Papers by Taum Y O S E P H Yapi
Sintesis (Yogyakarta), Mar 21, 2022
Kajian-kajian akademis maupun berbagai peraturan pemerintah telah menawarkan strategi pengembanga... more Kajian-kajian akademis maupun berbagai peraturan pemerintah telah menawarkan strategi pengembangan pariwisata Flores. Studi ini bermaksud melakukan sebuah rekonstruksi ulang terhadap nilai-nilai budaya yang dapat digunakan sebagai basis strategis dan peta paradigma pengembangan pariwisata Flores. Inventarisasi dan identifikasi objek-objek wisata budaya Flores memperlihatkan nilainilai mentifact, sociofact, dan artifact yang sangat khas, unik, dan menarik minat wasatawan. Pendekatan dan pengembangan nilai-nilai budaya lokal ini perlu diselaraskan dengan tahapan-tahapan strategis perkembangan pariwisata Flores agar memberikan dampak yang positif bagi komunitaskomunitas masyarakat Flores.
Yoseph Yapi Taum ABSTRAK Tulisan ini bertujuan melakukan pemaknaan Belenggu dengan teori dan meto... more Yoseph Yapi Taum ABSTRAK Tulisan ini bertujuan melakukan pemaknaan Belenggu dengan teori dan metode semiotik yang beranjak dari asumsi dasar bahwa bahasa sastra memiliki konvensi tambahan sehingga sastra memiliki 'meaning of meaning'. Kajian dan pemaknan tersebut dibatasi pada pembacaan heuristik, penafsiran terhadap jenis-jenis tanda yang meliputi ikon, indeks, dan simbol-simbol dominan yang memiliki satuan makna, serta eksplisitasi matriks, model, dan varian-varian.Pemaknaan roman Belenggu dengan teori dan metode semiotik ini membuka peluang bagi pembaca untuk menafsirkan roman tersebut pada tataran bahasa dan sastra, serta melakukan konkretisasi terhadap 'ruang kosong' (the empty spaces) yang tidak diungkapkan secara eksplisit dalam teks. Tema 'masa lampau yang menjauh dan masa depan yang belum pasti' yang menjadi inti roman Belenggu merupakan hasil konkretiasi terhadap 'ruang kosong' dalam teks. KATA KUNCI semiotik, heuristik, matriks, model 1. Pengantar Roman Belenggu karya Armijn Pane yang terbit pertama kali di tahun 1940 merupakan sebuah roman yang dianggap penting dalam sejarah sastra Indonesia. Roman ini merupakan wujud dari cita-cita dan buah pemikiran zaman tersebut. Armijn Pane bersama St. Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah merupakan pelopor Angkatan Pujangga Baru (1933-1942). Angkatan ini bertujuan, "Membimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan baru, kebudayaan persatuan Indonesia. Dasar yang dipakai sebagai landasannya adalah mencontoh sebanyak mungkin apa yang dapat ditiru dari dunia luar terutama dari Barat dengan tidak mengabaikan kebudayaan sendiri" (Surana, 1982: 121). Roman Belenggu mendapat reaksi yang hebat, baik dari pihak yang pro maupun dari pihak yang kontra. Pihak yang pro mendukung nya sebagai hasil sastra yang berani mengambil tema dari kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pihak yang kontra menyebut roman ini sebagai sebuah karya pornografi, yang terlalu menonjolkan sesuatu yang sebelumnya dianggap tidak patut dan selalu disembunyikan di
Claude Lévi-Strauss (1908-2009) adalah pakar strukturalisme terkemuka yang percaya bahwa struktur... more Claude Lévi-Strauss (1908-2009) adalah pakar strukturalisme terkemuka yang percaya bahwa struktur pemikiran manusia purba (savage mind) sama dengan struktur pemikiran manusia modern (civilized mind) karena sifat dasar manusia sebenarnya sama. Berbagai tradisi lisan, khususnya mitos, memiliki kualitas logisdan bukan estetis, psikologis, ataupun religius. Mitos adalah sebuah dunia yang kontradiktif. Dalam mitos seolah-olah tidak ada logika dan tidak ada kontinuitas. Hakikat mitos adalah sebuah alat logis sebagai upaya untuk mencari pemecahan terhadap kontradiksi-kontradiksi empiris yang dihadapi masyarakat dan yang tidak terpahami oleh nalar manusia. Dengan memahami satuan-satuan naratif (mitheme), pembagian adegan-adegan cerita, dan identifikasi episode-episode cerita, analisis struktururalisme Levi-Strauss dapat menemukan 'logika' di balik mitos tertentu. Karena itulah, bagi Levi-Strauss sastra lisan dan mitos memiliki pesan-pesan kultural terhadap anggota masyarakat. Kajian yang bersifat akademis terhadap persoalan-persoalan masyarakat, termasuk fenomena tradisi lisan, memerlukan landasan teoretis yang memadai. Tulisan ini bermaksud memperkenalkan teori Strukturalisme Levi-Strauss sebagai sebuah paradigma akademis dalam memahami fenomena sastra lisan sebagai sarana penyelesaian konflik-konflik empiris dalam masyarakat. Untuk itu, tulisan ini mengulas dua buah cerita rakyat, yaitu cerita Wato Wele-Lia Nurat (masyarakat Lamaholot Flores Timur) dan legenda Suku Tengger (Bromo, Jawa Timur). Melalui perspektif Levi-Strauss, dapat dipahami bahwa legenda-legeda tersebut merupakan alat logika yang dipergunakan masyarakatnya untuk menyelesaikan kontradiksi-kontradisi empiris yang mereka hadapi.
