0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
5 tayangan4 halaman

BAB - 1 Oke

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 4

BAB I

Judul: “Hubungan antara jenis dan frekuensi jajanan dengan risiko kekurangan gizi

pada anak balita di desa tumpok barat”.

Balita merupakan anak usia di bawah lima tahun, dan merupakan masa

pertumbuhan dan perkembangan yang memerlukan perhatian khusus dari orang tua.

Pada saat usia ini, otak balita tumbuh dengan sangat pesat dan biasanya disebut

periode emas (golden age). Pertumbuhan dan perkembangan tubuh balita dipengaruhi

oleh status gizi. Status gizi yang baik pada awal pertumbuhan akan mencegah

gangguan gizi yang dapat muncul saat dewasa, baik itu kelebihan gizi maupun

kekurangan gizi. Kebiasaan jajan sering kali membuat balita tidak memiliki selera untuk

mengonsumsi makanan yang dimasak oleh orang tuanya. Pada kenyataannya, anak-

anak, termasuk balita, juga berperan dalam membentuk kebiasaan makan mereka,

terutama dalam kaitannya dengan kebiasaan jajan.

Menurut World Health Organization (WHO) yang dikutip oleh (Syafitri, 2019)

menunjukkan bahwa anak yang mengonsumsi makanan utama sebanyak 18 (18,9%),

makanan cemilan sebanyak 47 (49,5%), dan minuman sebanyak 30 (31,6). Anak

dengan status gizi normal lebih menyukai jajanan seperti kue, biskuit, minuman

kemasan dan soda, sedangkan anak dengan status gizi gemuk lebih menyukai jenis

jajanan seperti gorengan, minuman kemasan, dan fastfood. Laporan akhir hasil

monitoring dan verifikasi profil Pangan Jajanan Anak Balita Nasional tahun 2018,

menunjukan bahwa 98,9% anak jajan dan hanya 1% yang tidak pernah jajan.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyebutkan bahwa 78% anak

balita mengkonsumsi makanan jajanan di Lingkungan. Sebuah survei di 220 Kabupaten

dan kota di Indonesia menemukan hanya 16% yang memenuhi syarat. Berdasarkan

data dari puskesmas Kec. Matangkuli. Hasil studi yang dilakukan melalui wawancara

dan pengisian kuesioner kasus gizi kurang dan gizi buruk di Desa Tumpok Barat yang

memiliki anak balita (usia 2-4 tahun). Status gizi kurang para balita diketahui dari

perbedaan berat badan balita (berat yang seharusnya) dengan berat badan mereka

secara faktual sesuai usia mereka yang diukur dengan timbangan dan ayun/timbangan

digital. Ada beberapa anak yang memiliki kekurangan gizi, di antaranya 15 orang anak

laki-laki, 22 orang anak perempuan dan 3 orang yang memiliki gizi kurang, jadi jumlah

rata-rata anak didesa tumpok barat adalah 37 orang.

Para ahli kesehatan dan gizi menyatakan bahwa masa balita merupakan periode

yang sangat penting dalam tumbuh kembang anak (Kasmini 2012; Anggraini 2014).

Tiga tahun pertama dalam kehidupan anak bukan saja menjadi tahap yang sangat

penting dalam perkembangan sel-sel otak yang akan menentukan berbagai

kemampuan dasar anak, tetapi juga periode yang rentan terhadap berbagai macam

penyakit, terutama bagi mereka yang mengalami masalah gizi buruk/gizi kurang

(Apriyanto, dkk. 2016 ). Hasil yang diperoleh dan dianalisis dengan Food Frequency

Questionnaire (FFQ) bahwa nilai menunjukkan status gizi sangat kurus dan masih ada

pada usia batita tetapi tidak ada di usia prasekolah. Sebagian besar subjek yang

berusia batita memiliki rata-rata nilai perkembangan lebih besar dibandingkan subjek

yang berusia prasekolah. Terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dan

pola asuh kesehatan dengan status gizi (BB/TB) (p=0,015), pendapatan per kapita
dengan status gizi (TB/U) (p=0,009), dan riwayat penyakit sebulan dengan status gizi

(BB/U) (p=0,022). Ibu sebaiknya lebih memperhatikan pola asuh kesehatan anak dan

menyediakan waktu yang cukup untuk anak. Anak-anak dengan gizi kurang masih

ditemukan kasusnya di Indonesia, termasuk di daerah Pendesaan, salah satunya di

desa Tumpok Barat, Kec. Matangkuli.

