Lompat ke isi

Raja-udang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Cekakak / Raja-udang
Cekakak batu (Lacedo pulchella)
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Subfamilies

Alcedininae
Halcyoninae
Cerylinae

Global distribution of the kingfishers

Raja-udang atau Cekakak (bahasa Inggris: Kingfisher) adalah keluarga burung berukuran kecil hingga sedang, berwarna cerah dari ordo Coraciiformes.[1] Secara umum, burung cekakak mengacu pada beberapa jenis burung seperti raja-udang, pekaka, kukabura, dan udang-merah. Mereka memiliki penyebaran dengan sebagian besar ditemukan di daerah tropis Afrika, Asia, dan Oseania. Alcedinidae memiliki 118 spesies yang dikelompokkan kedalam 3 subfamili dan 19 genus. Semua raja-udang memiliki kepala besar, paruh runcing, kaki pendek, dan ekor pendek. Sebagian besar spesies memiliki bulu yang cerah. Raja-udang memakan berbagai macam mangsa yang biasanya ditangkap dengan cara menukik turun dari tempat bertenggernya.[2] Walaupun raja-udang biasanya dianggap tinggal di dekat sungai dan memakan ikan, banyak spesies hidup jauh dari air dan memakan invertebrata kecil. Di Indonesia famili ini mencakup jenis-jenis seperti raja-udang, cekakak, pekaka, kukabura, dan udang-merah.[3]

Taksonomi

[sunting | sunting sumber]

Secara taksonomi, raja-udang adalah keluarga Alcedinidae yang berada didalam ordo Coraciiformes, yang juga menaungi kirik-kirik dan tiong-lampu. Penamaan awalnya adalah Alcedia yang diperkenalkan oleh C.S. Rafinesque pada 1815.[4] Keluarga ini dibagi lagi kedalam subfamili yaitu, cekakak pohon (Halcyoninae atau Daceloninae), raja-udang sungai (Alcedininae), dan raja-udang perairan (Cerylinae).[5] Daceloninae biasa juga digunakan untuk subfamili cekakak pohon namun baru dipublikasikan oleh Bonaparte pada 1841, sementara Halcyoninae diperkenalkan oleh Vigors pada 1825.[6]

Nama ilmiahnya berakar dari mitologi Yunani Kuno mengenai burung-burung yang bersarang dilautan, Halkyon, dari halk yang berarti laut dan kyon yang berarti lahir. Dalam mitologi Yunani, salah satu Pleiades bernama Alcedo menikahi Ceyx yang tewas dalam kapal yang tenggelam, kemudian karena berduka ia menenggelamkan dirinya kelaut, para dewa lalu membangkitkan mereka sebagai burung raja-udang.[7]

Phylogeny of the Alcedinidae
Alcedinidae
Alcedininae

Ceyx

Alcedo

 
Halcyoninae
 
 

Halcyon

Pelargopsis

Lacedo

 
 

Actenoides

 

Syma

Todiramphus

 
 

Melidora

 

Clytoceyx

Dacelo

 

Cittura

Tanysiptera

Cerylinae
 

Chloroceryle

Ceryle

Megaceryle

Cladogram 1 - berdasarkan analisis gabungan dari RAG1 dan ND2. Mitokondria ND2 yang digunakan sendiri menunjukkan adanya filogeni alternatif dengan Alcedininae dan Cerylinae yang merupakan clades bersaudara yang terpisah dari Halcyonina.[8]

Diantara ketiga subfamilia, Alcedininae adalah basal bagi dua yang lainnya. Beberapa spesies yang ditemukan di Amerika, semuanya dari subfamili Cerylinae, menunjukkan bahwa representasi yang jarang di Belahan Bumi Barat diakibatkan oleh hanya dua peristiwa koloni awal. Subfamili ini merupakan perpecahan yang relatif baru dari Halcyoninae, yang melakukan diversifikasi di Dunia Lama pada masa Miosen atau Pliosen.[9] Cladogram 1 menunjukkan hasil filogenetik molekular dalam studi yang dilaksanakan pada 2017.[10]

Deskripsi

[sunting | sunting sumber]
Burung raja-udang di Pulau Papua memiliki ekor yang sangat panjang untuk kelompok tersebut.

