0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
33 tayangan14 halaman

LP Hestina Atresia Deudenum

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 14

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN MATERNITAS DAN ANAK


DENGAN GANGUAN ATRESIA DUEDENUM

Disusun Oleh :

HESTINA
018SYE22

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN JENJANG D.3
MATARAM
2024
LEMBAR PENGESAHAN

GANGGUAN ATRESIA DUEDENUM

Disusun oleh :
HESTINA
018SYE22

Laporan pendahuluan telah di konsultasikan dan disetujui.

Pembimbing Pendidikan Pembimbing Kelinik

Haryani, SST., M.Kes Baiq Heny Sholehan Amd.Kep


LANDASAN TEORI

A. DEFINISI
Atresia duodenum adalah suatu kondisi dimana duodenum (bagian pertama
dari

usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran terbuka
dari lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung ke
usus.
Pada kondisi ini duodenum bisa mengalami penyempitan secara komplit sehingga
menghalangi jalannya makanan dari lambung menuju usus untuk mengalami
proses absorbsi. Apabila penyempitan usus terjadi secara parsial, maka kondisi ini
disebut dengan duodenal stenosis (Hayden et al, 2003).
B. ETIOLOGI
Meskipun penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenum masih belum
diketahui, patofisologinya telah dapat diterangkan dengan baik. Seringnya
ditemukan

keterkaitan atresia atau stenosis duodenum dengan malformasi neonatal lainnya


menunjukkan bahwa anomali ini disebabkan oleh gangguan perkembangan pada
masa awal kehamilan. Atresia duodenum berbeda dari atresia usus lainnya, yang
merupakan anomali terisolasi disebabkan oleh gangguan pembuluh darah
mesenterik pada perkembangan selanjutnya. Tidak ada faktor resiko maternal
sebagai predisposisi yang ditemukan hingga saat ini. Meskipun hingga sepertiga
pasien dengan atresia duodenum menderita pula trisomi 21 (sindrom Down),
namun hal ini bukanlah faktor resiko independen dalam perkembangan atresia
duodenum.
C. KLASIFIKASI
Gray dan Skandalakis membagi atresia duodenum menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Tipe I (92%)
Mukosal web utuh atau intak yang terbentuk dari mukosa dan submukosa
tanpa lapisan muskularis. Lapisan ini dapat sangat tipis mulai dari satu hingga
beberapa millimeter. Dari luar tampak perbedaan diameter proksimal dan
distal. Lambung dan duodenum proksimal atresia mengalami dilatasi (Mucosal
web Tipe I atresia). Arteri mesenterika superior intak.
2. Tipe II (1%)
Dua ujung buntu duodenum dihubungkan oleh pita jaringan ikat (Fibrous cord
Tipe II atresia). Arteri Mesenterika intak.
3. Tipe III (7%)

Dua ujung buntu duodenum terpisah tanpa hubungan pita jaringan ikat
(Complete separation Tipe III atresia).

D. PATOFISIOLOGI
Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal
yang tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya) atau
kegagalan rekanalisasi pita padat epithelial (kegagalan proses vakuolisasi). Banyak
peneliti telah menunjukkan bahwa epitel duodenum berproliferasi dalam usia
kehamilan 30-60 hari lalu akan terhubung ke lumen duodenal secara sempurna.
Proses selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat duodenum padat
mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi melalui proses apoptosis,
atau kematian sel terprogram, yang timbul selama perkembangan normal di antara
lumen duodenum. Kadang- kadang, atresia duodenum berkaitan dengan pankreas
anular (jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum). Hal ini
sepertinya lebih akibat gangguan

perkembangan duodenal daripada suatu perkembangan dan/atau berlebihan dari


pancreatic buds. Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari
embryonic
gut, yang tersusun atas epitel yang merupakan perkembangan dari endoderm,
dikelilingi sel yang berasal dari mesoderm. Pensinyalan sel antara kedua lapisan
embrionik ini tampaknya memainkan peranan sangat penting dalam
mengkoordinasikan pembentukan pola dan organogenesis dari duodenum.
E. PATHWAY

Proliferasi endodement tidak


adekuat
Ansie
tas Gangguan
Perkembangan
Kurang Atresia POST
pengetahuan Duodenum OPERATIF

PRE Mun
OPERATI ta

Volume Intake Resiko


cairan ↓ nutrisi ↓ aspirasi

Dehid Gangguan
rasi nutrisi
kurang dari
Kekurangan Gangguan cairan kebutuhan
volume dan elektrolit
cairan
Terputusnya
Ketidakseimbangan Insisi Kontuinitas
asam basa Beda
Jaringan

