0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
3 tayangan70 halaman

Skripsi Isi Skripsi1

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 70

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak akhir tahun 2019 dunia dihadapkan dengan terjadinya pandemi Corona

Virus Disease 19 (covid-19) atau biasa dikenal virus corona. Virus ini dapat

menyebabkan terganggunya sistem pernafasan pada manusia, pneumonia berat dan

bahkan bisa menyababkan kematian pada penderitanya. Di Indonesia virus ini mulai

terdeteksi pada tanggal 2 Maret 2020, setelah adanya konfirmasi oleh dua orang

warga negara Indonesia yang terpapar positif covid-19 (Amelia dkk, 2020).

Adanya covid-19 ini berdampak bagi seluruh masyarakat dan berbagai bidang

di Indonesia, diantaranya yaitu pada bidang ekonomi, sosial, pariwisata dan bidang

pendidikan. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai usaha untuk mengurangi

dan mencegah penyebaran covid-19 terutama pada bidang pendidikan. Salah satunya

yaitu dengan dikeluarkannya kebijakan belajar dari rumah (study from home). Banyak

kegiatan di sekolah mau tidak mau harus ditunda bahkan ditiadakan. Seperti sistem

pembelajaran di Indonesia yang mengalami perubahan yaitu menjadi sistem

pembelajaran secara daring atau online.

Berdasarkan Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Mentri Pendidikan dan

Kebudayaan Repoblik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 pada tanggal 24 Maret 2020

mengenai pelaksanaan kebijakan pendidikan dalam masa darurat penyebaran Corona

Virus Disease (covid-19), dimana menjelaskan bahwa kegiatan belajar mengajar

dilakukan secara daring dari rumah.


2

Moore, Dickson-Deane & Galyen (dalam Sadikin, 2020) mendefinisikan

bahwa pembelajaran daring sebagai kegiatan belajar mengajar dengan memanfaatkan

internet dengan fleksibilitas, koneksi dan memiliki akses serta mampu mendukung

adanya interaksi dalam melaksanakan pembelajaran. Pembelajaran daring merupakan

bentuk pendidikan formal yang dilaksanakan oleh sekolah, dengan guru dan murid

berada pada tempat yang berbeda sehingga perlu adanya sistem telekomunikasi yang

baik agar keduanya terhubung. Siswa dan guru juga bisa menggunakan beberapa

aplikasi yang mendukung agar pembelajaran daring berjalan lancar seperti whatsaap,

classroom, google meet, telepon, live chat, zoom, telegram dan aplikasih lainnya.

Pembelajaran daring ini memiliki dampak bagi beberapa pihak seperti orang

tua, guru, dan khususnya peserta didik dari jenjang SD, SMP, SMA dan di jenjang

perkuliahan. Menurut Risalah, dkk (2020) pembelajaran daring memiliki dampak

yang baik bagi anak, yaitu lewat pembelajaran daring, anak bisa meningkatkan

metode pembelajaran dan dapat memanfaatkan teknologi dengan baik. Akan tetapi

juga berdampak negatif bagi peserta didik yaitu siswa tidak dapat menanamkan

pendidikan yang berkarakter sosial dan dapat menimbulkan jiwa anti sosial pada

siswa. Sehingga pembelajaran daring ini kurang efektif untuk dilakukan. Pernyataan

ini dibuktikan dengan hasil wawancara dengan salah satu guru SMA Negeri 12

Pekanbaru pada Januari 2021 yang menyatakan bahwa sistem pembelajaran daring di

SMA Negeri 12 Pekanbaru berjalan cukup lancar akan tetapi pembelajaran daring

membuat interaksi siswa dengan guru menjadi berkurang dibandingkan pembelajaran


3

tatap muka serta banyak siswa yang kurang aktif berinteraksi selama mengikuti

pembelajaran daring.

Selain itu terdapat beberapa permasalahan serta kendala yang dihadapi siswa

selama mangikuti pembelajaran daring, seperti kendala jaringan internet, tidak adanya

media pintar seperti android, handphone dan laptob, serta kendala pemakaian kuota

internet yang sangat besar. Guru menjelaskan bahwa banyak siswa yang terlambat

mengikuti pembelajaran daring dan tidak mengikuti kelas karna alasan kuota dan

jaringan internet. Selain itu pembelajaran daring dapat membuat siswa menjadi bosan

dan tertekan karna siswa harus selalu berada di rumah, banyaknya tugas yang

diberikan oleh guru serta adanya khasus kekerasan verbal yang diberikan oleh orang

tua kepada anaknya.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan terdapat banyak

siswa yang kelelahan dan merasa tertekan saat mengikuti pembelajaran, sehingga

kondisi ini membuat anak stress selama mengikuti pembelajaran daring (Kompas.

2020). Jika pembelajaran daring ini dilakukan terus menerus dan dalam jangka

panjang, kondisi ini dapat berdampak pada masalah emosi dan perilaku anak,

sehingga menyebabkan kesehatan mental anak akan terganggu, mulai dari timbulnya

rasa cemas sampai kasus depresi (Purwanto, dkk., 2020).

Dhara & Jogsan (2013) menjelaskan bahwa stress dan depresi yang individu

rasakan dapat berpengaruh negatif terhadap tingkat psychological well-being pada

seseorang, hal ini membuat individu yang mengalami stress dan depresi memilki

psychological well-being yang rendah. Selain itu, siswa yang tidak bisa menghadapi
4

dan mengatasi kendala-kendala selama mengikuti pembelajaran daring akan

menimbulkan rasa tidak bahagia dan sejahterah karena siswa tidak mampu dalam

mencapai potensi yang dimiliki akibat tidak mampu mengelola dan mengatasi

kendala saat mengikuti pembelajaran daring.

Psychological well-being adalah suatu kemampuan seseorang yang mencakup

penerimaan diri dan evaluasi terhadap aspek kehidupan, serta merasakan puas selama

menjalani kehidupan. Menurut Ryff (dalam Wells, 2010) individu dengan

psychological well-being yang tinggi akan memiliki sikap mandiri, bisa menerima

dirinya sendiri apa adanya, memiliki tujuan hidup, dapat mengontrol lingkungan,

serta dapat mengelola potensi-potensi secara berkelanjutan. Individu dengan

psychological well-being yang baik akan menimbulkan perasaan lebih bahagia, ramah

dengan lingkungannya, terjalinnya hubungan yang harmonis dengan orang lain,

emosi yang stabil serta mudah beradaptasi dengan lingkungannya.

Namun, berbanding terbalik dengan wawancara yang dilakukan oleh peneliti

dengan lima siswa SMA Negeri 12 Pekanbaru untuk mengetahui bagaimana

gambaran psychological well-being pada beberapa siswa selama mengikuti

pembalajaran daring dimasa pandemi covid-19. Tiga dari lima siswa memiliki

gambaran psychological well-being yang kurang baik, siswa cenderung sulit untuk

menjalin hubungan dengan teman-teman atau pun guru saat mengikuti pembelajaran

daring, tidak mampu mengembangkan potensi yang dimiliki dan tidak memiliki arah

hidup yang jelas. Pembelajaran daring membuat kepercayaan diri siswa menjadi
5

menurun sehingga membuat siswa sulit beradaptasi dengan lingkungan barunya yaitu

pembelajaran daring.

Wawancara yang dilakukan dengan lima orang siswa dapat menggambarkan

bahwa tingkat psychological well-being pada tiga dari lima siswa kurang baik. Oleh

karena itu, psychological well-being yang baik sangat dibutuhkan oleh siswa yang

mengikuti pembelajaran daring sebab dengan psychological well-being yang baik

dapat membuat siswa mampu mengelolah dengan baik segala tekanan dan

permasalahan yang dialami baik selama kegiatan pembelajaran daring maupun

dikehidupan sehari-hari sehingga siswa tidak merasakan stress ataupun depresi.

Psychological well-being pada individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

yaitu perbedaan usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan budaya (Ryff, 1995).

Selain itu menurut Wells (2010) faktor yang memengaruhi kesejahteraan psikologi

individu adalah faktor sosiodemografi meliputi jenis kelamin, usia, hubungan social,

status sosial ekonomi, status pernikahan, dan faktor kepribadian. Diantara beberapa

faktor tersebut dapat diketahui bahwa kepribadian merupakan faktor yang secara

potensial telah dimiliki individu sejak lahir. Pola kepribadian individu sudah dibentuk

selama masa kanak-kanak dan mulai stabil dan menetap dimasa remaja (Hurlock,

1980). Oleh karna itu, kepribadian menjadi salah satu faktor utama yang berpengaruh

terhadap psychological well-being. Thurackal, Corveleyn, dan Dezutter (2016)

menyebutkan terdapat hubungan yang signifikan antara kepribadian yang dimiliki

seseorang dengan kemampuannya dalam menyayangi dan mencintai diri sendiri yaitu

self-compassion. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Ramawidjaya dan Sartika
6

(2016) dan penelitian yang dilakukan oleh Islami dan Djamhoer (2017) menyebutkan

bahwa self-compasion menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dan berkontribusi

terhadap kondisi psychological well-being pada seseorang. Neff dan Costigan (2004)

menjelaskan bahwa memperlakukan diri sendiri dengan penuh kasih sayang dan

kepedulian ketika menghadapi tantangan, masalah, atau kesulitan dalam hidup (self-

compassion) mampu meningkatkan psychological well-being dalam diri individu.

Menurut Neff (2011) self-compassion merupakan suatu kemampuan yang

dimiliki individu dalam memberikan kepedulian serta kebaikan terhadap diri sendiri,

memahami dan menerima bahwa permasalahan dan penderitaan yang dihadapi

merupakan bagian dari pengalaman hidup manusia. Hal tersebut mencakup reaksi

individu dan penerimaan diri terhadap penderitaan serta permasalahan yang dihadapi

(Germer, 2009). Terdapat tiga aspek self-compassion yaitu common humanity (rasa

kemanusiaan), self-kindness (berbaik hati pada diri sendiri) dan mindfulness

(perhatian penuh).

Self-compassion sangat dibutuhkan oleh siswa yang mengikuti pembelajaran

daring sebab aspek-aspek self-compassion mampu melindungi siswa dari berbagai

emosi negatif seperti stress, cemas dan depresi serta menyeimbangkannya dengan

emosi yang positif sehingga dapat meningkatkan psychological well-being pada diri

siswa (Neff, 2011). Selain itu rentang usia siswa SMA yang termasuk kategori remaja

yaitu usia 14-18 tahun merupakan masa dimulainya self-compassion berkembang

(Neff, 2018). Siswa memiliki tuntutan-tuntutan selama melaksanakan pembelajaran

daring yang harus dipenuhi, hal tersebut akan membuat siswa menjadi depresi
7

sehingga akan menimbulkan perasaan tidak sejahtera dalam diri. Akan tetapi dengan

adanya sikap mengasihi diri dan mencintai diri sendiri akan membuat siswa

melakukan kebaikan pada dirinya ketika menghadapi tantangan dan permasalahan,

berpandangan bahwa kondisi yang siswa alami saat ini merupakan bagian dari

kehidupan dan juga dialami oleh semua orang sehingga siswa akan merasakan

kebahagiaan dan kesejahteraan psikologis. Hal ini terbukti berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh Sun, Chan, dan Chan (2016) dimana kebaikan diri (self-

kindness) dan cara pandang individu bahwa permasalah dihadapi oleh semua orang

(common humanity) dapat berkontribusi untuk meningkatkan psychological well-

being seseorang.

Psychological well-being penting bagi individu terutama siswa yang saat ini

dihadapkan dengan sistem pembelajaran daring ditengah pandemi Covid-19.

Tingginya tingkat psychological well-being pada siswa dapat menurunkan tingkat

stress dan depresi yang siswa rasakan saat tertekan dengan adanya pembelajaran

daring. Psychological well-being dapat dipengaruhi oleh rasa kasih sayang dan peduli

terhadap diri sendiri (self-compassion) yang membuat emosi negatif menjadi emosi

positf sehingga mambantu mengatasi permasalahan-permasalahan selama mengikuti

pembelajaran daring. Oleh karna itu, peneliti tertarik untuk meneliti tentang

“Hubungan antara self-compassion dengan psychological well-being pada siswa SMA

Negeri 12 Pekanbaru yang mengikuti pembelajaran daring”


8

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “apakah terdapat hubungan antara self-compassion dengan

psychological well being pada siswa SMA Negeri 12 Pekanbaru yang mengikuti

pembelajaran daring?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self-compassion

dengan psychological well-being pada siswa SMA Negeri 12 Pekanbaru yang

mengikuti pembelajaran daring.

