk periode waktu

yang lama. Karena urine secara terus menerus dialirkan keluar kandung

kemih, otot-otot itu tidak pernah merenggang dan dapat menjadi tidak

berfungsi. Aktifitas yang lebih berat akan mempengaruhi jumlah urine yang

diproduksi, hal ini disebabkan karena lebih besar metabolisme tubuh

b. Gangguan Eliminasi Fekal


Berikut merupakan berbagai gangguan dalam eliminasi fekal

1) Pola diet tidak adekuat/tidak sempurna:

Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses.

Cukupnya selulosa, serat pada makanan, penting untuk memperbesar

volume feses. Makanantertentu pada beberapa orang sulit atau tidak bisa

dicerna. Ketidakmampuan ini berdampak pada gangguan pencernaan, di

beberapa bagian jalur dari pengairan feses. Makan yang teratur

mempengaruhi defekasi. Makan yang tidak teratur dapat mengganggu

keteraturan pola defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama

setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada

pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di colon.

2) Cairan

Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika

pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine, muntah)

yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh melanjutkan untuk

mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di sepanjang colon. Dampaknya

chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan feses yang keras.

Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan memperlambat perjalanan

chyme di sepanjang intestinal, sehingga meningkatkan reabsorbsi cairan dari

chime.

3) Meningkatnya stress psikologi

Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit-


penyakit tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis, bisa jadi

mempunyai komponen psikologi. Diketahui juga bahwa beberapa orang

yagn cemas atau marah dapat meningkatkan aktivitas peristaltik dan

frekuensi diare. Ditambah lagi orang yang depresi bisa memperlambat

motilitas intestinal, yang berdampak pada konstipasi.

4) Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama.

Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan gerak

peristaltic dan dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rectum

dalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi cairan feses sehingga feses

mengeras.

5) Obat-obatan

Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh terhadap

eliminasi yang normal. Beberapa menyebabkan diare; yang lain seperti

dosis yang besar dari tranquilizer tertentu dan diikuti dengan prosedur

pemberian morphin dan codein, menyebabkan konstipasi. Beberapa obat

secara langsung mempengaruhi eliminasi. Laxative adalah obat yang

merangsang aktivitas usus dan memudahkan eliminasi feses. Obat-obatan

ini melunakkan feses, mempermudah defekasi. Obat-obatan tertentu seperti

dicyclomine hydrochloride (Bentyl), menekan aktivitas peristaltik dan

kadang-kadang digunakan untuk mengobati diare.

6) Usia

Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga


pengontrolannya. Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya sampai

sistem neuromuskular berkembang, biasanya antara umur 2 – 3 tahun.

Orang dewasa juga mengalami perubahan pengalaman yang dapat

mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di antaranya adalah atony

(berkurangnya tonus otot yang normal) dari otot-otot polos colon yang

dapat berakibat pada melambatnya peristaltik dan mengerasnya (mengering)

feses, dan menurunnya tonus dari otot-otot perut yang juga menurunkan

tekanan selama proses pengosongan lambung. Beberapa orang dewasa juga

mengalami penurunan kontrol terhadap muskulus spinkter ani yang dapat

berdampak pada proses defekasi. Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus,

paralitik ileus, kecelakaan pada spinal cord dan tumor. Cedera pada sumsum

tulang belakan dan kepala dapat menurunkan stimulus sensori untuk

defekasi. Gangguan mobilitas bisa membatasi kemampuan klien untuk

merespon terhadap keinginan defekasi ketika dia tidak dapat menemukan

toilet atau mendapat bantuan. Akibatnya, klien bisa mengalami konstipasi.

Atau seorang klien bisa mengalami fecal inkontinentia karena sangat

berkurangnya fungsi dari spinkter ani.

4. Klasifikasi

a. Eliminasi Urine

1) Retensi urine

Retensi urine adalah akumulasi urine yang nyata didalam kandung

kemih akibat ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih.

2) Dysuria
Adanya rasa nyeri, sakit atau kesulitan dalam berkemih.

3) Polyuria

Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal , seperti

2500 ml / hari , tanpa adanya intake cairan.

4) Inkontinensi Urin

Ketidaksanggupan sementara atau permanen otot spingter eksternal

untuk mengontrol keluarnya urin dari kantong kemih.