Adabiyyāt : jurnal bahasa dan sastra, Jun 27, 2023
The monastic life for celibate individuals is not a problem-free life choice. As human beings, in... more The monastic life for celibate individuals is not a problem-free life choice. As human beings, individuals who choose the monastic life face various biological, sociological, and psychological upheavals that are not easily overcome. These upheavals can lead to a crisis of faith. This study aims to uncover the issues faced by celibate individuals as depicted in the novel "Romo Rahardi" by YB Mangunwijaya. The study will employ Slavoj Žižek's symbolic discursive theory to unravel the symbolic entanglements that constrain the subjects and reveal the characters' positions in confronting their lives as celibate individuals. This research is a qualitative descriptive study that utilizes a discursive approach. The findings of this research reveal fractures and disorientation in the subjective realm. When Rahadi reaches the age of puberty, he becomes aware of the extraordinary sexual attraction towards the opposite sex, and he views this phenomenon as something good, natural, and positive. However, this awareness becomes a tremendous black hole as Rahadi enters the symbolic order. The celibate lifestyle confines him without the opportunity to explore alternative paths. In the real realm, when Rahadi reflects on the reality of his life as a spiritual person, he discovers a fragmented and incomplete subjective condition that is far from ideal-a primordial and absurd alienation. There exists a homology between Romo Rahadi and Romo YB Mangunwijaya.
Sintesis (Yogyakarta), Mar 29, 2022
Sintesis
Penelitian ini membahas tentang eksploitasi alam yang terdapat di dalam novel Si Anak Pemberani k... more Penelitian ini membahas tentang eksploitasi alam yang terdapat di dalam novel Si Anak Pemberani karya Tere Liye. Tujuan penelitian ini adalah, (1) mendeskripsikan faktor penyebab perilaku eksploitasi alam, (2) mendeskripsikan dampak eksploitasi alam, dan (3) mendeskripsikan perlawanan para tokoh terhadap tindakan eksploitasi alam. Penelitian ini menggunakan teori ekokritik yang terdiri dari dua model kajian, yaitu model kajian etika lingkungan dan model kajian sastra apokaliptik. Model kajian etika lingkungan digunakan untuk menganalisis faktor penyebab serta dampak dari eksploitasi alam dan model kajian sastra apokaliptik untuk menganalisis perlawanan beberapa tokoh terhadap eksploitasi alam dalam novel Si Anak Pemberani karya Tere Liye. Hasil analisis penelitian ini diklasifikasikan menjadi tiga, sebagai berikut. (1) Terdapat dua faktor utama penyebab eksploitasi alam dalam novel ini yaitu ekonomi dan kekuasaan. Faktor tersebut telah melanggar enam prinsip moral terhadap kearifan...
Sintesis
Karna, salah satu tokoh dalam novel Mahabharata karya Nyoman S. Pendit—novel adaptasi dari Epos M... more Karna, salah satu tokoh dalam novel Mahabharata karya Nyoman S. Pendit—novel adaptasi dari Epos Mahabharata. Mengingat bahwa Karna merupakan salah satu tokoh dalam karya sastra, penulis ingin mengetahui kepahlawanan tokoh Karna dengan kerangka berpikir Semiotika Teeuw. Penelitian ini bertujuan untuk memaknai kode-kode bahasa, sastra, dan budaya pada tokoh Karna dalam novel dengan maksud menemukan makna terdalam dari tokoh Karna. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa perjalanan hidup dan kepahlawanan Karna adalah ajaran hidup manusia yang melaksanakan dharmanya di dunia.Dari ketiga hasil analisis kode-kode tersebut, ditemukan bahwa kepahlawanan Karna tidak hanya terletak dari kesetiaannya pada Kaurawa, melainkan pula perjalanan hidupnya dari lahir, kebenciannya terhadap Pandawa, kutukan yang ia dapatkan, hingga pada akhirnya bersatu dengan Pandawa di Surgaloka bahwa hidupnya merupakan pahlawan bagi yang melaksanakan dharma. Perjalanan hidup Karna yang melaksanakan dharma dapat menjadi...