Resiko asidosis Gangguan


Resiko rasa
metabolik Infeksi
nyaman nyeri

F. MANIFESTASI KLINIS
Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus. Gejala akan
nampak dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa pasien dapat timbul gejala
dalam beberapa jam hingga beberapa hari setelah kelahiran. Muntah yang terus
menerus merupakan gejala yang paling sering terjadi pada neonatus dengan
atresia duodenal. Muntah yang terus-menerus ditemukan pada 85% pasien.
Muntah akan berwarna kehijauan karena muntah mengandung cairan empedu
(biliosa). Akan tetapi pada 15% kasus, muntah yang timbul yaitu non-
biliosaapabila atresia terjadi pada proksimal dari ampula veteri. Muntah neonatus
akan semakin sering dan progresif setelah neonates mendapat ASI. Karakteristik
dari muntah tergantung pada lokasi obstruksi. Jika atresia diatas papila, maka
jarang terjadi. Apabila obstruksi pada

bagian usus yang tinggi, maka muntah akan berwarna kuning atau seperti susu
yang
mengental. Apabila pada usus yang lebih distal, maka muntah akan berbau dan
nampak adanya fekal. Apabila anak terus menerus muntah pada hari pertama
kelahiran ketika diberikan susu dalam jumlah yang cukup sebaiknya dikonfirmasi
dengan pemeriksaan penunjang lain seperti roentgen dan harus dicurigai
mengalami obstruksi usus. Ukuran feses juga dapat digunakan sebagai gejala
penting untuk

menegakkan diagnosis. Pada anak dengan atresia, biasanya akan memiliki mekonium
yang jumlahnya lebih sedikit, konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih abu-
abu
dibandingkan mekonium yang normal. Pada beberapa kasus, anak memiliki
mekonium yang nampak seperti normal (Kessel et al, 2011)
Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak terganggu.
Akan tetapi, pada beberapa kasus dapat terjadi gangguan. Apabila kondisi anak
tidak ditangani dengan cepat, maka anak akan mengalami dehidrasi, penurunan
berat badan, gangguan keseimbangan elektrolit. Jika dehidrasi tidak ditangani, dapat
terjadi alkalosis metabolik hipokalemia atau hipokloremia. Pemasangan tuba
orogastrik akan
mengalirkan cairan berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna. Anak
dengan
atresi duodenum juga akan mengalami aspirasi gastrik dengan ukuran lebih dari
30
ml. Pada neonatus sehat, biasanya aspirasi gastrik berukuran kurang dari 5 ml.
Aspirasi gastrik ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada jalan nafas
anak. Pada beberapa anak, mengalami demam. Kondisi ini disebabkan karena
pasien mengalami dehidrasi. Apabila temperatur diatas 103º F maka
kemungkinan pasien mengalami ruptur intestinal atau peritonitis (Kessel et al,
2011).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi distensi ini
tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamaya pasien tidak dirawat.
Jika obstruksi pada duodenum, distensi terbatas pada epigastrium. Distensi dapat
tidak terlihat jika pasien terus menerus muntah. Pada beberapa neonatus, distensi
bisa sangat besar setelah hari ke tiga sampai hari ke empat, kondisi ini terjadi karena
ruptur lambung atau usus sehingga cairan berpindah ke kavum peritoneal. Neonatus
dengan atresia duodenum memiliki gejala khas perut yang berbentuk skafoid
(Kessel et al, 2011).
Saat auskultasi, terdengar gelombang peristaltik gastrik yang melewati
epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang peristaltik duodenum pada kuadran
kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum maupun kolon, maka
gelombang peristaltik akan terdapat pada semua bagian dinding perut (Kessel et
al, 2011).
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto polos abdomen