D. Keaslian Penelitian

Penenlitian ini mengacu kepada beberapa penelitian sebelumnya yang

mempunyai karakteristik yang relatif sama dalam hal tema kajian, meskipun berbeda

dalam jumlah subyek maupun teori yang digunakan, diantaranya :

1. Penelitian yang dilakukan oleh Sun, Chan, & Chan (2016) dengan judul “Self-

compassion and psychological well-being among adolescents in Hong Kong:

Exploring gender differences”. Responden pada penelitian ini merupakan 227

pelajar dengan rentang usia 12-16 tahun dimana 144 (52,0%) merupakan laki-laki

dan sisanya adalah perempuan. Penelitian ini menggunakan Psychological Well-

Being Scale (PWBS) dari Ryff versi China sebagai alat ukur untuk mengukur

tingkat psychological well-being. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa


9

terdapat perbedaan yang signifikan antara psychological well-being dan self-

compassion antara pelajar laki-laki dan perempuan. Persamaan dalam penelitian

ini yaitu menggunakan variabel yang sama (self-compassion dan psychological

well-being), subyek yang sama-sama pelajar dalam kategori remaja dan

menggunakan alat akur yang sama yaitu Psychological Well-Being Scale

(PWBS). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti

yaitu pada tempat atau lokasi penelitian dan waktu pelaksanaan penelitian,

dimana penelitian yang dilakukan oleh peneliti dilaksanakan pada sistem

pembelajaran daring dimasa pandemi covid-19.

2. Penelitian selanjudnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ramawidjaya &

Sartika (2016) dengan judul “Hubungan antara self-compassion dengan

psychological well-being pada atlet tuna daksa (studi pada atlet national

paralympic committee Indonesia di kota Bandung)”. Penelitian ini menggunakan

pendekatan korelasi dengan responde berjumlah 25 orang tuna daksa. Alat

pengumpulan data yang digunakan adalah Psychological Well-Being Scale

(PWBS) dari Ryff. Hasil penelitian ini menujukkan adanya hubungan yang sangat

signifikan antara kesejahteraan psikologis dengan self-compassion. Perbedaan

penelitian oleh Ramawidjaya & Sartika (2016) subyek yang digunakan tuna

daksa, sementara penelitian yang dilakukan oleh peneliti menggunakan siswa

menjadi subyek penelitian.

3. Penelitian berjudul “Hubungan antara self-compassion dengan psychological

well-being pada perawat instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Jombang” yang
10

dilakukan oleh Dewi Sawitri dan Siswati (2019) menggunakan teknik cluster

random sampling dalam menentukan sampel penelitian. Sampel dalam penelitian

ini berjumlah 105 perawat instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Jombang. dalam

penelitian ini yaitu 105 perawat rawat inap di RSUD Kabupaten Jombang. Hasil

dari penelitian ini menunjukan adanya hubungan yang positif antara self-

compassion dengan psychological well-being pada perawat instalasi rawat inap

RSUD Kabupaten Jombang, dengan sumbangan efektif sebesar 53,9%. Perbedaan

penelitian oleh Dewi Sawitri dan Siswati (2019) adalah subyek yang digunakan

merupakan perawat instalasi rawat inap, sementara penelitian yang dilakukan oleh

peneliti menggukankan subyek siswa, serta perbedaan pada lokasi tempat

penelitian.

4. Penelitian mengenai psychological well-being yang dilakukan oleh Sugiyo, dkk

(2019) tentang “Profil Psychologicall well-being masa siswa kelas X SMA Nageri

12 Semarang Tahun Pelajaran 2018/2019” menunjukan tingkat psychological

well-being pada siswa kelas X SMA Nageri 12 Semarang Tahun Pelajaran

2018/2019 secara umum dikategorikan sedang, tapi masih banyak siswa yang

rendah tingkat psychological well-being. Persamaan penelitian ini dengan

penelitian Sugiyo, dkk (2019) yaitu sama-sama tentang psychological well-being

dan siswa SMA sebagai subyek. Perbedaannya yaitu penelitian ini terdiri dari 2

variabel dan mencari hubungan/ korelasi antara 2 variabel tersebut.

5. Penelitian selanjudnya yaitu penelitian dengan judul Peran Self-Compassion

terhadap Psychological well-being Pengajar Muda di Indonesia Mengajar oleh


11

Renggani & Widiasavitri (2018) merupakan penelitain kuantitatif dengan subyek

penelitian berjumlah 60 orang pengajar muda yang sedang bertugas di daerah

pedalaman. Penelitian inimenggunakan skala self-compassion dengan reliabilitas

sebesar 0,943 dan skala psychological well-being dengan reliabilitas 0,915. Hasil

pada penelitain ini menunjukan bahwa self-compssion memiliki peran terhadap

psychological well-being pengajar muda di Indonesia meengajar. Persamaan

dalam penelitian ini terletak pada kedua variabel yang diteliti yaitu self

compassion dan psychological well-being dengan kedua variabel yang diangkat

oleh peneliti. Perbedaannya terletak pada subjek, penelitian ini menggunakan

pengajar muda menjadi subyek sedangkan subyek dalam penelitian ynag dilkukan

oleh peneliti merupakan siswa.

6. Selanjutnya penelitian dengan judul “Pengaruh pelatihan self-compassion untuk

meningkatkan psychological well-being pendamping anak beresiko human

trafficking” menggunakan metode penelitian single case exsperiment yang

bertujuan untuk menegevaluasi efek suatu perlakuan dengan khasus tunggal.

Responden pada penelitian berjumlah 2 orang yang merupakan pendamping anak

yang memiliki resiko terlibat dalam kasus human traficking. Pengukuran data

menggunakan skala psychological well-being yang dikembangakan oleh Ryff

(1995). Analisis data menggunakan hasil pengisian angket pretest, post test, dan

follow up. Hasil penelitian menunjukan pelatihan self-compassion terbukti efektif

dalam meningkatkan psychological well-being pada pendamping anak yang

memiliki resiko terlibat kasus human tracking, yaitu dengan tahap akhir
12

pengukuran di baseline phase (A2) skor partisipan Meliau 165 dan Sanggau 146.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah

subyek yang digunakan

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan perspektif

kajian ilmu psikologi. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi dan memperluas wawasan terkait konsep self-compassion dan

psychological well-being pada siswa SMA yang mengikuti pembelajaran daring.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan hubungan dari self-

compassion dengan psychological well-being pada siswa SMA Negeri 12

Pekanbaru yang mengikuti pembelajaran daring sekaligus dapat menjadi dasar

dalam penelitian selanjutnya terkait bidang yang sama.

Bagi siswa diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan tentang

pentingnya self-compassion yang baik untuk meningkatkan psychological well-

being pada siswa mengikuti pembelajaran daring.

Bagi guru dapat mempertimbangkan hasil penelitian sebagai dasar

penyusunan program belajar dan metode belajar yang lebih baik selama

melaksanakan pembelajaran daring.


13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teoritis

1. Psychological well-being

a. Pengertian Psychological well-being

Ryff (1989) menjelaskan bahwa psychological well-being merupakan

suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis

individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (positive

psychological functioning). Positive psychological functioning ini berdasarkan

teori Maslow tentang aktualisasi diri, pandangan fully functioning person yang

dikemukan oleh Roger, konsep individuasi oleh Jung, dan konsep yang

dikemukakan oleh Allport tentang kematangan (Ryff, 1989). Ryff

menjelaskan bahwa keberhasilan individu dalam positive psychological

functioning dapat meningkatkan well-being individu. Psychological well-

being dapat menggambaran bagaimana psikologi seseorang berfungsi secara

baik dan positif (Aspinwall, 2002).

Rian dan Deci (2001) menjelaskan bahwa psychological well-being

adalah penilaian individu terhadap dirinya secara kognitif yang berfokus pada

kualitas hidup sehingga dapat membedakan dampak positif dan negatif serta

mencapai keseimbangan diantara keduanya. Psychological well-being

merupakan suatu kemampuan individu dalam menerima dirinya sendiri

dengan apa adanya, dapat membentuk dan menjalin hubungan yang hangat
14

dengan orang lain, mampu mengontrol lingkungan eksternal, mandiri dalam

menghadapi tekanan sosial, memiliki arti dalam kehidupan yang dijalani, serta

mampu mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan (Ryff, 1989).

Baumgardner & Crothes (dalam Engger, 2015) mendefinisikan

psychological well-being sebagai suatu kebahagiaan yang dirasakan individu

ketika mampu mengenali dirinya dan potensi yang ada padanya serta

menggunakan potensi tersebut secara efektif. Sejalan dengan itu, Singh,

Mohan & Anesseri (2012) menyatakan bahwa psychological well-being

bukan hanya melihat kebahagiaan sebagai indikator utama kesejahteraan

(well-being) dalam diri individu, tetapi kemampuan individu dalam

mengaktualisasikan potensi diri untuk mencapai kesejahteraan secara

psikologis. Selain itu (Ryff (1989) juga menjelaskan Individu yang memiliki

psychological well-being yang baik merupakan individu yang bukan hanya

merasakan kebahagiaan, bebas dari rasa cemas ataupun bebas dari rasa stress.

Tetapi individu juga harus mampu memenuhi aspek-aspek psychological well-

being pada diri individu.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan psychological well-being

merupakan suatu kemampuan individu dalam menerima dirinya sendiri

dengan apa adanya, dapat membentuk dan menjalin hubungan yang hangat

dengan orang lain, mampu mengontrol lingkungan eksternal, mandiri dalam

menghadapi tekanan sosial, memiliki arti dalam kehidupan yang dijalani, serta

mampu mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan


15

b. Dimensi-dimensi Psychological well-being

Ryff (1989) menyatakan bahwa psychological well-being memiliki enam

dimensi, yaitu :

1) Self-acceptance (Penerimaan diri)

Self-accaptance atau penerimaan diri dikatakan sebagai fitur utama

dari sehat mental sebagai karakteristik dari aktualisasi diri, fungsi diri yang

optimal, dan kedewasaan. Memiliki sikap penerimaan diri merupakan

karakteristik dari positive psychological functioning (Ryff, 1989). Self-

accaptance yang tinggi adalah individu yang memiliki pikiran dan sikap

positif terhadap dirinya, dapat mengenali dan menerima kelebihan dan

kekurangan dirinya, dan dapat melihat masa lalu dengan perasaan yang

positif (Ryff & Kayes, 1995). Tetapi individu yang memiliki self-

accaptance yang rendah merupakan individu yang tidak memiliki kepuasan

atas dirinya, tidak nyaman dan perasaan negatif terhadap masa lalunya, dan

adanya kakhawatiran yang berlebihan terhadap kualitas pribadinya (Ryff &

Keyes, 1995).

2) Positive relationship with other (Hubungan positif dengan orang lain)

Positive relations with others atau hubungan yang positif dengan

orang lain merupakan kondisi dimana individu memiliki hubungan yang

hangat, memiliki kepuasan dan kepercayaan terhadap hubungan dengan

orang lain. Individu juga memperhatikan dan memiliki kekhawatiran

terhadap well-being (kesejahteraan) orang lain serta memiliki kemampuan


16

rasa empati yang kuat. Individu memiliki kasih sayang dan keakraban serta

pemahaman tentang menjalin hubungan dengan orang lain (Ryff & Keyes,

1995). Individu yang sulit dan tidak memiliki rasa hangat, tidak adanya

keterbukaan, dan kekhawatiran dengan orang lain, memiliki sedikit

hubungan dengan orang lain merupakan individu yang rendah nilai

positive relations with others (Ryff & Keyes, 1995).

3) Autonomy (Kemandirian)

Autonomy atau kemandirian adalah kemampuan individu untuk dapat

mengendalikan dirinya sendiri dan independen. Individu juga mampu

menahan dan mamiliki kemandirian dalam menghadapi tekanan sosial,

mampu berfikir, mengendalikan perilaku dan bertindak dengan pandangan

penilaian personal serta mengevaluasi diri menggunakan standar personal

atau dikembangakan oleh diri sendiri (Ryff, & Keyes, 1995). Individu

dengan otonomi yang baik akan mampu mengambil keputusan tanpa

adanya pengaruh orang lain, tidak bergantung kepada orang lain dan

individu akan mampu melakukan segala sesuatu secara mandiri.