Pola konsumsi balita seharusnya berpedoman pada gizi seimbang, dan

memenuhi standar kecukupan gizi balita. Gizi seimbang merupakan keadaan yang

menjamin tubuh memperoleh pola makanan yang baik dan mengandung semua zat gizi

dalam jumlah yang dibutuhkan. Masalah gizi buruk anak tentu sangat terkait dengan

kebiasaan jajan mereka. Anak akan berisiko mengalami gizi buruk jika memiliki

kebiasaan makan yang buruk Meskipun masih harus dilakukan penelitian lebih

mendalam dari aspek gizi, tampaknya kebiasaan jajan yang menonjol pada kebiasaan

makan para balita kasus penelitian ini berkontribusi pada risiko terjadinya gizi kurang

yang mereka alami.

Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk, diantaranya adalah

status sosial ekonomi, ketidaktahuan ibu tentang pemberian gizi yang baik untuk anak,

dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).8,9 Sumber lain menyebutkan asupan makanan

keluarga, faktor infeksi, dan pendidikan ibu menjadi penyebab kasus gizi buruk.

Menurut penelitian Nasrudin; Rumagit, Fred A.; Pascoal, Meildy E./ 2016

Hubungan frekuensi konsumsi jajanan dengan status gizi dan prestasi belajar anak

Sekolah Dasar Negeri Malalayang Kota Manado. Desain penelitian menggunakan

observasional analitik dengan pendekatan cross sectional study. Artinya terdapat

hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi makanan jajanan dengan status
gizi siswa di Sekolah Dasar Negeri Malalayang Kota Manado (p=0,012). Selain itu

menurut penelitian Ayuningtyas, Nurina Vidya/ 2012. Hubungan frekuensi jajan anak

dengan kejadian diare akut pada anak sekolah dasar di SDN Sukatani 4 dan SDN

Sukatani 7 Kelurahan Sukatani Depok. Variabel bebasnya meneliti frekuensi jajanan

anak, variabel terikatnya meneliti kejadian diare akut. Yang artinya terdapat hubungan

yang bermakna antara frekuensi jajan anak SD dengan kejadian diare akut (p=0,009).

Sedangkan, menurut penelitian Musralianti, Feby; Rattu A. J. M; Kaunang./ 2015

Hubungan antara aktivitas fisik dan pola makan dengan kejadian obesitas pada siswa di

SMP 1 Manado. Desain penelitiannya menggunakan penelitian observasional dengan

pendekatan case control. Yang artinya aktivitas fisik secara statistik mempunyai

hubungan yang bermakna dengan kejadian obesitas pada pelajar SMP 1 Manado

(p<0,05). Variabel bebasnya meneliti aktivitas fisik. Perbedaan Variabel bebasnya

meneliti pola makan dan tidak meneliti frekuensi konsumsi jajanan.

Hasil pengambilan data awal pada balita yang memiliki gizi kurang yang

berkunjung ke puskesmas desa Tumpok Barat kec. Matangkuli, didapatkan bahwa 3

dari 37 anak balita yang memiliki kebiasaan jajan sering kali membuat balita tidak

memiliki selera untuk mengonsumsi makanan yang dimasak oleh orang tuanya.

Berdasarkan paparan/pembahasan di atas, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul hubungan antara jenis dan frekuensi jajanan dengan

risiko kekurangan gizi pada anak balita di desa tumpok barat.

Anda mungkin juga menyukai