Peer Reviewed Journal Articles by Oki Rahadianto
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bookmarks Related papers MentionsView impact
This article gives a critical account of the development of the jazz scene in
Yogyakarta,
Indones... more This article gives a critical account of the development of the jazz scene in
Yogyakarta,
Indonesia, since the 1980s. It looks specifically at the question of why young
jazz musicians did not take the initiative in creating new kinds of jazz composition and
playing, unlike their age peers in other nonmainstream music genres. In other words,
why was there so little DIY (do it yourself) ethos in the Yogyakarta jazz scene? The interpretation
of relevant phenomena offered in this article uses Pierre Bourdieu’s theory of
practice. Data were generated through in-depth interviews and participant observation.
The transformation of Indonesian jazz both in national and local scope, the master-based
pedagogic model, and economic pressures of the jazz musicians in everyday
life
are the main reasons why there was little DIY ethos in the Yogyakarta jazz scene.
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Using ethnographic and interview data, this article explores hopes
for the future of young Indone... more Using ethnographic and interview data, this article explores hopes
for the future of young Indonesian musicians. The young people
are seen to consider their future trajectories in multiple,
hierarchical music fields. The article also takes into account the
ontological insecurity of jobs as a professional musician, arguing
that there is continuous reproduction of a doxa, namely ‘survival of
the fittest’ in Indonesia. Yet despite abundant risks to livelihoods,
young Indonesian musicians expressed optimistic views about the
future. The analysis of data below bridges the gap between the
traditionally separate youth studies fields of youth transitions and
youth cultures. Our interpretation critically contextualises the
dialogue between these two fields based on the experiences of
young Indonesian musicians as a part of the Global South.
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bookmarks Related papers MentionsView impact
This article tries to explain the role of reflexive capacity among young people during transition... more This article tries to explain the role of reflexive capacity among young people during transition to work. Specifically, four informants in this research are representations of middle class youth from Yogyakarta. This research applies qualitative methods and in-depth interviews as techniques to gather data. This article shows the relevancy of reflexive capacity as a form of embodied cultural capital. Young people whom possess high volume of reflexive capacity will be able to understand the shift of rule of the game in the field and responds quickly and strategically. Furthermore, this reflexive capacity is important as a pre-requirement to anticipate present and future risk. On the other hand, reflexive capacity is only one of entry points among other forms of capital because in reality, young people have to actively negotiate with multilayers structural forces which objectively exist. Artikel ini mencoba menjelaskan mengenai peran kapasitas refleksif pemuda dalam transisi menuju dunia kerja. Secara spesifik, informan dalam penelitian ini adalah empat pemuda sebagai representasi kelas menengah di Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan data diperoleh melalui teknik wawancara mendalam. Penelitian ini menunjukkan relevannya kapasitas refleksif sebagai manifestasi dari modal budaya. Pemuda dengan kapasitas refleksif yang tinggi akan mampu memahami perubahan rule of the game dalam ranah dunia kerja dan merespon dengan cepat dan strategis. Kapasitas refleksif ini penting sebagai prasyarat untuk mengantisipasi resiko di masa mendatang. Di sisi yang lain, kapasitas refleksif hanyalah salah satu titik masuk karena dalam kenyataannya pemuda harus secara aktif bernegosiasi dengan tekanan struktural berlapis yang eksis secara objektif.
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Jurnal Studi Pemuda, 2017
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Artikel ini menawarkan ide-ide kritis untuk mengembangkan kajian kepemudaan di Indonesia.
Secara ... more Artikel ini menawarkan ide-ide kritis untuk mengembangkan kajian kepemudaan di Indonesia.
Secara spesifik, ide-ide ini difokuskan pada agenda teoritis dan praktis yang relevan dengan
kondisi kontemporer pemuda di Indonesia. Pemuda sebagai subjek studi menempati posisi
ambigu dalam konstelasi produksi pengetahuan. Pemuda dianggap penting dan krusial sebagai
sebagai subjek bagi masa depan bangsa. Di sisi yang lain, pemuda sebagai subjek juga berada
dalam posisi marjinal tidak hanya dalam konteks produksi pengetahuan namun juga dalam hal
pembuatan kebijakan. Kondisi ini merupakan peringatan dini bagi agen-agen sosial yang peduli
terhadap kajian kepemudaan di Indonesia. Berdasarkan refleksi kritis, observasi empiris dan studi
terhadap literatur kajian kepemudaan yang relevan, saya menawarkan agenda teoritis dan praktis
untuk mengembangkan kajian kepemudaan di Indonesia. Agenda teoritis tersebut antara lain:
menjembatani antara pendekatan transisi pemuda dan buday pemuda, pengarusutamaan konsep
kelas sosial dan kesenjangan sosial, dan pengembangan kajian kepemudaan berdasarkan konteks
Indonesia. Sedangkan agenda praktis yang ditawarkan antara lain: pengarusutamaan riset
strategis dan diseminasi kajian kepemudaan secara merata. Sebagai kesimpulan, harapan saya
semoga ide-ide dalam artikel ini dapat menjadi titik masuk bagi terwujudnya generasi muda
Indonesia yang lebih tercerahkan dan teremansipasi di masa depan.