4) Environmental mastery (Penguasaan lingkungan)

Environmental mastery merupakan kemampuan individu untuk

menguasai serta mengendalikan lingkungan di sekitarnya. Individu

memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Individu

juga mampu secara efektif menggunakan peluang yang muncul serta

mampu memilih atau menciptakan situasi yang sesuai dengan kebutuhan


17

dan nilai pribadi. Individu yang tidak memiliki indikasi yang baik terhadap

aspek ini yaitu individu yang kurang peka terhadap kesempatan yang ada

dilingkungannya, tidak memiliki kontrol terhadap lingkungnan (Ryff &

Keyes, 1995).

5) Purpose in life (Tujuan Hidup)

Purpose in life atau tujuan dalam hidup merupakan keadaan yang

mana individu memiliki tujuan dalam hidupnya dan memiliki rasa ketaraan.

Individu mampu mengetahui apa yang baik dan buruk untuk dirinya.

Individu merasa memiliki makna baik pada kehidupan masa lalu dan masa

sekarang pada kehidupannya. Individu memiliki keyakinan bahwa terdapat

tujuan dalam hidupnya serta memiliki target serta alasan dalam hidupnya.

Individu yang memiliki sifat mental yang sehat adalah individu yang

mampu menyadari bahwa terdapat makna dan tujuan dalam hidup.

6) Personal growth (Pertumbuhan pribadi)

Personal growth atau pertumbuhan pribadi merupakan kondisi dimana

individu merasakan adanya tertumbuhan yang terus berlanjut. Individu

sadar akan potensi dan bakat yang individu miliki serta meengembangkan

potensi tersebut. Personal growth merupakan kemampuan individu untuk

terus berkembang, individu yang terbuka terhadap pengalaman baru,

melihat perkembangan dirinya dari waktu kewaktu serta memiliki

keinginan untuk menjadi pribadi yang berwawasan dan lebih efektif (Ryff

& Keyes, 1995).


18

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Well Being

Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being pada individu

antara lain:

1) Faktor demografis

Faktor demografis meliputi jenis kelamin, usia, budaya dan tingkat

sosial ekonomi. Ryff (1989) menjelaskan beberapa faktor demografis

yang dapat mempengaruhi psychological well-being, diantaranya sebagai

berikut :

a) Jenis kelamin

Jenis kelamin memiliki pengaruh terhadap tingkat psychological

well-being individu. Ryff (1989) menjelaskan bahwa skor

psychological well-being wanita lebih tinggi dibandingkan laki-laki,

yaitu pada aspek positive relations with others, autonomy, dan

personal growth. Sedangkan pada laki-laki memiliki skor yang lebih

tinggi pada aspek self acceptance, environmental mastery, dan

purpose in life.

b) Usia

Perbedaan usia dapat menunjukan perbedaan tingkat

psychological well-being pada individu. Semakin bertambahnya usia

seseorang maka dimensi hubungan positif dengan orang lain,

otonomi dan penguasaan lingkungan akan mengalami peningkatan

(Ryff, 1995).
19

c) Budaya

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ryff (1995) menjelaskan

bahwa terdapat pengaruh dari perbedaan budaya dengan dimensi-

dimensi psychological well-being. Budaya barat memiliki skor lebih

tinggi pada dimensi autonomy dan self-accaptance dibanding dengan

budaya timur yang lebih tinggi pada dimensi positive relation with

other.

d) Status Sosial Ekonomi

Perbedaan status sosial sangat mempengaruhi tingkatan

psychological well-being. Dimensi self acceptance, purpose in life,

environmental mastery dan personal growth sangat berkaitan dengan

perbedaan stratus sosial seseorang (Ryff, 1989).

2) Dukungan sosial

Dengan adanya dukungan sosial dapat memberikan dukungan dalam

mencapai tujuan dan kesejahteraan hidup, dapat membantu

mengembangkan diri sendiri secara positif dan sebagai support dalam

menghadapi kehidupan sehari-hari. Devis (dalam Kartika sari, 2013)

menyatakan bahwa individu yang mendapatkan dukungan sosial memiliki

tingkat psychological well-being yang tinggi.

3) Kepribadian

Ryff (dalam Kasturi, 2016) menjelaskan tipe kepribadian dapat

mempengaruhi psychological well-being pada individu. Tipe extroversion


20

conscientiousness, dan low neuroticism dapat berpengaruh terhadap

dimensi self-accaptance, environment mestery, dan purpose in life.

Dimensi positive relationship with other dipengaruhi oleh tipe

agreeableness dan extraversions. Sementara tipe low neuroticism

mempengaruhi autonomy.

Thurackal, dkk (2016) menyatakan kepribadian memiliki hubungan

yang signifikan dengan kemampuan menyayangi dan mencintai diri

sendiri atau biasa disebut self-compassion. Hasil penelitian Dewi Sawitri

dan Siswati (2019) menyebutkan bahwa self-compassion merupakan

salah satu faktor dapat berpengaruh dan berkontribusi terhadap

psychological well-being individu. Kepribadian dan self-compassion

secara signifikan memprediksi semua dimensi psychological well-being

(Saricaoglu & Arslan, 2013).

2. Self-compassion

a. Pengertian Self-compassion

Self-compassion berasal dari kata compassion yang diturunkan dari

bahasa yunani patein dan bahasa latin patiri yang memiliki arti menjalani,

mengalami atau menderita. Self-compassion ini adalah konsep baru yang

beradaptasi dari filosofi budha yang berarti kasih sayang kepada diri sendiri.

Neff (2003) mendefinisikan self-compasssion merupakan suatu kemampuan

indvidu dalam bersikap terbuka, peduli dan berbuat kebaikan kepada diri

sendiri ketika menghadapi permasalahan, kegagalan, ketidakmampuan atau


21

kesulitan tanpa menyalahkan dan menghakimi diri sendiri serta memahami

bahwa kejadian yang dialami merupakan hal yang manusiawi dan dialami

oleh semua manusia. Self-compassion merupakan kemampuan untuk

memunculkan penerimaan terhadap diri sendiri (Neff, 2011).

Allen & Leary (2010) menyatakan bahwa self compassion adalah

kemampuan dalam memberi kepedulian, kebaikan, dan kasih sayang untuk

diri sendiri seperti halnya yang diberikan kepada orang lain saat mengalami

kesulitan. Reyes (2012) juga mendefinisikan self compassion sebagai

kemampuan individu untuk mencintai dan mengasihi diri saat menderita. Hal

ini sejalan dengan pendapat dari Germer (dalam Hutomo, 2017) menjelaskan

bahwa self-compassion merupakan sikap mencintai diri sendiri dengan

adanya dorongan dan harapan untuk bebas dari penderitaan dan merasakan

kebahagiaan.

Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan maka dapat disimpulkan

bahwa self-compassion merupakan suatu kemampuan individu dalam

memberikan kebaikan, kepedulian dan kasih sayang terhadap diri sendiri

ketika menghadapi tantangan, masalah, kesulitan tanpa menyalahkan dan

menghakimi diri sendiri serta memahami bahwa segala kejadian yang dialami

dalam hidup merupakan hal yang manusiawi dan dialami oleh semua orang.

b. Komponen-komponen Self-compassion

Menurut Neff (2003) self-compassion terdiri dari tiga komponen, yaitu :

1) Self-kindness versus Self-judgment


22

Self-kindness atau berbaik hati pada diri sendiri merupakan suatu

kemampuan individu untuk dapat bersikap peduli, memahami dan

menerima diri sendiri dalam menghadapi tantangan, permasalahan dan

kesulitan tanpa menghakimi dan mengkritik diri sendiri secara berlebihan

(Neff, 2003). Self-kindness ditunjukan dengan adanya sikap ramah,

penyayang dan mengertian terhadap diri. Individu menjadi lebih hangat,

menerima kekurangan dan menghargai diri sendiri ketika menghadapi

permasalahan tanpa adanya perasaan menyalahkan diri sendiri atas apa

yang dialami.

Sebaliknya, self-judgment atau menghakimi dan mengkritik diri

sendiri. Self-judgment merupakan berperilaku tidak baik dan mengkritik

diri sendiri secara berlebihan terhadap nilai dan aspek-aspek yang ada

pada diri individu serta kegagalan dan kesulitan yang dialami (Neff,

2003a; Neff, 2003b; Toth-Kiraly & Colosimo, 2018; Nedd dkk., 2019).

Individu akan sulit menerima kekurangan yang ada pada dirirnya serta

sering menyalahkan dirinya atas apa yang dialami.

2) Sense of Common Humanity versus Isolation

Sense of common humanity atau rasa kemanusiaan merupakan

kesadaran individu dalam memahami bahwa kegagalan, kesalahan dan

kesulitan hidup merupakan hal wajar yang dialami oleh semua manusia

dan itu merupakan bagian dari kehidupan. Individu memahami bahwa


23

semua manusia pasti tidak ada yang sempurna dalam menjalani kehidupan

(Neff, 2011).

Sedangkan, isolation atau pengasingan merupakan perasaan terasingi

dari orang lain karna kegagalan, rasa sakit ataupun frustasi yang dialami

dan individu memandang bahwa ketidaksempurnaan dan kegagalan hanya

terjadi pada dirinya sendiri.

3) Mindfulness versus Overidentifiction

Mindfulness atau perhatian penuh merupakan keterbukaan perasaan,

pikiran, dan keadaan individu tentang realita dan situasi saat ini

sebagaimana adanya serta mampu menghadapi suatu kejadian secara

objektif, tanpa melebih-lebihkan (Neff, 2003). Individu akan menunjukan

kesadaran yang jernih dalam melihat dan menghadapi penderitaannya

tanpa terpengaruh oleh perasaan dan pemikiran bahwa ia menderita atau

gagal.

Sebaliknya, overidentification atau reaksi ekstrim merupakan sikap

berlebih-lebihan terhadap permasalahan dan kesulitan yang dialami,

individu tidak dapat seimbang saat menghadapi permasalahan.

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi self-compassion

Neff (2011) menjelaskan terdapat beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi self-compassion, yaitu :

1) Kepribadian
24

Kepribadian memiliki hubungan yang signifikan dengan self-

compassion. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Neff, Rude & Kirkpatrick (dalam Neff & Germer, 2017), dimana hasil

penelitian tersebut menyebutkan self compassion memiliki hubungan

dengan beberapa tipe kepribadian, yaitu berhubungan positif dengan

kepribadian openess, agreeableness, extraversion dan conscientiousness.

Berhubungan negatif dengan dengan kepribadian neurotisme.

2) Usia

Usia memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat self-

compassion. Neff (2011) menjelaskan bahwa usia self-compassion mulai

berkembang yaitu pada usia remaja 14-18 tahun. Faktor usia juga

dikaitkan dengan tahap perkembangan yang dikemukan oleh Erikson,

dimana individu akan memilki self-compassion yang tinggi jika telah

berada pada tahap integrity, sebab pada tahap ini individu akan lebih bisa

menerima dan menghargai dirinya secara lebih baik.

3) Jenis Kelamin

Tingkat self-compassion pada diri individu dapat dipengaruhi oleh

jenis kelamin individu tersebut. Neff (2003) menjelaskan self-compassion

pada perempuan cendrung lebih rendah dibandingkan laki-laki. Faktanya

perempuan lebih sering merenungi, mengkritik dan menyalahkan dirinya

tentang segala sesuatu negatif pada dirinya serta mengkritik apa yang ada

pada dirinya dibandingkan laki-laki.


25

4) Budaya

Perbedaan budaya dapat menyebabkan adanya perbedaan tingkatan

self-compassion pada individu, hal ini dibuktikan dari penelitian yang

dilakuakan oleh Neff, Pisitsungkagarn, & Hsieh (2008) yang menunjukan

bahwa terdapat perbedaan tingkat self-compassion pada berbagai negara

seperti Taiwan, Thailand dan Amerika, hal ini dikarnakan perbedaan latar

belakang negara tersebut.