Sintesis
ABSTRAKPenulis menggunakan paradigma Werren dan Wellek yang membagi penelitian sastra atas dua pe... more ABSTRAKPenulis menggunakan paradigma Werren dan Wellek yang membagi penelitian sastra atas dua pendekatan, yaitu pendekatan intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik digunakan untuk menganalisis struktur cerita dalam Novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode analisis data, deskriptif kualitatif, dan teknik pengumpulan data menggunakan teknik simak catat, dan studi pustaka. Hasil analisis struktur intrinsik pembangun cerita yang terdiri atas alur, tokoh dan penokohan, serta latar dalam Novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur adalah sebagai berikut. Alur dalam novel terbagi atas (1) peristiwa, (2) konflik, dan (3) klimaks. Tokoh dan penokohan terbagi atas (1) tokoh utama, (2) tokoh tambahan. Latar terbagi atas (1) latar tempat, (2) latar waktu, dan (3) latar sosial. Hasil dari penelitian bentuk-bentuk kekerasan sebagai berikut. Kekerasan yang terdapat dalam novel dibagi menjadi tiga, yaitu kekerasan langsung, kekerasan ...
Sintesis (Yogyakarta), Nov 2, 2021
Artikel ini membahas ideologi dan aparatus negara dalam tiga cerpen karya Putu Wijaya. Penelitian... more Artikel ini membahas ideologi dan aparatus negara dalam tiga cerpen karya Putu Wijaya. Penelitian ini menggunakan paradigma Abrams, yaitu pendekatan objektif dan pendekatan diskurtif. Pendekatan objektif digunakan untuk menganalisis unsur-unsur intrinsik tiga cerpen Putu Wijaya. Pendekatan diskurtif digunakan untuk membongkar ideologi dengan perspektif ideologi Louis Althusser. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dengan mengandalkan jenis data kualitatif. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa bentuk ideologi dan aparatus negara yang ditemukan beragam, yakni (1) tiap tokoh utama direpresentasikan hal-hal yang melekat pada permasalah tokoh utama; (2) ada interpelasi pada tokoh utama agar diakui sebagai subjek; (3) bentuk ideologi yang ditemukan yakni ideologi dominan, ideologi terkungkung, ideologi bebas, ideologi resistensi, dan ideologi tengah terdapat di dalamnya; (4) aparatus ideologi negara (ISA) mendominasi dalam tiga cerpen karya Putu Wijaya.
Sintesis, Mar 1, 2014
Umar Kayam adalah salah satu cendekiawan dan sastrawan besar Indonesia yang memiliki perhatian is... more Umar Kayam adalah salah satu cendekiawan dan sastrawan besar Indonesia yang memiliki perhatian istimewa terhadap Tragedi 1965 dalam karya-karyanya. Sekalipun dengan sikap yang berbeda, sepanjang periode pemerintahan Orde Baru, Umar Kayam secara konsisten menghasilkan karya sastra yang mempersoalkan Tragedi 1965. Ditinjau dari segi relasi kekuasaan, sikap Umar Kayam bermula dengan perlawanan humanistik, kemudian perlawanan pasif (pasrah), dan pada akhirnya dia berubah mendukung sikap dan kebijakan pemerintah. Dari dengan perspektif Gramsci, dapat disebutkan bahwa Umar Kayam merupakan seorang cendekiawan dan sastrawan besar yang berkembang menjadi intelektual organik Orde Baru.
Puisi-puisi Irawan Sandhya Wiraatmaja dalam antologi Nausea Kota dalam Telepon Genggam (2020) men... more Puisi-puisi Irawan Sandhya Wiraatmaja dalam antologi Nausea Kota dalam Telepon Genggam (2020) menunjukkan jejak-jejak negativitas yang sangat jelas. Hal ini mengundang peneliti untuk merunut dan mengungkap jejak-jejak tersebut. Teori yang digunakan untuk mengkaji antologi puisi ini adalah Teori Negativitas yang dikembangkan oleh Theodor W. Adorno, sebuah teori kritis yang mengeritik kontradiksi-kontradiksi di dalam masyarakat modern, termasuk aspek-aspek keseniannya. Metode yang digunakan adalah metode pembacaan inklusio, sebuah metode tafsir yang mengkaji puisi pertama dan terakhir, dan menganggap bahwa puisi-puisi in between mendukung tema yang dikembangkan pada puisi pertama dan terakhir. Melalui teori dan metode ini, penulis mengungkap tiga hal, yakni: (1) peran penulis dan pembaca sastra; (2) manusia boneka versus keabadian; dan (3) dunia kepenyairan kita yang begitu muram. Hasil kajian ini membuktikan adanya jejak-jejak negativitas di dalam antologi puisi Nausea Kota Dalam Tel...
