Department of International Relations

Review buku Juwono Sudarsono: Token of Appreciation, Penyusun Tim Jurnal Global, (Depok: Redaksi Jurnal Global, 2010), 188 hlm. Pertama sekali ijinkanlah saya di tulisan ini untuk ikut memanggil Prof. Juwono Sudarsono yang terhormat dengan sebutan Pak Ju. Bagi mereka yang berkesempatan mengenal Pak Ju, terutama mereka yang berkesempatan diajar oleh beliau, pasti memahami bagaimana seorang Pak Ju yang rendah hati dan "kebapakan" mampu menciptakan hubungan yang lebih dari sekedar guru-murid. Terlepas dari itu, sebagai seorang akademisi Hubungan Internasional,

This article examines whether the concepts of balance of power of realism and norms and identity of constructivism, either used independently or in combination, are sufficient enough to explain ASEAN Security Community (ASC) and its prospects. These concepts are prefered because they are contested frequently by a number of writers in explaining ASC and its prospects. I conclude that in order to explain the issue, it requires to also take into account the variable of domestic politics of each member country of ASC. Kajian akademis tentang Association of Southeast Asia Nations (ASEAN) sebagai komunitas keamanan (security community) sudah ada jauh sebelum keberadaannya secara legalinstitusional dicanangkan pada 2003 melalui Bali Concord II tahun 2003. Pada tahun 1991 Amitav Acharya dalam tulisannya menyimpulkan bahwa ASEAN telah sukses sebagai komunitas keamanan. 2 Yang dibutuhkan ASEAN, menurut Acharya, adalah tinggal penguatan dan pengamanan terhadap kemungkinan konflik antar negara anggotanya. 3 Dalam tulisanya yang diterbitkan tahun 1995, Michael Leifer juga mengemukakan bahwa ASEAN telah berperan sebagai komunitas keamanan. 4 Berlawanan dengan Acharya, N. Ganesan pada tahun 1995

Tulisan ini mengeksaminasi aspek teoritis dan operasional dari keamanan lingkungan yang dicapai melalui pembangunan berkelanjutan dalam perpesktif Indonesia. Penulis berargumen bahwa keamanan lingkungan sudah menjadi fitur yang terintegrasi dalam pembangunan Indonesia melalui konsep ketahanan nasional. Akan tetapi, aspek keberlanjutan dari pembangunan serta keamanan lingkungan belum mendapat perhatian sebagaimana seharusnya. Pencapaian keamanan lingkungan melalui pembangunan berkelanjutan sebagai bagian dari ketahanan nasional seharusnya dijadikan modalitas Indonesia untuk memimpin ASEAN.

The South China Sea is The Future of Conflict", dalam Foreign Policy September/Oktober 2011, hal. 78-85 Argumen utama yang disampaikan oleh Kaplan adalah bahwa Laut Cina Selatan akan menjadi wilayah konflik di masa depan. Perimbangan kekuatan (balance of power) antara Cina dan Amerika Serikat, menurut Kaplan, akan menjadi fitur utama dinamika keamanan di Laut Cina Selatan. Dengan menggunakan sumber-sumber lain, saya mendukung argumentasi Kaplan. Akan tetapi, ada beberapa poin yang dapat dikritisi. Poin-poin akan dibahas di akhir tulisan ini. Pada abad ke-21, wilayah dimana terjadi kontestasi kekuatan-kekuatan besar adalah Eropa. Keadaannya berubah pada abad ke-21 dimana wilayah yang akan menjadi "medan pertempuran" baru kekuatan-kekuatan besar dunia adalah Laut Cina Selatan. Menurut Kaplan, hal ini menjadi mungkin karena tiga hal utama: (1) lokasi Laut Cina Selatan, (2) cadangan energi yang tersimpan di Laut Cina Selatan, dan (3) sengketa wilayah yang melibatkan sejumlah negara di Laut Cina Selatan. Di ketiganya, Cina menjadi aktor utama. Laut Cina Selatan merupakan wilayah pertemuan proyeksi kekuatan sejumlah negara Asia Timur yang mulai "outward looking". Cina, dengan pertumbuhan ekonominya yang

Review ini akan membahas tentang tulisan Michael Mandelbaum (2005) yang mengungkapkan tentang peran Amerika Serikat sebagai "pemerintah dunia" pada isu-isu keamanan internasional. AS "memerintah" dalam sistem internasional, menurut Mandelbaum,

Internasional di Indonesia relatif muda usianya. 2 HI di Indonesia baru berkembang pada paruh kedua abad ke-20. Meskipun begitu, hal ini tidak seharusnya dijadikan justifikasi ketidakberkembangan HI di Indonesia. Karena, pada level global pun HI adalah cabang keilmuan yang relatif muda, baru lahir pada awal abad ke-20. Selain itu, di beberapa negara, perhatian terhadap teoritisasi HI semakin berkembang, di Cina dan India misalnya. 3