5) Peran Orang Tua

Peran dan polah asuh orang tua sangat berpengaruh terhadap self-

compassian yang ada pada diri anak. Neff & McGeehee (2010)

menjelaskan individu yang dengan self-compassion yang rendah

kemungkinan besar diasuh orang tua yang kritis dan keluarga yang

disfungsional dibandingkan dengan individu yang memiliki self-

compassion yang tinggi. Model dan sikap orang tua dapat mempengaruhi

self-compassion yang dimiliki anak.

6) Lingkungan

Lingkungan tempat individu tumbuh dan berkembang dapat

mempengaruhi tingkatan self-compassion. Menurut Giberlt dan Proctor

(dalam Neff & McGahee, 2010) individu yang memiliki pengalaman

buruk dari lingkungan sekitarnya cenderung memiliki sikap yang tidak

berperasaan dan kritis pada dirinya sendiri, sementara individu yang

memiliki banyak dukungan dari orang di lingkungannya akan lebih murah


26

hati dan penuh kasih sayang terhadap dirinya. Adanya dukungan sosial

dari lingkungan sosial individu dapat mempengaruhi self compassion

individu (Rey & Moningka, 2013).

3. Pembelajaran Daring/ Jarak Jauh

a. Pengertian pembelajaran daring/ jarak jauh

Menurut Azhar (2011) pembelajaran adalah interaksi yang

berlangsung antara guru dan peserta didik yang di dalamnya membawa

informasi dan pengetahuan. Moore, Dickson-Deane & Galyen (dalam

Sadikin, 2020) mendefenisikan pembelajaran daring sebagai suatu

pembelajaran yang memanfaatkan jaringan internet dengan eksesibalitas,

fleksibilitas, konektivitas, dan kemampuan untuk menciptakan beragam jenis

interaksi pembelajaran. Yuliani, dkk (2020) juga menjelaskan bahwa

pembelajaran daring merupakan proses belajar mengajar yang menggunakan

bantuan internet sehingga dapat mempertemukan pengajar dan siswa

Pembelajaran daring dilakukan dengan cara memberikan siswa materi

berupa rekaman video atau slideshow, dengan tugas mingguan yang harus

diselesaikan siswa dengan batas waktu tertentu. Siswa dan guru dapat

menggunakan beberapa aplikasi yang dapat mrndukung pembelajaran daring

berjalan lancar yaitu whatsaap, classroom, google meet, telepon, live chat,

zoom, telegram dan aplikasi lainnya. Dalam proses pembelajaran daring juga

memerlukan perangkat mobile sebagai alat pendukung seperti android,

computer ataupun laptop.


27

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran daring adalah proses belajar mengajar yang memanfaatkan

jaringan internet sehingga guru dan siswa bisa berinteraksi dengan

menggunakan media pintar seperti lebtop dan android serta menggunakan

aplikasi-aplikasi yang dapat memperlancar pembelajaran daring.

b. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Daring

Putria, Maulana, & Uswatun (2020) menyatakan bahwa dalam proses

pembelajaran daring memiliki kelebihan dan kekurangan, yaitu :

1) Kelebihan Pembelajaran Daring

a) Adanya keleluasaan waktu dan tempat untuk belajar

b) Dapat mengatasi permasalahan mengenai jarak, misalnya peserta

didik yang tidak harus pergi kesekolah dahulu untuk belajar.

c) Tidak ada batasan dan dapat mencakap area yang luas

d) Membangun suasana belajar baru. Menurut seri (2015) suasana baru

selama pembelajaran daring dapat menumbuhkan antusias peserta

didik dalam belajar.

2) Kekurangan Pembelajaran Daring

a) Anak sulit untuk fokus pada pembelajaran karena suasana rumah yang

kurang kondusif

b) Keterbatasan kuota internet atau paket internet atau wifi yang menjadi

penghubung dalam pembelajaran daring, kurangnya sarana

pendukung serta adanya gangguan dari beberapa hal lainnya.


28

c) Kurangnya interaksi antara guru dan siswa bahkan antar siswa itu

sendiri.

d) Terlambatnya terbentuk values dalam proses belajar mengajar.

B. Kerangka Berfikir

Pandemi covid-19 membuat perubahan sistem pembelajaran di Indonesia

menjadi pembelajaran daring/jarak jauh. Kondisi ini berdampak pada kesehatan

mental siswa seperti permasalahan dan tekanan saat melaksanakan pembelajaran

daring, mulai dari timbulnya rasa bosan, cemas, stress sampai kasus depresi

(Purwanto, dkk., 2020).

Stress dan depresi yang dirasakan siswa dapat menimbulkan perasaan tidak

bahagia dan ketidaksejahteraan karna tidak mampu menghadapi segala tekanan dan

permasalahan yang dihadapi saat melaksanakan pembelajaran daring. Maka dari itu

pentingnya psychological well-being yang baik bagi siswa untuk menyikapi

permasalahan dan tekanan yang dihadapi saat melaksanakan pembelajaran daring.

Ryff (1995) menjelaskan psychological well-being merupakan suatu

pencapaian yang individu rasakan dari potensi yang individu miliki dan kamampuan

individu dalam menerima kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri sendiri,

adanya tujuan hidup yang jelas, menjalani hubungan positif dengan orang sekitarnya,

mandiri, menjadi pribadi yang terus bertumbuh serta mampu mengendalikan

lingkungannya. Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap psychological well

being pada individu adalah self-compassion (Ramawidjaya dan Sartika, 2016).


29

Menurut Neff dan Costigan (2004) memperlakukan diri sendiri dengan penuh

kasih sayang dan kepedulian ketika menghadapi tantangan, masalah, atau kesulitan

dalam hidup (self-compassion) mampu meningkatkan psychological well-being dalam

diri individu. Neff (2003) menjelaskan bahwa self-compassion merupakan suatu sikap

yang baik terhadap dirinya sendiri saat menghadapi penderitaan dan kegagalan. Self-

compassion menjadi suatu hal yang penting bagi siswa SMA yang mengikuti

pembelajaran daring, karna siswa SMA yang tergolong remaja merupakan masa

dimana self-compassion mulai berkembang. Ketika siswa berhadapan dengan

masalah-masaslah tersebut, tingkat self-compassion yang ada pada diri siswa akan

membantu siswa lebih semangat, tangguh dan memiliki pemikiran yang positif dalam

menghadapi permalasahan tersebut.

Ketangguhan dan adaptasi yang dimiliki siswa akan membantu siswa dalam

menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan baik, dengan

begitu hal ini dapat meningkatakan psychological well-being pada diri siswa.

Terdapat tiga komponen menurut Neff (2003) yang dapat mengukur self-compassion

yang ada pada diri individu, yaitu self-kindness, common-humanity, dan mindfulness.

komponen self-kindness berkaitan dengan seberapa jauh individu mampu berperilaku

baik terhadap dirinya sendiri dan memahami serta memaknai tekanan dan

permasalahan yang dihadapi, dengan begitu individu tidak akan merasa tertekan

ataupun sedih dengan keadaan yang dihadapi.

Siswa yang memiliki self-kindness yang baik akan memaknai dan menghadapi

tekanan tersebut dengan emosi yang positif. Terdapat hubungan antara komponen
30

self-kindsness dengan psychological well-being, salah satunya pada dimensi

penerimaan diri (self acceptance) (Neff dan Costigan, 2014). Berdasarkan penelitian

yang dilakukan Leary (2007) menjelaskan bahwa self-kindness pada diri individu

dapat membuat emosi negatif seperti perasaan sedih, bosan atau marah menjadi emosi

yang positif. Jadi dengan adanya self-kindness dapat membatu siswa dalam mengatasi

permasalahan dan tekanan dengan tetap positif sehingga hal ini dapan menumbuhkan

perasaan yang positif yang membuat siswa dapat menerima segala kondisi yang

dialaminya, seperti menerima dan mengikuti pembelajaran daring di masa pandemi

covid-19 ini.

Komponen common humanity adalah bagaimana cara pandang individu

melihat penderitaan dan pengalaman yang dihadapi merupakan suatu hal yang wajar

dan juga dialami oleh orang lain. Dengan adanya perasaan ini akan membuat siswa

merasakan kedamaian batin saat mengikuti pembelajaran daring karna dengan siswa

yang memahami kalau semua orang juga mengalami permasalaahan apalagi dimasa

pandemi covid-19 ini, dimana semua orang mendapatkan dampak dari adanya

pandemi covid-19 ini, akan membuat siswa tidak merasa sendirian dalam menghadapi

permasalahan. Masih banyak orang yang mengalami permasalahan dan berdampak

dari adanya pandemi covid-19 ini. Perasaan damai ini akam membuat siswa lebih bisa

mengatasi permasalahan dan kendala-kendala yang dihadapi selama mengikuti

pembelajaran daring dengan baik. Individu juga mampu bersikap imbang untuk

memberikan kebaikan kepada diri sendiri dan orang lain ketika mengalami tekanan

dan kesulitan sehingga hal ini akan membentuk hubungan yang positif dengan orang
31

lain serta lingkungannya. Dimana hal ini adalah salah satu dimensi dari psychological

well-being.

Mindfulness berkaitan dengan kemampuan individu dalam menyeimbangi

pikirannya ketika menghadapi suatu tekanan atau penderitaan. Di masa pandemi

covid-19 ini siswa dihadapkan dengan situasi dan kondisi yang baru yaitu sistem

pembelajaran secara online, hal itu mebuat siswa harus beradaptasi dengan kondisi

tersebut seperti beradaptasi dengan guru dan teman-teman serta harus lebih giat

belajar agar mudah memahami pembelajaran yang dilakukan secara online.

Menurut Kabat-Zinn (2003) individu dengan mindfulness yang baik akan

memiliki kontrol yang baik terhadap apa yang dipilih dan memunculkan respon serta

pandangan yang baru saat menghadapi situasi yang baru yang lebih positif saat

menghadapi permasalah. Apabila siswa dapat beradaptasi dan melakukan sesuatu

dengan kesadaran saat mengikuti pembelajaran daring, maka hal itu akan

mengarahkan siswa pada tujuan hidupp yang jelas. Dengan begitu siswa akan lebih

tekun dalam mengikuti pembelajaran daring selama masa pandemi covid-19.

Mindfulness mampu melindungi diri dari stress, perasaan cemas, dan depresi.

Mindfulness membawa individu kembali kepada keadaan saat ini, membantu individu

secara sadar dalam menentukan keputusan, perilaku dan kegiatan secara mendiri

sehingga dapat berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan (well-being)

khususnya pada dimensi kemandirian (autonomy) (Neff, 2011).

Self-compassion merupakan suatu pemahaman dan kebaikan individu

terhadap dirinya sendiri ketika siswa mengalami tentangan, masalah ataupun


32

kesulitan tanpa harus mengkritiknya secara berlebihan (Neff, 2011). Individu yang

memiliki kemampuan untuk menerima dirinya sendiri dan memiliki keinginan untuk

belajar menjadi lebih baik lagi (self-kindness), bahkan secara langsung self-

compassion dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis (psychological well-being)

khususnya pada dimensi pertumbuhan pribadi (personal growth). Kepribadian yang

individu miliki dapat berpengaruh terhadap tingkat psychological well-being individu

tersebut. Individu yang memiliki banyak kompetensi pribadi dan sosial seperti

penerimaan terhadap diri sendiri, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain

dan lingkungannya. Coping skill yang efektif akan cendrung terhindar dari konflik

dan stress, sehingga siswa yang mengikuti pembelajaran akan mampu mengontrol

dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan selama mengikuti pembelajaran

daring.

Berdasarkan uraian di atas, maka self compassion berpengaruh terhadap

psychological well-being. Komponen-komponen self-compassion yaitu self-kindness,

common humanity, dan mindfulness memiliki hubungan dan dapat mempengaruhi

tingkat psychological well-being pada siswa yang mengikuti pembelajaran daring.

Maka dari itu, siswa yang memiliki self-compassioan yang tinggi akan

mempengaruhi psychological well-being siswa agar menjadi lebih tinggi. Berikut

merupakan skema hubungan antara variabel yang akan diteliti.

Psychological
Self-Compassion
Well-being

Gambar 1. Skema Hubungan Self-compassion dan Psychological well-being


33

C. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka hipotesis yang diajukan peneliti,

yaitu “Ada Hubungan Antara Self-Compassion dengan Psychological Well Being

pada siswa SMA Negeri 12 Pekanbaru yang mengikuti pembelajaran daring”

Semakin tinggi self-compassion siswa, maka semakin tinggi psychological well-

being pada siswa tersebut. Begitu sebaliknya, semakin rendah self-compassion siswa

maka semakin rendah psychological well-being siswa.