Pada pemeriksaan foto polos abdomen bayi dalam keadaan posisi tegak
akan terlihat gambaran 2 bayangan gelembung udara (double bubble),
gelembung lambung dan duodenum proksimal atresia. Bila 1 gelembung
mungkin duodenum

terisi penuh cairan, atau terdapat atresia pylorus atau membrane prapilorik.
Atresia pilorik sangat jarang terdapat dan harus ditunjang muntah tidak hijau.
Bila
2 gelembung disertai gelembung udara kecil kecil di distal, mungkin stenosis
duodenum, diafgrama membrane mukosa, atau malrotasi dengan atau tanpa
volvulus.
2. USG Abdomen
Penggunaan USG telah memungkinkan banyak bayi dengan obstruksi
duodenum teridentifikasi sebelum kelahiran. Pada penelitian cohort besar
untuk 18 macam malformasi kongenital di 11 negara Eropa, 52% bayi dengan
obstruksi duodenum
di identifikasi sejak in utero. Obstruksi duodenum ditandai khas oleh
gambaran
double-bubble (gelembung ganda) pada USG prenatal. Gelembung
pertama
mengacu pada lambung, dan gelembung kedua mengacu pada loop duodenal
postpilorik dan prestenotik yang terdilatasi. Diagnosis prenatal memungkinkan
ibu mendapat konseling prenatal dan mempertimbangkan untuk melahirkan di
sarana kesehaan yang memiliki fasilitas yang mampu merawat bayi dengan
anomali saluran cerna.
H. PENATALAKSANAAN
1. Pre operasi

Tindakan dekompresi dengan pemasangan sonde lambung (NGT) dan


lakukan pengisapan cairan dan udara. Tindakan ini untuk mencegah muntah
dan aspirasi. Resusitasi cairan dan elektrolit, koreksi asam basa, hiponatremia
dan hipokalemia perlu mendapat perhatian khusus. Pembedahan elektif pada
pagi hari berikutnya.
2. Intraoperasi
Tindakan ini memerlukan anestesi general dengan intubasi endotrakeal.
Yang sering banyak digunakan dengan insisi pemotongan otot, transversal,
insisi kuadran kanan atas. Namun, beberapa menggunakan motode
laparoskopi untuk memperbaiki (Blanco-Rodríguez, 2008).
Menurut Felicitass (2011), teknik pembedahan pada atresia duodenum :
a. Side to side anastomosis

Dimulai dari bagian dorsal dari anastomosis, sebuah duodenostomi melintang dibuat di
segmen proksimal. Bagian ujung dari lambung dan duodenum dilakukan duodenotomi.
Insisi pararel dibuat pada distal duodenum kemudian lapisan posterior anastomosis
dijahitkan.

b. For diamond shape duodenostomy

Diperlukan mobilisasi untuk menempatkan dinding duodenum proksimal terlihat dengan


jelas. Kemudian dibuat sayatan melintang di proksimal membujur ke duodenum bagian
distal.
c. For a duodenal web
Untuk web duodenum, membrane biasanya terletak di kedua bagian duodenum, Lokasi
membrane dapat dibantu oleh pemasangan NGT ke dalam duodenum.

d. For membrane resection


Untuk reseksi membrane, sayatan dibuat memanjang. Kemudian
mengidentifikasi ampula vater. Eksisi dimulai dengan insisi radial di pusat ostium.
Sebelum menutup duodenum secara melintang, patensi duodenum bagian distal diuji
terlebih dahulu dengan menggunakan kateter silicon kecil.
3. Post operasi
Penggunaan selang transanastomik berada dalam di jejunum, pemberian makan
dapat diberikan setelah 48 jam paska operasi. Nutrisi parenteral via central atau perifer
dimasukan kateter dapat sangat efektif untuk menjaga nutrisi waktu yang lama jika
transanastomik enteral tidak cukup atau tidak dapat ditolenrasi oleh tubuh pasien (Millar,
2005).

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
a. Identitas Pasien : Nama. Tempat tgl lahir, umur, Jenis kelamin, Alamat, Agama,
Suku Bangsa, Pendidikan,Pekerjaan, No. CM Tanggal masuk RS, Diagnosa Medis
b. Keluhan Utama : Muntah Terus – Menerus
c. Riwayat Keperawatan
1. Riwayat 5esehatan Sekarang :Muntah pada beberapa
neonatus distensi bisa sangat besar setelah hari ke tiga sampai
hari ke empat kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau
usu sehingga cairan berpindah ke kavum peritoneal.