5) Urinari suppresi Adalah berhenti mendadak produksi urin

b. Eliminasi Fekal

1) Konstipasi

Konstipasi adalah penurunan frekuensi defekasi , yang diikuti oleh

pengeluaran feses yang lama atau keras dan kering.

2) Impaksi

Impaksi feses merupakan akibat dari konstipasi yang tidak diatasi.

Impaksi adalah kumpulan feses yang mengeras, mengendap di dalam

rektum, yang tidak dapat dikeluarkan.

3) Diare

Diare adalah peningkatan jumlah feses dan peningkatan

pengeluaran feses yang cair dan tidak berbentuk. Diare adalah gejala
gangguan yang mempengaruhi proses pencernaan , absorpsi, dan

sekresi di dalam saluran GI.

4) Inkontinensia

Inkontinensia feses adalah ketidakmampuan mengontrol keluarnya

feses dan gas dari anus.

5) Flatulen

Flatulen adalah penyebab umum abdomen menjadi penuh, terasa nyeri,

dan kram.

6) Hemoroid

Adalah vena-vena yang berdilatasi, membengkak dilapisan rectum.

5. Patofisiologi

a. Gangguan Eliminasi Urine

Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan

di atas. Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang

berbeda. Pada pasien dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera

medulla spinal, akan menyebabkan gangguan dalam mengkontrol urin atau

inkontinensia urin. Gangguan traumatik pada tulang belakang bisa

mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi traumatik pada medulla

spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan adanya fraktur atau dislokasi.

Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa
mengakibatkan efek yang nyata di medulla spinallis. Cedera medulla spinalis

(CMS) merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf termasuk pada

persyarafan berkemih dan defekasi.

Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik

dikaitkan dengan cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai

syok spinal. Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada

medulla spinalis (areflexia) di bawah tingkat cedera. Dalam kondisi ini, otot-

otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen medulla yang ada di bawah tingkat

lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan refleks-refleksnya tidak ada. Hal

ini mempengaruhi refleks yang merangsang fungsi berkemih dan defekasi.

Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi refleks yang dapat

diatasi dengan dekompresi usus (Brunner & Suddarth, 2022). Hal senada

disampaikan Sjamsuhidajat (2014), pada komplikasi syok spinal terdapat tanda

gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan

hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan

defekasi.

Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan

penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling

berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih

dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf

otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis

terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan

resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan


sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan

peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan proksimal uretra.

Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang

simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh

sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu

asetilkholin, suatu agen kolinergik. Selama fase pengisian, impuls afferen

ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal sakral

segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak

menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase

pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral

dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.

Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi

pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus

pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna.

Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi saluran yang minimal. Pasien post

operasi dan post partum merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan

retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan

edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural anestesi,

obat- obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik,

nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang

mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine

post operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung

kemih yang adekuat.


b. Gangguan Eliminasi Fekal

Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga

disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat

bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu.

Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik

mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam

rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk

defekasi.

Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks

defekasi instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan

dinding rektum memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus

mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon

sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus.

Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak

menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses keluar.

Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam

rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan

kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal –

sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan

spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter

anus individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal tenang

dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan

diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi

muskulus levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan feses melalui

saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi paha yang

meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan

tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika

defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus spingter

eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat

menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan feses. Cairan

feses di absorpsi sehingga feses menjadi keras dan terjadi konstipasi.

6. Manifestasi klinis

a. Gangguan eliminasi urine

1) Retensi Urin

• Ketidak nyamanan daerah pubis.

• Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih.

• Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang.

• Meningkatnya keinginan berkemih dan resah

• Ketidaksanggupan untuk berkemih

2) Inkontinensia urin
• pasien tidak dapat menahan keinginan BAK sebelum sampai di WC

• pasien sering mengompol

b. Gangguan eliminasi fekal

1) Konstipasi

• Menurunnya frekuensi BAB

• Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan

• Nyeri rektum

2) Impaction/impaksi

• Tidak BAB

• Anoreksia

• Kembung/kram

• Nyeri rektum

3) Diare

• BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk

• Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat

• Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang

menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa.


• feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan

menahan BAB.

4) Inkontinensia Fekal

• Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus,

• BAB encer dan jumlahnya banyak

• Gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma

spinal cord dan tumor spingter anal eksternal

7. Komplikasi

a. Masalah Kulit. seperti ruam, infeksi kulit dan luka.

b. Infeksi Saluran Kemih. Inkontinensia bisa meningkatkan risiko terjadinya

infeksi saluran kemih berulang.

c. Mengganggu Kehidupan Sosial. Inkontinensia urine merupakan masalah yang

memalukan, sehingga bisa memengaruhi hubungan sosial, pekerjaan, dan

hubungan pribadi pengidapnya.

d. Prolaps. Bagian dari vagina, kandung kemih, dan terkadang uretra dapat jatuh

ke pintu masuk vagina. Hal ini biasanya disebabkan oleh melemahnya otot

dasar panggul.

8. Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan Pada Eliminasi Urine (PPNI, 2018):


1) Penatalaksanaan inkontinensia urine yaitu:

a) Pemanfaatan kartu berkemih

b) Terapi non farmakologi

c) Terapi farmakologi

d) Terapi pembedahan

e) Modalitas lain

2) Penatalaksanaan medis retensi urine yaitu

a) Menggunakan urinal untuk berkemih, dalam memenuhi kebutuhan

eliminasi perkemihan

b) Kateterasi Perkemihan, untuk menghilangkan ketidaknyamanan karena

distensi kandung kemih.

c) Memasang kondom kateter bagi pasien pria, untuk mempertahankan

hygene parineal pasien inkontinensia.

b. Penatalaksanaan Pada Eliminasi Fekal (PPNI, 2018):

1) Konstipasi

• Periksa tanda dan gejala konstipasi

• Periksa pergerakan usus, karakteristik feses

• Identifikasi factor risiko konstipasi

• Monitor tanda dan gejala rupture usus dan/atau peritonisis


• Anjurkan diet tinggi serat

• Lakukan massage abdomen

• Lakukan evakuasi feses secara manual

• Berikan enema atau irigasi

• Jelaskan etiologi masalah dan alasan tindakan

• Anjurkan peningkatan asupan cairan

• Latih buang air besar secara teratur

• Ajarkan cara mengatasi komstipasi/impaksi

• Konsultasi dengan tim medis tentang penurunan/peningkatan frekuensi

suara usus

• Kolaborasi penggunaan obat pencahar

2) Diare

• Identifikasi penyebab diare

• Identifikasi riwayat pemberian makanan

• Identifikasi gejala invaginasi-Monitor warna, volume, frekuensi, dan

konsistensi tinja.

• Monitor tanda dan gejala hipovolemia

• Monitor iritasi dan ulserasi kulit didaerah perineal


• Monitor jumlah pengeluaran diare

• Monitor keamanan penyiapan makanan

• Berikan asupan cairan oral

• Pasang jalur intravena

• Berikan cairan intravena

• Ambil sampel darah untuk pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit

• Ambil sampel feses untuk kultur, jika perlu

• Anjurkan makanan porsi kecil dan sering secara bertahap

• Anjurkan menghindari makanan,pembentuk gas, pedas, dan mengandung

laktosa

• Kolaborasi pemberian obat antimotilitas

• Kolaborasi pemberian obat antispasmodic/ spasmolitik

• Kolaborasi pemberian obat pengeras feses

B. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian Keperawatan

a. Riwayat Kesehatan
1) Pola Berkemih

a) Dribbing

Urine menetes sedikit demi sedikit

b) Nokturia

Sering terbangun pada malam hari karena ingin buang air kecil.

c) Anuria

Tidak merasakan keinginan berkemih

d) Glicosuria

Terdapat kandungan kandung glukosa pada urine

e) Piuria

Terdapat pus pada urine

2) Gejala dari perubahan berkemih

a) Frekuensi

Terjadi perubahan jumlah berkemih dalam sehari.

b) Desakan berkemih (Urgensi)

Pasien selalu merasakan tiba-tiba ingin berkemih.

c) Disuria

Nyeri saat buang air kecil.

d) Poliuria

Pasien merasakan sering buang air kecil.

