Academia.eduAcademia.edu

Sakralitas Burung Manguni Dalam Teologi Kontekstual Orang (Tou) Minahasa

PASCA: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen

Artikel ini bertujuan mendeskripsikan budaya orang (Tou) Minahasa tentang sakralitas burung Manguni. Burung Manguni dipercayai sebagai burung suci yang berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara. Identitas Burung Manguni oleh Tou Minahasa di kenal dengan sebutan burung ot atau burung totosik. Burung Manguni bagi Tou minahasa memiliki simbol sakral. Oleh karena itu Tou Minahasa menjadikan burung ini sakral. Sikap masyarakat mendeskripsikan burung Manguni dalam teologi kontekstual terdapat dalam simbol Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), lambang/simbol daerah Minahasa, ukiran, dan pakaian batik khas Minahasa.  Tou Minahasa meyakini burung Manguni sebagai perantara antara manusia dan Tuhan Allah Yang Maha Besar (Opo Empung Wailan Wangko) dan menjadi pembawa kabar. Penelitian ini dipengaruhi oleh adat dan budaya Tou Minahasa yang berfungsi mengenali kepercayaan nenek moyang (leluhur) yang mengandung nilai-nilai luhur. Penelitian artikel ini menggunakan metode kualitatif melalui observas...

[Open Access] P a g e | 153 STT Baptis Indonesia Semarang PASCA: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen Sekolah Tinggi Teologi Baptis Indonesia Semarang ISSN: (Online) 2622-1144, (Print) 2338-0489 Volume 18, Nomor 2, Nov 2022, 153-161 Sacrality of The Manguni Bird in the Minahasa Contextual Theology Alon Mandimpu Nainggolan* Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado *nainggolanalon1008@gmail.com Juanda Manullang Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado Nency Aprilia Heydemans Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado Abstract This article aims to describe the culture of the Minahasa (Tou) people about the sacredness of the Manguni bird. The Manguni bird is believed to be a sacred bird initially originating from Minahasa, North Sulawesi. The identity of the Manguni bird by Tou Minahasa is known as the Ot bird or Tototic bird. The Manguni bird for Tou Minahasa has a sacred symbol. Therefore, Tou Minahasa made this bird sacred. The community's attitude to describing the Manguni bird in contextual theology is found in the symbols of the Evangelical Christian Church in Minahasa (GMIM), Minahasa regional symbols/symbols, carvings, and typical Minahasa batik clothes. Tou Minahasa believes that the Manguni bird is an intermediary between humans and God Almighty (Opo Empung Wailan Wangko) and is the bearer of news. This research is influenced by the customs and culture of the Tou Minahasa, which functions to recognize the beliefs of the ancestors (ancestors) that contain noble values. This article uses qualitative methods through observation, in-depth interviews, and literature study. The results of this study concluded that the Manguni bird, both physically and in Minahasa culture, contains sacred values and becomes the identity of Tou Minahasa. Keywords: manguni bird, Minahasa people, symbol, sacred, contextual theology DOI: 10.46494/psc.v18i2.209 Copyright: © 2022. The Authors. Licensee: This work is licensed under the Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. Submited: 31 May 2022 Accepted: 25 Nov 2022 Published: 30 Nov 2022 http://journal.stbi.ac.id Volume 18 Nomor 2 Tahun 2022 Open Access [Open Access] P a g e | 154 STT Baptis Indonesia Semarang Sakralitas Burung Manguni Dalam Teologi Kontekstual Orang (Tou) Minahasa Alon Mandimpu Nainggolan* Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado *nainggolanalon1008@gmail.com Juanda Manullang Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado Nency Aprilia Heydemans Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado Abstrak Artikel ini bertujuan mendeskripsikan budaya orang (Tou) Minahasa tentang sakralitas burung Manguni. Burung Manguni dipercayai sebagai burung suci yang berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara. Identitas Burung Manguni oleh Tou Minahasa di kenal dengan sebutan burung ot atau burung totosik. Burung Manguni bagi Tou minahasa memiliki simbol sakral. Oleh karena itu Tou Minahasa menjadikan burung ini sakral. Sikap masyarakat mendeskripsikan burung Manguni dalam teologi kontekstual terdapat dalam simbol Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), lambang/simbol daerah Minahasa, ukiran, dan pakaian batik khas Minahasa. Tou Minahasa meyakini burung Manguni sebagai perantara antara manusia dan Tuhan Allah Yang Maha Besar (Opo Empung Wailan Wangko) dan menjadi pembawa kabar. Penelitian ini dipengaruhi oleh adat dan budaya Tou Minahasa yang berfungsi mengenali kepercayaan nenek moyang (leluhur) yang mengandung nilai-nilai luhur. Penelitian artikel ini menggunakan metode kualitatif melalui observasi, wawancara mendalam dan studi pustaka. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa burung Manguni baik secara fisik maupun budaya Minahasa mengandung nilai sakral dan menjadi identitas Tou Minahasa. Kata-kata kunci: burung manguni, orang Minahasa, simbol, sakral, teologi kontekstual Pendahuluan S etiap daerah di Indonesia memiliki keyakinan dan kepercayaan yang berbeda-beda. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor seperti daerah tempat tinggal, nenek moyang, budaya, sejarah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat itu sendiri. Burung Manguni sangat lekat dengan budaya Minahasa sebagai penanda identitas, simbol sakral persatuan dan penjaga keberlangsungan alam termasuk hutan. Burung Manguni nama ilmiahnya Otus Manadensis, merupakan salah satu jenis satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan 1 Fransisca Solang, Johny S. Tasirin, and Wawan Nurmawan, “Distribusi Dan Populasi Burung Manguni (Otus Manadensis) Di Gunung Kosibak, Taman Nasional Bogani Nani http://journal.stbi.ac.id Menteri Lingkungan hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi.1 Orang (Tou) Minahasa mempercayai burung Manguni sebagai pembawa kabar. Berdasarkan sejarah, burung Manguni berasal dari kata mauni yang artinya mengamati. Di percaya dan diyakini burung Manguni ditugaskan Tuhan Allah Yang Maha Besar (Opo Empung Walian Wangko) untuk selalu memberi petunjuk kepada suku warga Minahasa. Menurut para ahli budaya Minahasa, kedekatan orang Minahasa dengan burung manguni terjadi pasca peristiwa air bah reda. Burung Manguni yang merupakan suatu Wartabone,” COCOS: Jurnal Ilmiah Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi 7, no. 3 (2016), https://doi.org/10.35791/cocos.v7i3.12120. Volume 18 Nomor 2 Tahun 2022 Open Access [Open Access] P a g e | 155 jembatan penyambung informasi antara Allah sebagai sang pencipta dengan mereka sebagai manusia. Burung Manguni bagi Tou Minahasa tentu tidak akan pernah lepas dari kehidupan sehari-hari. Orang Minahasa mempercayai bunyi burung Manguni dari penyampaian hootnya (bunyi suara) yang nyaring mengalun dan dilakukan berturut-turut sebanyak tiga kali sembilan atau Telu Makasiou, yang berarti ada tanda kemenangan terbaik. Pertanda tersebut dipakai ketika menemukan tempat awal untuk tempat tinggal menetap. Juga sebagai pertanda baik untuk melakukan penyerangan terhadap musuh dalam perang dan dipastikan akan berhasil dan menang. Tanda burung ini pula dipakai sebagai permintaan agar terkabulnya suatu keinginan. Tiga atau telu mengartikan tiga kekuatan dari Tuhan, Alam, dan Manusia. Tiga itu sendiri mengandung arti sembilan kekuatan, yakni tiga kali tiga sama dengan sembilan. Angka suci Tou Minahasa adalah 999 (sembilan, sembilan, sembilan) yang merupakan angka sempurna.2 Burung Manguni di sebut Totosik artinya burung yang banyak beraktivitas di malam hari sedangkan di siang hari kurang beraktivitas. Ia mempunyai mata tajam dan kepalanya bisa diputar sampai ke belakang. Di berbagai belahan dunia Manguni dipakai sebagai lambang wisdom, penegetahuan, kepintaran. Ternyata bunyi ini berasal dari bahasa “Han to to sik” dalam bahasa Minahasa, yang berarti “burung Manguni berdesis”. Dengan cara ini burung Owl (memberi peringatan akan adanya bahaya. Tidak semua manusia memahami Bunyi burung Manguni. Di Minahasa hanya leluhur opo mamarimbing yang bisa mengerti tentang arti suara burung Manguni. Jenis suara burung siang adalah: Lowas (keeke rondor) atau tertawa terus menerus, bearti ada berita menyenangkan yang akan datang. Keeke tenga wowos atau tertawa tidak terus menerus, bearti tidak ada kabar yang akan menggangu perasaan. Mangalo (mangoro) 2 N. Frs Raymond, “Manguni (Burung Hantu) Burung Suci Di Minahasa,” https://www.indonesiana.id, 2019. 3 W.A. Roeroe, “I Yayat U Santi: Injil Dan Kebudayaan Di Tanah Minahasa,” UKIT Press (Tomohon, 2003), 166–67. 