Kerajaan Linge
Kerajaan Linge | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
1025–1503 | |||||||
Ibu kota | Linge | ||||||
Agama | Islam | ||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||
Raja | |||||||
Sejarah | |||||||
• Didirikan | 1025 | ||||||
• Dikuasai | 1503 | ||||||
| |||||||
Kerajaan Linge adalah salah satu kerajaan yang pernah didirikan oleh suku Gayo di wilayah Dataran Tinggi Gayo, Provinsi Aceh. Sumber informasi mengenai Kerjaan Linge hanya diperoleh dari tradisi lisan suku Gayo, hasil penelitian Snouck Hurgronje dan Catatan perjalanan Marco Polo. Wilayah kekuasaan Kerajaan Linge diperkirakan mulai dikembangkan sejak abad ke-10 Masehi di wilayah Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah. Menurut cerita rakyat dari suku Gayo, raja pertama Kerajaan Linge ialah Meurah Adi Genali yang dikenali sebagai ayah dari Sultan Johan Syah yang mendirikan Kesultanan Aceh (1203–1234 M).
Sumber sejarah
[sunting | sunting sumber]Penuturan suku Gayo
[sunting | sunting sumber]Cerita rakyat yang menjadi tradisi lisan suku Gayo menceritakan keyakinan mengenai keberadaan Kerajaan Linge. Dalam kepercayaan suku Gayo, Kerajaan Linge telah didirikan di Dataran Tinggi Gayo sebelum penyebaran agama Islam di Aceh.[1] Informasi mengenai Kerajaan Linge sering disebutkan dalam percakapan sehari-hari dari suku Gayo yang menjadi penduduk di Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh, Indonesia. Dalam penuturan suku Gayo, Kerajaan Linge pernah didirikan di wilayah Kecamatan Linge yang terletak di bagian selatan Danau Laut Tawar.[2] Suku Gayo di Aceh meyakini bahwa sebelum Kesultanan Aceh menguasai Dataran Tinggi Gayo, wilayah ini telah dikuasai oleh sebuah kerajaaan bernama Kerajaan Linge. Namun sumber tertulis mengenai Kerajaan Linge belum ditemukan.[3]
Penelitian Christiaan Snouck Hurgronje
[sunting | sunting sumber]Sebelum Belanda mengadakan penyerbuan ke Dataran Tinggi Gayo dan Tanah Alas pada tahun 1904, Christiaan Snouck Hurgronje telah mengadakan penelitian mengenai penduduk dan wilayah Dataran Tinggi Gayo. Hasil penelitiannya disusun menjadi sebuah buku berjudul Het Gayo Land en Zijne Bewoners yang berarti "Tanah Gayo dan Penduduknya". Namun dalam hasil penelitian Snouck Hurgronje tidak ditemukan penjelasan mengenai asal-usul suku Gayo maupun sejarah pendirian Kerajaan Linge di Dataran Tinggi Gayo. Snouck Hurgronje utamanya menulis tentang keturunan kejurun Gayo pada masa Islam yang dua di antaranya ialah Kejurun Linge dan Kejurun Bukit.[4]
Catatan perjalanan Marco Polo
[sunting | sunting sumber]Marco Polo dalam catatannya menyebutkan bahwa pada tahun 1203, sebagian penduduk di Perla telah menjadi muslim. Sementara penduduk yang tidak mau menjadi muslim berpindah tempat tinggal ke sebuah kerajaan kecil di wilayah pedalaman yang dekat dengan laut berukuran kecil. Suku Gayo menyebut wilayah ini dengan nama "Lainggow" yang merupakan sebuah kerajaan dipimpin oleh raja dengan gelar Ghayo o Ghayo. Diperkirakan bahwa kerajaan inilah yang dimaksud dengan Kerajaan Linge. Laut kecil yang dimaksud dalam catatan ini ialah Danau Laut Tawar yang menjadi satu-satunya danau yang terletak di pedalaman Aceh yang dekat dengan wilayah Kecamatan Linge.[5]
Raja dan silsilahnya
[sunting | sunting sumber]Kerajaan Linge diperkirakan mulai dirintis sejak abad ke-10 Masehi. Namun dari cerita rakyat mengenai "Negeri Rum" bahwa suku Gayo berasal dari wilayah pesisir Kabupaten Aceh Utara. Namun suku Gayo berpindah mengikuti sungai Peusangan hingga mencapai Dataran Tinggi Gayo. Melalui cerita rakyat, diyakini bahwa kesejahteraan penduduk dari suku Gayo di Kerajaan Linge baru dimulai sejak masa kekuasaan Meurah Adi Genali.[6] Sehingga Meurah Adi Genali dianggap sebagai pendiri Kerajaan Linge di Dataran Tinggi Gayo. Nama Meurah Adi Genali banyak disebutkan dalam Kronika Gayo. Meurah Adi Genali merupakan ayah dari Sultan Johan Syah yang menjadi pendiri Kesultanan Aceh yang memerintah sejak tahun 1203 hingga 1234 M.[7]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Fasya, T. K., dkk. (2019). Jufridar, Ayi, ed. Demokrasi Tanoh Gayo: Kaleidoskop Pengawasan Pemilu 2019 di Kabupaten Aceh Tengah (PDF). Aceh Tengah: Bandar Publishing. hlm. 27. ISBN 978-623-7499-58-9.
- ^ Wiradnyana, dkk. 2018, hlm. 11.
- ^ Wiradnyana, dkk. 2018, hlm. 26.
- ^ Wiradnyana, dkk. 2018, hlm. 26-27.
- ^ Wiradnyana, dkk. 2018, hlm. 27.
- ^ Gayo, Ahyar Ari. Muhaimin, ed. Hukum Adat Gayo: Masa Lalu dan Masa Sekarang. Jakarta: BALITBANGKUMHAM Press. hlm. 2. ISBN 978-623-6958-66-7.
- ^ Wibowo, A. B., dan Faisal (2014). Setiadi dan Bangun, J., ed. Kepemimpinan Tradisional di Indonesia: Aceh Besar dan Kajang (PDF). Jakarta: Direktorat Sejarah Dan Nilai Budaya. hlm. 73. ISBN 978-602-1289-17-4.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Wiradnyana, K., dkk. (2018). Harkantiningsih, N., dan Koestoro, L. P., ed. Austronesia di Indonesia Bagian Barat: Kajian Budaya Austronesia Prasejarah dan Sesudahnya di Wilayah Budaya Gayo (PDF). Medan: Balai Arkeologi Sumatera Utara.