Novel Impala-Impala Hindia karya Imperial Jathee mengungkapkan banyak kisah mengenai kehidupan pa... more Novel Impala-Impala Hindia karya Imperial Jathee mengungkapkan banyak kisah mengenai kehidupan pada zaman kolonialisme Belanda. Kedudukan tokoh utamanya, Maon, ambigu: dia seorang nasionalis tetapi sekaligus merupakan pegawai Belanda. Dia mau memperjuangkan kemerdekaan bangsanya, tetapi juga menyadari peran konstruktif penjajah Belanda. Persoalan yang diangkat dan dibahas dalam tulisan ini berkaitan dengan persoalan postkolonialisme menurut perspektif Homi K. Bhabha. Hasil kajian menunjukkan bahwa Novel Impala-Impala Hindiamerupakan sebuah karya yang bercerita tentang situasi kolonial Belanda di Hindia Belanda pada masa dua puluh tahun. Studi ini membuktikan bahwa novel ini memberikan ruang ambang, ruang liminal, ruang ketiga tempat isu-issu kolonial bertemu dan bernegosiasi. Novel ini mengungkapkan keempat persoalan yang dikemukakan Bhabha: stereotipe, ambivalensi, mimikri, dan hibriditas.
Bahasa, menurut Foucault, bukanlah medium yang transparan, bukan pula pencerminan dari kenyataan.... more Bahasa, menurut Foucault, bukanlah medium yang transparan, bukan pula pencerminan dari kenyataan. Bahasa adalah alat yang dipergunakan episteme, guna mengatur dan menyusun kenyataan, sesuai dengan tabiat episteme itu sendiri. Foucault melihat bahwa bahasa dan episteme tidak pasif melainkan aktif. Keduanya berusaha untuk mengubah atau menguasai kenyataan. Istilah yang digunakan untuk menyebut Peristiwa G30S mengandung hasrat-hasrat kekuasaan dan menjadi wacana akademis yang menarik. Makalah ini akan mengkaji dan mengungkap hubungan antara bahasa, wacana, dan kekuasaan dalam konstruksi Gerakan 30 September (G30S). Peristiwa G30S yang menjadi awal sebuah tragedi berdarah terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan dengan tujuan yang berbeda-beda. Hasrat kekuasaan itu dapat diungkap dari permainan bahasa di dalam konstruksi wacana G30S.
Uploads
Papers by Taum Y O S E P H Yapi
Kajian tentang Implied Author dalam Teori Pragmatik Reader Response Theory belum begitu berkembang di Indonesia. Model kajian ini menarik untuk menempatkan sastrawan sebagai kaum cendekiawan, pemikir, yang berperan dalam persoalan aktual bangsanya.
Tulisan ini merupakan catatan penutup untuk antologi puisi Membaca Kartini. Dalam kesadaran kolektif bangsa Indonesia, R. A Kartini merupakan pejuang emansipasi perempuan. Seperti juga Dewi Sartika (pelopor pendidikan untuk kaum wanita), Kartini adalah ikon perjuangan kesetaraan gender bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, berbicara tentang Kartini tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang perjuangan perempuan memperoleh kesetaraan gender.
Representasi Tragedi 1965 dalam Negara Orde Baru
Ini adalah sebuah buku yang penting. Penting karena pendekatan teoretisnya yang tajam. Penting karena teks-teks yang didiskusikannya perlu diketahui dan diapresiasi. Buku ini diperlukan karena pengarangnya berani mengangkat tragedi 1965 sebagai topiknya, dan berani memfokuskan sorotannya, pada suatu aspek kehidupan sosial-politik Indonesia yang sangat perlu dan urgen untuk dibongkar. Kita mengetahui bahwa sampai sekarang topik ini jarang dibahas, jarang dianalisis, bahkan jarang diakui. Uraian-uraian di dalamnya dipaparkan dalam gaya pengungkapan yang mengalir dan meyakinkan. (David T. Hill – Professor Kajian Asia Tenggara, Universitas Murdoch, Australia Barat. Penulis buku Jurnalisme dan Politik di Indonesia: Biografi Kritis Mochtar Lubis (1922-2004).