Spesies raja-udang terkecil adalah Udang-merah Afrika (Ispidina lecontei), yang rata-rata panjangnya 10 cm dan berat antara 9 hingga 12g.[11] Raja-udang terbesar adalah Raja-udang raksasa (Megaceryle maxima), dengan panjang 42 hingga 46 cm dan beratnya antara 255–426g.[12] Kukabura Australia (Dacelo novaeguineae) adalah spesies terberat dengan betina mencapai berat hampir 500 gram.[13]

Kebanyakan bulu raja-udang berwarna cerah, hijau dan biru adalah warna yang paling umum. Kecerahan warna bukanlah hasil dari pigmen (kecuali pada raja-udang di Amerika), melainkan disebabkan oleh struktur bulu yang menghamburkan cahaya (efek Tyndall).[10] Pada kebanyakan spesies, tidak ada perbedaan mencolok antara jenis kelamin. Walaupun ada perbedaan, perbedaan tersebut cukup kecil (kurang dari 10%).[14]

Burung raja-udang memiliki paruh yang panjang seperti belati. Paruhnya biasanya lebih panjang dan lebih padat pada spesies yang memburu ikan, dan lebih pendek dan lebih lebar pada spesies yang berburu mangsa dari tanah. Paruh terbesar dan paling tidak biasa adalah milik Kukabura Paruh-sekop (Dacelo rex), yang paruhnya digunakan untuk menggali lantai hutan untuk mencari mangsa. Raja-udang memiliki kaki yang pendek, meskipun spesies yang berburu mangsa di tanah memiliki kaki yang lebih panjang. Kebanyakan spesies memiliki empat jari kaki, tiga di antaranya mengarah ke depan.

Iris sebagian besar spesies berwarna coklat tua. Raja-udang memiliki penglihatan yang sangat baik; mereka mampu melihat secara binokular dan secara khusus dianggap dapat melihat warna dengan baik. Raja-udang lebih sering menggerakkan kepala mereka untuk menemukan mangsa alih-alih menggerakkan mata. Selain itu, mereka mampu mengimbangi pembiasan air dan refleksi saat berburu mangsa di bawah air, dan mampu menilai kedalaman air secara akurat. Mereka juga memiliki selaput di mata untuk melindungi matanya saat terkena air.[14]

Penyebaran dan habitat

[sunting | sunting sumber]

Raja-udang memiliki distribusi kosmopolit yang dapat dijumpai di seluruh wilayah tropis dan beriklim sedang di dunia, tidak ada di daerah kutub dan beberapa gurun paling kering di dunia. Sejumlah spesies telah mencapai kelompok pulau, terutama yang ada di selatan dan timur Samudra Pasifik. Daerah tropis dan Australasia adalah daerah inti untuk kelompok ini. Eropa dan Amerika Utara di utara Meksiko sangat jarang dijumpai, masing-masing hanya memiliki satu kingfisher (common kingfisher dan belf kingfisher). Bahkan Amerika Selatan yang beriklim tropis hanya memiliki lima spesies. Sebagai perbandingan, negara Gambia di Afrika memiliki delapan spesies penghuni tetap.

Cekekak menempati beragam habitat. Sering kali berkaitan dengan sungai dan danau, lebih dari setengah spesies dunia ditemukan di hutan dan sungai berhutan. Cekakak merah Australia (Todiramphus pyrrhopygius) tinggal di padang pasir paling kering. Spesies lain hidup tinggi di pegunungan, atau di hutan terbuka, dan sejumlah spesies hidup di terumbu karang tropis. Banyak spesies telah beradaptasi dengan habitat yang dimodifikasi manusia, terutama yang beradaptasi dengan hutan, dan dapat ditemukan di daerah pertanian, serta taman dan kebun di kota-kota kecil.