34

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan

pendekatan korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variable

self-compassion (variabel X) terhadap psychological well being (variabel Y) pada

siswa SMA Negeri 12 Pekanbaru yang mengikuti pembelajaran daring. Metode

kuantitatif korelasional ini menekan analisisnya pada data-data numerical (angka)

yang diolah dengan metode statistik (Azwar, 2010)

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Sugiyono (2008) mendefinisikan variabel penelitian merupakan suatu sifat

ataupun nilai dari seseorang, kegiatan atau objek yang memiliki variasi tertentu dan

ditetapkan oleh peneliti agar dapat dipelajari dan mendapatkan suatu kesimpulan.

Variabel dalam penelitian dibagi menjadi dua jenis, yaitu variabel terikat/ dependent

variable dan variabel bebas/ independent variable. Adapun identifikasi veariabel

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Variabel Bebas (variabel X) : self-compassion

2. Variabel Terikat (variabel Y) : psychological well-being


35

C. Definisi Operasional

1. Psychological well-being

Psychological well-being adalah suatu kemampuan individu dalam menerima

dirinya sendiri dengan apa adanya, dapat membentuk dan menjalin hubungan

yang hangat dengan orang lain, mampu mengontrol lingkungan eksternal,

mandiri dalam menghadapi tekanan sosial, memiliki arti dalam kehidupan yang

dijalani, serta mampu mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan.

Dimensi psychological well-being merujuk dari teori Ryff (1989), diantaranya

sebagai berikut :

a. Self-acceptance yaitu individu yang memiliki sikap dan pikiran yang positif

terhadap dirinya sendiri, mampu menerima kelebihan dan kekurangan diri dan

melihat masa lalu dengan perasaan yang positif.

b. Positive relationship with other yaitu individu memiliki hubungan yang

hangat dengan orang lain dan memiliki rasa empati yang kuat.

c. Autonomy yaitu individu mampu mengambil keputusan tanpa adanya

pengaruh orang lain, mampu mengendalikan perilaku dan mengevaluasi diri

sendiri.

d. Environmental mastery yaitu individu mampu menguasai serta mengendalikan

lingkungan sekitar.

e. Purpose in life yaitu individu yang memiliki tujuan dalam hidupnya, memiliki

makna baik pada kehidupan masa lalu dan masa sekarang dan mampu

mengetahui apa yang baik dan buruk untuk dirinya.


36

f. Personal growth yaitu individu mampu untuk terus berkembang dan terbuka

terhadap pengalaman baru, adanya perkembangan diri dari waktu kewaktu.

1. Self-Compassion

Self-compassion adalah suatu kemampuan individu dalam memberikan

kebaikan, kepedulian dan kasih sayang terhadap diri sendiri ketika menghadapi

tantangan, masalah, kesulitan tanpa menyalahkan dan menghakimi diri sendiri

serta memahami bahwa segala kejadian yang dialami dalam hidup merupakan hal

yang manusiawi dan dialami oleh semua orang.

Komponen self-compassion merujuk dari teori Neff (2003), diantaranya

sebagai berikut :

a. Self-kindness versus self-judgment yaitu individu mampu bersikap peduli dan

memahami diri sendiri dalam menghadapi tentangan, permasalahan dan

kesulitan, individu mampu menerima diri sendiri tanpa menghakimi dan

mengkritik diri sendiri secara berlibihan.

b. Sense of common humanity versus isolation yaitu individu mampu menyadari

bahwa kegagalan, kesalahan dan kesulitan hidup merupakan hal wajar yang

dialami oleh semua manusia.

c. Mindfulness versus overidentifiction yaitu individu mampu menghadapi suatu

kejadian secara objektif tanpa melebih-lebihkan.


37

D. Partisipan Penelitian

1. Populasi

Menurut Sugiyono (2008), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri

atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karekteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.

Pada penelitian ini yang menjadi populasi penelitian adalah siswa SMA Negeri 12

Pekanbaru Kota Pekanbaru yang mengikuti pembelajaran daring pada tahun

ajaran 2020/2021 sebanyak 1227 siswa.

Tabel 3.1
Populasi Siswa SMA Negeri 12 Pekanbaru Tahun ajaran 2020-2021
No Kelas Jumlah
1 X MIPA 1 36
2 X MIPA 2 35
3 X MIPA 3 35
4 X MIPA 4 35
5 X MIPA 5 34
6 X MIPA 6 35
7 X IPS 1 35
8 X IPS 2 34
9 X IPS 3 33
10 X IPS 4 36
11 X IPS 5 34
12 X IPS 6 34
13 XI MIPA 1 35
14 XI MIPA 2 36
15 XI MIPA 3 36
16 XI MIPA 4 35
17 XI MIPA 5 35
18 XI MIPA 6 35
19 XI IPS 1 33
20 XI IPS 2 37
21 XI IPS 3 35
22 XI IPS 4 33
23 XI IPS 5 35
38

24 XII MIPA 1 38
25 XII MIPA 2 35
26 XII MIPA 3 35
27 XII MIPA 4 36
28 XII MIPA 5 35
29 XII MIPA 6 35
30 XII IPS 1 35
31 XII IPS 2 35
32 XII IPS 3 37
33 XII IPS 4 35
34 XII IPS 5 34
35 XII IPS 6 34
Jumlah 1227
Sumber : Wakil Kesiswaan SMAN 12 Pekanbaru

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki populasi

tersebut. Bila populasi besar dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang

ada pada populasi tersebut. Misalnya karena kekurasangan waktu, dana dan

tenaga, maka peneliti dapat mengambil sampel dari populasi itu. Apa yang

dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya juga berlaku terhadap populasi. Untuk

itu sampel yang diambil dari populasi haruslah betul representative/ mewakili

(Sugiyono, 2008)

Arikunto (2010) menyatakan apabila subyek kurang dari 100, maka sebaiknya

sampel diambil semua sehingga penelitian yang dilakukan merupakan penelitian

populasi. Tetapi, jika jumlah subyeknya besar maka diambil antara 10-15 % atau

20-25% atau lebih. Karna jumlah kelas di dalam penelitian ini ada 35 kelas dan,

keterbatasan dana serta waktu, maka peneliti mengambil 20% dari populasi, maka

sampel dalam penelitian ini sebanyak 7 kelas.


39

b. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan menggunakan teknik cluster random sampling. Teknik pengambilan

sampel ini digunakan untuk menentukan sampel bila obyek yang akan diteliti atau

sumber datanya sangat luas (Arikunto, 2010). Penelitian ini mengambil kelas-

kelas tertentu yang akan dijadikan sampel penelitian. Pengambilan kelas untuk

penentuan subyek adalah dengan cara dirandom. Setiap populasi memiliki

kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel dalam penelitian.

Sampel yang digunakan didalam penelitian ini adalah siswa SMA Negeri 12

Pekanbaru yaitu kelas X, XII dan XII.

Tabel 3.2
Sampel Penelitian
No Jurusan Kelas Jumlah Subyek
1 IPS 4 X 36
2 MIPA 1 XI 35
3 MIPA 2 XI 36
4 IPS 2 XI 37
5 MIPA 1 XII 38
6 MIPA 2 XII 35
7 IPS 3 XII 37
Total 250

E. Metode Pengumpulan Data

Menurut Arikunto (2010) metode pengumpulan data adalah cara-cara yang

dapat dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan data penelitian. Instrumen

penelitian digunakan sebagai alat bantu untuk mengumpulkan data penelitian.


40

Adapun instrument penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala yaitu

skala self-compassion dan skala psychological well being.

Untuk keperluan analisis kuantitatif maka jawaban dari setiap skala diberi

skor dengan nilai 4 (empat) sampai 1 (satu), skala ini disusun berdasarkan modifikasi

skala Likert yang terdiri dari empat (4) alternatif jawaban yaitu SS (Sangat Sesuai), S

(Sesuai), TS (Tidak Sesuai) dan STS (Sangat Tidak Sesuai), dengan ketentuan skor 4

jika menjawab SS (Sangat Sesuai), skor 3 untu jawaban S (Sesuai), skor 2 untuk

jawaban TS (Tidak Sesuai) dan skor 1 untuk jawaban STS (Sangat Tidak Sesuai),

untuk item fovarable. Sebaliknya, untuk item unfavorable, subyek memperoleh skor

1 untuk jawaban SS (Sangat Setuju), skor 2 untuk jawaban S (Sesuai), skor 3 untuk

jawaban TS (Tidak Setuju) dan skor 4 untu jawaban STS (Sangat Tidak Setuju).

Secara lebih rinci penskoran skala favourable dan unfavourable dari masing-masing

skala dapat dilihat pada table berikut :

Tabel 3.3
Daftar Skor
Skala Skor
Favourable Unfavourable
Sangat Sesuai 4 1
Sesuai 3 2
Tidak Sesuai 2 3
Sangat Tidak Sesuai 1 4

1. Alat ukur

Untuk mendapatkan data sesuai dengan variabel yang diteliti, maka perlu

dibuat suatu skala psikologi yang dikembangkan dari definisi operasioanal


41

tentang variabel yang menjadi fokus penelitian, yaitu skala self-compassion dan

skala psychological well-being. Selanjudnya dilakukan tahap penilaian atau

skoring untuk skala self-compassion dan skala psychological well-being tersebut.

a. Skala self-compassion

Skala yang digunakan untuk mengukur self-compassion pada

penelitian ini yaitu menggunakan Self-Compassion Scale (SCS) yang disusun

oleh Kristin D. Neff (2003) dan telah diadaptasi ke bahasa Indonesia oleh

Sugianto, Suwartono & Sutanto (2020) menjadi Skala Welas Diri (SWD).

Skala ini terdiri dari 26 item yang mengacu pada komponen-komponen self-

compassion yaitu self-kindness versus self- judgment, Common Humanity

versus Isolation dan Mindfulness versus Over-identification. Blue print skala

self-compassion siswa untuk try out dapat dilihat pada table berikut :

Tabel 3.4
Blue print self-compassion (Untuk Try Out)
No Komponen Nomor Butir Jumlah
Favorable Unfavorable
1 Self-Kindness versus 5, 12, 19, 23, 26 1, 8, 11, 16, 21 9
Self-Judgement
2 Common Humanity 3, 7, 10, 15 4, 13, 18, 25 9
versus Isolation
3 Mindfulness versus 9, 14, 17, 22 2, 6, 20, 24 8
Overidentification
Total 26

b. Skala psychological well being

Skala yang digunakan untuk mengukur psychological well-being pada

penelitian ini yaitu menggunakan Ryff’s Psychologycal Well-Being Scale


42

(RPWB) oleh Reff (1989), yang terdiri dari 42 item. Penelitian ini

menggunakan dimensi-dimensi psychological well-being sebagai dasar

pembuatan item-item penelitian, dimensi tersebut adalah self acceptance

(penerimaan diri), positive relations with others (hubungan positif dengan

orang lain), autonomy (kemandirian), environmental mastery (penguasaan

lingkungan), purpose in life (tujuan hidup), dan personal growth (pertumbuhan

pribadi). Blue print skala psychological well-being untuk try out dapat dilihat

pada tabel berikut :

Tabel 3.5
Blue print Psychologicall well being (Untuk Try Out)
No Aspek-aspek Nomor Butir Jumlah
Favorable Unfavorable
1 Self-Acceptance 6,12,24,42 18,30,36 7
2 Positive 4,22,28,40 10,16,34 7
Relationships With
Others
3 Autonomy 1,7,25,37 13,19,31 7
4 Environmental 2,8,20,38 14,26,32 7
Mastery
5 Purpose In Life 11,29,35 5,17,23,41 7
6 Personal Growth 9,21,33,39 3,15,27 7
Total 42

F. Validitas, Indeks Daya Diskriminasi dan Reliabilitas

1. Validitas

Validitas adalah karakteriktik terpenting dalam pengukuran yang mengacu

kepada akurasi dan kecermatan fungsi ukur tes yang bersangkutan (Azwar,

2019). Validitas dalam penelitian adalah menggunakan validitas isi. Validitas isi
43

merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan

analisis rasional atau lewat professional judgment (Azwar, 2005). Validitas isi

dalam penelitian ini dilakukan oleh dosen pembimbing skripsi dan narasumber

seminar proposal.