Budaya takut telah mengakibatkan hantu komunisto phobia menghantui masyarakat kita. Adalah berkat warisan rezim militer Suharto serta Sarwo Edhie Wibowo, dengan ”Tentara Langit”-nya, penyakit itu telah membuat masyarakat bungkam selama bertahun-tahun bahkan sampai sekarang. Dengan analisanya yang tajam dan disertai keberanian, hendaknya kitab perlawanan ini menjadi panutan, sampai bahaya komunisto phobia, yang sudah diperangi Bung Karno sejak tahun 1920-an, dilumat oleh sejarah ... (Hersri Setiawan – Sastrawan, Penulis, dan Penyintas Pulau Buru)
“Kita semua sudah tahu, narasi tentang kekejaman Gerwani di Lubang Buaya dan banyak kisah keji lain yang diproduksi oleh Orde Baru dan para pendukungnya (baik dalam bentuk karya sastra maupun nonsastra) merupakan hasil manipulasi dan rekayasa. Namun demikian jarang sekali narasi-narasi itu secara akademik diteliti, dibongkar dan dipaparkan secara terbuka. Peneliti dan penulis buku ini telah melakukannya dengan baik. Membaca buku ini serasa membuka selaput yang selama ini secara kolektif telah menghalangi kemampuan kita untuk melihat sejarah Indonesia sejak 1965 secara lebih jernih.” (Baskara T. Wardaya SJ -- Sejarawan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)
PENYAIR NTT DALAM RATAPAN LAUT SAWU
Oleh Yoseph Yapi Taum
Buku ini merupakan Antologi Puisi Penyair NTT. Publikasi ini merupakan bagian pengantar dan pertanggungjawaban editor buku ini. Penyair-penyair NTT dibagi dalam tiga generasi, dan dicatat beberapa kekhasan puisi penyair NTT
Tulisan ini merupakan catatan penutup untuk antologi puisi Membaca Kartini. Dalam kesadaran kolektif bangsa Indonesia, R. A Kartini merupakan pejuang emansipasi perempuan. Seperti juga Dewi Sartika (pelopor pendidikan untuk kaum wanita), Kartini adalah ikon perjuangan kesetaraan gender bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, berbicara tentang Kartini tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang perjuangan perempuan memperoleh kesetaraan gender.
Penelitian Setara Institute dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengungkapkan dengan terang bahwa berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia diindikasikan terpapar paham radikal dan ingin mengubah dasar negara Pancasila. Ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini sudah mencapai usia hampir 75 tahun, kita belum juga mencapai negara paripurna. Banyak dari kita terserang amnesia sejarah sehingga tidak memiliki sensivititas interkultural di tengah bangsa kita yang multikultur.
Pertanyaannya, manakah sumbangan ilmu budaya dalam mencari dan merumuskan ruang gerak tekstual di dalam wacana gelombang-gelombang perubahan dan revolusi ini? Apa peran kebudayaan sebagai ‘sukma’ dan kekuatan perekat dalam membentuk karakter bangsa? Bagaimanakah sesungguhnya fungsi kebudayaan sebagai kekuatan sosial dalam membentuk identitas sebuah bangsa? Bagaimana strategi kebudayaan menghadapi tantangan pembangunan bangsa sekarang ini? Bagaimana pula posisi dan peran perguruan tinggi di dalam menegakkan kembali keindonesiaan?
Kata Kunci: wisata sastra, destinasi wisata, ekosistem pariwisata, ilmu sastra.
Teori-teori kritik sastra terbaru memperlihatkan bahwa secara fundamental, sastra terlibat dalam kehidupan konkret manusia, dan bukan hanya sekadar gambaran abstrak sebuah dunia alternatif. Stephen Greenblatt –pelopor kritik New Historicism menolak pandangan bahwa sastra adalah dunia alternatif. Bagi dia, sastra justru mengintensifkan dunia yang satu dan sama ini. Dengan demikian, sesungguhnya tak ada yang tidak politis.
Buku ini memperlihatkan tegangan dan dinamika hubungan antara sastra dan politik melalui kajian yang cermat terhadap representasi Tragedi 1965 dalam Negara Orde Baru. Melalui buku ini, pembaca mencermati dan memahami posisi politis dan sumbangan sastra di tengah-tengah perjuangan hidup manusia Indonesia dalam menegakkan derajat dan martabat kemanusiaannya. Mereka harus berhadapan dengan sekelompok penguasa yang juga berjuang dengan gigih untuk menegakkan kekuasaan mereka. Di sini diperlihatkan bentuk-bentuk tanggapan dan perlawanan sastra terhadap hegemoni polisis yang dimobilisasi penguasa dalam merepresentasi Tragedi 1965. Masyarakat cenderung memandang bahwa hukuman pembunuhan massal terhadap ratusan ribu orang-orang PKI dalam Tragedi 1965 bertujuan mendapatkan keadilan karena PKI telah melakukan pembunuhan keji di Lubang Buaya. Hukuman pembantaian itu, dalam kenyataannya, bukan untuk mendapatkan keadilan melainkan untuk menegakkan kekuasaan Orde Baru.
Buku ini akan menjadi buku pertama yang membahas hubungan antara sastra dan politik. Mahasiswa dan para pakar dari berbagai bidang ilmu yang ingin memahanmi episteme Orde Baru dapat mengambil manfaat dari buku ini. Buku ini memberikan renungan bagi kita semua, bahwa pembangunan adalah untuk manusia, bukan manusia untuk pembangunan. Dimensi humanistik pembangunan merupakan sebuah keniscayaan. Sastra akan terus hadir untuk mengawal pergulatan manusia Indonesia dalam menegakkan martabat kemanusiaannya.