Tingkah laku

[sunting | sunting sumber]

Pola makan

[sunting | sunting sumber]

Raja-udang memakan berbagai macam mangsa. Paling umum untuk berburu dan makan ikan, dan beberapa spesies memang mengkhususkan diri dalam menangkap ikan, tetapi spesies lain mengambil krustasea, katak dan amfibi lainnya, cacing anelida, moluska, serangga, laba-laba, kelabang, reptil (termasuk ular), dan bahkan burung dan mamalia. Cekakak biasanya berburu dari tempat yang terbuka, bertengger diam-diam di ranting kering atau di bawah lindungan dedaunan; ketika mangsa teramati, raja-udang menukik tajam untuk menangkapnya, lalu kembali ke tempat bertengger.

Beberapa spesies, misalnya dari marga Alcedo, kerap terlihat terbang cepat dekat permukaan air dalam lintasan lurus, sambil mengeluarkan suara berderik nyaring. Beberapa jenis yang lebih besar kerap mengeluarkan suara yang keras dan kasar seperti pekikan.

Pembiakan

[sunting | sunting sumber]
Seekor Raja-udang eurasia jantan merayu betina dengan menawarkan ikan.

Raja-udang adalah burung teritorial yang mempertahankan wilayah mereka. Umumnya merupakan monogami, meski pembiakan kooperatif ditemukan dibeberapa spesies bahkan cukup umum untuk membantu pasangan yang dominan dalam membesarkan anak mereka.[15]

Raja-udang membuat sarang dalam rongga, di batang pohon ataupun menggali tanah. Rongga ini berada di tepi tanah di sisi sungai, danau, atau parit. Beberapa jenis akan bersarang di lubang pohon, tanah pada akar pohon tumbang, atau sarang rayap arboreal (rayap tanah). Sarang rayap ini umum ditemukan pada spesies hutan. Sarang rayap ini berbentuk ruang kecil di ujung terowongan. Tugas menggali sarang dibagi antara kedua jenis kelamin. Selama penggalian awal, burung dapat terbang di lokasi yang dipilih dengan kekuatan yang cukup besar, dan burung dapat melukai diri mereka sendiri secara fatal saat melakukan hal ini. Panjang terowongan bervariasi menurut spesies dan lokasi; sarang di termitaria biasanya jauh lebih pendek daripada sarang yang digali di dalam tanah, dan sarang di substrat yang lebih keras lebih pendek daripada sarang di tanah lunak atau pasir. Terowongan terpanjang yang tercatat adalah terowongan burung Raja-udang raksasa, yang ditemukan sepanjang 8,5 m.[16]

Telur burung kingfishers selalu berwarna putih. Ukuran clutch yang dihasilkan bervariasi menurut spesies; beberapa spesies yang sangat besar dan sangat kecil bertelur hanya dua butir telur per clutch, sementara yang lain dapat bertelur 10 butir, umumnya berkisar antara tiga sampai enam butir. Kedua jenis kelamin mengerami telur. Anak burung kingfisher biasanya tinggal bersama induknya selama 3-4 bulan.[16]

Status dan konservasi

[sunting | sunting sumber]
Cekakak-hutan melayu (Actenoides concretus) dikategorikan sebagai burung yang hampir terancam punah karena hilangnya habitat hutan hujan dengan cepat.

Beberapa spesies dianggap terancam oleh aktivitas manusia. Mayoritas adalah raja-udang yang tinggal di hutan dengan sebaran terbatas, terutama di pulau terpencil. Burung raja-udang terancam oleh hilangnya habitat yang disebabkan oleh pembukaan atau degradasi hutan. Dan dalam beberapa kasus, oleh spesies introduksi. Raja-udang Marquesan dari Polinesia Prancis terdaftar sebagai spesies yang terancam punah karena kombinasi dari hilangnya habitat, degradasi yang disebabkan oleh sapi pendatang, dan karena predasi oleh spesies pendatang.[15]

Hubungan dengan manusia

[sunting | sunting sumber]

Raja-udang adalah burung pemalu, namun mereka sangat menonjol dalam budaya manusia, umumnya karena kepala besar yang menopang mulutnya yang kuat, bulunya yang cerah, atau perilaku beberapa spesies yang menarik.[1]

Udang api (Ceyx erithaca) dianggap sebagai pertanda buruk oleh para pejuang suku Dusun di Kalimantan.