4 Rizkianingtyas Tiarasari, “7 Binatang Yang Paling Setia Pada Pasangannya, Jadi Bikin Baper,” https://travel.tribunnews.com/2017/publication, 2017. http://journal.stbi.ac.id STT Baptis Indonesia Semarang atau bunyi suara parau, berarti si pendengar harus waspada. Bunyi yang sangat nyaring dan agak panjang, artinya, bila bunyi berasal dari sebelah kiri pendengar berarti pertanda baik, sebaliknya, bila bunyi dari sebelah kanan berarti pertanda buruk atau menakutkan. Sementara jenis suara burung malam adalah Manguni yang memiliki bunyi yang merdu, berarti ada hal yang menyenangkan. Bunyi hampir-hampir merdu tetapi agak putusputus, bearti tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Paapian atau bunyi perlahanlahan dan parau, berarti ada sesuatu hal yang membimbangkan. Kiik atau bunyi panjang dan keras (sekali saja). Bila bunyi berasal dari sebelah kiri pendengar, berarti pertanda baik dan berkah, dan sebaliknya, bila bunyi dari sebelah kanan berarti pertanda menakutkan, dan si pendengar harus waspada. Namun tidak semua bunyi burung Manguni bisa dipahami oleh manusia (Refans 2019, 10-15).3 Keunikan lain burung Manguni sebagai hewan yang setia karena hanya satu kali kawin dalam seumur hidupnya.4 Simbol burung Manguni sampai saat ini masih menjadi simbol Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), simbol Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Utara, Kota Manado, Kota Tomohon, Kota Bitung yang mewujudkan identitas kultural Minahasa. Kemudian, burung Manguni bisa ditemui dalam ukiran dan batik Minahasa. Denni H. R. Pinontoan menjelaskan Manguni dan Kristen Nasionalisme mengandung simbol, makna Injil, identitas Kristen di tanah Minahasa.5 Pengaruh masuknya kekristenan di Minahasa dengan hadir para Pengabar Injil yang beraliran pietis dan pengaruh globalisasi membuat makna burung Manguni mengalami pergeseran makna.6 Burung Manguni dianggap sakral berubah maknya menjadi nama burung hantu. Meskipun nama burung Manguni mengalami pergeseran makna, tetapi eksistensi burung Manguni dalam memori Denni H.R. Pinontoan, “Manguni and Christian Nationalism (in) Minahasa,” Kawanua International Journal of Multicultural Studies, 2020, 48–58, https://doi.org/10.30984/kijms.v2i1.9. 6 Jantje Hendrik Supit, Wajah Sejarah Minahasa Dalam Mata Dunia (Lansot: CV. Anggrek Berkat Tomohon, 2019), 52. 5 Volume 18 Nomor 2 Tahun 2022 Open Access [Open Access] P a g e | 156 kolektif Tou Minahasa masih memiliki nilai sakralitas. Penyebab lain terjadi pergeseran makna yakni perubahan fungsi hutan menjadi tempat pemukiman penduduk mengakibatkan spesies burung Manguni semakin punah. Akibatnya masyarakat kurang memahami makna sakralitas burung Manguni dalam adat istiadat Minahasa. Artikel ini menggunakan teori sakralitas simbol dari Mircea Eliade dan teologi kontekstual melalui kajian teologi tanpa Tinta oleh Izak Lattu. Eliade menjelaskan tentang manifestasi dari yang kudus dalam simbol, yang sakral dan profan. Dillistone menjelaskan perilaku hidup manusia yang dilakukan secara teratur dipengaruhi oleh kebudayaan.7 Kemudian menurut Lattu, teologi perlu dibebaskan dari penjara tinta, karena teologi hidup dalam memori kolektif dan logos berada pada realitas memori kolektif masyarakat.8 Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti akan merumuskan bagaimana burung Manguni dalam budaya Tou Minahasa. Metode Artikel ini menggunakan penelitian kualitatif melalui metode deskriptif untuk menarasikan temuan yang ada di lapangan melalui para informan.9 Teknik penelitian yang digunakan adalah observasi, wawancara, dokumentasi dan studi pustaka. Penulis melakukan wawancara secara langsung dan melalui telepon, whatsapp. Penelitian ini dilakukan di Tomohon dan Manado, Sulawesi Utara. Para responden yakni Denni Pinontoan (DP) adalah dosen, Bode Talumewo (BT) sebagai sejarawan Minahasa, Iswan Sual (IS) selaku Ketua Organisasi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Lalang Rondor Malesung dan Mario Suoth (MS) sebagai seorang pemuda GMIM. Studi pustaka yang Fredrik William Dillistone, The Power of Symbols, Daya Kekuatan Simbol (Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 2002), 144. 