2. Indeks Daya Diskriminasi

Azwar (2019) menyebutkan bahwa daya diskriminasi item merupakan

sejauhmana kemampuan suatu item untuk membedakan individu yang satu dari

yang lainnya berdasarkan atribut yang diukur. Pengujian daya diskriminasi

dilakukan dengan cara menghitung koefisien korelasi antara distribusi skor item

dengan distribusi skor skala itu sendiri.

Azwar (2009) menyatakan indeks daya diskriminasi yang umumnya digunkan

dalam skala psikologi adalah dia atas 0,30 atau di atas 0,25 sudah dianggap

mengidentifikasikan daya diskriminasi yang baik. namun apabila jumlah item

yang lolos tidak mencukupi jumlah yang di inginkan maka peneliti dapat

menurunkan batasan kriteria 0,30 menjadi 0,25. Dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan koefisien aitem total minimal 0,25 sebagai acuan penentu daya

beda, kemudian hasil dari uji coba tersebut dianalisis dengan bantuan program

statistical Product and Service Solution (SPSS) 20.0 for windows.

Jumlah item skala self-compassion yang valid dari 26 item adalah 18 dan yang

gugur sebanyak 8 item. Berikut rekaptulasi skala self-compassion setelah diuji

cobakan :
44

Tabel 3.6
Skala Self-Compassion (Hasil Try Out)
No Item
No Aspek Valid Gugur Jumlah
F UF F UF
1 Self-Kindness versus 12, 23 1,11,16, 5,19,26 8 10
Self-Judgement 21
2 Common Humanity 4,13,18, 3,7,10,1 8
versus Isolation 25 5
3 Mindfulness versus 9,14,17 2,6,20,2 8
Overidentification ,22 4
Total Item 6 12 7 1 26

Berdasarkan item yang valid dan setelah mambuang item yang gugur pada

skala uji coba alat ukur, maka blue print skala self-compassion yang digunakan

untuk penelitian dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3.7
Blue Print Skala Self-compassion (Penelitian)
No Komponen Nomor Butir Jumlah
Favorable Unfavorable
1 Self-Kindness versus Self- 7,16 1,6,10,14 6
Judgement
2 Common Humanity versus 3,8,12,18 4
Isolation
3 Mindfulness versus 5,9,11,15 2,4,13,17 8
Overidentification
Total 6 12 18

Jumlah item skala psychological well-being yang valid dari 42 item adalah 30

dan yang gugur sebanyak 13 item. Berikut rekaptulasi skala psychological well-

being dapat dilihat pada tabel 3.8 dibawah ini.


45

Tabel 3.8
Skala Psychological well-being (Hasil Try out)
No Item
No Aspek Valid Gugur Jumlah
F UF F UF
Self-Acceptance 12,24,42 18,30,36 6 7
Positive Relationships 4,28,40 10,16,34 22 7
With Others
Autonomy 1,7,25 31 37 13,19 7
Environmental Mastery 2,20,38 14,26,32 8 7
Purpose In Life 11,29 5,17,23 35 41 7
Personal Growth 21,33 15 9,39 3,27 7
Total Item 16 14 7 5 42

Berdasarkan item yang valid dan setelah mambuang item yang gugur pada

skala uji coba alat ukur, maka blue print skala psychological well-being yang

digunakan untuk penelitian dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3.9
Blue Print Skala Psychological well-being (Penelitian)
No Aspek-aspek Nomor Butir Jumlah
Favorable Unfavorable
1 Self-Acceptance 8,17,30 13,22,27 6
2 Positive Relationships 3,20,29 6,11,26 6
With Others
3 Autonomy 1,5,18 23 4
4 Environmental Mastery 2,14,28 9,19,24 6
5 Purpose In Life 7,21 4,12,16 5
6 Personal Growth 15,25 10 3
Total 16 14 30

3. Reliabilitas

Ide pokok dalam konsep reliabilitas menunjukan sejauh mana hasil suatu

pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2010). Pengukuran yang mempunyai


46

reliabilitas tinggi maksudnya adalah pengukuran yang dapat menghasilkan data

yang reliable (Azwar, 2007)

Data reliabilitas dinyatakan koevisiennya (r xx1) berada dalam rentang angka

dari 0 sampai dengan 1,00. Apabila koefisien reliable semakin tinggi mendekati

angka 1,00 berarti pengukuran semakin reliabel. Apabila koefisien reliabilitas

mendekati angka 0,00 maka pengukuran menjadi tidak reliabel (Azwar, 2019).

Uji reliabilitas menggunakan bantuan computer dengan aplikasi statistical

Product and Service Solution (SPSS) 20.0 for windows.

Tabel 3.10
Hasil Uji Reliabilitas
Variabel Jumlah Aitem Alpha Cronbach
Self-compassion 18 0,842
Psychological well-being 30 0,880

Dari perhitungan diketahui rehabilitas kedua variabel, yaitu variabel self-

compassion (X) angka rehabilitas mencapai 0,842 dan untuk variabel

psychological well-being (X) angka reliabilitas mencapai 0,880. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa reliabilitas alat ukur cukup reliabel dan layak

digunakan sebagai instrument penelitian.

G. Teknik Analisis

Teknik analisis data yang digunakan untuk menganalisa data dalam penelitian

ini yaitu teknik korelasi product momen dari pearson yaitu teknik statistic yang

digunakan untuk mencari hubungan antara variabel bebas self-compassion (X)


47

dengan psychological well-being (Y). Data yang didapatkan nantinya akan di

analisis dengan menggunakan program statistical Product and Service Solution

(SPSS) 20.0 for windows.


48

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini diawali dengan pengajuan sinopsis kepada program studi S1

fakultas psikologi UIN SUSKA Riau, setelah melalui berbagai proses maka

dilakukan pengumpulan data dengan cara memberikan skala penelitian kepada

siswa SMA Negeri 12 Pekanbaru. Pelaksanaan try out mulai dilakukan pada

tanggal 14 November 2021 dengan 109 subjek. Skala try out dilakukan secara

online melalui google form. Penggunaan skala online disebabkan peneliti dan

subjek tidak boleh bertemu secara langsung dan sekolah SMA Negeri 12

Pekanbaru melakukan sistem pembelajaran secara daring dikarnakan pandemi

covid-19. Pemberian skala penelitian dilakukan secara langsung pada tanggal 14

Oktober 2021 dengan jumlah subjek 254. Dimana sekolah SMA Negeri 12

Pekanbaru telah mulai melaksanakan pembelajaran dari sekolah, hal itu membuat

peneliti dibolehkan untuk menyebarkan skala secara langsung. Skala yang

terkumpul dalam penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan bantuan

program statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 25. 0 for windows.

B. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Subjek Penelitian


49

Berdasarkan data yang didapat dari alat ukur penelitian maka diperoleh

gambaran umum mengenai subjek penelitian. Adapun rincian gambaran

umum sujek penelitian ini sebegai berikut :

a. Gambaran diri subjek berdasarkan jenis kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu

laki-laki dan perempuan. Subjek penelitian yang telah ditetapkan dalam

penelitian ini yaitu 103 laki-laki dan 151 perempuan dari 254 subjek.

Berikut urian jumlah berdasarkan jelnis kelamin :

Tabel 4.1
Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Subjek Frekuensi Presentase
Laki-laki 103 40,6%
Perempuan 151 59,4%
Total 254 100%

b. Gambaran Diri Subjek Berdasarkan Usia

Usia subjek dalam penelitian ini yaitu usia kelompok remaja dengan

rentang usia 15,16,17,18 dan 19 tahun. Berdasarkan jumlah subjek

penelitian yang berjumlah 254 subjek terdapat 16 subjek yang berusia 15

tahun, 83 subjek yang berusia 16 tahun, 115 subjek yang berusia 17 tahun,

36 subjek yang berusia 18 tahun dan 4 subjek dengan usia 19 tahun.

Berikut ini penjelasan klasifikasi subjek berdasarkan usia :

Tabel 4.2
Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Subjek Frekuensi Persentase
15 16 6,3%
50

16 83 32,7%
17 115 45,3%
18 36 14,2%
19 4 1,5%
Total 254 100%

c. Gambaran Diri Subjek Berdasarkan Kelas

Subjek penelitian terbagi menjadi tiga kelompok kelas yaitu kelas X

(sepuluh), XI (sebelas) dan XII (dua belas). Berikut penejelasan klasifikasi

subjek penelitian berdasarkan kelas :

Tabel 4.3
Gambar Subjek Penelitian Berdasarkan Kelas
Subjek Frekuensi Persentase
X IPS 4 36 14,2%
XI MIPA 1 35 13,8%
XI MIPA 2 36 14,2%
XI IPS 2 37 14,5%
XII MIPA 1 38 15%
XII MIPA 2 35 13,8%
XII IPS 3 37 14,5%
Total 254 100%

2. Uji Asumsi

Sebelum melakukan analisis data, uji asumsi dilakukan terlebih dahulu

yang bertujuan untuk mengetahui apakah data yang dianalisis sudah terpenuhi

syarat agar dapat dianalisis dengan korelasi product moment dari pearson. Uji

asumsi terdiri dari uji normalitas dan uji linearitas data. Uji normalitas dan

linearitas data pada penelitian ini menggunakan bantuan program SPSS 25 for

window.
51

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk memastikan bahwa data berdistribusi

normal atau tidak. Distribusi normal dilakukan dengan cara

membandingkan data yang diperoleh dengan data yang bersifat normal

(Agung, 2016). Pengujian normalitas pada penelitian ini dibantu dengan

program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 25 dor

windows menggunakan One Sample Kolmogorov-smirnov Test dengan

melihat koefisien signifikansi P > 0,05 maka dapat dikatakan data

berdistribusi secara normal, namun jika P < 0,05 maka dapat dikatakan

bahwa data tidak berdistribusi secara normal.

Tabel 4.4
Hasil Uji Normalitas One Sample Kolmogorov-smirnov Test
Variabel Asymp. Sig. (2-tailed) Keterangan
Self-compassion 0,645 Normal
Psychological well-being

Berdasarkan uji normalitas pada variabel self-compassion dan variabel

psychological well-being dengan menggunakan One Sample Kolmogorov-

smirnov Test maka dapat dilihat bahwa signifikansi Asymp. Sig. (2-tailed)

sebesar 0,645 lebih besar dari 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

data self-compassion dan psychological well-being berdistribusi normal.

b. Uji Linearitas

Uji linearitas bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan

linear antara variabel bebas dan variabel terikat. Uji linearitas pada
52

penelitian ini adalah uji F. Data dikatakan linear apabila signifikansinya

lebih kecil dari 0,05 (P < 0,05), namun jika data menunjukan signifikansi

yang lebih besar dari 0,05 (P > 0,05) maka data dikatakan tidak linear

(Agung, 2014).

Hasil uji linearitas variabel self-compassion dan psychological well-

being dengan bantuan SPSS 25 for windows pada penelitian ini sebagai

berikut :

T abel 4.5
Uji Linearitas
Variabel F P Keterangan
Self-compassion 129,963 0,000 Linear
Psychological well-being

Berdasarkan tabel di atas diketahui hasil pengolahan data diperoleh F

= 129,963 dengan nilai sig = 0,000 (P < 0,05). Hasil tersebut menunjukan

bahwa data tersebut linear, karena lebih kecil dari 0,05 sehingga dapat

disimpulkan bahwa data dalam penelitian ini linear. Artinya, terdapat

hubungan antara variabel self-compassion dengan psychological well-

being.

c. Uji Hipotesis

Analisis data dilakukan untuk mengetahui apakah hipotesis yang

diajukan peneliti diterima atau ditolak. Analisis pada penelitian ini

menggunakan analisis korelasi product moment dari pearson dengan

bantuan program SPSS 25 for windows.


53

Hasil uji korelasi memuat ketentuan diterima atau ditolaknya hipotesis.

Apabila signifikansi P < 0,05 maka ada korelasi yang signifikan, namun

jika signifikansi P > 0,05 maka tidak ada korelasi yang signifikan (Agung,

2016).