Godlob Danarto dalam Perspektif Teeuw
(Yogyakarta, Sanata Dharma University Press, 2018)
Kajian terhadap arti dan makna teks-teks sastra tidak pernah terlepas dari persoalan penafsiran tanda-tanda. Makna karya sastra hanya dapat ditangkap dan dipahami melalui tanda-tanda bahasa, sastra, dan budaya. Karena itulah semiotika atau ilmu tentang tanda-tanda menjadi sebuah pendekatan teoretis atau objek formal yang tetap penting bahkan sangat dominan digunakan dalam Ilmu Sastra. Buku Kajian Semiotika: Godlob Danarto dalam Perspektif Teeuw ini menyajikan teori dan praktik kajian semiotika yang diperkenalkan oleh A. Teeuw dalam bukunya Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra (1988). Antologi cerpen Godlob karya Danarto yang menjadi objek material signifikasi kode-kode semiotika merupakan contoh kasus yang sangat menantang bagi para penikmat maupun pakar sastra. Melalui tahap-tahap pembacaan berjenjang, penggunaan pendekatan semiotika Teeuw terbukti sangat membantu memahami berbagai tanda, simbol, dan metafora yang pada awalnya sukar sekali dipahami maknanya.
Penerbitan buku ini terutama dilandasi oleh tujuan dan motivasi pendidikan. Selama ini teori semiotika yang digagas dan diperkenalkan oleh A. Teeuw sangat jarang digunakan –untuk tidak mengatakan hampir tidak pernah digunakan oleh para mahasiswa maupun peneliti sastra di Indonesia, termasuk di dunia pendidikan tinggi. Gambaran di dalam buku ini memperlihatkan bahwa melalui pendekatan semiotika, karya sastra mencapai realisasi estetik, menjadi objek estetik.
Jenis buku yang tergolong dalam bidang ilmu kritik sastra seperti ini belum banyak ditulis orang. Karena itu, buku yang mengisi kelangkaan ini diharapkan memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu sastra di tanah air, khususnya di dalam penggunaan pendekatan semiotika Teeuw dalam penelitian dan kritik sastra empiris.
Maka, ballada dalam kumpulan sajak Yoseph Yapi Taun ini di satu pihak setia pada pakemnya sebagai pemberita tentang hidup matinya orang-orang biasa yang, karena perbuatan mereka, menjadi lebih besar daripada diri mereka sendiri, namun di pihak lain juga memberontak terhadap kemuraman karena sajak ditutup dengan sebuah ‘kemenangan’ walaupun tidak dalam rupa yang lazim. Ballada, di tangan Yoseph, dengan demikian juga menjadi arena untuk membakar harapan agar dapat membubung kembali meski dihadapkan pada kematian. Dengan kerangka inilah keseluruhan sajak dalam kumpulan ini, minimal dalam buku pertamanya, dapat diresapi dan dipahami (Dr. Manneke Budiman, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta)
Selama kurun abad ke-20 ini teoretisi sastra memandang sastra sebagai suatu objek faktual (artefak) dengan membatasi teks sebagai suatu wilayah otonom yang terpisah dari pengarang dan pembaca. Program terkenal pandangan aliran otonomis ini terwujud dalam paham The Intentional Fallacy dan The Affective Fallacy yang dikemukakan Wimsatt & Beardsley (Lambropoulos, 1987: 103; Hartoko, 1986: 65). Paul Vallery dan Roman Ingarden meletakkan dasar pemahaman teks sastra pada tanggapan pembaca. Ingarden memelopori pan¬dangan ini dengan memperkenalkan konsep Leerstellen, the empty spaces, yakni ruang kosong dalam teks yang harus diisi oleh pembaca. Mukarovsky dan Vodicka mengembangkan konsep ‘konkretisasi’ untuk menciptakan kembali teks itu me¬lalui pembacaan kreatif untuk menjadi objek estetik.
Kedudukan pembaca dalam menanggapi teks menjadi fokus perhatian teori-teori sastra. Berbagai dimensi tanggapan pembaca dirumuskan dengan berbagai sudut pandang dan asumsi epistemologis. Persoalan orisinalitas, jenialitas, kreativitas, dan individualitas yang menjadi tolok ukur kaum Romantik abad ke-19 dalam menilai teks sastra sebagai karya cipta seorang manusia pengarang, kini bergeser drastis. Rolland Barthes mengungkapkan bahwa teks sastra hanyalah mirage of citation: bayangan belaka dari kutipan-kutipan, yang selalu mengelak dan menjadi tidak terjangkau apabila kita mencoba menjangkaunya (Culler, 1981: 102). Derrida menolak paham strukturalisme yang berpegang pada konsep mengenai signifie transcendental (makna transenden) dengan memperkenalkan konsep deferance untuk menekankan bahwa justru pembaca itulah yang harus menyusun teks sastra dengan mendekonstruksikannya ke dalam konsep yang lain. Menurut Derrida, tidak ada sesuatu di luar teks (Bertens, 1985: 491-502).