8 Izak Lattu, Teologi Tanpa Tinda: Mencari Logos Melalui Ethnographi Dan Folklore Dalam Membangun Gereja Gerakan Yang Cerdas Dan Solider: Apresiaasi Terhadap Kegembalaan Ignatius Kardinal Suharyo, Fransiskus Purwanto 7 http://journal.stbi.ac.id STT Baptis Indonesia Semarang digunakan seperti buku, jurnal, artikel online dan catatan-catatan berkaitan dengan penelitian lapangan. Penelitian dilakukan selama bulan September sampai dengan Desember 2021. Analisis data yang dilakukan antara lain pertama, mereduksi data yakni memilih data-data yang penting dalam penelitian daan membuang data yang tidak penting untuk menghasilkan kesimpulan akhir. Kedua, penyajian data dalam bentuk deskripsi untuk menganalisis data. Ketiga, menghasilkan kesimpulan berdasarkan analisis data yang diperoleh. Hasil & Pembahasan Teori Sakral dan Teologi Kontekstual Eliade memaparkan tentang yang sakral dan profan.10 Yang sakral merupakan bagian tentang supernatural memngenai sesuati yang adikodrati, bersifat abadi, dan penuh substansi di mana menjadi ruang tercipta segala keteraturan, kesempurnaan, tempat berdiamnya roh para leluhur, dewa-dewi dan kestaria. Seseorang yang mengalami perjumpaan dengan yang sakral merasa terjadi sesuatu yang nir-duniawi dan yang belum pernah dikenal sebelumnya. Dimensi yang sangat kuat dipahami sebagai realitas abadi yang tak terbandingi. Kemudian profan berkaitan dengan bidang kehidupan seharihari sepeti melakukan kegiatan secara teratur, mengalami transformasi, manusia bisa melakukan perbuatan salah dan kacau (chaos). Sedmak menyatakan bahwa terjadi dialog antara teologi dan budaya.11 Teologi perlu menyesuaikan pesan Yesus dari konteks budaya-Nya ke dalam konteks budaya lokal. Ia menanggapi bahwa tidak ada di dunia ini yang berbicara tentang ‘budaya Kristen universal’. Teologi dan budaya lokal membentuk teologi kontekstual. Teologi dikembangkan menjadi situasi sosial budaya setempat. Sebab itu, teologi dipanggil sesuai situasi sosial, dengan Dan Agustinus Tri Edy Warsono (Yogyakarta: Sanata Dharma University Press, 2020), 105. 9 Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rosda Karya, 2011), 31. 10 Mircea Eliade, The Sacredand the Profan (New York: Harcout, Brace World, 1956), 8–13. 11 Clemens Sedmak, Doing Local Theology: A Guide for Artisans of a New Humanity (New York: Orbis Books, 2002), 71–75. Volume 18 Nomor 2 Tahun 2022 Open Access [Open Access] P a g e | 157 melayangkan pertanyaan kritis untuk diri sendiri dalam mengkontruksi teologi lokal dan membangun identitas lokal. Dibutuhkan analisis sosial sebagai bagian menegakkan keadilan dalam konteks sosial yang merupakan teologi kontekstual untuk menyelesaikan masalah-masalah teologis. Perlu terjadi dialog antara teologi dengan analisis sosial dan politik demi keadilan dalam struktur sosial lokal. Sedmak menjelaskan bahwa penyataan sifat Allah dalam budaya memberitahukan banyak hal mengenai sistem nilai budaya. Lattu mengkaji mengenai teologi tanpa tinta dengan upaya menemukan Logos melalui Folklore.12 Folklore merupakan teks yang hidup dalam memori sosial (collective memory) dan menjadi upaya masyarakat untuk merekonstruksi masa lalu, menghidupi masa kini dan mengantisipasi masa depan. Ia menuliskan bahwa sudah sejak lama teologi dipenjara di dalam imperialisme tinta. Karena itu terjadi penolakan untuk memaknai Tuhan dan pergumulan umat dalam folkslore sebagai pengetahuan masyarakat. Realitas berteologi membuka cakrawalah berpikir dan pengalaman bagi pencarian teologi di dalam budaya dan pergumulan masyarakat setempat. Lanjut menurutnya bahwa membaca tindakan, pikiran orang lain bagaikan membaca Logos dalam kehidupan masyarakat. Ia meminjam ide Ricoeur yang menegaskan bahwa manusia tidak dapat berpikir tanpa kehadiran orang lain dalam hidupnya. Orang lain bukan dilihat sebagai musuh dan bukan sebagai saingan, melainkan orang lain sebagai bagian dari diri sendiri. Ia berpendapat bahwa orang lain dipandang sebagai teks tanpa tinta yang hadir melalui kata dan tindakan. Memori kolektif masyarakat menyimpan pengetahuan dalam bentuk simbol, ritual, dan narasi lisan. Pergumulan kekristenan sekarang dalam bentuk kelisanan berdasarkan konteks waktu dan tempat di era globalisasi. Lattu menuliskan tentang dekonstruksi teks berteologi merupakan usaha berteologi tidak hanya berangkat dari teks kitab suci dan tulisan teolog-teolog klasik dan modern, akan tetapi terdapat dalam narasi masyarakat sebagai teks yang hidup di tengah masyarakat (living teks). Teks lebih luas dari sekedar tulisan tinta. Ini disebabkan karena teks 12 Lattu, Teologi Tanpa Tinda: Mencari Logos Melalui Ethnographi Dan Folklore Dalam Membangun Gereja Gerakan Yang Cerdas Dan Solider: Apresiaasi Terhadap Kegembalaan http://journal.stbi.ac.id STT Baptis Indonesia