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Artikel ini menjelaskan mengenai transisi pemuda dari daerah perbatasan. Dengan
menggunakan metod... more Artikel ini menjelaskan mengenai transisi pemuda dari daerah perbatasan. Dengan
menggunakan metode kualitatif ditemukan bahwa dalam proses transisi, pemuda perbatasan
mengalami hambatan-hambatan struktural terutama minimnya fasilitas dasar seperti listrik,
jalan, pendidikan dan kesehatan. Hambatan struktural ini berdampak pada tiga rute transisi
pemuda perbatasan menuju dunia kerja terutama paksaan untuk menempuh jalur cepat,
menetap sebagai petani atau berpindah ke daerah lain sebagai buruh. Ketiga rute ini samasama
menghadapkan pemuda perbatasan pada kondisi ketidakpastian mengenai masa depan.
Sebagai solusi, Negara perlu hadir untuk mereduksi hambatan-hambatan struktural yang
harus dijalani oleh pemuda perbatasan dengan membangun fasilitas-fasilitas dasar.
Bookmarks Related papers MentionsView impact
This article aims to apply the generation perspective as a tool to evaluate program of agropolita... more This article aims to apply the generation perspective as a tool to evaluate program of agropolitant village in Perpat, Belitung. Using qualitative methods especially through application of observation and in-depth interview techniques, this evaluation study finds that the change of generation in a local scope and low participations among young people become important factors that resulted in the lack of sustainability of agropolitant village program. This result becomes a distinctive finding compared to previous evaluation studies in the same location. The importance of youth studies perspective both during the process of planning and evaluating similar development program has to be taken into consideration by the policy maker in order to anticipate the risk of unsustainable development program in the future.
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Uploads
Peer Reviewed Journal Articles by Oki Rahadianto
Yogyakarta,
Indonesia, since the 1980s. It looks specifically at the question of why young
jazz musicians did not take the initiative in creating new kinds of jazz composition and
playing, unlike their age peers in other nonmainstream music genres. In other words,
why was there so little DIY (do it yourself) ethos in the Yogyakarta jazz scene? The interpretation
of relevant phenomena offered in this article uses Pierre Bourdieu’s theory of
practice. Data were generated through in-depth interviews and participant observation.
The transformation of Indonesian jazz both in national and local scope, the master-based
pedagogic model, and economic pressures of the jazz musicians in everyday
life
are the main reasons why there was little DIY ethos in the Yogyakarta jazz scene.
for the future of young Indonesian musicians. The young people
are seen to consider their future trajectories in multiple,
hierarchical music fields. The article also takes into account the
ontological insecurity of jobs as a professional musician, arguing
that there is continuous reproduction of a doxa, namely ‘survival of
the fittest’ in Indonesia. Yet despite abundant risks to livelihoods,
young Indonesian musicians expressed optimistic views about the
future. The analysis of data below bridges the gap between the
traditionally separate youth studies fields of youth transitions and
youth cultures. Our interpretation critically contextualises the
dialogue between these two fields based on the experiences of
young Indonesian musicians as a part of the Global South.
Secara spesifik, ide-ide ini difokuskan pada agenda teoritis dan praktis yang relevan dengan
kondisi kontemporer pemuda di Indonesia. Pemuda sebagai subjek studi menempati posisi
ambigu dalam konstelasi produksi pengetahuan. Pemuda dianggap penting dan krusial sebagai
sebagai subjek bagi masa depan bangsa. Di sisi yang lain, pemuda sebagai subjek juga berada
dalam posisi marjinal tidak hanya dalam konteks produksi pengetahuan namun juga dalam hal
pembuatan kebijakan. Kondisi ini merupakan peringatan dini bagi agen-agen sosial yang peduli
terhadap kajian kepemudaan di Indonesia. Berdasarkan refleksi kritis, observasi empiris dan studi
terhadap literatur kajian kepemudaan yang relevan, saya menawarkan agenda teoritis dan praktis
untuk mengembangkan kajian kepemudaan di Indonesia. Agenda teoritis tersebut antara lain:
menjembatani antara pendekatan transisi pemuda dan buday pemuda, pengarusutamaan konsep
kelas sosial dan kesenjangan sosial, dan pengembangan kajian kepemudaan berdasarkan konteks
Indonesia. Sedangkan agenda praktis yang ditawarkan antara lain: pengarusutamaan riset
strategis dan diseminasi kajian kepemudaan secara merata. Sebagai kesimpulan, harapan saya
semoga ide-ide dalam artikel ini dapat menjadi titik masuk bagi terwujudnya generasi muda
Indonesia yang lebih tercerahkan dan teremansipasi di masa depan.
