Lompat ke isi

Intoleransi keberagamaan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sebuah patung Buddha di Bamiyan sebelum dan setelah pengrusakan oleh Taliban pada bulan Maret 2001.

Intoleransi keberagamaan adalah suatu bentuk intoleransi atau kurangnya toleransi terhadap kepercayaan atau praktik agama lain.

Intoleransi beragama adalah suatu kondisi jika suatu kelompok (misalnya masyarakat, kelompok agama, atau kelompok non-agama) secara spesifik menolak untuk menoleransi praktik-praktik, para penganut, atau kepercayaan yang berlandaskan agama. Namun, pernyataan bahwa kepercayaan atau praktik agamanya adalah benar sementara agama atau kepercayaan lain adalah salah bukan termasuk intoleransi beragama, melainkan intoleransi ideologi.

Kata intoleransi berasal dari prefik in- yang memiliki arti "tidak, bukan" dan kata dasar toleransi (n) yang memiliki arti "1) sifat atau sikap toleran; 2) batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan; 3) penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja." Dalam hal ini, pengertian toleransi yang dimaksud adalah "sifat atau sikap toleran".[1] Kata toleran (adj) sendiri didefinisikan sebagai "bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri."[2]

Kata keberagamaan (n) memiliki arti "perihal beragama". Sementara kata beragama (v) didefinisikan sebagai "1 menganut (memeluk) agama; 2 beribadat; taat kepada agama; baik hidupnya (menurut agama)."[3] Dengan demikian, intoleransi keberagamaan dapat didefiniskan sebagai "sifat atau sikap yang tidak menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) perihal keagamaan yang berbeda atau bertentangan dengan agamanya sendiri."

Sudut pandang sejarah

[sunting | sunting sumber]

Menurut sejarawan Inggris abad ke-19 bernama Arnold Toynbee, suatu pembentukan agama yang menganiaya agama lain karena "dianggap salah", ironisnya membuat agama yang menganiaya menjadi salah dan merusak legitimasinya sendiri.[4]

Konsep modern mengenai intoleransi berkembang dari kontroversi religius antara Kristen dan Katolik pada abad ke-17 dan 18 di Inggris. Doktrin mengenai "toleransi beragama" pada masa tersebut bertujuan untuk menghilangkan sentimen-sentimen dan dogma-dogma beragama dari kepemilikan politik.[5]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "toleransi". Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud. Diakses tanggal 3-8-2016. 
  2. ^ "toleran". Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud. Diakses tanggal 3-8-2016. 
  3. ^ "agama". Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud. Diakses tanggal 4-8-2016. 
  4. ^ Toynbee, Arnold (1947). "Failure of Self-Determination". Dalam Dorothea Grace Somervell. A Study of History: Abridgment of Volumes I - VI. New York, NY: Oxford University Press. hlm. 300. ISBN 0-19-505081-9. 
  5. ^ Hobolt, Sara B.; Brug, Wouter Van der; Vreese, Claes H. De; Boomgaarden, Hajo G.; Hinrichsen, Malte C. (2011-09-01). "Religious intolerance and Euroscepticism". European Union Politics (dalam bahasa Inggris). 12 (3): 359–379. doi:10.1177/1465116511404620. ISSN 1465-1165. 

Bacaan lebih lanjut

[sunting | sunting sumber]
  • Garth Blake, "Promoting Religious Tolerance in a Multifaith Society: Religious Vilification Legislation in Australia and the UK." The Australian Law Journal, 81 (2007): 386-405.
  • Chopra, R.M., "A Study of Religions", 2015, Anuradha Prakashan, New Delhi, ISBN 978-93-82339-94-6