Lompat ke isi

Reinkarnasi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Titisan)
Sebuah seni yang menjelaskan reinkarnasi pada manusia.

Reinkarnasi (dari bahasa Latin yang berarti "lahir kembali" atau "kelahiran semula"[a], atau titisan[1] ) adalah suatu kepercayaan bahwa seseorang akan mati dan dilahirkan kembali dalam bentuk kehidupan lain.

Menurut agama Hindu, yang dilahirkan kembali dalam proses reinkarnasi bukanlah wujud fisik sebagaimana keberadaan kita saat ini, tetapi jiwa (Atman) orang tersebut yang kemudian mengambil wujud tertentu sesuai dengan hasil pebuatannya terdahulu. Dalam agama Hindu, filsafat reinkarnasi mengajarkan manusia untuk sadar terhadap kebahagiaan yang sebenarnya dan bertanggung jawab terhadap nasib yang sedang diterimanya. Selama manusia terikat pada siklus reinkarnasi, maka hidupnya tidak luput dari duka. Selama jiwa terikat pada hasil perbuatan yang buruk, maka ia akan bereinkarnasi menjadi orang yang selalu duka. Dalam filsafat Hindu, proses reinkarnasi memberi manusia kesempatan untuk menikmati kebahagiaan yang tertinggi. Hal tersebut terjadi apabila manusia tidak terpengaruh oleh kenikmatan maupun kesengsaraan duniawi sehingga tidak pernah merasakan duka, dan apabila mereka mengerti arti hidup yang sebenarnya. Manusia akan berhenti lahir semula pada suatu ketika apabila mereka melakukan kebaikan yang mencukupi atau apabila telah menyatu dengan Tuhan (moksa).

Berbeda dari keyakinan agama Hindu, konsep kelahiran kembali dalam Buddhisme menyatakan bahwa meskipun makhluk hidup mengalami siklus kelahiran kembali yang tak berujung, tidak ada jiwa atau roh yang tidak berubah yang berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya.[2][3] Ajaran tentang tanpa-atma (tanpa-diri) ini disebut anatta (Pali) atau anatman (Sanskerta) dalam kitab-kitab Buddhis.[4][5]

Dalam agama Hindu

[sunting | sunting sumber]

Dalam filsafat agama Hindu, reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan pada kehidupannya yang terdahulu. Pada saat manusia hidup, mereka banyak melakukan perbuatan dan selalu membuahkan hasil yang setimpal. Jika manusia tidak sempat menikmati hasil perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk menikmatinya pada kehidupan selanjutnya. Maka dari itu, munculah proses reinkarnasi yang bertujuan agar jiwa dapat menikmati hasil perbuatannya yang belum sempat dinikmati. Selain diberi kesempatan menikmati, manusia juga diberi kesempatan untuk memperbaiki kehidupannya (kualitas). Jadi, lahir kembali berarti lahir untuk menanggung hasil perbuatan yang sudah dilakukan. Dalam filsafat ini, bisa dikatakan bahwa manusia dapat menentukan baik-buruk nasib yang ditanggungnya pada kehidupan yang selanjutnya. Ajaran ini juga memberi optimisme kepada manusia. Bahwa semua perbuatannya akan mendatangkan hasil, yang akan dinikmatinya sendiri, bukan orang lain.

Menurut Hinduisme, yang bisa berinkarnasi itu bukanlah hanya jiwa manusia saja. Semua jiwa mahluk hidup memiliki kesempatan untuk berinkarnasi dengan tujuan menikmati hasil perbuatannya pada masa lalu dan memperbaiki kulaitas hidupnya. Dalam kehidupan di dunia, manusia menempati strata yang paling tinggi sehingga reinkarnasi yang tertinggi adalah hidup sebagai manusia, bahkan dewa atau malaikat yang ingin sempurna hidupnya, harus turun ke dunia untuk menyempurnakan jiwatman-nya sehingga mencapai moksa, bersatu dengan Brahman. Makhluk hidup selain manusia memiliki jiwatman yang sama. Jiwatman memiliki memori untuk mencatat dan mengenang peristiwa yang dilakukan atau dialami dalam kehidupan sewaktu masih bersatu dengan raga. Memori tersebut menghasilkan kemelekatan terdadap dunia yang terus dibawa walaupun terjadi kematian yang menyebabkan jiwatman berpisah dengan badan. Suatu saat jiwatman tersebut akan mencari raga baru yang sesuai dengan kemelekatannya pada konsepsi (janin) yang siap dimasuki roh (atman). Bila manusia mampu meniadakan kemelekatannya terhadap kehidupan dunia, maka ia akan mencapai moksa dan bersatu dengan Brahman.