The focus of this study is on Indonesia's option to conduct military intervention as its foreign policy in Timor Portugis on 7 December 1975. The purpose of this study is to identify factors that influence the government of Indonesia to choose military intervention as in the case of Portuguese Timor. This study uses qualitative approach with data gathered from primary as well as secondary sources and, then, analyzed using descriptive-analytical method. This study concludes that the option to conduct military intervention to Timor Portugis on 7 December 1975 is due to three reasons, i.e.: (1) suportive policies of interested countries, (2) political interaction between foreign policy-making actors in Indonesia, and (3) the personality of President Suharto.//

The objectives of this article are twofold. First, it seeks to posit Jokowi’s foreign and security policies in the broader historical context of Indonesian foreign and security policymaking. Throughout history, Indonesia’s responses to its external environment, as manifested in its foreign and security policies, have been significantly influenced by a range of domestic factors including leaders’ personality and his/her attitude to international politics. Building upon the historical observation, this article seeks to understand Jokowi’s foreign and security policies in the South China Sea using a neoclassical realism framework. It argues that there has been a shift in Indonesia’s approach to the South China Sea problem, characterised by a more active and pragmatic diplomacy and a more assertive approach to territorial integrity. Both components, however, are not deterministic products of external threats as predicted by neorealist theories. Instead, they are influenced by Jokowi’s p...

The objectives of this article are twofold. First, it seeks to posit Jokowi’s foreign and security policies in the broader historical context of Indonesian foreign and security policymaking. Throughout history, Indonesia’s responses to its external environment, as manifested in its foreign and security policies, have been significantly influenced by a range of domestic factors including leaders’ personality and his/her attitude to international politics. Building upon the historical observation, this article seeks to understand Jokowi’s foreign and security policies in the South China Sea using a neoclassical realism framework. It argues that there has been a shift in Indonesia’s approach to the South China Sea problem, characterised by a more active and pragmatic diplomacy and a more assertive approach to territorial integrity. Both components, however, are not deterministic products of external threats as predicted by neorealist theories. Instead, they are influenced by Jokowi’s p...

The role of dark website in Global Salafi Jihad's Grand Strategy and how modern terrorism uses the internet as another front of their psychological warfare for cultivating the supports and mobilization, publicity and propaganda, networking and planning their actions.

Kehadiran Islamic Bank of Britain (IBB) di tahun 2004 merupakan
tonggak penting dalam studi ekonomi dan keuangan Islam. Kehadiran IBB ini diartikan sebagai „ekspansi‟ pertama sistem ekonomi dan keuangan Islam di luar Timur Tengah dan negara-negara Islam. IBB adalah bank ritel pertama berbasissyariah yang mendapatkan otorisasi dari Financial Services Authority (FSA).
Sejak didirikannya IBB, kondisi ekonomi dan keuangan Islam di Inggris semakin berkembang. Bahkan, Inggris adalah negara Barat (non-muslim) pertama yang berhasil menembus peringkat sepuluh besar negara-negara dengan aset keuangan Islam terbesar di dunia. Posisi ini kemudian menjadi semakin menarik
karena langkah Inggris dalam menerapkan sistem ekonomi dan keuangan Islam ini berimbas pada perputaran dana Sovereign Wealth Fund (SWF) dan Petrodolar dari kawasan Teluk (GCC) yang notabene negara-negara Islam eksportir minyak
yang kaya raya. Perbankan syariah, sebagai unit keuangan Islam, juga diyakini lebih kokoh akan gangguan krisis finansial yang sering kali meneror kondisi finansial negara-negara Barat sepeti Inggris.

Kata kunci: Ekonomi Islam, Keuangan Islam, Perbankan  syariah, SWF, FDI, Petrodollar

Penanaman Nilai Ideologis Terhadap Pemisahan Dewan Ekonomi dan Sosial dalam Badan Legislatif Prancis Terhadap Uni Eropa" Perubahan format negara Prancis yang berpindah antara Republik dan Monarki (sekarang ini disebut dengan Republik Kelima), berdampak langsung pada labilnya institusi pemerintahan sebagai unit operasional negara. Konstitusi Republik Kelima ini berakar pada pemikiran Charles de Gaulle dan Michel Debre, yang dituangkan dalam act of June 3, 1958, sebagai Presiden dan Perdana Menteri Prancis pada masa awal Republik Kelima. Charles de Gaulle menginginkan sistem pemerintahan Prancis yang lebih rigid namun efektif dalam menjalankan perannya masing-masing. Maka dari itu, ada dua tema besar yang diusung dalam reformasi konstitusi pada masa awal Republik Kelima, yaitu pertama adalah rekonstruksi wewenang negara di bawah kepemimpinan eksekutif yang kuat. Kedua adalah kemunculan konsep rationalized parliament yang menginginkan parlemen dengan kemampuan politik dan kekuasaan yang terbatas. Pada dasarnya kedua tema besar tersebut memang ingin menempatkan kekuatan dan kewenangan politik tertinggi pada Presiden. Perdana Menteri yang berada di bawah presiden, walaupun berada dalam satu kotak eksekutif Prancis, "hanya" diizinkan untuk menggalang koordinasi dan konsolidasi peranan lembaga dan institusi antara eksekutif, legislatif, dan yudisial. Hal ini berkaitan dengan argumen Michel Debre bahwa reformasi konstitusi dilakukan untuk merekonstruksi kekuatan negara. Charles de Gaulle juga menempatkan sistem pemerintahan sesuai dengan Trias Politica, yaitu dengan adanya pemisahan dan keseimbangan antara eksekutif, legislatif, dan yudisial. Charles de Gaulle sebagai Presiden pada masa awal Republik Kelima, membagi dua kategori tugas pemerintahannya. Pertama, la Politique, memperhatikan posisi Prancis dalam tatanan global dan melibatkan beberapa aspek seperti pertahanan, kebijakan luar negeri, dan hubungan dengan negara-negara bekas koloni Prancis. Sedangkan kategori kedua adalah tanggung jawab pemerintahan yang terkait dengan ekonomi dan sosial untuk mencapai tujuan-tujuan nasional atau domestik. Dari pembagian ini, kita akan melihat bahwa ada