Bagi warga Dusun di Kalimantan, Burung Udang Api (Ceyx erithaca) dianggap pertanda buruk, dan para pejuang yang melihat satu di jalan menuju pertempuran harus kembali ke rumah. Suku Dayak lainnya menganggap burung pekakak sebagai burung pertanda, meskipun pada umumnya pertanda baik.[16]

Orang asli Polinesia, menghormati Cekakak Suci (Todirhampus sanctus), bersama dengan raja-udang di Pasifik lainnya, sebab mereka percaya kalau burung-burung ini memiliki kontrol atas laut dan gelombang..

Dalam taksonomi modern, penamaan terhadap burung-burung ini merujuk kepada mitologi Yunani Kuno. Pasangan pertama burung mitos Halcyon (Raja-udang) diciptakan dari perkawinan Alcyone dan Ceyx. Sebagai pasangan dewa, mereka merujuk diri mereka sebagai Zeus dan Hera yang menyebabkan mereka dibunuh sebagai hukuman. Para dewa lainnya kemudian membangkitkan mereka sebagai burung di lautan. Dalam versi lain, seorang wanita bernama Alcyone dilemparkan ke dalam ombak oleh ayahnya karena pergaulan bebasnya dan berubah menjadi raja-udang.

Selain itu, "Hari Halcyon" diadakan pada tujuh hari pada dua sisi titik balik matahasi musim dingin, ketika badai tidak pernah terjadi. Frasa "Hari Halcyon" merujuk secara khusus pada waktu yang sangat indah di masa lalu, atau secara umum pada waktu yang damai.

Jenis di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Di Indonesia terdapat sekitar 53 spesies raja-udang[17], separuh dari kekayaan jenis dunia. Lebih dari setengahnya, 26 spesies, hidup terbatas di bagian timur Indonesia: Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.[18]

Beberapa jenis Alcedinidae yang endemik di Indonesia:

Nama Ilmiah Nama Indonesia Nama Inggris
Ceyx sangirensis Udang-merah Sangihe Sangihe Dwarf-kingfisher
Alcedo euryzona Raja-udang Kalung-biru Javan Blue-banded Kingfisher
Ceyx fallax Udang-merah Sulawesi Sulawesi Dwarf-kingfisher
Ceyx lepidus Udang-merah Kerdil Moluccan Dwarf-kingfisher
Alcedo coerulescens Raja-udang Biru Cerulean Kingfisher
Pelargopsis melanorhyncha Pekaka Bua-bua Great-billed Kingfisher
Halcyon cyanoventris Cekakak Jawa Javan Kingfisher
Caridonax fulgidus Cekakak Tunggir-putih White-rumped Kingfisher
Actenoides princeps Cekakak-hutan Dada-sisik Scaly-breasted Kingfisher
Todiramphus diops Cekakak Biru-putih Blue-and-white Kingfisher
Todiramphus lazuli Cekakak Lazuli Lazuli Kingfisher
Todiramphus funebris Cekakak Murung Sombre Kingfisher
Cittura cyanotis Raja-udang Pipi-ungu Sulawesi Lilac Kingfisher
Ceyx wallacii Udang-merah Sula Sula Dwarf-kingfisher
Ceyx cajeli Udang-merah Buru Buru Dwarf-kingfisher
Actenoides monachus Cekakak-hutan Tunggir-hijau Blue-headed Kingfisher
Actenoides capucinus Cekakak-hutan Kepala-hitam Black-headed Kingfisher
Todiramphus enigma Cekakak Talaud Talaud Kingfisher
Cittura sanghirensis Raja-udang Bengkaratu Sangihe Lilac Kingfisher
Tanysiptera ellioti Cekakak-pita Kofiau Kofiau Paradise-kingfisher
Tanysiptera riedelii Cekakak-pita Biak Biak Paradise-kingfisher
Tanysiptera carolinae Cekakak-pita Numfor Numfor Paradise-kingfisher

