Rama, A., “Crowdfunding Syariah”, 2023
Crowdfunding Syariah
Ali Rama, PhD
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Crowdfunding atau umumnya dikenal sebagai urun dana menjadi istilah yang populer
belakangan ini terutama sebagai alternatif sumber pendanaan bagi ide-ide kreatif dan inovasi
maupun proyek-proyek sosial. Keunggulan model crowdfunding terletak pada dimungkinkannya
bagi setiap individu atau organisasi untuk melakukan penggalangan dana baik untuk tujuan
bisnis maupun sosial dengan jumlah kontribusi kecil tanpa kewajiban untuk memenuhi standar
kelayakan yang umumnya digunakan pada sistem perbankan. Selain itu, crowdfunding dengan
menggunakan platform digital berbasis internet dapat menjangkau berbagai komunitas tanpa ada
hambatan lokasi dan geografis bagi para penyedia dana maupun pelaku usaha.
Secara konsep, crowdfunding memiliki kesamaan dengan crowdsourcing dan microfinance.
Crowdsourcing adalah istilah yang dipopulerkan oleh Jeff Howe dalam sebuah artikel ‘The Rise
of Crowdsourcing’, yaitu usaha mobilisasi potensi crowds yang terpisah-pisah dan tidak
terorganisir yang berada di dunia maya untuk mendapatkan informasi, opini, konten, atau dana
yang umumnya secara gratis untuk kepentingan penciptaan nilai. Contohnya, seseorang dapat
mendapatkan masukan tentang sebuah produk dengan hanya bertanya kepada komunitas
onlinenya di Instagram atau Facebook daripada harus membayar konsultan profesional berbiaya
tinggi. Menurut James Surowiecki (1967) dalam bukunya ‘The Wisdom of Crowds’ bahwa
pendapat yang dibuat oleh sekumpulan orang banyak, meskipun individu dalam grup tersebut
bukan kelompok intelektual, kadang jauh lebih baik dibandingkan dengan pendapat seorang ahli.
Olehnya, crowdfunding dianggap pengembangan dari konsep crowdsourcing karena para
pengusaha atau inisiator proyek menarget crowds dalam penggalangan dana usahanya
dibandingkan dengan para profesional investor.
Selain itu, crowdfunding juga dapat inspirasi dari konsep microfinance, yaitu mobilisasi
komunitas yang luas untuk penyediaan pendanaan yang terjangkau bagi pekerja mandiri atau
pegusaha UMKM yang umumnya terpinggirkan dari tradisional perbankan dan lembaga
keuangan.
Crowdfunding sebagai alternative pendanaan kewirausahaan (entrepreneurial finance) memiliki
beberapa model, termasuk donasi, imbalan, utang maupun ekuitas. Kalau dilihat secara siklus
hidup usaha bisnis, strategi pembiayaan melalui crowdfunding donasi lebih cocok pada tahap
pengembangan ide menjadi peluang bisnis, karena pada tahapan ini usaha belum menghasilkan
produk atau pendapatan yang bisa ditawarkan ke crowds. Ketika usaha rintisan sudah ada
pendapatan awal yang dihasilkan, maka usaha bisnis sudah memiliki posisi yang kuat untuk
menawarkan imbalan baik dalam bentuk keuangan atau produk. Pada tahan ini, strategi
pendanaan yang cocok adalah model crowdfunding imbalan atau utang. Selanjutnya, saat usaha
bisnis sudah tumbuh dan menghasilkan pendapatan dan arus kas yang tinggi, crowdfunding
ekuitas menjadi pilihan strategi pendanaan yang paling tepat pada tahap ini.
Crowdfunding Syariah
Cerita sukses crowdfunding sebagai alternatif pendanaan bagi ide-ide kreatif dan usaha rintisan
terutama di negara-negara maju seperti Amerika, Inggris dan Jerman menjadi insentif untuk
diterapkan di negara-negara berkembang untuk mengatasi kelangkaan pembiayaan di sektor
Rama, A., “Crowdfunding Syariah”, 2023
kewirausahaan. Pelaku industri keuangan syariah juga mulai berlomba-lomba mengembangkan
crowdfunding yang beroperasi sesuai prinsip-prinsip syariah yang umunya sudah berjalan pada
sektor keuangan selama ini. Dengan demikian, crowdfunding syariah merupakan segmen baru
pada pasar crowdfunding yang didasarkan pada nilai dan tujuan Islam.
Kehadiran crowdfunding syariah pada industri keuangan syariah berpeluang sebagai solusi atas
berbagai kritik atas kinerja keuangan syariah selama ini. Hasil kajian terhadap kinerja keuangan
syariah menunjukkan bahwa proporsi pembiayaan yang berbasiskan bagi hasil yang justru
menjadi spirit utama dari keuangan syariah jauh lebih rendah dibandingkan dengan pembiayaan
berbasis utang, yang notabene mirip-mirip dengan konvensional. Akibatnya, muncul istilah
‘sindrom murabah’ pada pembiayaan bank syariah akibat produknya terlihat sama dengan
konvesional. Di Indonesia sendiri, data OJK menunjukkan bahwa struktur pembiayaan bagi hasil
perbankan syariah masih lebih besar dibanding dengan pembiayaan non-bagi hasil, sekitar 47%
dari total pembiayaan. Dengan demikian, kehadiran crowdfunding syariah yang karakter
utamanya sebagai alternatif pembiayaan kewirausahaan memberi peluang untuk peningkatan
segmen keuangan bagi hasil (partnership finance) pada sektor keuangan syariah.
Spirit crowdfunding sebagai sebuah mekanisme kerjasama dimana kesuksesan dan kegagalan
usaha dibagi antara pengusaha dan investor sesuai dengan proporsinya sangat identik dengan
konsep bagi hasil dalam ekonomi syariah.
Meskipun konsep crowdfunding syariah masih belum terlalu mapan secara konsep dan belum
ada standar baku dalam prakteknya, segmen pasar ini relatif berkembang pesat di sejumlah
negara termasuk Indonesia, Malaysia, Singapura, Amerika dan Inggris.
Menurut laporan Fintech Syariah Global 2021, jumlah volume transaksi fintech syariah di
negara-negara Muslim (negara OKI) mencapai sekitar US49 miliar dan diperkirakan tumbuh
menjadi US128 miliar pada akhir tahun 2025, atau setara dengan 0.7% dari total volume
transaksi fintech global. Salah satu pendorong perkembangan fintech syariah adalah kemunculan
platform digital penggalangan dana baik dalam bentuk Peer-to-Peer ataupun crowdfunding.
Geliat crowdfunding syariah di Indonesia relatif menjanjikan. Menurut laporan OJK 2021,
setidaknya telah terdaftar tujuh platform penyelenggara Peer to Peer Lending (P2PL) yang
berbasis syariah dengan akumulasi penyaluran pembiayaan yang mencapai Rp3.28 triliun, atau
1.1% dari seluruh penyaluran P2PL. Yang termasuk dalam kategori P2PL ini adalah Ethis, Dana
Syariah Ammana dan Qazwa. Selain itu, crowdfunding berbasis sekuritas syariah juga mulai
bermunculan termasuk SHAFIQ dan LBS Urun Dana.
Crowdfunding sebagi model keuangan modern berbasis platform digital memiliki peluang besar
di negara-negara Muslim termasuk di Indonesia. Umur rata-rata dari populasi Muslim global
sekitar 24 tahun. Dengan kata lain mayoritas penduduk Muslim global adalah penduduk digital
(digital native) dan tentunya mereka berharap pada layanan keuangan berbasis teknologi digital.