Semarang merupakan pesan bukan tinta. Dalam konteks Indonesia, masyarakat mengenal tinta dalam bidang politik, agama dan bisnis di era perdagangan rempah. Era sebelumnya masyarakat hidup dalam tradisi kelisanan.13 Masyarakat menyimpan pengetahuan pada tradisi kelisanan seperti simbol dan tanda simbolik, narasi lisan dan ritualitas.14 Menurut Lattu, setiap masyarakat memiliki keunikan pengetahuan sendiri (folklore) yang berbeda dengan masyarakat lainnya karena aspek sui generis dan kesadaran kolektif masyarakat yang menjadi dasar penting dalam berteologi. Berdasarkan pemahaman para ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa kehadiran burung Manguni menjadi simbol yang sarat makna dalam ritual adat Minahasa sebagaimana pendapat Eliade. Selanjutnya berdasarkan perspektif Lattu yang menjelaskan bahwa teologi lokal dapat memperkaya kehidupan umat dalam berteologi Indonesia dalam konteks Minahasa. Burung Manguni di Tanah Minahasa Observasi dan wawancara yang penulis lakukan terharap para budayawan, pimpinan adat, dosen dan pemuda menyampaikan bahwa masyarakat Minahasa termasuk kaum muda sudah kurang memahami narasi dan makna kehadiran burung Manguni. Adapun hasil lapanganna, antara lain: BT menuturkan bahwa burung Manguni sebagai pemberi tanda kepada orang Minahasa mengenai berita baik dan buruk. Burung ini menjadi simbol hubungan transenden kepada Amang Kasuruan, karena ia dipercayai bisa ‘terbang’ ke Sorga. Amang Kasuruan berasal dari akar kata suru, artinya sumber segala sesuatu. Ketika para zending masuk di tanah Minahasa, kata Amang ditambah dibagian depan sebagai simbol kelamin, pria. Dengan demikian, Amang Kasuruan identik dengan Bapa Pencipta, sesuai kepercayaan orang Kristen. Tanda yang disampaikan burung Manguni melalui suara siulannya masih BT pahami. Ia belajar dari alam dengan mendengar dan merekam langsung bunyi yang disampaikan burung Manguni ini. Pengaruh kekristenan di Minahasa membuat burung Manguni menjadi Ignatius Kardinal Suharyo, Fransiskus Purwanto Dan Agustinus Tri Edy Warsono, 90–111. 13 Lattu, 92. 14 Lattu, 91. Volume 18 Nomor 2 Tahun 2022 Open Access [Open Access] P a g e | 158 simbol dari Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Diikuti dengan kabupaten dan kota menggunakan simbol Manguni disebabkan Tou Minahasa memiliki tanah pusaka leluhur dan tanah adat Minahasa. Sekarang ini, tidak semua orang Minahasa memahami bunyi dan makna suara burung Manguni. Ini disebabkan masuknya kekristenan yang beraliran pietisme yang menekankan kesalehan hidup jemaat dan menganggap burung Manguni sebagai ‘burung hantu’. Kosmologi Tou (orang) Minahasa menceritakan bahwa burung Manguni dipercayai sebagai burung sakral. Abad 5 Sebelum Masehi (SM) Tou Minahasa sudah memiliki budaya dan seni, antara lain seni musik dan lagu merdu burung Manguni. Siulan suara musik, lagunya begitu bagus, merdu, dan indah (wangun). Siulan ini memberikan tanda isyarat bahwa akan terjadi sesuatu. Pada waktu itu, seorang tonaas yang memimpin desa (wanua) meminta petunjuk dengan mendengarkan siulan burung Manguni. Kepercayaan Tou Minahasa di masa lampau disebut agama Malesung. Supit menuliskan (2019: 3-7) agama Malesung merupakan agama purba Minahasa yang menganut Monoteisme percaya kepada ‘Wailan Wangko’ – yang besar, yang paling berkuasa. Malesung adalah memuji (= ma) dan memohon atau meminta dengan segenap hati dan bersungguh-sungguh (= lusu) kepada Tuhan (= ung). Dapat dipahami bahwa Ung kemudian disebut sebagai Empung dan dipanggil Opo Empung. Tou Minahasa purba dalam awal permintaan doa menyampaikan pujian. Arti pujian adalah mengagungkan Opo Empung dan manusia merendahkan diri. Sesudah memuji diikuti dengan meminta hikmat dan pengertian hidup yang tidak berkesudahan kepada Opo Empung. Karena itu, Opo Empung disebut juga Opo Kasuruan yang artinya sumber kebenaran (= su), kehidupan (= ru) ialah Tuhan (= ung berubah menjadi an). Burung Manguni identik dengan budaya Minahasa sebagai simbol hikmat yang dikaruniakan Opo Empung. Bagi Tou Minahasa, burung Manguni disebut dengan sebutan burung ‘tosyik’ atau ‘totosyik’ dan disebut juga burung ‘mahot’, atau ‘ot’. Burung ini dalam bahasa latin disebut Otus Manadensis (Strigidae). Simbol hikmat bisa diketahui melalui rangkaian tanda siulan. Perhitungan siulan bagi Tou Minahasa terdiri dari satu, dua sampai angka sembilan. Urutan angka 9 disebut ‘siow’. Akan tetapi siulan http://journal.stbi.ac.id STT Baptis Indonesia Semarang burung Manguni dalam kepercayaan Minahasa sebagai tanda ‘bunyi dalam satu rangkaian disebut ‘tosyik’. Bunyi burung Manguni memiliki makna bunyi tertentu. Dalam budaya Minahasa leluhur Lumimut-Toar memberi makna hitungan bunyi burung Manguni yakni pertama, Makarua Siow (2 x 9) artinya angka bahagia, keberuntungan, berita yang baik dan bunyi burung Manguni rangkaian ‘bunyi sembilan kali.’ Kedua, Makatelu Pitu (3 x 7) artinya angka indah, angka emas dari rangkaian ‘bunyi tujuh kali.’ Ketiga, Pasiowan Telu (9 x 3) artinya angka bahagia, keberuntungan yang baik dari rangkaian ‘bunyi sembilan kali.’ Angkat ketiga menunjuk pada Mata Ketiga atau Mata Jiwa. Misalnya, di saat orang lain ingin berbuat jahat, dan secara kebetulan mendengar bunyi burung Manguni maka orang tersebut akan membatalkan niatnya. Menurut DP, Kehidupan beragama Tou Minahasa pada masa lalu dipenuhi dengan berbagai ritual. Pemimpin adat disebut Walian. Dalam ritual itu sudah tersedia siri, pinang, saguer dan jenis hewan tertentu. Di setiap ritual, pasti ada bunyi burung Manguni yang mengitari prosesi adat tersebut. Burung Manguni disebut sebagai burung sakral karena menjadi media dari manusia kepada opo baik dalam ritual maupun dalam kehidupan setiap hari. Menurut DP, dalam mitologi Minahasa, seorang tokoh mitologi bernama Muntu-untu disebut sebagai salah satu anak dari Lumimuut - Toar, dua sosok ini diyakini sebagai asal usul orang Minahasa. Sosok mitologis lainnya adalah Mamarimbing. Dalam cerita tradisional, tokoh mitologi ini dihubungi opo Mamarimbing atau opo Manalinga dengan mendengar suara burung Manguni di malam hari. Mendengarkan suara burung Manguni telah menjadi petunjuk dalam kegiatan masyarakat. Antara lain, ketika mereka ingin pergi dalam perjalanan. Suara Manguni ditafsirkan sebagai tanda pemberi pesan baik, maka perjalanan akan terus dilakukan. Akan tetapi jika pesannya adalah tidak baik, maka perjalanan akan ditunda sampai hari berikutnya. Begitu juga aktivitas dalam berkebun misalnya menebang kayu, membuka lahan, dan membangun rumah. Orang harus terlebih dahulu mendengarkan pesan burung Manguni ini baru mengerjakan sesuatu. Pesan burung Manguni memberikan tanda sesuatu akan terjadi di kemudian hari. Roeroe menuliskan keberadaan burung Manguni lima kali lebih tua dari umur Volume 18 Nomor 2 Tahun 2022 Open Access [Open Access] P a g e | 159 STT Baptis Indonesia Semarang manusia.15 Karena itu, ia lebih berpengalaman hidup lestari di alam ini. Bahkan ia dikategorikan sebagai burung berhikmat. Ia identik dengan warna bulu coklat gelap bertaburan noda dan bintik-bintik putih kecil di seluruh tubuhnya. Ukuran panjang 40 cm dan tinggi 15-20 cm. Mata dan kepalanya agak besar bahkan kepalanya berputar sampai 270 derajat. Penglihatan burung Manguni 100 kali lebih tajam dari mata kucing. Itu berarti matanya 500 kali lebih tajam daripada mata manusia baik di malam hari maupun di siang hari. Sebaliknya, pendengarannya 500 kali lebih terang dari manusia. Ini disebabkan kedua ‘daun telinganya’ yang besar dan lobang telinganya mengantar gelombang atau getaran ke dalam rongga pendengaran yang tercipta sangat canggih. Telinganya bisa mendengar bunyi dengan cepat melalui jarak yang jauh secara cepat, cermat dan akurat. Ismail menuliskan mulutnya kecil dibandingkan mulut burung beo dan sejenisnya.16 Burung manguni memang burung pendiam. Ia jarang berkicau atau bersiul. Tetapi, sekali bersiul maka siulannya penuh makna. Siulannya berfungsi sebagai peringatan dini untuk menginformasikan keadaan bahaya, kicauanya tergesa-gesa. Sebaliknya, untuk memberitahukan keadaan aman, kicauan temponya tenang dan syahdu. Makanannya ialah tikus kecil di perladangan atau sawah padi. Ia hidup di hutan dan pohon-pohon tua yang berbolong batang-batangnya untuk sarang dan tempat perteduhan agar supaya dapat berkembang biak dengan baik. Keunikan lain dari burung Manguni yakni ia makhluk monogamis, artinya ia hanya memiliki satu pasang atau pacar seumur hidup. Bagi IS, burung Manguni sebagai burung sakral, suci, karena dia membawa pesan dari Sang Pencipta. Bagi penganut agama Malesung, burung Manguni dinamakan koko I mamarimbing artinya burung peliharaan dari leluhur Mamarimbing (yang menguasai ilmu tanda alam). Burung Manguni menurut IS sebagai teman, pembawa kabar baik maupun kabar buruk dan menghibur. Sebelum melakukan sesuatu kegiatan, kita meminta doa dan