BAB - 1 Oke
BAB - 1 Oke
BAB - 1 Oke
Judul: “Hubungan antara jenis dan frekuensi jajanan dengan risiko kekurangan gizi
Balita merupakan anak usia di bawah lima tahun, dan merupakan masa
pertumbuhan dan perkembangan yang memerlukan perhatian khusus dari orang tua.
Pada saat usia ini, otak balita tumbuh dengan sangat pesat dan biasanya disebut
periode emas (golden age). Pertumbuhan dan perkembangan tubuh balita dipengaruhi
oleh status gizi. Status gizi yang baik pada awal pertumbuhan akan mencegah
gangguan gizi yang dapat muncul saat dewasa, baik itu kelebihan gizi maupun
kekurangan gizi. Kebiasaan jajan sering kali membuat balita tidak memiliki selera untuk
mengonsumsi makanan yang dimasak oleh orang tuanya. Pada kenyataannya, anak-
anak, termasuk balita, juga berperan dalam membentuk kebiasaan makan mereka,
Menurut World Health Organization (WHO) yang dikutip oleh (Syafitri, 2019)
dengan status gizi normal lebih menyukai jajanan seperti kue, biskuit, minuman
kemasan dan soda, sedangkan anak dengan status gizi gemuk lebih menyukai jenis
jajanan seperti gorengan, minuman kemasan, dan fastfood. Laporan akhir hasil
monitoring dan verifikasi profil Pangan Jajanan Anak Balita Nasional tahun 2018,
menunjukan bahwa 98,9% anak jajan dan hanya 1% yang tidak pernah jajan.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyebutkan bahwa 78% anak
dan kota di Indonesia menemukan hanya 16% yang memenuhi syarat. Berdasarkan
data dari puskesmas Kec. Matangkuli. Hasil studi yang dilakukan melalui wawancara
dan pengisian kuesioner kasus gizi kurang dan gizi buruk di Desa Tumpok Barat yang
memiliki anak balita (usia 2-4 tahun). Status gizi kurang para balita diketahui dari
perbedaan berat badan balita (berat yang seharusnya) dengan berat badan mereka
secara faktual sesuai usia mereka yang diukur dengan timbangan dan ayun/timbangan
digital. Ada beberapa anak yang memiliki kekurangan gizi, di antaranya 15 orang anak
laki-laki, 22 orang anak perempuan dan 3 orang yang memiliki gizi kurang, jadi jumlah
Para ahli kesehatan dan gizi menyatakan bahwa masa balita merupakan periode
yang sangat penting dalam tumbuh kembang anak (Kasmini 2012; Anggraini 2014).
Tiga tahun pertama dalam kehidupan anak bukan saja menjadi tahap yang sangat
kemampuan dasar anak, tetapi juga periode yang rentan terhadap berbagai macam
penyakit, terutama bagi mereka yang mengalami masalah gizi buruk/gizi kurang
(Apriyanto, dkk. 2016 ). Hasil yang diperoleh dan dianalisis dengan Food Frequency
Questionnaire (FFQ) bahwa nilai menunjukkan status gizi sangat kurus dan masih ada
pada usia batita tetapi tidak ada di usia prasekolah. Sebagian besar subjek yang
berusia batita memiliki rata-rata nilai perkembangan lebih besar dibandingkan subjek
yang berusia prasekolah. Terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dan
pola asuh kesehatan dengan status gizi (BB/TB) (p=0,015), pendapatan per kapita
dengan status gizi (TB/U) (p=0,009), dan riwayat penyakit sebulan dengan status gizi
(BB/U) (p=0,022). Ibu sebaiknya lebih memperhatikan pola asuh kesehatan anak dan
menyediakan waktu yang cukup untuk anak. Anak-anak dengan gizi kurang masih
memenuhi standar kecukupan gizi balita. Gizi seimbang merupakan keadaan yang
menjamin tubuh memperoleh pola makanan yang baik dan mengandung semua zat gizi
dalam jumlah yang dibutuhkan. Masalah gizi buruk anak tentu sangat terkait dengan
kebiasaan jajan mereka. Anak akan berisiko mengalami gizi buruk jika memiliki
kebiasaan makan yang buruk Meskipun masih harus dilakukan penelitian lebih
mendalam dari aspek gizi, tampaknya kebiasaan jajan yang menonjol pada kebiasaan
makan para balita kasus penelitian ini berkontribusi pada risiko terjadinya gizi kurang
status sosial ekonomi, ketidaktahuan ibu tentang pemberian gizi yang baik untuk anak,
dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).8,9 Sumber lain menyebutkan asupan makanan
keluarga, faktor infeksi, dan pendidikan ibu menjadi penyebab kasus gizi buruk.
Menurut penelitian Nasrudin; Rumagit, Fred A.; Pascoal, Meildy E./ 2016
Hubungan frekuensi konsumsi jajanan dengan status gizi dan prestasi belajar anak
hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi makanan jajanan dengan status
gizi siswa di Sekolah Dasar Negeri Malalayang Kota Manado (p=0,012). Selain itu
menurut penelitian Ayuningtyas, Nurina Vidya/ 2012. Hubungan frekuensi jajan anak
dengan kejadian diare akut pada anak sekolah dasar di SDN Sukatani 4 dan SDN
anak, variabel terikatnya meneliti kejadian diare akut. Yang artinya terdapat hubungan
yang bermakna antara frekuensi jajan anak SD dengan kejadian diare akut (p=0,009).
Hubungan antara aktivitas fisik dan pola makan dengan kejadian obesitas pada siswa di
pendekatan case control. Yang artinya aktivitas fisik secara statistik mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian obesitas pada pelajar SMP 1 Manado
Hasil pengambilan data awal pada balita yang memiliki gizi kurang yang
dari 37 anak balita yang memiliki kebiasaan jajan sering kali membuat balita tidak
memiliki selera untuk mengonsumsi makanan yang dimasak oleh orang tuanya.
melakukan penelitian dengan judul hubungan antara jenis dan frekuensi jajanan dengan