Gambaran singkat ini menunjukkan alur perjalanan pemikiran teori sastra sejak abad ke-19 sampai abad ke-20. Teori sastra bermula dari anggapan bahwa pencipta ‘memiliki gaung jiwa yang agung’ (Wimsatt & Beardsley, 1987: 106). Studi sastra menjadi studi biografi pengarang. Pandangan ini kemudian disingkirkan oleh gerakan otonomi sastra. Dari teks yang otonom, tumbuh kesadaran mengenai ketidakmampuan bahasa sastra dalam menyajikan impian dan harapan, pengalaman dan kekecewaan manusia. Orientasi lalu bergerak ke arah pembaca yang diberi kebebasan penafsiran, mula-mula kebebasan relatif sampai kepada kebebasan mutlak untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi teks itu. ‘Puncak’ kesadaran teori sastra adalah tidak ada sesuatu di luar teks; tidak ada makna transendental di dalam teks sehingga pembaca itulah yang bertugas mengadakannya dengan membongkar dan menyusun teks.
Apabila jagat teori sastra terkesan mengacaukan sedemikian itu, bagaimana seharusnya para intelektual ilmu sastra menyikapinya? Pembahasan dalam bab pertama ini mencoba memberikan beberapa konsep dasar tentang hakikat dan relevansi teori sastra dalam upaya menyikapi situasi tersebut.
Sifat akumulatif ilmu tidak tampak di dalam perkembangan iulmu sastra di Indonesia. PPT ini merupakan saripati dari kuliah daring Kritik Sastra yang secara serius membahas aspek-aspek mendasar ilmu sastra, yang berkaitan dengan paradigma dan pendekatan sastra. Semoga tulisan sederhana ini memberi arah yang jelas bagi para peneliti di dalam menentukan kiblat penelitiannya.
Makalah ini bertujuan membahas prestasi unggul penulis dalam bidang karya ilmiah yang dihasilkan dalam lima tahun terakhir. Prestasi unggul tersebut dirangkum dari (1) hasil-hasil penelitian selama lima tahun; (2) buku-buku yang diterbitkan; (3) artikel-artikel jurnal; dan (4) artikel ilmiah di dalam buku-buku. Sebagai sebuah pertanggungjawaban ilmiah, uraian ini disusun dengan kajian teoretis sebagai penjelasan filosofis mengenai pilihan langkah, panduan pelaksanaan, serta bentuk karya ilmiah unggulan yang dihasilkan. Pilihan pergulatan akademis penulis didasarkan pada kerangka teori cultural studies, sebuah bidang akademis yang merupakan sebuah pendekatan kritis dengan agenda moral: memperbaiki kinerja kebudayaan secara keseluruhan. Melalui paradigma ini, kebudayaan yang didominasi oleh 'pemaksaan' kepentingan kekuasaan mendapatkan bargaining secara mendasar. Berdasarkan pemahaman tersebut, dipaparkan empat topik karya ilmiah unggulan, yakni: 1) Tragedi 1965 dan Hegemoni Historiografi; 2) Sejarah Sastra Kanon dan Nonkanon; 3) Sastra Lisan yang Terpinggirkan; dan 4) Kekerasan dan Konflik di Papua. Topik-topik karya ilmiah unggulan ini merupakan bidang kajian cultural studies. Posisi akademis penulis, dengan demikian, adalah memberikan suara bagi kaum pinggiran (sounds of the margin) serta membangkitkan pengetahuan yang terepresi (insurrection of the subjugated knowledges).
Kerangka teori yang digunakan untuk melakukan studi ini adalah pendekatan new historicism. Pendekatan new historicism merupakan pendekatan kritik sastra yang menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkupinya. Metode umum yang digunakan dalam studi ini adalah pembacaan paralel (parallel reading) yang mencermati dan memberikan peluang yang sama kepada teks-teks sastra maupun teks-teks non-sastra dalam sebuah periode waktu yang sama. Metode yang digunakan untuk menganalisis data antara lain metode thick description, metode negosiasi, serta metode arkeologis dan genealogis.
Hasil studi ini secara umum menunjukkan bahwa sastra Indonesia selalu hadir sebagai saksi di atas bumi Indonesia yang bergejolak, baik menjelang Tragedi 1965, pada saat terjadinya G30S, dan setelah terjadinya G30S sampai dengan pembuangan ke Pulau Buru. Sastra Indonesia tidak hanya hadir sebagai penonton, tetapi juga ikut menggambarkan pengalaman-pengalaman kemanusiaan dan dalam banyak hal melawan hegemoni kekuasaan serta mempertahankan kemanusiaan di dalam lingkungan hidup yang semakin tidak manusiawi.