Proses reinkarnasi

[sunting | sunting sumber]

Pada saat jiwa lahir kembali, roh yang utama kekal namun raga kasarlah yang rusak, sehingga roh harus berpindah ke badan yang baru untuk menikmati hasil perbuatannya. Pada saat memasuki badan yang baru, roh yang utama membawa hasil perbuatan dari kehidupannya yang terdahulu, yang mengakibatkan baik-buruk nasibnya kelak. Roh dan jiwa yang lahir kembali tidak akan mengingat kehidupannya yang terdahulu agar tidak mengenang duka yang bertumpuk-tumpuk di kehidupan lampau. Sebelum mereka bereinkarnasi, biasanya jiwa pergi ke surga atau ke neraka.

Dalam filsafat agama yang menganut paham reinkarnasi, neraka dan sorga adalah suatu tempat persinggahan sementara sebelum jiwa memasuki badan yang baru. Neraka merupakan suatu pengadilan agar jiwa lahir kembali ke badan yang sesuai dengan hasil perbuatannya dahulu. Dalam hal ini, manusia bisa bereinkarnasi menjadi makhluk berderajat rendah seperti hewan, dan sebaliknya hewan mampu bereinkarnasi menjadi manusia setelah mengalami kehidupan sebagai hewan selama ratusan, bahkan ribuan tahun. Sidang neraka juga memutuskan apakah suatu jiwa harus lahir di badan yang cacat atau tidak.

Akhir proses reinkarnasi

[sunting | sunting sumber]

Selama jiwa masih terikat pada hasil perbuatannya yang terdahulu, maka ia tidak akan mencapai kebahagiaan yang tertinggi, yakni lepas dari siklus reinkarnasi. Maka, untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi tersebut, roh yang utama melalui badan kasarnya berusaha melepaskan diri dari belenggu duniawi dan harus mengerti hakikat kehidupan yang sebenarnya. Jika tubuh terlepas dari belenggu duniawi dan jiwa sudah mengerti makna hidup yang sesungguhnya, maka perasaan tidak akan pernah duka dan jiwa akan lepas dari siklus kelahiran kembali. Dalam keadaan tersebut, jiwa menyatu dengan Tuhan (Moksha[b]).

Dalam Buddhisme

[sunting | sunting sumber]

Konsep kelahiran kembali atau punarbawa dalam Buddhisme menyatakan bahwa tindakan makhluk hidup mengarah pada kehidupan baru setelah kematian, dalam siklus tanpa akhir yang disebut saṃsāra.[6][7] Punarbawa juga sering disebut sebagai kelahiran kembali atau tumimbal lahir. Siklus ini dianggap sebagai dukkha, yaitu "tidak memuaskan, menderita, dan menyakitkan". Siklus ini berhenti hanya jika Nirwana (pembebasan) dicapai melalui pencerahan dan padamnya nafsu keinginan.[8][9] Punarbawa adalah salah satu ajaran dasar Buddhisme, bersama dengan karma dan Nirwana.[10][8][11]