tanda. Berkaitan dengan tanda, jikalah tandanya baik berarti bunyinya merdu. Sedangkan bunyi bernada sedih atau marah berarti kegiatan tidak akan berhasil, orang mati, kebakaran, banjir, longsor dan tidak direstui. Tanda yang minta seperti akan merantau, bangun rumah, mengadakan perjalanan, buka kebun, mendirikan pemukiman, acara pernikahan, perjanjian dan sebagainya. Para leluhur Minahasa hidup dan bergaul erat dengan alam bersama segala yang hidup di dalamnya termasuk burung Manguni. Mereka belajar, bergaul dan berupaya memahami bentuk-bentuk ungkapan keberlangsungan hidup bersama sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sebab itu para leluhur Minahasa menganggap burung Manguni sebagai teman, rekan hidupnya sehari-hari dalam alam ini. Bahkan Ia dianggap sebagai perantara antara manusia dan Dia Yang Maha Tinggi (Opo Wailan Wangko). Di malam hari yang indah dan teduh, ia membari kabar atau isyarat kepada manusia lewat bunyi nyanyiannya.17 Karakteristik burung Manguni antara lain mengamati dengan cermat, mendengar dengan teliti dan berbicara secara pas disebut bijak oleh para pengamsal menuliskan “Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak” (Amsal 25:11). Dalam bahasa Ibrani al atau al millet berarti jitu, cocok dan tepat. Artinya perkataan yang tepat pada waktu yang tepat. Burung Manguni sedikit berbicara, tetapi banyak merenung, berpikir, berefleksi dan berkontemplasi. Sebab itu, Ismail menuliskan burung Manguni sebagai ikon hikmat dengan jarang berbicara, tetapi sekali bicara keluar petuah penuh wibawa.18 Menurut MS, burung Manguni ini biasanya disebut “burung hantu”. Ini disebabkan suaranya yang nyaring dan matanya yang besar memberikan tanda di malam hari. Sebagai anak muda, MS kurang memahami makna burung Manguni ini. Baik kurang pemahaman ilmu pengetahuan yang didapat maupun kurangnya buku yang diperoleh. Bukan hanya MS, tetapi juga beberapa temannya kurang memahami makna kehadiran burung Manguni di tanah Minahasa. Pengaruh globalisasi dengan perkembangan ilmu pengetahun dan teknologi menjadi faktor anak muda sekarang kurang berminat dengan budaya Minahasa. 15 Roeroe, “I Yayat U Santi: Injil Dan Kebudayaan Di Tanah Minahasa,” 163–80. 16 Andar Ismail, Selamat Berhikmat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2021), 40. 17 Roeroe, “I Yayat U Santi: Injil Dan Kebudayaan Di Tanah Minahasa,” 164–65. 18 Ismail, Selamat Berhikmat, 41. http://journal.stbi.ac.id Volume 18 Nomor 2 Tahun 2022 Open Access [Open Access] P a g e | 160 STT Baptis Indonesia Semarang Pengakuan MS mengenai burung Manguni sangat memperihatinkan. Disebabkan kurang pemahaman dan pengaruh globalisasi. Menurut Roeroe (2003) ada beberapa orang berpendapat bahwa burung hantu berada di lambang GMIM dan lambang daerah kota maupun kabupaten di Minahasa.19 Roeroe tidak setuju dengan pernyataan burung hantu ini. Disebabkan burung Manguni adalah burung sakral, berhikmat dan sebagai pengatara antara Tuhan Allah Pencipta kepada manusia. Manusia memiliki tugas untuk menjalankan amanat panggilan dengan merawat, menjaga dan memelihara burung Manguni ini. Diapun diselamatkan oleh karya Kristus Yesus (Kolose 1:20). Burung Manguni ini sudah hampir punah bersamaan dengan hutan di alam ini. Menjadi tugas bersama untuk menyelamatkan dia dari kepunahan. Seperti menjaga hutan dan pohon-pohon besar sebagai tempat pemukiman dan perteduhannya. Agar supaya ia tetap hidup dan menyampaikan pesan atau berita perantara dari Tuhan Pencipta Alam Semesta kepada manusia. Burung Manguni menjadi ikon di tanah Minahasa. Itulah sebabnya burung Manguni disimbolkan sebagai identitas Tou Minahasa seperti lambang GMIM. Sakralitas burung Manguni dalam lambang GMIM menunjuk pada gereja di tanah Minahasa. Warna coklat pada gambar burung Manguni melambangkan gereja yang dewasa dan mandiri dalam kehidupan berjemaat. Mawar ditempatkan di jantung burung Manguni melambangkan reformasi di mana Yesus Kristus sebagai pokok Pembaharu Gereja dan telah digunakan dalam Gereja Reformasi sejak abad ke-16. Bulatan berwarna biru di dada melambangkan gereja GMIM di utus ke dalam dunia sedangkan warna hitam pada salib di tenga hati (jantung) berwarna merah melambangkan pengorbanan Kristus yang menjiwai persekutuan, kesaksian dan pelayanan GMIM. Warna biru laut menjadi simbol GMIM akan tetap menghadapi pergumulan kecil dan besar sedangkan putih melambangkan kekudusan dan kebenaran Injil