menggunakan metode kualitatif ditemukan bahwa dalam proses transisi, pemuda perbatasan
mengalami hambatan-hambatan struktural terutama minimnya fasilitas dasar seperti listrik,
jalan, pendidikan dan kesehatan. Hambatan struktural ini berdampak pada tiga rute transisi
pemuda perbatasan menuju dunia kerja terutama paksaan untuk menempuh jalur cepat,
menetap sebagai petani atau berpindah ke daerah lain sebagai buruh. Ketiga rute ini samasama
menghadapkan pemuda perbatasan pada kondisi ketidakpastian mengenai masa depan.
Sebagai solusi, Negara perlu hadir untuk mereduksi hambatan-hambatan struktural yang
harus dijalani oleh pemuda perbatasan dengan membangun fasilitas-fasilitas dasar.
Yogyakarta,
Indonesia, since the 1980s. It looks specifically at the question of why young
jazz musicians did not take the initiative in creating new kinds of jazz composition and
playing, unlike their age peers in other nonmainstream music genres. In other words,
why was there so little DIY (do it yourself) ethos in the Yogyakarta jazz scene? The interpretation
of relevant phenomena offered in this article uses Pierre Bourdieu’s theory of
practice. Data were generated through in-depth interviews and participant observation.
The transformation of Indonesian jazz both in national and local scope, the master-based
pedagogic model, and economic pressures of the jazz musicians in everyday
life
are the main reasons why there was little DIY ethos in the Yogyakarta jazz scene.
for the future of young Indonesian musicians. The young people
are seen to consider their future trajectories in multiple,
hierarchical music fields. The article also takes into account the
ontological insecurity of jobs as a professional musician, arguing
that there is continuous reproduction of a doxa, namely ‘survival of
the fittest’ in Indonesia. Yet despite abundant risks to livelihoods,
young Indonesian musicians expressed optimistic views about the
future. The analysis of data below bridges the gap between the
traditionally separate youth studies fields of youth transitions and
youth cultures. Our interpretation critically contextualises the
dialogue between these two fields based on the experiences of
young Indonesian musicians as a part of the Global South.
Secara spesifik, ide-ide ini difokuskan pada agenda teoritis dan praktis yang relevan dengan
kondisi kontemporer pemuda di Indonesia. Pemuda sebagai subjek studi menempati posisi
ambigu dalam konstelasi produksi pengetahuan. Pemuda dianggap penting dan krusial sebagai
sebagai subjek bagi masa depan bangsa. Di sisi yang lain, pemuda sebagai subjek juga berada
dalam posisi marjinal tidak hanya dalam konteks produksi pengetahuan namun juga dalam hal
pembuatan kebijakan. Kondisi ini merupakan peringatan dini bagi agen-agen sosial yang peduli
terhadap kajian kepemudaan di Indonesia. Berdasarkan refleksi kritis, observasi empiris dan studi
terhadap literatur kajian kepemudaan yang relevan, saya menawarkan agenda teoritis dan praktis
untuk mengembangkan kajian kepemudaan di Indonesia. Agenda teoritis tersebut antara lain:
menjembatani antara pendekatan transisi pemuda dan buday pemuda, pengarusutamaan konsep
kelas sosial dan kesenjangan sosial, dan pengembangan kajian kepemudaan berdasarkan konteks
Indonesia. Sedangkan agenda praktis yang ditawarkan antara lain: pengarusutamaan riset
strategis dan diseminasi kajian kepemudaan secara merata. Sebagai kesimpulan, harapan saya
semoga ide-ide dalam artikel ini dapat menjadi titik masuk bagi terwujudnya generasi muda
Indonesia yang lebih tercerahkan dan teremansipasi di masa depan.
menggunakan metode kualitatif ditemukan bahwa dalam proses transisi, pemuda perbatasan
mengalami hambatan-hambatan struktural terutama minimnya fasilitas dasar seperti listrik,
jalan, pendidikan dan kesehatan. Hambatan struktural ini berdampak pada tiga rute transisi
pemuda perbatasan menuju dunia kerja terutama paksaan untuk menempuh jalur cepat,
menetap sebagai petani atau berpindah ke daerah lain sebagai buruh. Ketiga rute ini samasama
menghadapkan pemuda perbatasan pada kondisi ketidakpastian mengenai masa depan.
Sebagai solusi, Negara perlu hadir untuk mereduksi hambatan-hambatan struktural yang
harus dijalani oleh pemuda perbatasan dengan membangun fasilitas-fasilitas dasar.
Keywords: Young musician, Strategy, Capital, Mobility, Youth Transition
Keywords: Young Musicians, Youth Transition, Indonesia.