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Parker, Sybil, P., ed. (1984). McGraw-Hill Dictionary of Biology. McGraw-Hill. ISBN 978-0070454194. 
  2. ^ Eaton, James; van Balen, Bas; Brickle, Nick; Rheindt, Frank (2021). Birds of the Indonesian Archipelago: Greater Sundas and Wallacea. Lynx Edicions. ISBN 9788416728435. 
  3. ^ Sukmantoro W.; M. Irham; W. Novarino; F. Hasudungan; N. Kemp; M. Muchtar (2007). Daftar Burung Indonesia No. 2. Bogor: Indonesian Ornithologists Union. ISBN 9789793143279. 
  4. ^ Rafinesque, C. S.; Rafinesque, C. S. (1815). Analyse de la nature : or, Tableau de l'univers et des corps organisés. 1815. Palerme: Aux dépens de l'auteur. 
  5. ^ "Rollers, ground rollers, kingfishers – IOC World Bird List". www.worldbirdnames.org. Diakses tanggal 2024-10-08. 
  6. ^ Bock, Walter Joseph (1994). History and nomenclature of avian family-group names. Bulletin of the AMNH No. 222. New York: American Museum of Natural History. 
  7. ^ Austin, Oliver. L. (1962). Birds of the world : a survey of the twenty-seven orders and one hundred and fifty-five families. Hamlyn. hlm. 175. 
  8. ^ Moyle, Robert G (2006). "A molecular phylogeny of kingfishers (Alcedinidae) with insights into early biogeographic history
  9. ^ Moyle, Robert G. (2006). "A MOLECULAR PHYLOGENY OF KINGFISHERS (ALCEDINIDAE) WITH INSIGHTS INTO EARLY BIOGEOGRAPHIC HISTORY". The Auk. 123 (2): 487. doi:10.1642/0004-8038(2006)123[487:ampoka]2.0.co;2. ISSN 0004-8038. 
  10. ^ a b Bancroft, Wilder; Chamot, Emile M.; Merritt, Ernest; Mason, Clyde W. (1923). "Blue feathers" (PDF). The Auk. 40 (2): 275–300. doi:10.2307/4073818. JSTOR 4073818. 
  11. ^ Fry, Fry & Harris 1992, hlm. 195–196.
  12. ^ Fry, Fry & Harris 1992, hlm. 231–232.
  13. ^ Fry, Fry & Harris 1992, hlm. 133–136.
  14. ^ a b Woodall, Peter (2001). "Family Alcedinidae (Kingfishers)". Dalam del Hoyo, Josep; Elliott, Andrew; Sargatal, Jordi. Handbook of the Birds of the World. Volume 6, Mousebirds to Hornbills. Barcelona: Lynx Edicions. hlm. 103–187. ISBN 978-84-87334-30-6. 
  15. ^ a b Birdlife International (2009). "Todiramphus godeffroyi". Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 June 2011. Diakses tanggal 12 December 2009. 
  16. ^ a b c del Hoyo, Josep (2001). del Hoyo, Josep, ed. Mousebirds to hornbills. Handbook of the birds of the world / hrsg. von Josep del Hoyo, Andrew Elliott, Jordi Sargatal. Ort nicht ermittelbar: Verlag nicht ermittelbar. ISBN 978-84-87334-30-6. 
  17. ^ Burung Indonesia (2024-08-10). "Daftar Spesies Burung di Indonesia". Burung Indonesia. Diakses tanggal 2024-10-08. 
  18. ^ Andrew, Paul (1992). The birds of Indonesia: a checklist (Peters' sequence). Kukila checklist. Jakarta: Indonesian Ornithological Society. ISBN 978-979-8354-00-7. 

Bahan Bacaan

[sunting | sunting sumber]
  • Andrew, P. 1992. The Birds of Indonesia, a checklist (Peters’ sequence). Kukila Checklist no. 1. IOS. Jakarta. ISBN 979-8354-00-1
  • MacKinnon, J. 1993. Panduan lapangan pengenalan Burung-burung di Jawa dan Bali. Gadjah Mada University Press. Jogyakarta. ISBN 979-420-150-2
  • MacKinnon, J., K. Phillipps, and B. van Balen. 2000. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. LIPI dan BirdLife IP. Bogor. ISBN 979-579-013-7

Lihat juga

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]