Menurut beberapa ahli, punarbawa dalam Buddhisme tidak dapat disamakan dengan reinkarnasi (terutama dalam agama Hindu) karena konsep reinkarnasi meyakini bahwa jasmani mengalami kehancuran, tetapi roh atau jiwa tidak mengalami kehancuran atau perubahan.[2][3] Pada konsep reinkarnasi, jiwa kekal tersebut “mencari” dan menempatkan jasmani yang baru. Konsep reinkarnasi demikian dianut oleh agama Hindu, seperti yang dijelaskan dalam salah satu kitab suci Bhagawadgita. Buddhisme menolak eksistensi roh dan menekankan bahwa makhluk-makhluk hanya terdiri atas gugusan kehidupan (khandha). Ajaran tentang tanpa-atma (tanpa-diri) ini disebut anatta (Pali) atau anatman (Sanskerta) dalam kitab-kitab Buddhis.[4][5]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Arti kata titis". Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud. KBBI Daring. Diakses tanggal 31 Agustus 2020. 
  2. ^ a b Trainor 2004, hlm. 58, Quote: "Buddhism shares with Hinduism the doctrine of Samsara, whereby all beings pass through an unceasing cycle of birth, death and rebirth until they find a means of liberation from the cycle. However, Buddhism differs from Hinduism in rejecting the assertion that every human being possesses a changeless soul which constitutes his or her ultimate identity, and which transmigrates from one incarnation to the next..
  3. ^ a b Naomi Appleton (2014). Narrating Karma and Rebirth: Buddhist and Jain Multi-Life Stories. Cambridge University Press. hlm. 76–89. ISBN 978-1-139-91640-0. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-30. Diakses tanggal 2016-09-25. 
  4. ^ a b Anatta Buddhism Diarsipkan 2015-12-10 di Wayback Machine., Encyclopædia Britannica (2013)
  5. ^ a b [a] Christmas Humphreys (2012). Exploring Buddhism. Routledge. hlm. 42–43. ISBN 978-1-136-22877-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-04-13. Diakses tanggal 2016-09-25.  [b] Brian Morris (2006). Religion and Anthropology: A Critical Introduction. Cambridge University Press. hlm. 51. ISBN 978-0-521-85241-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-04-14. Diakses tanggal 2016-09-25.  , Quote: "(...) anatta is the doctrine of non-self, and is an extreme empiricist doctrine that holds that the notion of an unchanging permanent self is a fiction and has no reality. According to Buddhist doctrine, the individual person consists of five skandhas or heaps - the body, feelings, perceptions, impulses and consciousness. The belief in a self or soul, over these five skandhas, is illusory and the cause of suffering." [c] Richard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN 978-1-134-90352-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-08-16. Diakses tanggal 2016-09-25.  , Quote: "(...) Buddha's teaching that beings have no soul, no abiding essence. This 'no-soul doctrine' (anatta-vada) he expounded in his second sermon."
  6. ^ Peter Harvey (2012). An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices. Cambridge University Press. hlm. 32–33, 38–39, 46–49. ISBN 978-0-521-85942-4. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-11. Diakses tanggal 2016-10-05. 
  7. ^ Trainor 2004, hlm. 58, Quote: "Buddhism shares with Hinduism the doctrine of Samsara, whereby all beings pass through an unceasing cycle of birth, death and rebirth until they find a means of liberation from the cycle. However, Buddhism differs from Hinduism in rejecting the assertion that every human being possesses a changeless soul which constitutes his or her ultimate identity, and which transmigrates from one incarnation to the next..
  8. ^ a b Norman C. McClelland (2010). Encyclopedia of Reincarnation and Karma. McFarland. hlm. 226–228. ISBN 978-0-7864-5675-8. 
  9. ^ Robert E. Buswell Jr.; Donald S. Lopez Jr. (2013). The Princeton Dictionary of Buddhism. Princeton University Press. hlm. 708–709. ISBN 978-1-4008-4805-8. 
  10. ^ Peter Harvey (2012). An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices. Cambridge University Press. hlm. 32–33, 38–39, 46–49. ISBN 978-0-521-85942-4. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-11. Diakses tanggal 2016-10-05. 
  11. ^ Edward Craig (1998). Routledge Encyclopedia of Philosophy. Routledge. hlm. 402. ISBN 978-0-415-18715-2. 

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Istilah terakhir ini lazim digunakan di Malaysia.
  2. ^ "Kebahagiaan Abadi" (Istilah Agama Hindu untuk akhir proses reinkarnasi)

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]