2. Riwayat Keperawatan Dahulu : Biasanya akan memiliki


mekonium yang jumlahnya lebih sedikit konsistensinya lebih
kering dan berwarna lebih abu-abu dibandingkan mekonium yang
normal
3. Riwayat Keperawatan Keluarga :Merupakan kelainan
kongenital bukan kelainan/ penyakit menurun sehingga belum
tentu dialami oleh angota keluarga yang lain

d. Pola Fungsi
1. Pola persepsi terhadap kesehatan : Klien belum bisa mengungkapkan
Secara verbal/bahasa tentang apa yang dirasakan dan apa yang
diinginkan
2. Pola aktifitas kesehatan/latihan : Pasien belum bisa melakukan aktifitas
apapun secara mandiri karena masih bayi.
3. Pola istirahat/tidur : Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau
kelurga yang lain.
4. Pola nutrisi metabolik klien hanya minum ASI atau susu kaleng
5. Pola eliminasi klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada
mekonium
6. Pola kognitif perseptual klien belum mampu berkomunikasi,
Berespon, dan berorientasi dengan baik pada orang lain
7. Pola konsep diri (Identitas diri : Ideal diri, Gambaran diri, Peran diri, Harga
diri)
8. Pola seksual Reproduksi : Klien masih bayi dan belum menikah
9. Pola nilai dan kepercayaan : belum mengerti tentang kepercayaan
10.Pola peran hubungan : Belum mampu berinteraksi dengan orang lain
secara mandiri
11.Pola kopling : respon terhadap adanya masalah dengan isyarat

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan muntah
b. Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan muntah
c. Resiko Aspirasi berhubungan dengan adanya reflek muntah
3. Intervensi

No Diagnosa
Tujuan Intervensi
Keperawatan
I Ketidakseimbangan Setelah dilakukan – Kaji kebutuhan nutrisi
nutrisi kurang dari tindakan perawatan – Pantau keadaan umum
kebutuhan tubuh selama 3 x 24 jam, – Pantau kateter vena perifer
berhubungan diharapkan nutrisi kembali – Pantau Haluaran OGT
dengan seimbang dengan kriteria – Pantau BAB
muntah hasil : – Timbang dan catat berat
– BB meningkat badan Pasien pada jam
yang sama setiap hari

– Pantau terapi
Setelah dilakukan – Kaji kebutuhan cairan dan
II Kekurangan volume tindakan keperawatan elektrolit klien
cairan dan elektrolit selama 3x24 jam, – Pantau keadaan umum
berhubungan diharapkan cairan – Monitor tanda-tanda
dengan muntah elektrolit klien seimbang dehidrasi
dengan kriteria hasil:
– Pantau haluaran OGT
– BB tidak menurun
– Monitor Tanda tanda vital
– Bibir tidak kering – Monitor BAK
– Turgor kulit baik
– Pantau pemberian terapi
– Capp. Refill <2detik cairan
Setelah dilakukan – periksa haluaran cairan
III Resiko Aspirasi tindakan keperawatan melalui mulut
berhubungan selama 3 x 24 jam, – auskultasi suara paru
dengan adanya diharapkan pasien tidak – pantau tanda-tanda aspirasi

reflek muntah mengalami aspirasi – Berikan kenyamanan


dengan kriteria hasil : terhadap penempatan posisi
– Tidak keluarnya cairan pasien
– mempunyai bunyi paru – Poisikan bayi dalam posisi
yang bersih dan jalan miring
napas yang paten – Ganti pengalas pasien jika
terjadi muntah melalui mulut
4. Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sesuai dengan yang telah
direncanakan mencakup tindakan mandiri dan kolaboraasi. Tindakan
mandiri adalah tindakan keperawatan berdasarkan abalisis dan kesimulan
perawat serta bukan atas petunjuk tenaga kesehatan yang lain. Sedangkan
tindakan kolaborasi adalah tindakan keperawatan yang didasarkan oleh
hasil keputusan bersama dengan dokter atau petugas kesehatan lain .
5. Evaluasi
Hasil dari semua yang dilakukan dari pengkajian sampai implementasi
keperawatan pada pasien
DAFTAR PUSTAKA

Anasruloh,Rahman . (2013). Dimuat dalam


https://www.scribd.com/doc/76887410/Atresia- Duodenum.
Kartono D. Atresia Duodenum dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah.

Editor Reksoprodjo S. Binarupa Aksara. FKUI.

Pertmaq Stya Cnta .( 2014). Dimuat dalam


https://www.scribd.com/doc/251157704/askep- atresia-
duodenum-docx.
Rahmat Wibowo, Nur . (2012). Dimuat dalam
https://www.scribd.com/doc/94777717/Laporan- Kasus-Atresia-
Duodenum .
Triayu Irianti, Indah. (2012).
Dimuat dalam https://www.scribd.com/doc/115474044/ STENOSIS-
DUODENUM .

Anda mungkin juga menyukai