This paper aims to review Indonesia’s significant progresses in developing its capacity in providing technical assistance within the framework of South-South Cooperation (SSC). The year 2019 had witnessed some advancements in the management of development cooperation towards the establishment of the future Indonesian Agency for International Development (Indonesian AID). These developments are reflected from the allocation of endowment fund as a source funding, series of studies conducted to prepare the establishment of Indonesian AID, the enactment of regulatory frameworks for the agency, and finally the launching of the Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional (LDKPI) or the Indonesian AID in October 18, 2019. Aside from reviewing those progresses, this paper also offers some proposals regarding measures and steps to undertake in order to achieve the agency’s main purpose and objectives. JEL Classification: F50; H11; O19

Tahukah anda terhadap hubungan antara Pemanasan Gloabl dengan Pencaplokan Israel atas Palestina?

Tahukan anda alasan mengapa Israel tidak mau melepaskan dataran tinggi Golan ke Libanon lebih disebabkan faktor lingkungan dari pada faktor keamanan?

Tahukah anda perang di masa depan bukan lagi disebabkan oleh etnis, negara, maupun ideologi tetapi karena pemanasan global?

Pernahkah anda berpikir perubahan iklim merupakan penyebab dari perang saudara di Darfur?

Pernahkah anda berpikir ada sekelompok orang yang mendapatkan keuntungan luar biasa dari pemanasan global dan mencairnya es di kutub utara?

Pernahkah anda berpikir bahwa sekarang manusia menuju kiamat yang dibuatnya sendiri?

Buku ini akan memberikan penjelasan kepada anda mengenai perang masa depan, kehancuran bumi, pemanasan global, dan akhir dari bumi.

Despite increased study of Southeast Asian regionalism, micro-regionalism in Southeast Asia remains comparatively less researched. With the emergence of decentralised states in the region, opportunities have opened up for sub-national authorities to play significant roles in the regional integration process, thereby affecting these processes in ways that cannot be underestimated. Taking cross-border cooperation between Indonesia’s West Kalimantan and Malaysia’s Sarawak as case study, this chapter seeks to examine how the dynamics of relations between local and central governments affect the deepening of cross-border cooperation between sub-national authorities, which is the foundation for emergent micro-regionalism.

Based largely on interviews from field research in West Kalimantan and Sarawak, this study finds that despite the increased involvement of business actors, existence of cross-border cooperation mechanisms and decentralisation, the emergence of micro-regionalism remains limited between West Kalimantan and Sarawak. Two inter-related inhibiting factors arising from local-central dynamics that hinder further cross-border cooperation between West Kalimantan and Sarawak were identified: (i) defective decentralisation caused by the absence of legal framework, lack of coordination between sub-national and central government institutions, and the limited authority given by the central government to the sub-national government, limiting the scope for West Kalimantan to conduct cross-border cooperation with Sarawak; and, (ii) the citing of the sovereignty issue by local elites to attract the attention of the central government to development issues in the border areas, which has caused unintentional deterioration of the relations between West Kalimantan and Sarawak.

The recent crackdown on peaceful protesters by the Egyptian military, which killed more than six hundred people, has sparked international outrage. But despite the magnitude of the violence, one in a series of bloody events in Egypt's journey toward a stable democracy, Indonesia's participation in the events — and indeed its support for the civilian government — remains relatively low key. Even prior to the recent crackdown, Indonesia did not show a firm stance against the coup perpetrated by the Egyptian military. As the third-largest democracy and the most populous Muslim country in the world, Indonesia should take a greater role in shaping and consolidating democracy in Egypt. But given the centrality of ASEAN and its principle of non-interference in Indonesia's foreign policy, Indonesia has been reluctant to pursue its role as a stable Muslim democratic country. Despite these hurdles, Indonesia should have a greater role in resolving the turmoil in Egypt.