Yesus Kristus. Sembilan helai sayap luar menunjuk pada bulan September dan tanggal peresmian 30 tergambar pada lima kelopak daun dan ujung meruncing yang melingkar sampai ke jantung, Sedangkan tahun 1934 merupakan jumlah keseluruhan helai sayap. Bagian ekor terdapat sepuluh ranting yang menggambarkan wilayah pelayanan terdiri atas Manado, Maumbi, Tomohon, Tondano, Langowan, Sonder, Ratahan, Amurang, Motoling, dan Airmadidi. Tulisan GMIM menunjuk pada gereja yang hadir di tanah Minahasa di Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di seluruh dunia. Warna hitam menunjuk pada solidaritas sampai akhir.20 Selain itu, burung Manguni terdapat dalam lambang pemerintahan kota, kabupaten yang ada di tanah Minahasa. Roeroe, “I Yayat U Santi: Injil Dan Kebudayaan Di Tanah Minahasa,” 168–79. Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa, Tata Gereja GMIM (Tomohon, 2016), 161–62. 19 http://journal.stbi.ac.id Konklusi Burung Manguni merupakan burung sakral, suci yang dipercayai sebagai perantara para leluhur untuk menjaga keselamatan Tou Minahasa melalui tanda bunyi suaranya. Burung Manguni sedikit bersuara, tetapi banyak merenung, berefleksi dan berkontemplasi. Keunikan burung Manguni terletak pada bentuk mata, mulut, telinga dan kesetiaan kepada pasangannya (monogamis). Sementara itu hutan dan pohon-pohon besar ditebang untuk kepentingan pemukiman manusia mengakibatkan tempat tinggal burung Manguni semakin sempit dan terancam punah. Pergumulan kekristenan sekarang dalam bentuk kelisanan terjadi di era globalisasi. Ada tantangan yang dihadapi baik dari diri sendiri, teman pemuda sejawat yang kurang memahami kehadiran burung Manguni di tanah Minahasa. Pemuda kurang mengetahui makna burung Manguni bagi kehidupan saat ini. Akan tetapi bagi budayawan, peneliti dan pimpinan adat menyatakan bahwa burung Manguni sebagai teman dan pengantara kepada Tuhan Allah Yang Maha Besar (Opo Empung Wailan Wangko) yang perlu dilestarikan dan dipahami oleh generasi muda. Sakralitas burung Manguni yang hidup dalam memori kolektif dan logos berada pada realitas memori kolektif masyarakat yang perlu dilestarikan dan dimaknai. Burung Manguni 20 Volume 18 Nomor 2 Tahun 2022 Open Access [Open Access] P a g e | 161 menjadi penanda identitas dan simbol sakral yang terdapat dalam simbol Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), ukiran, kain batik Minahasa, dan simbol di seluruh kabupaten dan kota di tanah Minahasa. STT Baptis Indonesia Semarang Setia Pada Pasangannya, Jadi Bikin Baper.” https://travel.tribunnews.com/2017/publicat ion, 2017. Referensi Dillistone, Fredrik William. The Power of Symbols, Daya Kekuatan Simbol. Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 2002. Eliade, Mircea. The Sacredand the Profan. New York: Harcout, Brace World, 1956. Ismail, Andar. Selamat Berhikmat. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2021. Lattu, Izak. Teologi Tanpa Tinda: Mencari Logos Melalui Ethnographi Dan Folklore Dalam Membangun Gereja Gerakan Yang Cerdas Dan Solider: Apresiaasi Terhadap Kegembalaan Ignatius Kardinal Suharyo, Fransiskus Purwanto Dan Agustinus Tri Edy Warsono. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press, 2020. Minahasa, Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di. Tata Gereja GMIM. Tomohon, 2016. Moleong, Lexy. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rosda Karya, 2011. Pinontoan, Denni H.R. “Manguni and Christian Nationalism (in) Minahasa.” Kawanua International Journal of Multicultural Studies, 2020. https://doi.org/10.30984/kijms.v2i1.9. Raymond, N. Frs. “Manguni (Burung Hantu) Burung Suci Di Minahasa.” https://www.indonesiana.id, 2019. Roeroe, W.A. “I Yayat U Santi: Injil Dan Kebudayaan Di Tanah Minahasa.” UKIT Press. Tomohon, 2003. Sedmak, Clemens. Doing Local Theology: A Guide for Artisans of a New Humanity. New York: Orbis Books, 2002. Solang, Fransisca, koy S. Tasirin, and Wawan Nurmawan. “Distribusi Dan Populasi Burung Manguni (Otus Manadensis) Di Gunung Kosibak, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.” COCOS: Jurnal Ilmiah Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi 7, no. 3 (2016). https://doi.org/10.35791/cocos.v7i3.12120. Supit, Jantje Hendrik. Wajah Sejarah Minahasa Dalam Mata Dunia. Lansot: CV. Anggrek Berkat Tomohon, 2019. Tiarasari, Rizkianingtyas. “7 Binatang Yang Paling http://journal.stbi.ac.id Volume 18 Nomor 2 Tahun 2022 Open Access