Tabel 4.6
Uji Hipotesis
Person R
Variabel Correlation Squred Sig (P) Keterangan
(r)
Self-compassion 0,586 0,344 0,000 Hipotesis
Psychological well- diterima
being

Berdasarkan hasil uji korelasi diperoleh koefisien antara self-

compassion dengan psychological well-being sebesar (r) = 0,586 pada

taraf signifikansi (p) = 0,000. Artinya terdapat hubungan positif antara

self-compassion dan psychological well-being, sehingga hipotesis dalam

penelitian ini diterima, yaitu terdapat hubungan antara self-compassion

dengan psychological well-being pada siswa SMA Negeri 12 Pekanbaru

yang mengikuti pembelajaran daring. Semakin tinggi self-compassion

maka semakin tinggi psychological well-being pada siswa SMA Negeri 12

Pekanbaru yang mengikuti pembelajaran daring dan sebaliknya semakin

rendah self-compassion maka semakin rendah psychological well-being

pada siswa SMA Negeri 12 Pekanbaru yang mengikuti pembelajaran

daring.
54

C. Deskripsi Kategori Data

1. Kategorisasi Data Penelitian

Pengukuran atribut psikologi adalah pemberian makna dan

interprestasi skor skala yang bersangkutan. Hasil ukur berupa angka

(kuantitatif) memerlukan suatu norma pembanding agar dapat

diinterprestasikan secara kualitatif. Interprestasi skala bersifat normative yang

berarti makna skor diacuhkan pada posisi relatif skor dalam suatu kelompok

yang telah dibatasi terlebih dahulu (Azwar, 2013).

Tabel 4.7
Norma Kategori Data

Norma Kategori
X < (µ - 1,0 σ) Rendah
(µ - 1,0 σ) ≤ X < (µ + 1,0 σ) Sedang
(µ + 1,0 σ) ≤ X Tinggi
Ket: µ: Mean, σ: Standar Deviasi dan X: Skor

a. Kategorisasi Pada Skala Psychological well-being

Tabel 4.8
Gambaran Data Hipotetik dan Empirik Skala Psychological well-being

Nilai Nilai Standar


Deskripsi Aitem Range Mean
Minimal Maksimal Deviasi
Hipotetik 30 30 120 90 75 15
Empirik 30 52 118 66 84,95 11,152

Berdasarkan hasil perhitungan tabel 4.8 di atas, selanjutnya dilakukan

pengkategorisasi variabel psychological well-being sebagai berikut:

Tabel 4.9
Norma Kategori Skala Psychological well-being
55

Kategorisasi Nilai Frekuensi Persestasi


Rendah X < 60 11 4,3%
Sedang 60 ≤ X < 90 167 65,7%
Tinggi 90 ≤ X 76 29,9%
Total 254 100 %

Berdasarkan hasil kategorisasi pada variabel psychological well-being dapat

diketahui bahwa sebagian besar subjek berada pada kategori sedang yaitu sebesar

65,7% dan banyak siswa berada pada kategori tinggi yaitu sebesar 29,9%

dibandingkan banyak subjek pada kategori kecil yaitu 4,3%. Berdasarkan hasil

tersebut, dapat disimpulkan bahwa siswa yang memiliki psychological well-being

tinggi lebih banyak dari pada siswa yang memiliki psychological well-being

rendah. Psychological well-being yang tinggi artinya siswa memiliki sikap positif

terhadap dirinya dan orang lain, menerima dirinya sendiri dengan apa adanya,

dapat membentuk dan menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain,

mampu mengontrol lingkungan eksternal, mandiri dalam menghadapi tekanan

sosial, memiliki arti dalam kehidupan yang dijalani, serta mampu

mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan.

a. Kategorisasi Pada Skala Self-Compassion


Tabel 4.10
Gambaran Data Hipotetik dan Empirik Skala Self-Compassion

Nilai Nilai Standar


Deskripsi Aitem Range Mean
Minimal Maksimal Deviasi
Hipotetik 18 18 72 54 45 9
Empirik 18 27 68 41 47,3 7,50
56

Berdasarkan hasil perhitungan tabel 4.10 di atas, selanjutnya dilakukan

pengkategorisasi variabel dukungan sosialsebagai berikut:

Tabel 4.11
Norma Kategori Skala Self-Compassion

Kategorisasi Nilai Frekuensi Persestasi


Rendah X < 36 15 5,9%
Sedang 36 ≤ X < 54 185 72,8%
Tinggi 54 ≤ X 54 21,3%
Total 254 100 %

Berdasarkan hasil kategorisasi pada variabel self-compassion dapat

diketahui bahwa sebagian besar subjek berada pada kategori sedang yaitu

sebesar 72,8% dan banyak siswa berada pada kategori tinggi yaitu sebesar

21,3%, sedangkan sisanya yaitu 5,9% memiliki self-compassion yang rendah.

Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa siswa yang memiliki

self-compassion kategori tinggi lebih banyak dari pada siswa yang memiliki

self-compassio ketegori rendah

Self compassion tinggi berarti mahasiswa memiliki kemampuan untuk

menyayangi, peduli, berbuat kebaikan kepada diri sendiri dan tidak

menghakimi diri serta memahami bahwa kesulitan merupakan hal yang

dialami semua manusia sehingga menilai kesulitan secara objektif.

D. Analisis Tambahan

1. Sumbangan Efektif Variabel Self-compassion pada Psychological Well-

Being
57

Berdasarkan hasil analisis sumbangan efektif variabel self-compassion

dengan psychological well-being, dibantu engan aplikasi SPSS 25 for

windows. Cara mengetahui sumbangan variabel X terhadap Y dapat

menggunakan rumus koefisien penentu (coefecient of determinant). Koefisien

penentu merupakan sejauhmana variabel X dapat menjelaskan variabel Y

(Agung, 2016). Berikut hasil analisis sumbangsih efektif variabel :

Tabel 4.12
Sumbangan Self-compassion pada Psychological Well-Being

Variabel R Square
Self-compassion dan Psychological Well-Being 0,344

Berdasarkan table di atas menunjukan nilai R Square sebesar 0,344 yang

berarti sumbangsih variabel self-compassion pada psychological well-being

sebesar 34,4%.

2. Sumbangan Efektif per-aspek Self-compassion pada Psychological well-

being

Aspek self-compassion pada siswa yang mengikuti pembelajaran

daring berupa self-kindness versus self-judgment, sense of common humanity

versus isolation dan mindfulness versus overidentifiction. Selanjutnya untuk

mengetahui sumbangan masing-masing aspek dilakukan uji korelasi bivariate

untuk memperoleh nilai cros product. Sumbangan efektif digunakan untuk

mengetahui besarnya sumbangasih per aspek atau komponen variabel X


58

terhadap Y (Widhiarso, dalam Agung 2016). Sumbangan efektif dapat

diperoleh menggunakan rumus berikut:

bxi. cross product . R 2


SExi¿
Regression

Keterangan:
Bxi : Koefisien b Komponen x
Cross Product (CP) : Koefisien Korelasi x
Regression : Nilai Regression
R2 (R Square) : Sumbangan Efektif Total

Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus di atas, maka diperoleh

sumbangan masing-masing aspek self-comopassion pada variabel

psychological well-being sebagai berikut :

Tabel 4. 13
Sumbangan Per Aspek Self-Compassion pada Psychological Well-being
No Aspek Self-Compasssion Sumbangan R Square
1 Self-kindness versus self-judgment 17,43% 34,4%
2 Common humanity versus isolation 3,70%
3 Mindfulness versus overidentifiction 13,27%

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa aspek self-

compasssion yang memberikan sumbangsih efektif paling besar terhadap

variabel psychological well-being ialah aspek self-kindness versus self-

judgment dengan persentase sebesar 17,43%. Artinya bahwa siswa lebih

banyak memiliki self-kindness versus self-judgment berupa sikap peduli dan

memahami diri sendiri dalam menghadapi tentangan, permasalahan dan

kesulitan, siswa mampu menerima diri sendiri tanpa menghakimi dan

mengkritik diri sendiri secara berlebihan yang berpengaruh terhadap


59

psychological well-being. Sedangkan aspek common humanity versus

isolation memberikan sumbangsih efektif paling kecil terhadap variabel

psychological well-being dengan persentase 3,70%. Artinya hanya sedikit

siswa yang mampu menyadari bahwa kegagalan, kesalahan dan kesulitan

hidup merupakan hal wajar yang dialami oleh semua manusia yang

berpengaruh terhadap psychological well-being siswa tersebut.

E. PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara self-compassion

dengan psychological well-being pada siswa SMA Negeri 12 Pekanbaru yang

mengikuti pembalajaran daring. Uji hipotesis dengan menggunakan analisis

product moment diperoleh hasil bahwa hipotesis pada penelitian ini diterima,

dengan menunjukan nilai koefisiensi korelasi (r) sebesar 0,586 dan nilai signifikan

berada pada 0,00 (p < 0,05). Hal ini menunjukan terdapat hubungan antara self-

compassion dengan psychological well-being pada siswa SMA Negeri 12

Pekanbaru yang mengikuti pembelajaran daring. Hubungan antara self-

compassion dengan psychological well-being pada siswa yang mengikuti

pembelajaran daring dalam hasil penelitian ini menunjukan bahwa self-

compassion memberikan kontribusi pada psychological well-being.

Neff dan Costigan (2014) menjelaskan bahwa memperlakukan diri sendiri

dengan penuh kasih sayang dan kepedulian ketika menghadapi kesulitan,

tantangan, dan masalah dalam hidup mampu meningkatkan psychological well-


60

being dalam diri individu. Self-compassion mampu merangkul dengan hangat

emosi negatif dan menyeimbangkannya dengan emosi positif.

Self-compassion mampu melindungi individu dari emosi negatif, memberikan

keterampilan dalam mengelola emosi dengan baik, dan berpengaruh terhadap

peningkatan psychological well-being dalam diri siswa. Siswa yang mampu

memahami dan menyayangi diri saat berada pada kesulitan menjadi salah satu

tolak ukur agar mendapatkan banyak kebahagiaan dan kepuasan hidup

(psychological well-being).

Hasil penelitian ini menjukan bahwa sebagian siswa SMA Negeri 12

Pekanbaru yang mengikuti pembelajaran daring berada pada rentang usia 15

tahun sampai 19 tahun. Berdasarkan pendapat Monks (2000) , individu yang

telah memasuki usia 12-21 tahun termasuk dalam usai remaja. Masa remaja

merupakan masa berkembangnya psychological well-being karena pada masa

remaja, individu harus menyelesaikan tugas perkembangannya. Individu yang

berhasil menyelesaikan tugas perkembangannya akan memiliki psychological

well-being yang tinggi. Remaja memiliki harapan yang tinggi terhadap masa

depannya, khususnya pada dimensi tujuan hidup (purpose in life) dan

perkembangan pribadi (personal growth) (Singh, Mohan, & Anasseri, 2012).

Hasil kategorisasi data variabel psychological well-being pada siswa SMA

Negeri 12 yang mengikuti pembelajaran daring menunjukan bahwa mayoritas

siswa berada pada kategori yang sedang dengan persentase sebesar 65,7% atau

167 subjek. Hal ini menunjukan bahwa siswa memiliki kemampuan bersikap
61

baik terhadap diri sendiri dan mampu mengevaluasi pengalaman saat mengikuti

pembelajaran daring yang cukup baik.

Psychological well-being pada kategori tinggi sebesar 29,9% atau 76.

Psychological well-being yang tinggi berarti siswa mamiliki penilaian yang

positif terhadap pengalaman mengikuti pembelajaran daring dan kualitas

hidupnya yang dilihat dari keenam indikatornya. Siswa dapat bertindak dan dan

melakukan pembelajaran secara mandiri. Siswa-siswa mampu berhubungan baik

dengan guru dan teman-teman meskipun dalam sistem pembelajaran daring serta

siswa mampu mengevaluasi pengalamannya secara positif.

Sebanyak 4,3% atau 11 siswa memiliki tingkat psychological well-being

dalam kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa hasil evaluasi yang negatif

atas pengalaman siswa selama mengikuti pembelajaran daring ini dapat

menyebabkan pscychological well-being siswa rendah. Pengalaman masa lalu

yang sulit dan ketidakmampuan menerima perubahan lingkungan seperti

perubahan sistem pendidikan daring seperti saat ini dapat membuat siswa

kesulitan dalam mengatur dan menentukan masa depannya.