Secara khusus, hasil studi ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut. (1) Menjelang Tragedi 1965, lingkungan sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya Indonesia mengalami gejolak dan dinamika yang sangat tinggi. Kotak-kotak ideologi politik berupa perang dingin, persaingan kekuatan Nasakom, dan ideologi berkesenian antara Lekra dan Manikebu turut menyemai bibit-bibit permusuhan. (2) Peristiwa G30S mengubah formasi ideologis zamannya. Konflik dan pertentangan multidimensional direduksi menjadi perlawanan nasional terhadap PKI dan ormas-ormas payungnya. Dengan dimotori oleh tentara, perlawanan itu menjadi pembantaian, pengejaran, pembasmian massal terhadap PKI. Sastra periode 1965-1970 muncul dengan semangat perlawanan yang tinggi. (3) Pada periode 1971-1980, formasi kekuasaan Orde Baru dengan Kopkamtib sebagai mesin utama politiknya memperlihatkan dominasi dan hegemoninya yang nyaris multak. Kesusastraan hanya menjadi locus atau tempat bermainnya kekuasaan. (4) Pada periode 1980-1998, formasi kekuasaan Orde Baru tidak berubah dengan ideologi anti-komunisnya, tetapi secara mengejutkan karya-karya sastra tampil dengan semangat perlawanan yang hampir sama kuatnya dengan periode tahun 1965-1970. (5) Pembuangan ke Pulau Buru tidak mendapat representasinya yang baik dan memadai dalam karya sastra apabila dibandingkan dengan memoar yang terbit pada masa pemerintahan Orde Baru.
kebudayaan tertentu. Variasi-variasi teks dapat dikaji dalam hubungannya dengan aspek tanggapan (resepsi) penutur cerita terhadap norma-norma konvensional tersebut, entah norma-norma kesusastraan maupun norma-norma sosial kemasyarakatan. Menurut paham resepsi sastra, pergeseran unsur-unsur teks berkaitan erat dengan horison harapan penutur terhadap sistem konvensi tersebut. Acapkali perubahan-perubahan kemasyarakatan mengakibatkan munculnya variasi-variasi suatu teks tertentu.
Penciptaan sastra lisan pada umumnya dipermudah berkat adanya formula, ungkapan-ungkapan formulaik, dan tema-tema siap pakai. Pencipta sastra lisan bertugas merakit formula-formula tersebut ke dalam sebuah cerita yang utuh. Dengan demikian, sastra lisan tampak sebagai
akumulasi formula-formula. Meskipun demikian, struktur sastra lisan sesungguhnya tidak beku karena setiap kali diceritakan, teks itu diciptakan secara baru dan spontan sesuai dengan situasi pendengar, waktu yang tersedia, maupun keadaan si penggubah sendiri.
Dalam kebudayaan tertentu, seorang sastrawan (penyair lisan atau tukang cerita) adalah seorang profesional yang mencapai status tersebut melalui sistem pendidikan tertentu yang diikuti dengan teratur. Dalam kebudayaan yang lain, seorang sastrawan lisan tidak mengikuti sistem pendidikan tertentu. Jika dilacak lebih jauh mengenai sumber-sumber cerita, dapat dijumpai berbagai aspek intertekstualitas dalam sebuah teks. Kajian terhadap hal ini dapat menjelaskan migrasi dan difusi sebuah bentuk kebudayaan. Pada akhirnya retorika sastra lisan dengan berbagai kaidah poetikanya yang demikian itu mengandung pandangan dunia tertentu. Dari sudut teori sastra, khususnya teori-teori resepsi, unsur-unsur formula, ungkapan-ungkapan formulaik, dan tema-tema siap pakai dapat mengacu kepada berbagai kemungkinan arti. Menjadi tugas seorang peneliti sastra lisan untuk mengungkapkan arti dan makna pola-pola retorika tersebut.
Secara khusus pendekatan dalam rangka ilmu sastra dirintis jalannya oleh pendekatan Madzab Finlandia yang terutama menyoroti tipe dan motif yang terkandung dalam berbagai cerita rakyat di dunia. Studi sastra lisan Madzab ini sangat berorientasi historis-komparatif, sesuai dengan semangat keilmuan pada zamannya. Pergesaran kemudian terjadi dengan munculnya pandangan Milman Parry dan Albert B. Lord yang memperkenalkan model analisis sastra lisan dengan memperhatikan aspek-aspek formula, ungkapan formulaik, dan tema-tema siap pakai yang merupakan konvensi penciptaan sastra lisan. Dalam hal ini, orientasi penelitian ekspresionis mulai dikembangkan oleh penelitian Parry-Lord.