e) Volume Urine

Volume pada urine bisa meningkat ataupun berkurang


3) Faktor yang mempengaruhi kebiasaan buang air kecil

a) Diet

Kurangnya asupan cairan dan buah dapat menyebabkan penurunan

keluaran urine.

b) Life style dan tingkat aktivitas

c) Stress psikologis

Dapat meningkatkan frekuensi keinginan berkemih


4) Kondisi Urine

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik untuk pola eliminasi berfokus pada masalah fungsional

yang terkait dengan inkontinensia urin atau fekal dan menilai area perineum

dan peri- anal. Evaluasi fungsional dimulai dengan wawancara dan berlanjut

hingga pemeriksaan fisik. Status mental dapat dievaluasi dengan

mendengarkan respons klien terhadap pertanyaan dan dengan mengamati

interaksi dengan orang lain.


Perineum awalnya diperiksa untuk menilai integritas kulit. Di antara klien

dengan inkontinensi urine yang parah, bau khas urine mungkin ada, dan kulit

mungkin menunjukkan tanda-tanda ruam monilial (makulo- papular, ruam

merah dengan lesi satelit) atau dermati- tis kontak amonia (ruam papula

dengan kulit maserasi jenuh). Di antara pasien dengan inkontinensia fekal

yang parah, kulit sering gundul, merah, dan menyakit- kan saat disentuh,

khususnya jika sudah terkena feses yang cair.

c. Pemeriksaan Diagnostik

Jenis pemeriksaan yang biasa Urinalisis dengan memeriksa : dilakukan

berupa

1) Warna : Jernih Kekuningan.

2) Penampilan : Jernih.

3) Bau: Beraroma.

4) pH: 4,5-8,0.

5) Berat jenis: 1,005 -1,030.

6) Glukosa: Negatif.

7) Keton: Negatif.

8) Kultur Urine: Kuman pathogen negatif.

2. Diagnosis Keperawatan

Berdasarkan (SDKI, 2017), Adapun masalah keperawatan yang mungkin muncul

adalah sebagai berikut:

Masalah 1: Gangguan Eliminasi Urine


a. Definisi

Disfungsi eliminasi urin

b. Penyebab

1) Berkurangnya kapasitas vesika urinaria.

2) Iritasi pada vesika urinaria.

3) Berkurangnya sensitifitas menyadari symptom gangguan pada vesika

urinaria.

4) Pengaruh tindakan medis dan diagnostik.

5) Penurunan kekuatan otot pelvis.

6) Ketidakmampuan mengakses toilet.

7) Hambatan lingkungan.

c. Gejala Dan Tanda Mayor

Subyektif

1) Rasa ingin berkemih.

2) Urine menetes.

3) Poliuri.

4) Nokturia.

5) Enuresis.

Objektif:

1) Distensi kandung kemih.

2) Berkemih tidak tuntas.

3) Volume residu urine bertambah.


d. Gejala Dan Tanda Minor

Subjektif

Objektif

1) Bau feses

2) Kulit perineal kemerahan

e. Kondisi Klinis Terkait

1) Infeksi pada sistem berkemih.

2) Peningkatan glukosa dalam urine.

3) Trauma.

4) Kanker.

5) Cedera/tumor medulla spinalis.

6) Stroke.

Masalah 2: Inkontinesia Fekal

a. Definisi

Perubahan kebiasaan buang air besar dari pola normal yang ditandai dengan

pengeluaran feses secara involunter.

b. Penyebab

1) Kerusakan susunan saraf pusat motoric bawah.

2) Penurunan tonus otot.

3) Gangguan kognitif.

4) Kehilangan fungsi pengendalian sflinter rectum.


5) Pasca operasi dan penutupan kolostomi.

6) Ketidakmampuan mencapai kamar kecil.

7) Diare kronis.

8) Stress berlebihan.

c. Gejala dan Tanda Mayor

Subjektif

1) Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran feses.

2) Tidak mampu menunda defekasi.

Objektif

1) Feses keluar sedikit-sedikit dan sering.

d. Gejala dan Tanda Minor

e. Subjektif:

Tidak tersedia

Objektif:

1) Bau feses.

2) Kulit perianal kemerahan.

f. Kondisi Klinis Terkait

1) Spina bifida.