Psychological well-being dapat meningkat dengan meningkatkan self-

compassion yang ada pada diri individu tersebut. Neff dan Costigan (2004)

menjelaskan dengan memperlakukan diri sendiri dengan penuh kasih sayang dan

kepedulian ketika menghadapi tantangan, masalah, atau kesulitan dalam hidup

(self-compassion) mampu meningkatkan psychological well-being dalam diri

individu. Berdasarkan hasil kategorisasi variabel self-compasssion jika dilihat dari


62

tingkatan self-compassion dalam proses pembelajaran daring pada siswa

menunjukan bahwa jumlah rata-rata self-compassion siswa berada pada kategori

sedang yaitu 72,8% atau 185 subjek. Artinya selama proses pembelajaran daring

siswa diasumsikan cukup mampu untuk menyayangi, peduli, berbuat kebaikan

kepada diri sendiri dan tidak menghakimi diri serta memahami bahwa kesulitan

selama megikuti pembelajaran daring merupakan hal yang dialami semua orang

sehingga menilai kesulitan tersebut secara objektif.

Hasil uji korelasi dari aspek self-compassion memiliki hubungan dengan

psychological well-being. Berdasarkan uji tersebut komponen Self-kindness

versus self-judgment memiliki kontribusi tertinggi dengan psychological well-

being dengan sumbangan efektif sebesar 17,43%. Self-kindness atau berbaik hati

pada diri sendiri merupakan suatu kemampuan individu untuk dapat bersikap

peduli, memahami dan menerima diri sendiri dalam menghadapi tantangan,

permasalahan dan kesulitan tanpa menghakimi dan mengkritik diri sendiri secara

berlebihan (Neff, 2003). Ketika siswa menjadi lebih hangat, menerima

kekurangan dan menghargai diri sendiri ketika menghadapi permasalahan saat

mengikuti pembelajaran daring, maka siswa dapat lebih menerima dirinya dalam

situasi pembelajaran daring, menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain,

mampu mengontrol masalah pembelajaran daring, mandiri dalam menghadapi

tekanan selama mengikuti pembelajaran daring, memiliki arti dalam kehidupan

yang dijalani, serta mampu mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan.


63

Sedangkan kontribusi terkecil dengan sumbangan efektif sebesar 3,70%

ditemukan pada komponen common humanity versus isolation. Common

humanity merupakan kemampuan siswa yang mampu menyadari bahwa kesulitan

dan permasalahan yang dihadapi merupakan hal yang wajar dan juga dihadapi

oleh semua orang (Neff, 2011). Siswa mendapatkan common humanity yang

rendah disebabkan oleh adanya rasa kegagalan dan merasa kesulitan yang

dihadapi siswa selama mengikuti pembelajaran daring hanya terjadi pada dirinya

sendiri. Siswa tidak mampu bersikap imbang untuk memberikan kebaikan

kepada diri sendiri dan orang lain ketika mengalami tekanan dan kesulitan

selama mengikuti pemebelajaran daring sehingga hal ini akan kurang

berpengaruh terhadap hubungan yang positif dengan orang lain serta

lingkungannya. Dimana hal ini adalah salah satu dimensi dari psychological well-

being.

Hasil sumbangsih variabel self-compassion dengan psychological well-

being diketahui sebesar 34,4%. Artinya bahwa self-compassion memiliki

pengaruh yang cukup besar terhadap psychological well-being pada siswa yang

mengikuti pembelajaran daring. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan

oleh Annisatul dan Shofia (2019) tentang hubungan self-compassion dengan

psychological well-being pada mahasiswa yang terlibat aktivitas volunteering

ditemukan bahwa self-compassion memberikan sumbangan efektif sebesar 52,3%

dalam mempengaruhi psychological well-being. Artinya tingkat hubungan antar

variabel dalam penelitian ini tergolong tinggi. Maka dapat diketahui bahwa self-
64

compassion menjadi salah satu faktor yang dapat memp engaruhi psychological

well-being pada siswa SMA Negeri 12 Pekanbaru yang mengikuti pembelajaran

daring
65

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa terdapat hubungan antara self-compassion dengan psychological well-being

pada siswa SMA Negeri 12 Pekanbaru yang mengikuti pembelajaran daring. Artinya

semakin tinggi self-compassion siswa maka semakin tinggi psychological well-

beingnya. Begitu sebaliknya, semakin rendah self-compassion siswa maka semakin

rendah psychological well-beingnya. Gambaran umum tingkat self-compassion dan

psychological well-being pada siswa sama-sama berada pada kategori sedang.

Sedangkan aspek yang paling berkontribusi dalam self-compassion adalah self-

kindness versus self-judgment

B. Saran

1. Pada Mahasiswa

Kepada siswa agar mampu untuk lebih self-compassion terlepas dari

berbagai persoalan yang dihadapi selama masa pembelajaran daring,

meskipun menghadapi emosi negative dengan adanya self-compassion dapat

membantu siswa lebih menyayangi dir i dan menerima keadaaan dengan

lapang dada, hal ini tentunya akan meningkatkan psychological well-being

bagi siswa.
66

2. Pada Guru

Kepada guru agar dapat lebih mempertimbangakan hasil penelitian

sebagai dasar penyusunan program belajar dan metode belajaran yang lebih

baik selama melaksanakan pembelajaran daring.

3. Pada Peneliti

Bagi Peneliti selanjutnya untuk dapat mencari dan meneliti faktor-

faktor lain yang mempengaruhi psychological well-being pada siswa,

memperbanyak subjek dan mengambil subjek yang lebih bervariatif.

4.
67

DAFTAR PUSTAKA

Amelia, A., & Sa’adah, N. (2020). Dampak pandemi covid-19 terhadap kagiatan
belajar mengajar di Indinesia. Jurnal Psikologi, 13(2).

Aspinwall, L. G. (2002). A psychology of human strengths. Washington: Amerika


psychological association.

Arsyad, Azhar. (2011). Media Pembelajaran. Jakarta: Penerbit Rajawali Pers

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka


Cipta.

Azwar, S. (2007). Tes Prestasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Azwar, S. (2010). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (2019). Metode Penelitian Psikologi Edisi II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Dhara, D., & Jogsan, Y. A. (2013). Depression and psychological well-being in old
age. Journal Psychology Psychother, vol. 3.

Garmer, C. K. (2009). The Mindful Path to Self-Compassion: Freeing Your self from
Destructive Thoughts and Emotions.New York: Guilford Press.

Islami, M & Djamhoer, T. D. (2017). Hubungan Self-Compassion dengan


Psychological Well-Being pada Ibu yang memiliki Anak Autis di SDN
Putraco Bandung. Prosiding Psikologi. 3(2), 825-829.

Johal, S. K. & Pooja. (2016). Relationship between mental health and psychological
well-being of prospective female teachers. Journal of Research & Method ini
Education, 6(1), 2320- 7388. Doi:10.9790/7388-06120106

Kabat-Zin, J. (2003). Mindfulness-Based Interventions in Context: Past, Present, and


Future. American Psychological Association, 10(2),

Leary, Tate, Allen, Adams, & Handcock. (2007). Self-Compassion and Reactions to
Unpleasant Self-Relevant Events: The Implications of Treating Oneself
Kindly. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 92 (5),
68

McCullough, Michael. E., Emmons, Robert. A., & Tsang, Jo, Ann. (2002). The
Grateful Disposition A Conceptual and Empirical Topography. Journal of
Personality and Social Psychology, 82 (1), 112-127

Neff, K. D. (2003). Self-compassion: An alternative conceptualization of a healthy


attitude toward oneself. Self and Identity, 2, 85-101.

Neff, K. D. (2011). Self-compassion: stop beating yourself up and leave insecurity


behind. Texas: Harper Collins Publishers

Neff, K., & Costigan, A. (2014). Self-Compassion, well-being, and happiness.


Psychological in osterreich. 2 (3). 114-117

Neff, Kristin D., & Germer, C. (2017). Self compassion And Psychological
Wellbeing. In J Doty (Ed). Oxford Handbook Of Compassion Science.

Neff, K & McGehee, P. (2010). Self-Compassion and Psychological Resilience


Among Adolescents and Young Adults. Psychological Press. 225-240

Purwanto, A. dkk. (2020). “Studi Eksploratif Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap


Proses Pembelajaran Online di Sekolah Dasar”. Journal of Education,
Psychology, and Counseling (EduPsyCouns Journal), 2 (1).

Putria, Hilna., Maulana, H, L., & Uswatun, Azwar, D. (2020). Analisis Proses
Pembelajaren Dalam Jeringan (Daring ) Masa Pandemi COVID-19 pada Guru
Sekolah Dasar. Jurnal Basicedu. 4(4)

Wiguna, Tjhin. (2010). Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak dan Remaja di
Poliklinik Jiwa Anak dan Remaja RSUPN. Sari Pediatri, Vol. 12, No. 4

Ramawidjaya, N. M. & Sartika, D. (2016). Hubungan antara Self-compassion dengan


Psychological Well-Being pada Atlet Tuna Daksa (Studi pada Atlet National
Paralympic Committee Indonesia di Kota Bandung). Prosiding Psikologi.
2(2).

Rananto. W. Hutomo & Farida Hidayati. (2017). Hubungan antara self-compassion


dengan prokrastinasi pada siswa SMA nasima semarang. Jurnal Empati, 6(1),
232-238
69

Renggani, F. A., & Widiasavitri, N. P. (2018). Peran Self-compassion terhadap


Psychological well-being Pengajar Muda di Indonesia mengajar. Jurnal
PSikologi Udayana. 177-186

Reyes, M. R., Bracken, M. A., Rivers, S. E., White, M., & Salovey, P. (2012).
Classroom Emotional Climate, Strudent Engagement, And Academic
Achievement. Journal of Educational Psychology, 104 (3), 700-712.

Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? explorations on the meaning of


psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology,
57(6), 1069-1081.

Ryff. C.D. & Keyes, M. Lee. (1995). The Structural Of Psychological Well-Being
Revisited. 69 (4), 719-727.

Sadikin. Ali & Hamidah. Afreni., (2002). Pembelajaran daring ditengah wabah
Covid-19. Jurnal ilmiah pendirikan biologi, 6(02), 214-224

Sawitri, Dewi & Siswati. (2019). Hubungan antara self-compassion dengan


Psychological well being pada perawat instalasi rawat inap RSUD Kabupaten
Jombang. Jurnal Empati, 8(2) 112-117

Sari, P. (2015). Memotivasi belajar dengan menggunakan E-Learning. Jurnal Ummul


Quro, 6(2) 20-35.

Singh, K., Mohan, J., & Anasseri, M. (2012). Psychological well-being: dimension,
measurements and applications. Germany: LAP LEMBERT Academic
Piblishing.

Sun, X., Chan, D, W., & Chan, L. K. (2016). Self-compassion and psychological
well-being among adolescents in hing Kong: Exsploring gender differences.
Personality and Individual Differences, 288-292.

Sugianto, Dicky., Suwartono, Christiany., & Sutanto, Sandra H. (2020). Reliabilitas


dan Validitas Self Compassion Scale Versi Bahasa Indonesia. Jurnal
Psikologi Ulayat, DOI: 10.24854/jpu02020-337
70

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, kualitatif,


dan R&D. Bandung: Alfabeta

Sugiyo, dkk. (2019). Profil Psychological Well-Being pada Siswa Kelas X SMA
Negeri 12 Semarang Tahun Pelajaran 2018/2019. Proceeding of International
Conference on Islamic Education: Challenges in Technology and Literacy
Faculty of Education and Teacher Trainin, Vol 4

Thurackal, J. T., Corveleyn, J., & Dezutter, J. (2016). Personality and self-
compassion: Exploring their relationship in an indian context. Journal of
Mental Health, 11(1-2), 1788- 4934. Doi:10.5708/EJMH.11.2016.1-2.2

Wells, I. E. (2010). Psychological well-being. New York: Nova Science Publishers.

Xiaoyan. Sun., David. W. Chan., & Lai-kwan. Chan. (2016). Self-compassion and
psychological well-being among adolescents in Hong Kong: Exploring gender
differences. Personality and individual differences 100(101). 288-292.

Yuliani, M., dkk. (2020). Pembelajaran daring untuk pendidikan: Teori dan
penerapan. Medan: Yayasan kita Menulis.

Anda mungkin juga menyukai