2) Atresia ani.

3) Penyakit Hirschsprung.

Masalah 3: Inkontinesia Urine Refleks

a. Definisi
Pengeluaran urine yang tidak terkendali pada volume kondung kemih tertentu

tecapai.

b. Penyebab

1) Kerusakan konduksi implus di atas arkus reflex.

2) Kerusakan jaringan

c. Gejala dan Tanda Mayor

Subjektif

1) Tidak mengalami sensasi berkemih.

2) Dribbing.

3) Sering buang air kecil.

4) Nokturia.

Objektif

1) Volume residu urine meningkat.

d. Gejala dan Tanda Minor

Subjektif

(Tidak Tersedia)

Objektif

(Tidak Tersedia

e. Kondisi Klinis Terkait

1) Cedera/tumor/infeksi medulla spinalis.

2) Pembedahah pelvis.

3) Demensia.

4) Sklerosis multipel.
3. Intervensi Keperawatan

Masalah 1: Gangguan Eliminasi Urine

Manajemen Eliminasi Urine

a. Observasi

1) Identiifikasi tanda dan gajala retensi atau inkonti- nensial urine.

2) Identifikasi faktor yang menyebabkan retensi atau inkontinensial urine.

3) Monitor eliminasi urine (misalnya frekuensi, konsis- tensi, aroma, volume,

dan warna). Rasional: untuk mengetahui tanda, gejala dan faktor penyebab

eliminasi urine.

b. Terapeutik

1) Catat waktu-waktu dan haluran berkemih.

2) Batasi asupan cairan.

3) Ambil sampel urine tegah (midstream) atau kultur

Rasional: untuk mengetahui waktu berkemih.

c. Edukasi

1) Ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih.

2) Ajarkan mimum yang cukup, jika tidak ada kontra- indikasi.

Rasional: untuk mengetahui tanda dan gejalanya.

d. Kolaborasi

1) Kolaborasi pemberian obat supositoria uretra, jika perlu.

Masalah 2: Inkontinesia Fekal


Latihan Eliminasi Fekal

a. Observasi

1) Monitor peristaltik usus secara teratur

Rasional: mengetahui peristaltik usus.

b. Terapeutik

1) Anjurkan waktu yang konsisten untuk buang air besar.

2) Berikan privasi, kenyamanan dan posisi yang me- ningkatkan proses

defekasi.

3) Rasional: untuk melatih untuk buang air besar.

c. Edukasi

1) Anjurkan mengkonsumsi makanan teratur tertentu,sesuai program atau

hasil konsultasi.

2) Anjurkan asupan cairan yang adekuat sesuai kebu-tuhan. Rasional untuk

memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan pasien.

d. Kolaborasi

1) Kolaborasi penggunaan supositoria, jika perlu.

Masalah 3: Inkontinesia Urine Refleks

Katerisasi urine

a. Observasi

1) Periksa kondisi pasien (misal kesadaran, tanda-tanda vital, daerah perineal,

distensi kandung kemih, inkontinensia urine, refluks berkemih).

Rasional untuk mengetahui kondisi pasien.

b. Terapeutik
1) Siapkan peralatan, bahan-bahan dan ruangan tindakan.

2) Siapkan pasien: bebaskan pakaian bawah dan posisiskan dorsal rekumben

(untuk wanita) dan supine (untuk laki-laki).

3) Pasang sarung tangan.

4) Bersihkan daerah perineal atau prepossium dengancairan NaCl atau

aquades.

5) Lakukan insersi kateter urine dengan menerapkan prinsip aseptik.

6) Sambungkan kateter urinne dengan urine bag.

7) Isi balon dengan NaCL 0,9% sesuai anjuran pabrik.

8) Fiksasi selang kateter di atas simpisis atau di paha.

9) Pastikan kantung urine ditempat lebih rendah dari kandung kemih

10) Berikan label waktu pemasangan

Rasional: mepertahankan kenyamanan pasien selama pemasangan kateter.

c. Edukasi

1) Jelaskan tujuan dan prosedur pemasangan kateter urine.

2) Anjurkan menarik napas saat insersi selang kateter.

3) Rasional : untuk mengetahui tindakan yang dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai